Anda di halaman 1dari 8

Kritik Teori Sebagai Masalah Ilmu Sosial*

Ignas Kleden
Sambil lalu pernah saya bertanya kepada seorang ahli ilmu sosial dari LEKNAS-LIPI,
mengapa kritik teori (maksudnya: kritik terhadap teori) begitu sedikit dikembangkan oleh
kalangan ilmuwan sosial kita, padahal ada pelbagai teori ilmu sosial yang sudah masuk di
Indonesia, dan tidak sedikit pula daripadanya yang sudah diterapkan secara operasional,
khususnya dalam banyak kegiatan penelitian (baik yang bersifat latihan, pesanan, maupun
dalam rangka menyelesaikan suatu program studi).
Pertanyaan ini saya ajukan begitu saja, karena saya kira ilmu pada umumnya dan ilmu
sosial pada khususnya, baru bisa hidup apabila kritik pada umumnya dan kritik teori pada
khususnya dilaksanakan secara teratur sebagai suatu disiplin yang kontinu sifatnya. Untuk
perbandingan, di bidang kesenian misalnya, seorang seniman kreatif bisa mengajukan dalih:
persetan dengan kritik! Dengan atau tanpa kritik seni, proses cipta-seni akan jalan terus. Bagi
kita orang awam pun kiranya akan sulit percaya bahwa Sapardi Djoko Damono bisa menulis
puisi yang bagus karena telah banyak mengambil pelajaran dari kritik H.B. Jassin terhadap
puisi Amir Hamzah misalnya.
Dalih semacam itu akan sulit diajukan oleh seorang ilmuwan. Karena mutu ilmiah suatu
karya justeru terlihat dalam kemampuannya bertahan terhadap berbagai bentuk ujian dan
kritik yang ditujukan kepadanya. Hal ini akan menjadi sangat jelas dari sejarah ilmu
pengetahuan, yang bisa mengajukan sangat banyak contoh untuk menunjukkan bahwa baik
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial telah mengalami kemajuan justeru karena
dijatuhkannya hipotesa-hipotesa yang lebih teruji.
Sudah sering diakui oleh kalangan ahli sosial kita sendiri, bahwa ilmu sosial di Indonesia
nampaknya belum mencapai taraf penyusunan/penciptaan teori baru (Theoriebildung) karena
praktek ilmu sosial di sini masih mengkonsentrasikan diri pada diskripsi dan analisa gejala
sosial (dengan menggunakan pelbagai teori yang diambil-oper dan dicoba diterapkan di sini),
dan belum sampai pada taraf mengangkat hasil analisa dan kesimpulan diskriptif ke tingkat
yang lebih formal menjadi suatu teori. Saya rasa kemampuan menciptakan teori baru
merupakan cita-cita yang sah bagi setiap ilmuwan sosial, yang tidak bisa dipaksakan
perwujudannya begitu saja karena berhubungan dengan pelbagai prasyarat intern ilmu sosial
maupun prasyarat di luarnya.
Hanya satu segi saja yang mau saya kemukakan pada kesempatan ini. Mungkin kita toh
bisa mengatakan, bahwa tanpa melakukan kritik secara cukup sistematis terhadap pelbagai
teori yang sekarang “simpang siur” di dalam praktek ilmu sosial di sini, dan dengan hanya
mengambil-oper, mengintrodusir, dan menerapkan pelbagai teori asing di Indonesia, sulit
untuk membayangkan adanya suatu persiapan ke arah penciptaan teori. Karena beberapa
pengalaman kritis yang penting untuk penciptaan teori mungkin hanya bisa diperoleh dalam
kegiatan melakukan kritik teori yang sistematis, dan pengalaman-pengalaman itu mungkin
juga tidak akan pernah bisa diperoleh apabila orang hanya bersibuk-diri dengan
operasionalisasi teori-teori asing di lapangan.
Bahkan di dalam penerapan teori-teori itu pun, kita kadang-kadang masih melihat adanya
kecenderungan untuk tidak memperjelas posisi teoritis seseorang (misalnya dalam melakukan
suatu penelitian) karena keyakinan tersembunyi bahwa obyektivitas ilmu sosial mungkin
terletak dalam sikapnya yang netral, tanpa “bias” yang sayangnya bisa berarti tanpa posisi
teoritis juga. Dalam praktek kecenderungan ini tidak mustahil berkembang menjadi

1
eklektisisme teoritis atau tambal sulam teori (dipandang dari segi epistemologi ilmu) dan
bahkan oportunisme teoritis (dipandang dari segi etik ilmu).
Adalah menarik untuk menguraikan sedikit jawaban ahli ilmu sosial tersebut di atas
pertanyaan saya. Menurut dia, kritik teori dalam ilmu sosial Indonesia boleh dikatakan belum
ada karena masih sedikit sekali penelitian-penelitian lapangan yang kita lakukan, dengan
akibat bahwa kita sebetulnya mempunyai sedikit sekali kemungkinan untuk melakukan kritik
teori, karena kekurangan data dan landasan empiris untuk mengeritik suatu teori. Suatu teori
ilmu sosial kurang-lebih merupakan abstraksi yang cukup umum dan formal dari hasil-hasil
lapangan, maka suatu kritik teori harus juga didukung oleh landasan empiris yang sama
kuatnya. Tanpa mempersoalkan benar tidaknya jawaban (yaitu bahwa penelitian ilmu sosial
masih terlalu sedikit) dan tanpa mempersoalkan juga apa yang sebetulnya dimaksud dengan
“SEDIKIT” dalam pernyataan itu (sedikit jumlahnya atau sedikit mutunya?), jawaban
tersebut sudah menunjuk satu persoalan kritik teori, yaitu kritik empiris terhadap teori. Dalam
jenis kritik ini dipersoalkan apakah sebuah teori mampu atau tidak mampu menjelaskan
kenyataan sosial tertentu.

Kritik Empiris: Pendekatan Struktural dan Teori-teori Mentalistik


Contoh yang masih cukup baru ialah perdebatan antara teori (kelompok teori) mentalitas
dan teori (kelompok teori) struktural dalam menjelaskan gejala kemiskinan. Apakah
kemiskinan (dari sini diambil secara umumnya saja) merupakan akibat dari mentalitas tertentu
yang cenderung menghalangi sekelompok orang untuk bertingkahlaku produktif (jadi; tidak
hemat, tidak memikirkan masa depan, kurang menghargai kerja, enggan dengan disiplin
waktu) ataukah kemiskinan tersebut lebih merupakan akibat terjebaknya
seseorang/sekelompok orang dalam suatu struktur yang demikian membekukan dia, sehingga
tidak ada jalan baginya lagi untuk keluar dari kemiskinan itu, juga kalau dia memenuhi semua
syarat yang diajukan oleh pengajur-penganjur teori mentalitas?
Dalam kerangka struktural, mentalitas mungkin malahan dilihat sebagai hasil adaptasi
sekelompok orang terhadap struktur yang membelenggunya. Jadi menjelaskan gejala
kemiskinan dengan teori-teori mentalitas dalam contoh ini akan dianggap sangat tidak kena,
karena mentalitas tersebut lebih merupakan hasil perkembangan yang berlangsung dalam
kemiskinan. Kalau orang-orang ini ditempatkan dalam struktur lain yang lebih leluasa, maka
mentalitas mereka juga menyesuaikan diri menjadi produktif. Setelah mengadakan penelitian
yang luas terhadap sistem pertanian dan perkebunan kolonial pada masa tanam paksa dan
akibat (struktural) yang dibawanya untuk pertanian anak negeri di pulau Jawa, C. Geertz
dengan tajam berkesimpulan: orang-orang Jawa pada masa-tanam-paksa bukannya menjadi
miskin karena mereka malas bekerja, melainkan mereka menjadi malas bekerja karena mereka
sudah terlalu amat miskin, sebagai akibat struktur pertanian dan perkebunan kolonial yang
tidak memungkinkan mereka meningkatkan penghasilannya. Pada hemat saya, teori-teori
struktural akan sulit menjelaskan suatu perubahan yang berlangsung dari dalam struktur,
karena kalau kita mengandaikan bahwa orang yang terbelenggu secara struktural akan sangat
dipengaruhi dan malah ditentukan tingkahlakunya, mentalitasnya dan bahkan bentuk
kesadarannya oleh struktur, maka suatu perubahan struktural hanya mungkin diprakarsai dan
dimulai dari luar.
Kesulitan yang timbul antara sifat konservatif suatu struktur yang cenderung
mempertahankan diri di satu pihak, dan cita-cita untuk merubah struktur yang membelenggu
di lain pihak, akan cenderung melahirkan sikap elitis. Berarti, hanya dari suatu elite yang
berada di luar struktur, dan yang mempunyai pengertian yang mencukupi tentang
ketimpangan struktural tersebut dan juga mempunyai kemampuan melakukan perubahan

2
penting (misalnya dalam bentuk keputusan politik, redistribusi kekuatan ekonomi atau
reorganisasi tatanan birokrasi) dapat diharapkan dimulainya suatu perubahan struktural. Akan
tetapi dengan penyelesaian yang bersifat elitis seperti ini teori-teori struktural hanya akan
semakin memperkuat ketergantungan, yaitu ketergantungan dari mereka yang terbelenggu
secara struktural terhadap elite yang diharap dapat membebaskan mereka dari kungkungan
tersebut. Tidak mustahil bahwa ketergantungan ini akan berkembang menjadi ketergantungan
struktural baru, apabila elite yang bertindak sebagai “agent of change” terjatuh lagi dalam
sikap konservatif untuk selalu mempertahankan elitisme mereka.
Jalan lain yang tidak elitis ialah dengan menjelaskan suatu perubahan struktural sebagai
hasil suatu dinamik dari dalam, berupa kesadaran baru dari orang-orang yang terbelenggu
dalam suatu struktur tentang ketimpangan-ketimpangan struktural yang mengungkung
mereka. Pada gilirannya kesadaran baru tersebut akan mencari jalan sendiri untuk menjebol
kungkungan struktur atau untuk memperbaiki ketimpangan struktural yang selama ini tidak
memungkinkan mereka memperbaiki nasib dan keadaan mereka sendiri. Kesadaran baru ini
bisa merupakan hasil suatu pendidikan (formal maupun informal) mungkin pula merupakan
akibat lebih terbukanya komunikasi dengan dunia luar atau masuknya informasi-informasi
baru lewat mass-media atau pun media elektronik lainnya.
Usaha untuk memasukkan koran ke desa, atau perluasan jaringan siaran televisi supaya
mencapai pelosok terpencil, ataupun usaha lain yang mengandung tema “mencerdaskan
kehidupan bangsa” (biarpun di sini terlihat kembali sifat elitis: siapa mencerdaskan siapa?
Elite mencerdaskan non-elite!) sebetulnya cukup menunjuk keyakinan bahwa suatu perubahan
dari dalam struktur adalah mungkin, jikalau orang-orang yang berada dalam struktur itu berkat
kecerdasan yang meningkat atau kesadaran yang semakin kritis, mulai melihat ketimpangan-
ketimpangan struktural yang ada sebagai hal yang tak seharusnya ada, dan mulai
memperbaikinya. Akan tetapi dengan memilih jalan ini berarti orang terjatuh kembali ke
dalam teori-teori mentalistis, yang mau menjelaskan perubahan sosial dengan menggunakan
variabel seperti halangan mental atau sifat-sifat suatu mentalitas yang menunjang usaha
perubahan sosial, juga bersifat struktural.

Kritik Epistemologis
Dari uraian di atas kelihatan, bahwa kritik empiris terhadap suatu teori ilmu sosial,
haruslah ditunjang oleh kritik jenis lainnya, yang sekaligus dapat menjadi kritik terhadap jenis
kritik empiris itu sendiri. Kritik jenis kedua ini dapat dikatakan kritik epistemologi, yang
(untuk tetap memakai contoh soal yang sama) akan menguji, apakah faham-faham yang
mendasari pengertian mengenai struktur atau mentalitas merupakan faham yang cukup teruji.
Secara praktis hal ini berarti melihat, apakah suatu teori ilmu sosial, sebelum diturunkan ke
lapangan penelitian, mengandung kontradiksi tertentu dalam konstruksinya ataukah dalam
dirinya teori itu cukup konsisten. Epistemologis tidak lain adalah analisa logis terhadap suatu
faham pengetahuan.
Sudah ditunjuk sepintas lalu, bahwa teori-teori strukturalistis maupun teori-teori
mentalistis akan membawa orang kepada pendekatan yang elitis, apabila dengan kedua
kelompok teori itu hendak diterangkan perubahan sosial, khususnya perubahan sosial yang
direncanakan (planned social change). Keberatan pertama ialah, bahwa di sini orang-orang
yang terlibat dalam suatu perubahan sosial dengan sendirinya terbagi menjadi pihak yang
bertindak sebagai subyek perubahan (yaitu suatu elite) dan pihak yang hanya berperan sebagai
obyek suatu perubahan (yaitu mereka yang secara struktural atau secara mental terhalang
untuk maju). Baik orang-orang yang terbelenggu oleh suatu struktur maupun orang-orang
yang hidup dalam suatu mentalitas tertentu, lebih besar kecenderungannya untuk

3
menyesuaikan diri dengan struktur dan mentalitas tersebut daripada sebaliknya (yaitu
menentang struktur atau menyimpang secara sadar dari mentalitas umum). Perubahan sosial
diandaikan terjadi, kalau sekelompok elite yang cukup kritis, yang berada di luar struktur itu
ataupun yang dapat mengambil jarak dari mentalitas yang umum berlaku, bersedia
mengadakan perubahan yang bersifat struktural ataupun yang bersifat pendidikan.
Persoalannya ialah, bagaimana menjelaskan munculnya elite tersebut?
Dalam suatu struktur yang timpang, dimana salah satu pihak dicekam oleh struktur itu
dalam kemelaratan, dan pihak lainnya mengambil keuntungan terus-menerus dari
ketimpangan yang ada, kita akan menghadapi dilema dalam menjelaskan munculnya
perubahan struktural, karena sebab-sebab yang berikut. Pihak yang mengambil keuntungan
dari struktur yang timpang, akan sulit diharapkan untuk mengambil inisiatif mengadakan
suatu perubahan struktural, yang akan mengurangi atau membatasi keuntungan, yang selama
ini mereka peroleh justru dari struktur yang timpang tersebut. Sekaligus, pihak yang dirugikan
oleh ketimpangan struktur akan sulit juga diharapkan mengadakan perubahan, karena orang-
orang yang terbelenggu dalam suatu struktur kemiskinan misalnya akan lebih menyesuaikan
diri dengan keadaan tersebut, yang memang tidak memungkinkan mereka berbuat banyak.
Penyesuaian diri dengan struktur kemiskinan ini akan nampak misalnya dari suatu sub-kultur
kemiskinan yang merupakan sejenis kebudayaan yang dipaksakan lahirnya oleh kemelaratan
yang tak teratasi.
Karena itu suatu penjelasan struktural yang mau konsekuen, akan mengandaikan, bahwa
pihak yang mengambil keuntungan dari suatu struktur akan mulai mengadakan perubahan
struktural, apabila ada suatu elite lain yang berada di luar dia atau “di atas” dia, yang dapat
memaksanya untuk mengadakan beberapa perubahan dan perbaikan dalam ketimpangan
struktur, dengan akibat, bahwa privelese yang dia nikmati selama ini pun ikut dikurangi. Akan
tetapi elite yang lain itu (kalau kita mau secara konsekuen menghindari setiap penjelasan yang
bersifat mentalistis atau moralistis) akan memerlukan pula suatu super-elite lain lagi, yang
dimana perlu akan dapat juga memaksakan dia dan begitu seterusnya. Unended regress seperti
ini sudah menunjukkan suatu kelemahan ilmiah yang luar biasa, yang sekaligus bisa
memperlihatkan pula terbatasnya kemampuan teori-teori struktural.
Teori-teori mentalistis rupanya juga mengalami kesulitan yang sama. Kalau ada
sekelompok orang yang terhalang oleh mentalitasnya untuk bertingkah-laku produktif, maka
secara umum akan sukar sekali untuk mengharapkan munculnya satu-dua orang dari
kelompok tersebut, yang mulai mempertanyakan mentalitas yang ada, dan mungkin berusaha
memperkenalkan beberapa nilai baru yang lebih produktif sifatnya. Seandainya ada sesuatu
sub-kelompok baru yang muncul di tengah kelompok lama dengan mentalitas lama, maka
mereka dari sub-kelompok baru itu biasanya merupakan orang-orang yang paling cepat
mencerna pengaruh-pengaruh baru, yang dibawa oleh suatu jenis pendidikan (misalnya
masuknya koran ke desa, kursus-kursus pertanian atau kesehatan atau bentuk pendidikan lain),
yang dijalankan oleh suatu elite yang berada di luar kelompok tersebut. Usaha pendidikan
yang dijalankan oleh elite ini akan sukar sekali juga untuk dijelaskan hanya secara moralistis
(artinya karena mereka tergugah oleh kemelaratan sekelompok orang lain dan mau
melaksanakan asas keadilan sosial misalnya).
Berdasarkan teori-teori motivasi yang umum, maka elite yang mau mengusahakan suatu
bentuk pendidikan, akan bersedia menjalankan usaha tersebut, apabila dia melihat, bahwa
usaha pendidikan yang dijalankannya akan membawa manfaat tertentu bagi kepentingannya
atau kepentingan kelompoknya. Usaha memasukkan koran ke Desa ditunjang oleh pemilik-
pemilik koran besar, bukan saja karena niat “semakin mencerdaskan kehidupan bangsa” tetapi
juga karena dengan itu terbuka juga daerah baru bagi pemasaran koran mereka. Demikian juga

4
pendidikan politik yang dijalankan oleh para jurkam selama masa kampanye pemilu, tidak
hanya dimaksudkan untuk membuat orang-orang di pelosok semakin “sadar politik” tetapi
supaya orang-orang tersebut nantinya memberikan suara pada kelompok politik yang mereka
kampanyekan. Kenyataan ini sebetulnya sangat wajar. Menerangkan timbulnya suatu minat
tertentu dalam suatu elite, karena minat itu berhubungan dengan kepentingan mereka adalah
cara penjelasan yang hendak memperlakukan para elite itu sebagai manusia biasa dan
bukannya sebagai kelompok manusia yang sangat istimewa.
Karena itulah, kalau kita beranggapan, bahwa suatu perubahan mental hanya mungkin
terjadi berkat adanya suatu usaha pendidikan, dan pendidikan umumnya diberi oleh kelompok
elite yang mau menarik keuntungan dari pendidikan yang dijalankannya, maka timbul soal,
bagaimana mengadakan suatu kontrol yang cukup teratur terhadap elite tersebut, supaya
mereka jangan menjadikan usaha pendidikan semata-mata sebagai sarana yang membela
kepentingannya saja. Kalau kita mengandaikan, bahwa harus ada suatu elite lain yang lebih
kritis, yang bisa mengontrol kepentingan elite pertama, maka mungkin diperlukan super/elite
lain dengan kebajikan moral yang lebih banyak, untuk mengatasi elite pengontrol yang
pertama dan begitu seterusnya. Kembali kita menghadapi persoalan unended regress yang
juga menunjukkan terbatasnya teori-teori yang bersifat mentalistis.
Saya kira, kesulitan-kesulitan yang terlukis di atas akan selalu timbul pada semua teori
yang bersifat elitis. Teori-teori semacam ini biasanya mengandaikan bahwa ada pihak yang
harus dibantu dan ada pula pihak yang harus membantu, karena ada pihak yang kurang
mampu dan ada pula pihak yang lebih mampu.
Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan kemampuan
tersebut. Teori-teori elitis didasarkan atas anggapan, bahwa selalu ada perbedaan di dalam
penguasaan dan penggunaan pengetahuan dan informasi. Ada pihak yang sangat unggul
mengumpulkan dan memanfaatkan berbagai informasi penting. Dan ada pula pihak lain yang
kurang gesit. Anggapan ini memang ada benarnya, tetapi akan menjadi berbahaya, jika orang
mulai menyamakan besarnya volume informasi yang dikuasainya dengan tingkat rasionalitas
seorang. Dengan rasionalitas saya maksudkan, kesediaan dan kemampuan seseorang untuk
memecahkan persoalan, dengan menggunakan akal sehat dan bukan dengan menggunakan
perasaan atau kekerasan. Pada saat suatu teori elite mulai beranggapan, bahwa ada pihak yang
lebih mampu menggunakan akal-budinya dari pihak lain, maka teori itu menjadi berbahaya.
Bahaya yang pertama adalah, teori ini harus membenarkan diri secara unended regress
juga. Kalau seseorang mengatakan, dia lebih rasional dari orang lain (karena dia menguasai
sejumlah informasi yang orang lain tidak kuasai) maka dia harus menerima juga, bahwa ada
orang lain lagi yang lebih rasional dari dia, karena orang-orang ini menguasai lebih banyak
informasi lagi. Di sini kelihatan, bahwa rasionalitas seseorang yang menguasai sedikit
informasi seakan-akan ditentukan keabsahannya oleh rasionalitas orang lain dengan lebih
banyak informasi, sementara kita tahu, bahwa kemampuan seseorang untuk menyerap dan
menguasai informasi sangatlah terbatas, baik mengenai jumlah informasi maupun mengenai
jenis informasi.
Bahaya kedua akan timbul, apabila seseorang menolak argumen yang bersifat unended
regress dan menyatakan, bahwa dirinya sendirilah yang paling rasional, karena untuk bidang
tertentu misanya, dialah yang paling menguasai informasi-informasi terpenting. Di sini
seseorang terjatuh ke dalam sikap otoriter, yang mampu membenarkan diri dengan kekerasan,
dan lalu menjadi dogmatis. Saya kira, bahaya otoriterianisme intelektual itu dapat dihindari
apabila kita dengan jelas membedakan sikap rasional dari keunggulan intelektual seseorang,
yang ditandai oleh penguasaan sejumlah penguasaan sejumlah besar pengetahuan dan
informasi. Dalam keunggulan intelektual itu kita memang akan sangat berbeda-beda

5
(tergantung bakat, kesempatan, minat, lingkungan pendidikan dan lain-lain), tetapi dalam
sikap rasional kita sebetulnya tidak banyak berbeda.
Tidak ada bukti, bahwa seseorang yang sangat terpelajar dengan sendirinya lebih bersedia
juga menggunakan akal-budi dan bukannya menggunakan kekerasan ataupun perasaan.
Bahkan tidak jarang terjadi, bahwa justeru orang yang unggul secara intelektual amat mudah
meremehkan pikiran dan pendapat pihak lain, karena anggapan, bahwa mereka kurang
menguasai informasi yang diperlukan untuk menyusun suatu pendapat yang
bertanggungjawab. Di sini sang intelektual bersikap sangatlah tidak rasional, karena dia lebih
terbawa oleh perasaan dan prasangka, tanpa mau mendengar lebih dahulu argumen pihak lain.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa teori-teori elitis mengandung resiko memperkuat
ketergantungan pihak yang non-elite kepada pihak elite. Atau untuk memakai contoh kita,
ketergantungan pihak non-intelektual kepada pihak/kelompok intelektual. Ketergantungan ini
perlahan-lahan dapat dikurangi, apabila setiap orang dibawa kembali kepada kesadaran akan
rasionalitas, dan apabila dibina kembali suatu kepercayaan umumnya, bahwa tiap orang kalau
dia tidak terlalu tertindas oleh kemelaratan, kekerasan atau ketakutan akan sanggup memakai
akal-budinya dengan baik, sekurang-kurangnya untuk mengatasi pelbagai persoalannya
sendiri. Karena suatu struktur yang timpang hanya dapat bertahan, apabila daya-daya kritis
(kemampuan pertama) dari rasionalitas sudah dilumpuhkan. Demikian juga mentalitas yang
tidak menghendaki kemajuan, adalah mentalitas dimana rasionalitas sudah dikalahkan oleh
suatu kekuatan lain di luarnya.

Kritik Ideologis
Jenis kritik yang ketiga dapat dinamakan kritik ideologis terhadap suatu teori. Yang
hendak dicapai di dalam kritik ini ialah, menyingkapkan sekaligus mengungkap segi-segi
ideologis suatu teori, yaitu menunjukkan kepentingan pihak mana yang secara sadar tak sadar
dapat dibenarkan dan dibela oleh suatu teori ilmu sosial. Dengan bantuan kritik ideologis akan
cukup mudah memahami mengapa pihak penjajah Belanda pada zaman tanam paksa telah
mempropagandakan teori-teori mentalistis (misalnya dengan mengatakan, bahwa orang Jawa
masa itu menjadi miskin, karena terlalu malas bekerja). Dengan menyuruh orang
mempersoalkan masalah yang bersifat mentalistis, perhatian lalu dialihkan dari masalah yang
sebenarnya yang lebih bersangkut-paut dengan struktur pertanian dan perkebunan kolonial,
yang hanya mematikan pertanian pribumi. Pada masa kita teori-teori yang mempersoalkan
“halangan-halangan mental dalam pembangunan”, tentulah bisa memberikan sumbangannya
tersendiri yang berharga. Akan tetapi suatu kritik ideologis akan tidak langsung menyambut
masalah itu, tetapi akan lebih dahulu mengajukan pertanyaan: Mengapa kita mau
mempersoalkan halangan mental dan bukan halangan struktural misalnya?
Sebetulnya dengan kritik ideologis kita akan bisa melaksanakan de-ideologisasi dalam
arti kata sebenarnya, yaitu menyingkapkan dan membuka kepentingan-kepentingan ideologis
yang secara tersembunyi hendak “numpang” pada suatu teori ilmiah. Ilmu sosial bisa
menghindari diri dari tugas mengadakan kritik ideologis terhadap suatu teori, misalnya
dengan mengatakan, bahwa ilmu sosial tidak mau mengadakan penilaian (evaluation), tetapi
hanya mau mengemukakan apa yang ada dengan cara seobyektif mungkin, dan perkataan
“obyektif” dalam hubungan ini kurang lebih berarti “sebagaimana yang bisa disimpulkan dari
suatu kumpulan data dan fakta empiris”. Terhadap pendirian seperti ini dapat dikemukakan
beberapa pertimbangan. Pertama, dalam semua usaha ilmiah tidak bisa dihindari adanya suatu
unsur apriori. Karena caranya suatu pertanyaan diajukan dan isi pertanyaan itu, sangat
ditentukan oleh penilaian yang kurang lebih bersifat apriori subyektif. Akan lebih jelas kalau
diingat, bahwa “fakta-fakta tidaklah mengorganisir diri menjadi konsep-konsep dan teori-teori

6
hanya karena diamati” (G. Myrdal). Kedua, suatu kepercayaan kepada empirisme yang
demikian sederhana, dapatlah dibandingkan dengan fundamentalisme dalam bidang
kehidupan beragama.
Kedua kecenderungan itu ingin mencapai suatu rasa aman dengan cara yang cukup pasti
mudah, karena berpegang pada huruf-huruf kitab suci; yang lain merasa pasti, karena
berpegang pada data empiris.
Maka sikap yang sepintas lalu terlihat seperti mempertahankan “netralitas” ilmu sosial,
sebetulnya sudah sangat berpihak, yakni berpihak pada empirisme. Akibatnya, obyektivitas
juga diperlemah maknanya menjadi suatu kepastian empiris belaka. Dari sejarah ilmu
pengetahuan cukup nyata, bahwa empirisme sebagai suatu bentuk positivisme lahir dari suatu
kepercayaan kuat, bahwa “alam tak mungkin menipu manusia”, seperti intuisionisme telah
lahir dari suatu kepercayaan kuat, bahwa “Tuhan tak mungkin menipu manusia”. Para
intuisionis mengajarkan, bahwa apabila ada sesuatu yang tampak kepada intuisiku, dan
apabila intuisiku merasa pasti, maka sesuatu itu harus benar-benar ada, karena Tuhan yang
sudah memberi manusia perlengkapan seperti intuisi, pastilah tidak mau menipu manusia
dengan intuisi itu. Kaum positivisme mengajarkan, bahwa alam tak mungkin menipu manusia
maka apa yang disajikan alam dalam bentuk fakta dan data empiris, tak mungkin juga menipu
saya.
Baik intuisionisme maupun positivisme sudah mengalami kritik yang sangat keras. Apa
yang kita sebut intuisi sebetulnya adalah suatu hasil biasa dari proses belajar. Seorang pianis
yang terlatih baik akan tahu secara “intuitif”, tuts mana yang harus ditekannya dalam
memainkan suatu lagu. Tetapi apa yang nampak sebagai “intuisi” itu sebetulnya hasil proses
belajar yang biasa saja. Suatu tingkat kepastian bisa dicapai oleh proses belajar itu seseorang
dapat mencapai taraf “tak mungkin salah”, seperti juga tak ada jaminan, bahwa seorang pianis
yang sangat terlatih tak akan melakukan suatu kesalahan pun dalam memainkan suatu partitur.
Kritik terhadap positivisme dikemukakan dalam pernyataan, bahwa alam yang kita ketahui
adalah selalu alam yang sudah diinterpretasikan. Seandainya pun alam “murni” barangkali
tidak akan menipu kita meskipun yang mewarnai alam itu amat dapat membohongi kita,
misalnya karena kecenderungan subyektif yang hendak dirasionalisir dalam suatu interpretasi.
Dengan mengemukakan tiga kritik isi, mudah-mudahan menjadi jelas, bahwa masalah
kritik teori adalah suatu masalah yang sangat pokok dalam ilmu sosial, dan yang justru sudah
bisa dilaksanakan semenjak pagi-pagi, tanpa harus menunggu sampai ilmu-ilmu sosial sudah
cukup jauh perkembangannya. Saya kira, berkembang atau tertinggalnya ilmu sosial rupanya
ditentukan juga oleh kesediaan dan kemampuannya mengembangkan kritik teori dalam
pelbagai tingkatnya.
Kritik empiris akan membebaskan suatu teori dari antinomi, yaitu dari sifat suatu
pernyataan yang semata-mata spekulatif, yang hanya bisa diterima atau ditolak, dan yang tak
bisa dibuktikan benar atau salah, karena dia tidak terikat dan tidak bisa diuji oleh empiris. Dua
pernyataan metafisis yang saling bertentangan bisa sama-sama benar atau sama-sama salah,
tanpa menimbulkan kontradiksi, karena sifat kedua pernyataan tersebut adalah non-empiris.
Kritik epitemologis akan membebaskan suatu teori dari kontradiksi, yaitu saling pertentangan
yang sudah timbul dalam konstruksi teori itu sendiri. Sedangkan kritik ideologis akan
membebaskan suatu teori ilmiah dari manipulasi kepentingan praktis, yang secara sadar tak
sadar bisa membonceng pada suatu teori ilmiah.

###

7
* Tulisan ini merupakan salinan atas salah satu artikel dalam sebuah buku bunga rampai
berjudul “Krisis Ilmu-ilmu
ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia Ketiga”.
Ketiga”. Untuk keperluan
pengutipan, silahkan gunakan data bibliografi di bawah
b ini.

Kleden, Ignas. “Kritik Teori Sebagai Masalah Ilmu Sosial”. Dalam Priyono, A.E. & Asmar
Oemar Saleh (eds). 1984. Krisis Ilmu-ilmu
Ilmu ilmu Sosial dalam Pembangunan di Dunia
Ketiga. Yogyakarta: Pusat Latihan, Penelitian, dan Pengembangan Masyarakat
(PLP2M). hal. 139-154.

Krisis Ilmu--ilmu Sosial dalam


Judul
Pembangunan di Dunia Ketiga
A.E. Priyono & Asmar Oemar
Penulis
Saleh (eds)

Penerbit PLP2M

Tempat & Tahun Terbit Yogyakarta, 1984

Anda mungkin juga menyukai