Anda di halaman 1dari 2

Data Buku

Judul : Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era


Globalisasi
Penulis : I Wibowo
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : viii + 270 halaman

Kenichi Omahe, dalam bukunya The End of Nation-State,


membuat orang terperangah. Buku ini secara keseluruhannya
berbicara tentang berakhirnya "nation-state" atau "negara-
bangsa". Menurut Omahe, negara adalah artefak peninggalan
abad ke-18 dan ke-19, karena menurutnya tidak ada lagi batas.
Lenyapnya negara itu adalah sebuah keharusan ketika kegiatan
ekonomi global semakin meningkat. Wakil-wakil rakyat yang
dipilih lewat pemilu ingin memberikan yang diinginkan oleh
rakyat, akan tetapi bagaimana kalau yang diinginkan oleh
rakyat ternyata menghancurkan ekonomi negara tersebut?
Rakyat, misalnya, minta pelayanan dan subsidi dari negara, yang negara tidak mampu
memberikan. Kumandang matinya negara-bangsa ini disambut dengan gembira oleh para
pengusaha, terutama pengusaha global. Harus diakui bahwa globalisasi memang berdampak pada
eksistensi negara.

Ada satu pertanyaan yang perlu dijawab sehubungan dengan dampak globalisasi pada negara:
apa dampaknya pada kebijakan domestik? Misalnya, apakah negara masih memainkan peran di
dalam masyarakat? Ataukah ia telah digantikan - sebagian ataupun seluruhnya oleh pelaku-
pelaku lain? Ketika peran negara telah berubah, ia berubah menjadi apa? Penulis telah secara
sepintas menunjuk pada kenyataan bahwa elected officials kerap mengalami dilema, melayani
konstituen mereka atau melayani aktor-aktor global. Karena ia dipilih oleh rakyat, semestinya ia
mengabdi kepada kepentingan rakyat. Tapi ia juga berhadapan dengan aktor-aktor global, seperti
pejabat dari IMF, World Bank, WTO, ataupun CEO dari perusahaan multinasional. Mereka ini
lebih sering mempunyai tuntutan yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan tuntutan rakyat.
Kalau ia berpihak kepada rakyat, ia akan mengecewakan aktor global. Kalau ia mengikuti aktor
global, ia akan merugikan rakyatnya sendiri.

Tidak mudah menghadapi dilema in. Seperti kita pelajari dari sejarah, hubungan antara negara
dan saudagar lahir bagaikan saudara kembar. Negara membutuhkan kaum saudagar untuk
membiayai kehidupan para pemimpin, birokrasi, dan tentu saja membiayai perang. Sebaliknya,
kaum saudagar juga membutuhkan perlindungan dari negara dalam menjalankan usahanya.
Sampai hari ini para saudagar tidak bisa melepaskan diri dari negara dalam soal security. Jadi,
ada simbiosis mutualistis, antara negara dan saudagar.
Karena negara dalam posisi agak lemah dibandingkan dengan saudagar, maka banyak negara
(Indonesia?) yang lebih memilih "mengalah" kepada para saudagar. Hipotesis yang mau diajukan
sepanjang buku ini adalah bahwa negara - karena tuntutan para saudagar global — memilih
untuk menjadi pelindung para saudagar daripada pelindung warganya. Negara memang tidak
lenyap, negara juga telah menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, tetapi negara telah
kehilangan ciri utamanya sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan pelindung warga
negaranya. Biar bagaimana pun pengusaha masih membutuhkan keamanam (security).

Oleh karena itu sekarang ini negara telah berubah menjadi centeng, bayaran dari sekelompok
kecil saudagar, nasional, maupun global. Yang dilakukan oleh negara adalah menyediakan
keamanan bagi para saudagar karena mereka inilah yang membawa uang yang diperlukan untuk
menyelenggarakan negara.

Ini berbeda dari "negara penjaga malam" karena negara penjaga malam masih membela dan
melindungi warga negaranya, ia tidak ikut campur tangan di bidang ekonomi. Negara centeng
memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum saudagar saja, mirip dengan executive
committee yang diajukan oleh Karl Marx. Tapi negara centeng bukan sebuah panitia yang bisa
mempunyai otonomi. Ia sama sekali dikuasai oleh kaum saudagar, terutama saudagar global,
sedemikian rupa sehingga Ia tanpa malu-malu melupakan tugasnya sebagai penjaga kedaulatan
nasional.

Di sinilah letak penting hadirnya buku Negara Centeng karangan I Wibowo ini. Buku ini berisi
kritikan sekaligus evaluasi terhadap globalisasi, terutama dari ranah ekonomi dan politik. Sejauh
mana globalisai bermanfaat dam merugikan untuk manusia? Apakah globalisi hanya membawa
manfaat bagi sejumlah kecil manusia, tetapi membawa kerugian kepada sejumlah besar manusia?
Pada akhirnya, pertanyaan itu akan menggiring kepada pertanyan lain yang lebih mendasar
tentang organisasi politik yang kita punyai, yaitu Negara. Apa dampak globalisasi pada
eksistensi “negara”?

Pendapat Saya:
Menurut saya buku ini sangat bagus untuk di baca karena menurut saya banyak sekali nilai nilai
postif untuk menghadapi kejadian globalisasi di dunia, entah dari aspek ekonomi, maupun politik
dari sebuah Negara.

Anda mungkin juga menyukai