Anda di halaman 1dari 21

NEGARA CENTENG

Negara dan Saudagar di Era Globalisasi


I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

LAPORAN BUKU
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo (2010). Kanisius, Jogjakarta

JUDUL BUKU : NEGARA CENTENG


PENULIS : I WIBOWO
PENERBIT : KANISIUS, JOGJAKARTA
TAHUN : I, 2010
JUMLAH BAB : IV BAB
TEBAL : VIII DAN 270 HALAMAN

BAB I
PENDAHULUAN
Tidak mungkin membayangkan tanpa organisasi yang disebut “negara”. Negara
dimaknai sebagai organisasi yang memberi perlindungan bagi warganya. Sejak Thomas
Hobbes pada abad ke-17 konsep negara terus dikembangkan sedemikian rupa sehingga pada
suatu priode pada abad ke-20, negara benar-benar memberikan welfare kepada warganya.
Tetapi datanglah globalisasi, ide globalisasi adalah bagaimana membuat dunia sebagai tempat
dimana orang bisa menggalang dana dari mana saja di dunia, mananamkannya di mana saja
di dunia, dan sekaligus juga memasarkan produk di seluruh dunia. Tentu saja berbarengan
dengan itu juga menggali sumber daya dan memperkerjakan buruh dimana saja berada.
Mungkin saja gejala inilah yang dilihat oleh Kenichi Omahe sehingga ia mengatakan dalam
bukunya yang berjudul (The End of Nation State) bahwa negara akan lenyap. Dia juga
mengataka negara adalah the artefact of the 18th and 19th centuries (batu peninggalan abad
ke-18 dan ke-19).
Ketika suatu negara berhadapan dengan aktor-aktor global, seperti pejabat dari IMF,
World Bank, WTO, maupun COE dari perusahaan multinasional yang hanya bercita-cita
mencari profit, di situlah muncul masalah. Sanggupkah negara melindungi warga negaranya
terhadap sergapan korporasi-korporasi internasional yang besar dan kuat? Atau sebaliknya,
negara malah melindungi korporasi-korporasi?

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Negara centeng adalah negara yang berpihak pada korporasi, dan memberi
perlindungan penuh, kalau perlu dengan mengorbankan warga negara. Seperti layaknya
seorang centeng.
Hipotesa yang mau diajukan sepanjang buku ini adalah bahwa negara – karena tuntutan
para saudagar global – memilih untuk menjadi pelindung para saudagar global dari pada
pelindung bagi para warga negaranya. Negara memang tidak lenyap, negara juga telah
menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, tetapi negara telah kehilangan ciri utamanya
sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan perlindungan warga negaranya. Biar
bagaimanapun pengusaha masih membutuhkan keamanan (security). Ini merupakan public
good yang tidak ingin dipikul oleh pengusaha karena sifatnya yang non-excludable.
Negaralah yang harus menyediakan keamanan.
Seperti yang dikatan diatas negara sudah berubah menjadi centeng, menjadi pelindung
bayaran sekelompok kecil saudagar, nasional maupun global. Yang dilakukan oleh negara
adalah menyediakan keamanan bagi para saudagar karena mereka inilah yang membawa
uang yang diperlukan untuk menyelenggarakan negara.
Ini sangat berbeda dari “negara penjaga malam” karena negara penjaga malam masih
membela dan melindungi warga negaranya, ia tidak ikut cmpur tangan dalam bidang
ekonomi. Negara centeng memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum saudagar saja,
mirip dengan executive committee yang diajukan oleh Karl Marx. Tetapi negara centeng
bukan sebuah panitia yang bisa mempunyai otonom. Ia sama sekali dikuasai oleh kaum
saudagar, terutama saudagar global, sedemikian rupa sehingga ia tanpa malu-malu melupakan
tugasnya sebagai penjaga kedaulan nasional.
Buku yang dilaporkan ini terdiri dari IV bagian besar. Bagian pertama mengenai awal
dari kemerosotan kedaulatan negara, dan bagaimana gerakan meminggirkan negara
dilangsungkan. Bagian kedua mengenai aktor-aktor internasional yang dengan sekuat tenaga
berusaha menghimpit lalu menundukkan negara. Bagian ketiga mengenai efek globalisasi
pada kelompok-kelompok lemah di negara Indonesia, dan negara Indonesia tidak berkutik.
Sedangkan bagian keempat disajikan masalah-masalah global yaitu tentang kemiskinan
global.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

BAB II
PEMBAHASAN

A. RUMUSAN ISI POKOK PEMIKIRAN PENULIS


Buku ini terdiri dari IV bagian, yang secara umum memuat tentang Negara di
Tengah Momok Globalisasi. Berikut ini kami rumuskan isi pokok pemikiran penulis
buku yang diuraikan dengan menelusuri bagian demi bagian.

BAGIAN I NEGARA
Ruang lingkup pada bagian pertama ini, penulis mencoba memperlihatkan
kampanye ”emoh negara” yang dilakukan oleh beberapa pihak, dan selanjutnya tentang
wacana globalisasi yang tidak hanya mendorong “emoh negara”, tetapi juga menciutkan
prannya menjadi “centeng”.
Permasalah yang paling mendasar di angkat dalam buku ini adalah tentang
Negara yang merupakan organisasi yang amat kuat dan kokoh. Di dalamnya ada banyak
unsur, seperti penduduk, wilayah, angkatan bersenjata, sistem birokrasi dan sebagainya.
Negara pada dasarnya adalah gejala modern, yang diperlukan oleh menusia modern
untuk mengorganisir kehidupan bersama secara modern. Dalam varian apa pun, negara
mempunyai kedudukan yang sentral dalam masyarakat modern. Entah orang suka tidak
suka, kehidupan modern membutuhkan organisasi yang disebut “negara”. Para
pengusaha yang tidak suka membayar pajak, membutuhkan negara karena negara dapat
memberikan keamanan dan kepastian hukum, terutama hukum hak atas milik pribadi.
Negara menyediakan fasilitas pendidikan gratis dan di Eropa Barat, bahkan menyediakan
pelayanan kesehatan dan pensiunan masih dapat meminta tunjangan dan subsidi.
Menariknya, sejak tahun 1980-an kehadiran negara dianggap bermasalah.
Pendapat seperti ini pada umumnya ditiupkan oleh para ekonomi neo-libral yang
mengemukakan alasan state failure untuk menyingkirkan negara. Banyak masalah
ekonomi maupun non-ekonomi, kata mereka berakar pada adanya negara. Misalnya
Milton Friedman, dalam tulisanya yang dibaca oleh setiap ekonom yang mangatakan: “A
libral is fundamentally fearful of consentrated power. He is suspicious of assgning to
gavermnet any funtionthat can beperformed though the market, both because this
subtitutes coercion for valuntary co-opration in the area in question and because, by
giving goverment an increased role, it threatens freedom in other areas.” Pendiriannya
tegas, ganti negara dengan pasar, dan semua orang akan bahagia.
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Dalam era globalisasi pandangan “emoh negara” ini mendapat dukungan luas
dari para aktor internasional. Ketika para pendukung fanatik globalisasi berpendapat
bahwa dunia akan lebih sejahtera dan makmur karena pasar bebas dan perdagangan
bebas, mereka segera manarik kesimpulan bahwa kedaulatan dan kekuatan negara harus
dipatahkan. Ada dua kekuatan yang menghendaki dibubarkannya negara, dan dua
kekuatan ini saling menguatkan. Yang pertama dari paham ekonomi neo-liberal, dan
yang kedua dari paham globalisme. Keduanya setuju bahwa negara harus dihilangkan,
atau kalau tidak sekurang-kurangnya disiutkan ukurannya.
1. Kampanye “Emoh Negara”
Lewat observasi biasa, orang segera melihat ada sikap “emoh negara” yang
amat kuat di Indonesia yang sebenarnya sudah ada sejak zaman rezim Orde Baru
diamana rakyat begitu menderitaakibat aneka penindasan kejam oleh militer sehingga
mereka mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan negara. Tetapi setelah rezim itu
jatuh pada tahun 1998 sikap “emoh negara” seakan menemukan pelampiasannya.
Sementara itu, diberbagai surat kabar besar beredar seruan-seruan untuk
mengadakan “liberalisme ekonomi” yang dilontarkan oleh analis-analis ekonomi
maupun oleh pengusaha. Secara bertubi-tubi, dituntut agar negara mengurangi
intervensi negara, membiarkan mekanisme pasar bekerja, meningkatkan kompetisi
dan sebagainya. Wacana-wacana yang menghiasi halaman muka koran-koran pada
tahun 1999-2000, semuanya serba mencurigai berulangnya intervensi negara dan
mendorong kearah sikap “emoh negara” dalam ekonomi. Hal ini dianggap oleh
banyak orang masuk akal sebagai bagian dari gerakan “emoh negara”. Secara vulgar
malah sering dikatakan oleh analis-analis bahwa demokrasi sama dengan kapitalisme,
yang manjalankan demokrasi berarti harus memeluk juga kapitalisme.
Tujuan dari “emoh negara” ini pada akhirnya benar-benar melucuti negara
sedemikian rupa sehingga pemenang terakhir adalah sekelompok kecil elit politik dan
pelaku bisnis, lokal maupun global. Korban yang tak terelakkanadalah orang-orang
yang tergolong dalam kelas bawah yakni petani dan buruh.
“Emoh Negara” terjadi juga dibeberapa negara barat seperti di Inggris dan AS
pada tahun 1970-an dan semakin menguat sejak amruknya Uni Soviet dan Blok
Timur, termasuk di negara Cina. Di Inggris terjadi pada tahun 1979, negara harus
mundur dari semua keterlibatan di bidang yang dianggap sebagai biang keladi
merosotnya pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit belanja negara dan seterusnya.
Kemudian di Cina terjadi sejak tahun 1980, dilancarkan usaha-usaha besar-besaran
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

untuk melucuti negara. Tidak lama setelah Cina, Uni Soviet mengikuti jejak Cina
dalam memperteli negara dari perannya di bidang ekonomi.
Tetapi dua tahun sebelum Uni Soviet, sistem komunis sudah berguguran di
negara-negara Eropa Timur yang menjadi negara satelit Uni Soviet. Mulai dengan
Polandia, negara-negara lainnya menyusul satu persatu mengganti sitem komunisme
manjadi sistem kapitalisme. Secara idiologis peristiwa ini sering dirayakan sebagai
kemenangan sebuah sistem terhadap sistem tandingan, tetapi sama dengan yang
terjadi di Amerika Serikat maupun Eropa, inilah saat negara dijadikan kambing hitam
atas kegagalan ekonomi. Bersama-sama mengatakan “emoh negara”.
Ada beberapa pola keterlibatan negara dalam ekonomi yang dibuat oleh
Peirson, antara lain:
 Negara sebagai pemilik, bahwa negara mempunyai dampak dalam ekonomi tentu
tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa negara memiliki baik tanah maupun
modal. Negara-negara modern pada umumnya adalah pemilik tanah terbesar.
 Negara sebagai pemilik dan produsen, yang dimaksud disini adalah perusahaan-
perusahaan milik negara. Di negara-negara sosialis (Uni Soviet, Eropa Timur,
Cina dan sebagainya) perusahaan milik negara menjadai pilar utama dalam
perekonomian.
 Negara sebagai majikan, meningkatkan jumlah perusahaan negara berarti dengan
sendirinya juga meningkatkanperanan negara sebagai majikan (employer).
 Negara sebagai regulator, negara tidak hanya diam dan berbuat apa-apa di
bidang ekonomi. Ia diberi kekuasaan untuk mengadakan intervensi secara
administratif atau secara legislatif untuk mengontrol perilaku aktor-aktor pasar.
 Negara sebagai redistributor, kekayaan memang tidak dibagi rata pada
masyarakat. Maka negara mempunyai negara untuk menjalankan tugas untuk
pemerataan kekanyaan itu dengan cara penarikan pajak.
 Negara sebagai pembuat kebijakan ekonomi, setelah perang dunia ke II banyak
negara Barat maupun non-Barat menetapkan kebijakan-kebijakan yang
berpengaruh pada prilaku ekonomi. Pertama, negara menetapkan serangkaian
target-target ekonomi. Kedua, negara menetapkan kebijakan-kebijakan moneter.
Ketiga, beberapa juga menetapkan kebijakan di bidang pendapatan (income).
Keempat, kebijakan negara yang disebut industri policy yang mempunyai
pengaruh langsung kepada industri.

Segala macam campur tangan (intervention) negara yang ada diatas itu dikritik
dan ditolak oleh para ekonom beraliran neo-klasik atau yang disebut dengan
“neoliberal”. Menurut pandangan mereka, mekanisme pasar (market mechanism) pada
dasarnya sudah cukup untuk menggerakkanroda ekonomi, atau bahwa invisible hand
cukup membuat lancar produksi, distribusi maupun konsumsi. Setiap campur tangan
hanya akan menimbulkan distorsi.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Ada dua teori yang terjadinya “emoh negara” yaitu comparative advantage
dan compatitive advantage yang mengatakan bahwa negara tidak hanya berdagang
tetapi juga bersaing. Dengan dukungan yang kuat dan kokoh dari teori ini maka pasar
harus berkuasa dan negara harus minggir. Ajaran bahwa pasar harus bebas dimana
dengan menggunduli negara inilah yang menjelma menjadi ajaran “neoliberalisme”.
Pendapat yang sering disamakan dengan “fundamentalisme” (market fundamentalism)
ini memang tidak menghendaki negara hilang sama sekali, tetapi negara harus
menjadi “minimal state”. Kalau toh negara dibutuhkan, maka negara hanya perlu
memainkan tiga peran: menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan
menjamin keamanan (defense). Sering sikap ini disingkat dengan slogan “laissez
faire” tetapi secara fundamental ini sama dengan penolakan negara atau “emoh
negara”.
Kendati semua teori di atas benar, tidak semuan pemimpin negara, terutama
negara-negara non-Barat dapat diyakinkan. Di negara-negara wilayah Asia Timur
misalnya, negara tetap memainkan peran yang dominan. Dipakai istilah
“developmental state” untuk menggambarkan cara dan modus intervensi negara di
Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura, dan Cina. Istilah yang dipakai
untuk menerangkan “Asian Mircle” ini pada dasarnya bertentangan secara diametral
dengan yang dipraktekkan di Inggris maupun Amerika Serikat, dua negara yang
begitu bersemangat dalam melucuti negara.
Setelah selesainya perang Dunia II di negara Amerika Serikat muncul istilah
liberalisasi perdagangan, namun hal ini tidak berlangsung lama. Maka muncullah
semacam “kampanye” agar pasar bebas maupun perdagangan bebas diterima dimana-
mana. Ini paling nampak pada kampanye World Bank yang dalam World
Development Report (1995) mengatakan bahwa cara terbaik untuk mengatasi keadaan
kaum pekerja di dunia adalah dengan semakin membuka lebar pada kesempatan-
kesempatan yang ditawarkan oleh ekonomi dunia, ditambah dengan kebijakan-
kebijakan yang “sehat”.
Apa yang dikatakan oleh saudara kembarnya juga tidak berbeda. Sebagaimana
institusi internasional, Iternational Monetary Fund (IMF) terkenal menuntut
“structural adjustment programme”, yakni sebuah program yang ditimpakan pada
negara penghutang untuk menjalankan tiga hal: liberalisme perdagangan, privatisasi,
dan deregulasi. Banyak negara tidak bisa mengelak dengan tuntutan ini karena dalam
keadaan tidak berdaya, dan ini cara yang paling efektif untuk mengkikis peran negara
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

sampai ketingkat paling minimal. Pengalaman di Indonesia membuktikan hal ini, dan
juga negara-negara lain yang menerima bantuan dari IMF. Selain itu, yang
berkepentingan langsung dengan masalah perdagagan dan investasi adalah WTO
(World Trade Organitation).
Agar supaya tekanan untuk meng-emoh-kan negara makin cepat lagi, di dunia
saat ini dikenal berbagai macam “lembaga konstitusi” yang membuat daftar peringkat.
Misalnya, lembaga konstitusi internasional, PERC (Politik and Economic Risk
Consultancy).
Pada awal abad ke-21 ini pemimpin-pemimpin negara setiap hari cuman
mendengar lima kata kunci saja yang berfungsi juga sebagai mantra: 1). Pasar bebas;
2). Perdagangan bebas; 3). Pajak yang rendah; 4). Privatisasi; 5). Deregulasi. Dengan
mengikuti kata ini, maka “emoh negara benar” mendapatkan realisasinya paling
puncak. Negara minggir, sementara para pengusaha (global maupun lokal) bebas
beroprasi kemana saja tanpa restriksi apapun. Negara kini memang sudah menjadi
centeng pera pengusaha yang siap mengusir siapa saja yang coba mengganggu
kenyamanan mereka. Emoh negara pada akhirnya adalah sikap mereduksi negara
menjadi centeng, dan membuang perannya sebagai pengayom bagi seluruh bangsa. Di
sisilah nampak ironi, dan sekaligus kontrasiksi negara modern. Di satu pihak negara
dikerdilkan, tapi dilain pihak negara diperlukan menjadi “centeng” perusahaan asing
(MNC).
2. Negara Centeng dan Globalisasi
Ada dua hipotesa mengenai dampak globalisasi ekonomi pada negara.
Hipotesa yang pertama adalah hipotesa yang dramatis, yang dikemukan oleh Kenichi
Omae. Ia berpendapat bahwa akibat dari globalisasi dirumuskan sebagai gempuran
dari “Four I-s” akan lenyap disebut nation-state. Hipotesa ini memang cocok untuk
dikatakan sebagai “dramatis” karena ia meramalkan suatu hal yang menakutkan yang
menimpa sesuatu yang besar. Hipotesa yang kedua yang dikemukakan oleh Noreena
Hertz (Silent Takeover and the Death Of Demokrasy) kiranya lebih masuk akal. Ia
mengatakan bahwa akibat globalisasi ekonomi, akan terjadilah “the death of
demokrasy”. Para pemimpin negara saat ini, demikian kata Hertz, memang dipilih
oleh rakyat, tatapi mereka lebih memilih sibuk untuk “melayani” pelaku bisnis global
yang tidak memilihnya. Hartz juga mengatakan bahwa para pemimpin negara pada
akhirnya memang tidak berbeda dari “salesman” atau “makelar”. Meraka
menjajakkan negaranya, dengan tawaran-tawaran yang menggiurkan: lalu lintas mata
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

uang yang bebas, pajak yang rendah, buruh yang terkontrol, dan sebagainya. Dengan
kata lain, pemimpin negara itu benar-benar telah “menjual” negaranya kepada
kapitalis global demi kursi empuk yang mereka nikmati. Demokrasi telah mati!
Pemimpin negara (PM dan Presiden) yang nampaknya dipilih oleh rakyat, dan untuk
mengabdi kerakyat, telah membelokkan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok
kapitalis global yang tidak memilihnya.
3. Pertarungan Dua Kubu
Di dunia kini telah dikenal “World Social Forum” sebuah konfrensi yang
diadakan persis bersamaan ketika diselenggarakan “World Economic Forum” yang
terkhir ini diadakan di gedung mewah di Davos, Swiss dan dihadiri oleh para pelaku
bisnis dan kepala negara yang merancang rencana menguras kekayaan global.
Sementara yang pertama diadakan di kota kecil, Porto Alegre, brasil yang dihadiri
individu maupun LSM dari seluruh dunia yang perihatin akan kehancuran dan
kesengsaraan global akibat ulah kapitalis global. Dua forum ini saling berhadapan
satu sama lain, yang masing-masing memiliki pengikut yang kuat.
Titik perdebatan antara dua kubu meruncing dan mengarah kepada tiga pilar
dari sistem ekonomi liberal/neoliberal: World Trade Organitation (WTO), World
Bank, dan IMF. Orang-orang yang tergabung dalam World Economic Forum
memandang tiga organisasi multilateral itu sebagai “kunci” sukses dari sistem
ekonomi liberal. Dunia akan makmur dan sejahtera karena bantuan dari tiga organisasi
itu yang menjalankan supervisi. Sementara mereka yang ada dalam World Social
Forum mengkritik habis kehadiran kedua-duanya. Tokoh-tokoh seperti Walden Bello
bahkan mengatakan bahwa tiga institusi itu harus dibubarkan. Kesengsaraan petani
dan buruh, kerusakan lingkungan adalah akibat dari diterapkannya peraturan dan
ketentuan yang dibuat oleh WTO, WB, dan IMF.

BAGIAN II AKTOR DAN PREDATOR GLOBAL


Pada bagian keduan ini, penulis berusaha menerangkan dan mengupas tentang
dua hal yaitu, Pertama, organisasi-organisasi dunia yang menjadi aktor dan predator
global seperti Korporasi, IMF, WTO dan yang Kedua tentang korupsi global.
1. Organisasi-organisasi Dunia (IGO: Intenational Governmental Organization)
Pada mulanya yang ada hanyalah negara, tidak ada yang sekarang disebut “aktor
global”. Negaralah satu-satunya aktor internasional. Negara dan negara saling berintraksi
dan berembuk untuk menyelesaikan masalah antar mereka, waktu itu, yaitu perang.
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Diplomasi bertujuan untuk menyelasaikan perang. Pertemuan-pertemuan internasional


bertujuan untuk menghentikan perang.
Namun seiring dengan meningkatnya kegiatan manusia di tingkat internasional,
muncullah yang disebut “Organisasi Internasional Pemerintahan” (IGO: Intenational
Governmental Organization). Seiring dengan jumlah organisasi internasional juga
muncul istilah “non-governmental organitation” (INGO) dan yang terakhir disebut
TGO, yang terdiri dari aktor-aktor pemerintah tetapi mereka tidak dikendalikan oleh
kebijakan luar negeri dari negara mereka, seperti Inter-Parlementary Union, Interpol.
Selain itu, ada aktor internasional lain yang sangat menonjol yaitu perusahaan
multinasional atau multinational corporation (MNC). Pertumbuhan perusahaan ini
sangat pesat, baik dalam hal jumalah perusahaan maupun jumalah aset yang dikuasai.
Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas
perekonomian global. Sebanyak 500 korporasi besar papan atas mengendalikan 70
persen perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80
persen hasil industri dunia. Karena kuatnya ekonomi dari MNC, yang bahkan bisa
melebihi ekonomi sebuah negara, MNC dipandang sebagai aktor yang penting di zaman
globalisasi saat ini.
Ada banyak aktor internasional lain yang tidak dibicarakan dalam buku ini,
seperti teroris internasional, global international crime, dan individu. Yang paling
menarik dibahas dalam buku ini adalah bagaimana aktor global itu menimbulkan negara
centeng. Penulis juga mengutip pembicaraan Ngaire Wood yang berbicara tentang tiga
IGO yang disebutnya globalizers, yang memaksakan globalisasi kepada negara-negara,
terutama negara lemah. Mereka ini adalah IMF, World Bank, dan WTO. Hal ini dapat
dikatakan yang menjalankan tugas untuk membuat gerak globalisasi sukses. Negara-
negara di seluruh dunia, terutama negara-negara Dunia Ketiga, mereka paksa untuk
menjalankan “Washington Consensus”, sebuah kata sandi untuk mengatakan tiga
kebijakan neoliberalisme, yaitu deregulasi, privatisasi, dan perdagangan bebas. Asalkan
tiga kebijakan ini dijalankan dengan konsisten, maka dunia ini akan menjadi tanah
lapang luas tanpa sekat-sekat, dan peran negara dikikis sampai ketingkat paling minimal.
Globalisasi akan menjasi the only game in town.
Selain mengutip perkataan Ngaire Wood penulis juga mengutip tulisan David
Korten (when corporations rule the world) yang menjalaskan secara gamblang sepak
terjang MNC ditingkat Dunia sedemikian rupa sehingga banyak negara, terutama negara
Dunia Ketiga, yang kewalahan menyusun kebijakan yang menguntugkan rakyatnya.
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Misalnya beberapa MNC besar ini sebenarnya telah mebangun sebuah jaringan monopoli
yang dengan mudah mengatur harga dan menguasai pasar global. Perusahaan tingkat
nasional dengan skala yang lebih kecil tidak mungkin bersaing dengan mereka. Yang
terjadi malah mereka bersaing satu sama lain untuk memperolah order dari MNC sebagai
bagian dari strategi outsourcing. Inilah persaingan yang menggorok leher yang
mengiring pada jurang kehancuran para buruh dan lingkungan hidup (istilahnya : race to
the bottom).
Negara yang sudah dicukur perannya oleh IMF, World bank, dan WTO tidak
berkutik, tidak manpu berbuat apa-apa, mengahadapi gerakan MNC ini. Juga seandainya
negara ingin berbuat sesuatu. Negara harus memilih atau dia membiarkan semua ini
berjalan seperti apa adanya, atau dia kehilangan sumber pemasukan yang dari perusahaan
itu. Tentu negara memilih yang pertama, bahkan juga negara-negara demokratis. Sekali
lagi, persoalannya adalah survival of the state. Demi yang satu ini negara rela menjadi
centeng bagi para pengusaha, pengusaha lokal, maupun pengusaha global.
2. Korupsi Global
Penulis dalam hal ini mengambarkan tentang bagamana kuropsi terjadi di
berbagai belahan dunia yang mambuat kita terkejut dan tercengang dengan apa yang
terjadi secara global di berbagi negara. Seperti yang terjadi di Tanaka pada tahun 1971,
dimana seorang Perdana Mentri jatuh dari jabatan gara-gara kasus suap oleh perusahaan
Lockheed Corporation (AS). Selain di Tanaka ada beberapa kasus lain yang berturut-
turut muncul yang memperlihatkan betapa pelaku bisnis internasional telah melakukan
korupsi (suap) kepada sebuah pemerintah negara lain. Peraturan di Jerman sangat ironis
dengan peraturan di AS, Jerman memberikan keringanan membayar pajak kepada
perusahaan yang mengeluarkan dana untuk menyuap dengan syarat mencantumkan nama
orang yang memberi suap. Di Amerika Serikat terkenal dengan UU yang melarang
perusahaan Amerika memberikan suap, terbukti tidak bebas dari suap menyuap ini. AS
mendapat nilai 5,3 dari skala 10. Menurut majalah Forum pula, nilai ini sama buruknya
dengan yang diperoleh oleh pengusaha-pengusaha Jepang, tapi lebih buruk dari pada
nilai yang diperoleh perusahaan-persahaan dari Perancis, Spanyol, Jerman, Singapura,
dan Inggris. Yang paling sedikit melakukan suap adalah perusahaan-perusahaan dari
Australia, Swedia, Swis, Austria, Kanada, Belanda, dan Belgia.
Negara-negara di Dunia Ketiga yang sedang giat membangun merupakan
makanan empuk bagi koruptor global. Tidak terlepas juga di Indonesia yang akhir-akhir
ini sudah masuk dalam 5 besar negara-negara terkorup di Dunia.
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Yang paling penting dalam pambahasan bab ini, penulis menggunakan istilah
predator global kepada negara-negara yang mengeruk keuntung terhadap negara-negara
yang sedang berkembang dengan dalih investasi dan bantuan (negara-negara yang
terkena bencana) yang diberikan kepadanya dalam jumlah yang tidak sedikit. Suatu
contoh yang terjadi di Indonesia saat ini, dimana negara dalam kedaan cengkraman-
cengkraman perusahaan asing. Bank-bank utama di Indonesia (sejumlah 23) kini telah di
kuasai oleh bank-bank asing dengan ukuran lebih dari 44,5 persen sahamnya dikuasai
oleh bank asing. Kekanyaan alam berupa minyak, tembaga, nikel, telah dikuasai oleh
MNC seperti Exxon, Chepron, Freeport, Newmont. Semuanya hanya memberikan
keuntungan yang sangat kecil kepada Indonesia.

BAGIAN III NEGARA CENTENG DAN WARGA NEGARA


Ruang lingkup bagian ketiga ini penulis mengupas terkait dampak globalisasi
pada warga negara mulai dari petani, buruh, hingga penduduk asli.
Penulis dalam menggambarkan tentang warga negara mengutip tulisan T.H.
Marshall, salah seorang sosiolog penting yang mangamati munculnya konsep warga
negara, semua hak warga negara itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: Civil, Political,
Social. Yang pertama adalah hak warga negara untuk menikmati kebebabasan,yang
kedua adalah hak untuk ikut dalam pelaksanaan kekuasaan dan yang ketiga hak untuk
memperoleh segala pelayanan sosial, bahkan termasuk hak untuk hidup sebagai manusia
yang beradab. Tentu saja ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dari manusia
dari perang Dunia II usai. Sampai sekitar tahun 1980-an negara tidak lagi dapat begitu
saja menindas, manganiaya atau mencampakkan warga negaranya.
Munculnaya individualisme pasar, paham negara sedikit demi sedikit tergerus,
begitu pula paham warga negara. Begitu negara memainkan peran sebagai “centeng” dan
sebagai “makelar”, komitmennya terhadap warga negaranya menyusut. Karena tugasnya
adalah menjadi centeng perusahaan multinasional, maka warga negara akan dihalau pergi
jika warga negara mangadakan tindakan yang membahayakan perusahaan itu. Karena
tugasnya sebagai makelar bagi perusahaan multinasional, maka warga negara akan
dihitung dalam paket yang ditawarkan dan dijual kepada perusahaan tersebut. Begitulah,
negara melepaskan tanggung jawabnya terhadap warga negara.
Petani dalam Jeratan Globalisasi Pertanian
Masuknya MNC industri pangan ke Dunia Ketiga ini selalu dikampanyekan
sebagai berkat karena mereka modal dan teknologi. Produksi pangan dapat ditingkatkan
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

lewat bioteknologi sehingga secara teoritis dunia tidak akan mengalami kelaparan. Tetapi
apa yang terjadi! Malah sebaliknya kedatangan MNC justru menggoncang pertanian
negara yang didatangi, disamping kehancuran ekologi, belum lagi amsalah sosial yang
menjadi akibatnya. Seperti nampak pada contoh-contoh di atas globalisasi industri
pangan malah membuat petani menderita, bahkan kelaparan.
Pertanyaan yang sangat fundamental dalam bab ini adalah nampaknya ada
hubungan sebab-akibat antara kesengsaraan petani dan negara. Lho, mengapa begitu?
Jawabannya adalah karena negara telah “menjerumuskan” petani dalam kesengsaraan
karena negaralah yang menentukan menentukan ekonomi makro. Kedua, negara pula
yang memberi ijin masuknya MNC industri pangan kewilayahnya untuk beroprai.
Negara nampaknya tidak berpihak kepada warganya, bahkan menorbankan mereka!
Globalisasi dan Dampaknya Pada Buruh dan Masyarakat Lokal
Pada awalnya tidak ada “globalisasi”, yang ada hanya perdagangan antar pulau,
dan perdagangan antar negara. “Globalisasi” dalam arti sesungguhnya – intensif,
ekstensif, dan cepat – baru muncul sekitar tahun 1990-an, ketika seluruh dunia, tanpa
kecuali masuk dalam pusaran itu. Hal ini didorong, secara kebetulan oleh runtuhnya Blok
Uni Soviet dengan sistem sosialisnya.
Seiring dengan berkembangnya globalisasi, banyak negara yang manjadikan ini
sebagai tujuan yang akan dan harus dicapai dengan berbagai macam cara. Kalau proyek
pemabangunan nasional dijalankan oleh pemerintah nasional dan terarah kepada
kepentingan nasional, Proyek Globalisasi berarti mambangun seluruh dunia dan isinya
menuju kesejahteraan global. Caranya memakai mekanisme pasar bebas dan pelakunya
adalah perusahaan multinasional, institusi internasional (WB, IMF dan WTO), dan juga
LSM (lokal maupun internasional).
Apa dampaknya semua itu pada perburuhan dan masyarakat lokal? Bagian ini
mencoba untuk menjawab pertanyaan itu dan menajawab dalam empat langkah.
Pertama, seluruh dunia tersedot pusaran “proyek globalisasi”. Kedua, proyek globalisasi
ini mendorong munculnya pasar tenaga kerja diseluruh dunia yang dapat dikeruk oleh
pengusaha lokal maupun internasional. Ketiga, karena mekanisme pasar bebas itu
dijalankan, maka diterapkan pola produksi yang menganut lean produktion. Peralihan ini
menyebabkan buruh terpuruk-puruk! Pada akhirnya, keempat ditanyakan dimana peran
negara. Mengapa negara diam? Tidak menulurkan tangan kepada para buruh?

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

BAGIAN IV MENYIKAPI GLOBALISASI


Dalam ruang lingkup bab ini, ada beberapa permasalahan yang paling disoroti
oleh penulis yaitu terkait dengan tilisan Jeffrey Sachs dalam bukunya yang berjudul The
End of Poverty, beliau seorang ekonom kondang dari Universitas Columbia. Dalam
bukunya ia mengatakan bahwa orang miskin adalah bukan orang miskin itu sendiri,
melainkan merupakan urusan banyak orang, urusan global. Dan sisi lain, ia mengatakan
situasi kemiskinan harus dipahami sebagai suatu yang menjebak. Dan istilah yang
dipakai adalah jebakan kemiskinan (poverty trap). Betapa pun orang ingin keluar dari
jebakan, ia tidak mampu melakukan hal itu dengan kekuatan sendiri. Benar-benar seperti
hewan hutan yang tertangkap masuk jebakan.
Selanjutnya Sachs mengusulkan bahwa jebakan kemiskinan harus langsung
ditangani dan digarap, yaitu dengan memberikan bantuan langsung. Tetapi dia tidak
mengatakan ingin menciptakan sikap ketergantungan kepada bantuan. Namun disamping
itu, ada dua pendekatan yang digunakan oleh Sachs. Pertama, dia menempatkan peran
“public sector” dalam seluruh proses menagatasi kemiskinan. Bantuan yang dibagikan
kepada public sector itu diarahkan untuk modal manusia (kesehatan, pendidikan, dan
nutrisi), infrastruktur (jalan, listrik, air dan sanitas, perlindungan lingkungan), modal
alami (pemeliharaan keragaman hayati serta ekosistem) modal lembaga publik
(administrasi publik yang dikelola baik, sistem pengadilan, polisi), dan bagian dari modal
pengetahuan (penelitian ilmiah untuk kesehatan, energi, pertanian, cuaca dan ekologi).
Dan yang Kedua adalah ia menghidupkan peran PBB.
Dari sudut yang berbeda, asumsi Sachs sangat bertentangan dengan asumsi IMF
maupun World Bank. Dua organisasi ini kini lebih suka berbicara “global governance”
yang tetap mengandalkan mekanis pasar, sementara Sachs cendrung memakai “global
government” di samping pasar untuk menyelesaikan masalah kemiskinan.
Selain pandangan Jeffrey Sachs, dalam bab ini juga penulis memetakan 10
keperhatinan dan 10 pelanggaran besar yang ditimbulkan oleh perusahaan multinasional
(MNC) di zaman globalisasi. Pada 10 bidang ini MNC telah menimbulkan masalah
sosial, dan meninggalkan jejak yang mengerikan.
Sepuluh Keprihatinan
New Democracy merupakan alternatif terhadap demokrasi yang sekarang ada.
Demokrasi baru ingin membuat rakyat benar-benar berdaulat, dengan membuat pelaku
bisnis (domestik maupun internasional) tunduk kepada kontrol rakyat.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Masih segaris kedaulatan rakyat, Subsidiarity berarti menuntut agar apa yang
dapat diputuskan ditingkat bawah, tidak diputuskan ditinggkat atas. Saat ini banyak
keputusan diambil oleh pusat tanpa menghiraukan daerah atau lokal. Lewat Subsidiarity
diperjuangkan otonomi dan independensi penduduk setempat.
Model ekonomi yang disebut “ekonomi pertumbuhan” mengandaikan sumber
daya alam yang tak terbatas, yang dapat dikeruk dan dikuras sampai tandas. Ternayata
asumsi ini meleset jauh. Ekonomi pertumbuhan terbukti mendorong terjadinya
penghancuran lingkungan: sungai, gunung, lautan, dan udara. Stelah hancur dan habis,
tidak ada kelanjutan (Ecological Sustainability).
Yang keempat adalah Common Heritage (warisan bersama), suatu hal yang
langsung bertabrakan dengan program privatisasi. Umat manusia memiliki warisan
bersama ini berupa ekologi, kebudayaan dan pengetahuan, sumberdaya modern yang
berupa pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Bahaya besar yang sedang
mengancam sekarang bahwa warga negara harus membayar untuk memakai semua itu
akibat privatisasi yang didalangi oleh MNC.
Tentang Diversity atau keragaman: sekalipun tidak direncanakan sedemikian
rupa, globalisasi ekonomi secara sistematis tidak hanya mengancam warisan bersama
umat manusia tetapi juga menghilangkan keregaman. Hal ini dianggap sebagai hambatan
besar oleh MNC.
Human Rights, banyak orang yang kehilangan hak-hak asasi mereka seperti
perumahan, makanan, air bersih, dan sebagainya, itupun disebabkan oleh ulang
globalisasi yang mendukung MNC.
Jobs, Livehood, Employment, hal ini terkait langsung dengan kaum buruh. Ketika
MNC merambah dunia, buruh-buru diseluruh dunia seakan menemukan kepahitan dan
cengkraman yang menakutkan bekerja denagan mereka.
Food security and safety, pada zaman sekarang produksi makanan juga
mengalami komodifikasi dan privatisasi. Memang produksi makanan meningkat seiring
dengan kemajuan teknologi, tatpi hal ini justru tidak mengurangi orang menderita
kelaparan. Hal ini terjadi karena sepak terjang dari MNC yang sengaja merugikan dan
menindas kaum petani.
Equality (kesamaan) yang terjadi sekarang adalah ketimpangan skala global.
Begitu banyak orang yang terpinggirkan dari globalisasi ekonomi dan begitu sedikitnya
orang yang menikmati mamfaat dari globalisasi ekonomi. Terjadi jurang pemisah yang
mengerikan terjadi antara si miskin dan si kaya.
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Kerusakan yang menimpa masyarakat dan lingkunagn saat ini sudah terlalu parah
ketika ditemukan. Suangai disemari bahan kimia beracun dari sebuah perusahaan
diminum dan dipakai bertahun-tahun. Ketika banyak orang sakit dan mati, baru orang
tersadar tetapi terlambat. Peristiwa ini sudah terlalu sering terjadi karena semua ini
berkaitan dengan teknologi. Ketika sejenis teknologi ditemukan dan dipakai orang tidak
menyadari akibat yang ditimbulkan. Precautionary Principle mengatakan bahwa
perusahaan sejak dini harus memberi tahu kepada masyarakat semua resiko dari
teknologi yang akan dan sedang kita pakai. Seandainya suatu perusahaan tidak
menerapkan perinsip ini, maka perusahaan itu dapat dituntut.
Sepuluh Pelanggaran
Sepuluh pelanggaran ini terkait dengan dengan apa yang diuraikan diatas yaitu
MNC melanggar demokrasi, tidak menjalankan subsidiaritas, tidak melindungi lingkunga
hidup, merusak common heritage, menghancurkan keragaman, melanggar hak-hak asasi
manusia, merusak pekerjaan, kehidupan dan kesempatan kerja, tidak menyediakan
kecukupan pangan dan keselamatan pangan, melanggar kesamaan, dan tidak menerapkan
“Precautionary Principle”.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

B. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan didalam buku ini adalah bahwa
peran negara saat ini sudah mulai pudar dan di kerucutkan, itu di mulai dengan
datangnya istilah era globalisme dan era neoliberalisme. Kedua kekuatan ini saling
menguatkan satu sama lain, sehingga negara dibuatnya tidak berkutik, bahkan dijadikan
“centeng” bagi para saudagar kaya atau dengan kata lain globalisasi membuat negara
menjadi semakin kerdil. Dan para pemimpinnya mau tidak mau harus menjadi
“salesman” atau makelar untuk negaranya. Di lain pihak kedua kekuatan ini setuju
dengan pendirian Friedman bahwa ganti negara dengan pasar, atau dengan kata lain
“emoh negara” negara harus dihilangkan, atau kalu tidak sekurang-kurangnya diciutkan
ukurannya.
Seiring dengan meningkatnya peran globalisasi dan neoliberal muncul juga istilah
“aktor dan predator global” yang senantiasa bergerak untuk mendirikan “negara
centeng”. Yang paling besar pengaruhnya terhadap kehidupan bernegara saat ini adalah
perusahaan multinasional atau multinational corporation (MNC), IMF, WB, dan WTO.
Mereka ini dapat dikatakan sebagai penggerak globalisasi sukses. Di Indonesia menurut
Siswono saat ini berada dalam cengkraman perusahaan asing. Bank-bank utama di
Indonesia (sejumlah 23) kini telah di kuasai oleh bank-bank asing dengan ukuran lebih
dari 44,5 persen sahamnya dikuasai oleh bank asing. Kekanyaan alam berupa minyak,
tembaga, nikel, telah dikuasai oleh MNC seperti Exxon, Chepron, Freeport, Newmont.
Semuanya hanya memberikan keuntungan yang sangat kecil kepada Indonesia.
Ada beberapa dampak yang ditimbulkan oleh aktor global diatas. Pertama,
seluruh dunia tersedot pusaran “proyek globalisasi”. Kedua, proyek globalisasi ini
mendorong munculnya pasar tenaga kerja diseluruh dunia yang dapat dikeruk oleh
pengusaha lokal maupun internasional. Ketiga, karena mekanisme pasar bebas itu
dijalankan, maka diterapkan pola produksi yang menganut lean produktion. Peralihan ini
menyebabkan buruh terpuruk-puruk!
Kesimpulan terkhir dari pembahasan buku ini adalah negara saat ini berada dalam
momok globalisasi yang lambat laun akan melenyapkan negara.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

BAB III
TANGGAPAN TERHADAP ISI BUKU
Setelah membaca buku berjudul “NEGARA CENTENG, Negara dan Saudagar di
Era Globalisasi” yang ditulis oleh I. Wibowo, Ph.D, di terbitkan oleh Kanisius,
Jogjakarta Tahun: I, 2010 dan tebal bukunya adalah 270 halaman. Kami seakan
mendapat pencerahan yang sangat dalam. Dengan bahasa ilmiah yang lugas dan mudah
dicerna, penulis menjelaskan dengan mendalam tanpa ada kesan berpanjang lebar.
Disinilah letak kelebihan dari buku ini. Pembaca tidak akan bosan membaca, karena
uraian pada tiap bagian sangat singkat namun padat dan kaya makna.
JUDUL buku ini amat provokatif: Negara Centeng! Bagaimana eksistensi negara
di tengah pusaran globalisasi menjadi fokus buku ini. Mengandalkan pendekatan
struktural, analisis ekonomi dan politik ditangani bersamaan, tidak terpisah. Negara
centeng merupakan metafora yang bermakna pelindung bayaran dari sekelompok kecil
saudagar, nasional, maupun global (hlm 7). Negara centeng lahir dari dampak globalisasi
yang merekomendasikan pasar bebas dan perluasan kekuasaan ekonomi-politik
(http://radjanusantara.blogspot.com). Di mana kedudukan negara centeng di antara
literatur tentang negara? Arief Budiman dalam Adnyana (Jawa Pos, 2010:6) membagi
teori negara menjadi dua kelompok besar. Pertama, teori yang menekankan negara
sebuah lembaga mandiri, yang punya kepentingan dan kemauan sendiri. Kedua, teori
yang mengatakan negara bukan lembaga mandiri. Negara hanya arena bagi kekuatan-
kekuatan sosial bertarung untuk saling menguasai.
Pada kelompok kedua itu, terdapat dua varian. Pertama, kaum pluralis yang
menganggap negara hanya melaksanakan kepentingan yang beraneka ragam di
masyarakat. Dalam cara pandang tersebut, kebijakan negara merupakan hasil kompromi
dari kekuatan-kekuatan sosial itu. Kedua, varian kaum Marxis, yang mengatakan negara
dikendalikan kelompok paling dominan, yakni kaum kapitalis. Negara centeng termasuk
varian Marxis dari kelompok teori kedua. Menurut saya, negara centeng mirip gagasan
negara panitia borjuisnya Karl Marx. Bedanya, negara centeng tidak otonom. Negara
centeng sama sekali dikuasai kaum saudagar, terutama saudagar global. Dengan
demikian, konsep negara centeng cenderung bersifat determinis. Para penyokong
globalisasi meyakini kemakmuran masyarakat terwujud bila mekanisme pasar menjadi
satu-satunya aturan main dalam perekonomian. Peran negara harus dibatasi pada tiga
tugas pokok: menyediakan infrastruktur, menjamin penegakan hukum, dan keamanan.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Lima kata kunci bagi pemerintah adalah pasar bebas, perdagangan bebas, pajak
yang rendah, deregulasi, dan privatisasi (hlm 53). Ajaran bahwa pasar harus bebas di
mana-mana dengan menggunduli peran negara itulah yang menjelma menjadi ajaran
”neoliberalisme”. Ekonom yang haluannya berseberangan telah membantah kisah sukses
globalisasi dan neoliberalisme (Jawa pos, 2010:6). Perusahaan multinasional atau
multinational corporations (MNC), lembaga keuangan internasional (IMF, World Bank,
dan WTO), dan pemerintah negara-negara maju merupakan pendukung utama
globalisasi. Kerja sama ”segi tiga” antara pemerintah negara maju, lembaga keuangan
internasional, dan MNC menekan pemerintah di negara (berkembang) membuka akses
pasarnya. Biasanya, lembaga keuangan internasional memberikan pinjaman dengan
imbalan pemerintah negara bersangkutan membuat kebijakan membuka akses pasar
domestiknya. Pada kasus Indonesia, IMF menuntut ”structural adjustment programme”,
yakni program yang ditimpakan pada negara pengutang untuk menjalankan tiga hal:
liberalisasi pasar, privatisasi, dan deregulasi (hlm 47). Kekuatan saudagar global tidak
bisa dipandang enteng. Pada 1983 lima bank sentral (Amerika Serikat, Jerman, Jepang,
Inggris, dan Swiss) digabung untuk menguasai cadangan devisa USD 139 miliar,
sedangkan kekuatan pasar uang cuma USD 39 miliar. Tetapi, pada 1986 keduanya telah
mencapai titik seimbang dan 1992 kekuatannya telah bergeser. Lima bank sentral hanya
memiliki cadangan devisa USD 278 miliar, sedangkan di pasar uang beredar USD 623
miliar. Kini para pedagang di pasar memiliki kekuatan 2:1 terhadap bank sentral (hlm
58). Selain pasar uang, 200 korporasi papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas
perekonomian global. Sebanyak 500 korporasi papan atas mengendalikan 70 persen
perdagangan dunia dan 1.000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80 persen hasil
industri dunia (hlm 88).
Jumlah MNC dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 1988 tercatat 18.500
MNC. Belum sampai 10 tahun, angkanya sudah melambung menjadi 59.902. Pada 2000
jumlah MNC telah mencapai 63.000 (hlm 100). Penulis mengidentifikasi beberapa
kebijakan nasional sejalan dengan agenda globalisasi. Misalnya, UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 7/2004 tentang
Sumber Daya Air, UU No 2005/2007 tentang Penanaman Modal Asing, dan UU No
25/2007 tentang Badan Hukum Pendidikan. Begitu pula penguasaan aset ekonomi dan
kekayaan alam oleh asing kian bertambah. Saham bank-bank utama di Indonesia (23
buah) kini telah dikuasai bank-bank asing hingga 44,5 persen lebih. Kekayaan alam
berupa minyak, tembaga, dan nikel dikuasai korporasi multinasional seperti Exxon,
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

Chevron, Freeport, dan Newmont. Ironisnya, Indonesia membuka pasarnya lebar-lebar


untuk produk-produk seperti daging sapi, susu, kedelai, bawang putih, tebu, buah-
buahan, dan garam (hlm 133-134). Dengan kekuatan ekonominya, MNC mampu
mengadu negara satu dengan negara lain, politikus satu dengan politikus lain, memilih
mana yang memberikan syarat-syarat lebih ringan. MNC mendatangi kepala-kepala
pemerintahan, menawarkan lapangan pekerjaan, investasi di bidang infrastruktur, dan
pertumbuhan ekonomi. MNC akan melihat pemerintah mana yang mampu memberikan
penawaran tertinggi. Jika sebuah negara menetapkan upah buruh tinggi, pajak yang
tinggi atau syarat-syarat ketat dalam mendirikan pabrik, MNC akan ”mengancam”
hengkang dari negara tersebut (hlm 62-63). Globalisasi merugikan rakyat kelas bawah.
Kepentingan MNC yang menekan upah akan merugikan kalangan kaum pekerja.
Kepentingan MNC membayar pajak serendah-rendahnya akan mengurangi pendapatan
negara. Selanjutnya, kemampuan pemerintah memberikan tunjangan sosial bagi rakyat
kelas bawah jadi berkurang. Dampak globalisasi bagi demokrasi sangat memprihatinkan.
Dalam literatur lain dikatakan bahwa kekuatan globalisasi ekonomi atau globalisasi
kapitalisme adalah liberalisme ekonomi. Ilmuwan menyebutnya kapitalisme pasar bebas.
Berbeda dengan kapitalisme kesejahteraan, yaitu kapitalisme yang diregulasi dan
direformasi, kapitalisme ini tidak membiarkan pasar berjalan sebebas-bebasnya tanpa
kendali, tapi perlu diatur agar kapitalisme memberikan keuntungan dan keadilan sampai
orang-orang dibawah tingkat kesejahteraan (http://najwalia.multiply.com).
Persoalannya, kepada siapa sesungguhnya pemimpin negara itu mengabdi?
Noreena Hertz mengatakan, globalisasi ekonomi menjadi lonceng ”kematian demokrasi”.
Pasalnya, hasil akhir kebijakan negara cenderung menguntungkan kelompok dominan
(kaum kapitalis). Para pemimpin politik yang dipilih rakyat ternyata sibuk melayani
pelaku bisnis global daripada rakyat yang memilihnya. Gejala itu tidak berarti sistem
demokrasi telah mati.
Partai politik tetap eksis. Pemilu reguler tetap terselenggara. Pers relatif bebas dan
seterusnya. Namun, semua itu hanya kamuflase atau pertunjukan teater saja. Di balik
semua itu, yang terjadi sesungguhnya pertarungan antarkapitalis. Partai-partai
mengadakan deal dengan para kapitalis. Kemenangan sebuah partai pada akhirnya adalah
kemenangan kelompok kapitalis tertentu. Buku ini memberikan wacana alternatif tentang
negara di tengah hiruk-pikuk demokrasi dan globalisasi yang kian menderu-deru.
Di bagian akhir penulis mengatakan, buku ini tidak mendukung fasisme,
otoritarianisme, komunisme, atau varian-varian lainnya. Semua bentuk kesewenang-
Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

wenangan harus ditolak, terutama oleh negara. Sistem demokrasi dengan segala
kekurangannya harus tetap didukung sebagai sitem yang dapat diapakai untuk
membangun negara yang kuat. Di dunia saat ini ada banyak contoh negara yang kuat
dengan sistem demokrasi yang bagus. Pesan ini seakan membuat kita optimis dengan
pendidrian bahwa negara akan tetap berjaya menghadapi segala macam cengkraman,
rongrongan, dan bantaian dari segala penjuru dengan tetap berpegang pada asas-asas
demokrasi yang benar.
Namun ada yang perlu dingat yaitu perkataan Paul Valery, filsuf Prancis yang
mengatakan “Si l’État est fort, il nous écrase; s’il est faible, naus pérrisons”. Kalau
negara itu perkasa, kita digilas. Kalau ia lunglai, kita binasa.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia
NEGARA CENTENG
Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
I.Wibowo, 2010. Kanisius, Jogjakarta

DAFTAR PUSATAKA

Wibowo. I. (2010). Negara Centeng, Negara dan Saudagar di Era Globalisasi.


Jogjakarta. Kanisius.
Adnyana. Y. (2010). Negara di Tengah Momok Globalisasi. Jawa Pos. Edisi Minggu 5
September 2010. Halaman 6.
Najwalia. (2008). Pengaruh Globalisasi terhadap kehidupan Bangsa dan Negara. http://
najwalia.multiply.com/journal/item/78. Diakses pada tanggal 16 Nopember 2010.
........ (2008). Negara & Mitos Globalisasi. http://radjanusantara.blogspot.com/2008.html.
Diakses pada tanggal 16 Nopember 2010.

Laporan Buku
Oleh Sawaludin/1006995
PKn, SPS Universitas Pendidikan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai