Anda di halaman 1dari 9

Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio

Sebelum kita mengetahui apa itu erzat kapitalisme atau kapitalisme semu, akan lebih baik bila
kita mengetahui apa itu kapitalisme tulen. Yoshihara Kunio menyatakan bahwa kapitalisme tulen
adalah kapitalisme yang berkembang dinamis di Eropa pada abad ke19 yang berhasil membawa
kawasan tersebut keluar dari system feodal menuju kapitalis industrialis yang melahirkan
kemajuan teknologi yang pesat dan kemajuan ekonomi yang sangat luar biasa. Inilah system
yang juga berkembang di amerika Serikat, Jepang dan hasilnya pun sama dengan daerah Eropa,
yaitu perkembangan teknologi dan peningkata ekonomi. Sedangkan kapitalisme ezrat adalah
kapitalisme semu atau hanya merupakan subordinat dari negara ekonomi kuat sehingga bukanlah
kapitalisasi yang berkembang berdasarkan perkembangan sektor swasta negara
tersebut,melainkan hanya merupakan perifikasi dari negara lain. Yoshihara Kunio menyatakan
ada dua alasan kenapa ezrat kapitalisme terjadi di Asia Tenggara.
Yang pertama adalah campur tangan pemerintah yang tidak semestinya, Inggris pada abad ke19
yang merupakan awal perkembangan liberalisasi ekonomi melalui revolusi industrinya
mendapatkan jaminan dari negara mengenai kebebasan ekonomi. Negara hanyalah bersifat wasit
atau komisioner yang memastikan jalan pasar agar tetap disiplin. Berbeda di Asia
Tenggara,campur tangan pemerintah yang bersifat berlebihan menghasilkan rente-rente birokrat ,
yang menghancurkan kebebasan berkompetisi dari system kapitalisme itu sendiri, birokrasi rente
ini akan membuat persaingan yang tidak sehat, karena adanya perlakuan khusus terhadap
beberapa pengusaha (contonya kebangkitan pengusaha cina di Asia Tenggara).
Yang kedua adalah, kapitalisme di Asia Tenggara merupakan kapitalisme tingkat lanjut, dengan
artian Asia Tenggara baru melakukan kapitalisasi setelah kapitalisasi di wilayah lain sudah
melaju sedemikian jauh. Hal ini menyebabkan ketertinggalan teknologi. Sedangkan Marx
menyatakan bahwa dasar dari kemenangan persaingan dalam kapitalisme adalah penguasaan
teknolgi dalam membantu proses industry. Karena teknologi yang tinggi akan menghasilkan
efisiensi dalam berproduksi, sehingga akumulasi nilai lebih dapat ditingkatkan.

Negara yang dikuasai Modal Asing


Alasan pertama kenapa Asia Tenggara dinyatakan sebagai kapitalisme semu adalah, karena
negara-negara di Asia Tenggara dikuasai oleh modal-modal asing yang kuat sehingga swasta
dalam negeri tidak dapat bersaing. Investasi yang paling lazim saat ini di Asia Tenggara adalah
investasi dari perusahaan yang berasal dari luar negara, Yoshihara sendiri membagi investasi
tersebut menjadi 3, yaitu :
1.

Investasi Horizontal : Investasi ini adalah investasi yang dilakukan dengan membiayai

suatu operasi dari perusahaan asing yang berada didomisilinya. Investasi ini biasanya dilakukan
untuk menghemat biaya produksi dengan mendirikan pabrik dinegara lain atau tersedianya bahan
baku yang melimpah dinegara tersbut, investasi inipun pada orientasinya dibagai atas dua ,yaitu
pemenuhan pasar local atau biasa juga disebut investasi substitusi Impor, atau orientasi ekspor
(untuk dikirim lagi kenegara lain). Contohnya adalah Heineken mendirikan pabriknya di
Indonesia karena biaya pengangkutan yang tinggi bila diproduksi dari negara asalnya, Procter
dan Gamble memulai produksi sabun dan mentega di Filipina karena bahan baku yang melimpah
disana, yaitu minyak kelapa. Sedangkan contoh ekpor oriented adalah kompleks kimia Sumitamo
dibuat di Singapur karena biaya produksi yang meningkat di Jepang serta revaluasi yen.
2.

Investasi Vertikal : investasi dengan menanamkan modal pada produsen local, seperti

Dunlop yang menanamkan modal pada perkebunan karet di Sumatera


3.

Investasi Konglomerat : investasi ini lebih merupakan diversifikasi dari pemodal,

contohnya adalah perusahaan manufaktur gula di Jepang melakukan investasi pada sebuah hotel
di Malaysia. Nonura sebuah perusahaan perbankan Jepang memasuki usaha perkebunan di
Indonesia.
Selain itu investasi yang ada di Asia Tenggara dikuasai oleh pemilik modal Cina, Cina yang
dimaksud disini bukan mereka yang mempunayi kewarganegaraan RRC (Republik Rakyat Cina).
Melainkan etnis cina. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai garis keturunan cina, mereka
mempunyai kewarganegaraan ditempat mereka berdomisili (misalnya etnis cina yang tinggal di
Singapura, diakui secara legal oleh negara sebagai warga negara Singapura). Awal dari dinasti
cina di Asia Tenggara mungkin jauh lebih tua daripada awal sejarah negara-negara di Asia
Tenggara. Imperium bisnis cina telah dimulai sejak abad ke 17,dimana para saudagar cina yang

bertujuan untuk berdagang mulai menempati kawasan-kawasan pelabuhan dan mengembangkan


usahanya disana. Modal cina mengalami surut pada masa kolonialisasi, system ekonomi yang
diskriminatif membatasi pergerakan bisnis saudagar-saudagar cina saat itu, namun setelah masa
kolonialisasi pedagang cina kembali mengalami masa kejayaannya.
Hal utama yang membuat pengusaha local tidak mampu bersaing dengan pengusaha cina adalh
jaringan-jaringan bisnis yang mereka punya, sehingga mereka dapat menguasai perekonomian
negara-negara di Asia Tenggara

Para Pemburu Rente


Pemburu rente adalah kapitalis yang menjalin hubungan dengan pemerintah. Para pemburu rente
akan mencari peluang kebaikan hati pemerintah demi keuntungan mereka, baik itu penyerahan
sumber daya, proteksi atau monopoli pasar. Yoshihara membagi para pemburu rente menjadi
beberapa jenis,yaitu :
1.

Kapitalis Kraton : kapitalis kraton adalah para kapitalis yang berasal dari internal kerajaan-

kerajaan yang ada di negara-negara Asia Tenggara. Contohnya adalah : salah satu sultan
Yogja,Hamengkubono IX mempunayi saham yang besar dikomplek merlin (komplek pertokoan
di Jakarta) dan keratin Jogja pun merupakan pemilik Malioboro Mall. Contoh yang lain adalah di
Malaysia 9 dari 13 negara bagian disana dipimpin oleh sultan mereka masing-masing . kerajaan
tersebut bertindak sebagai penerima tetap (rentei) dari pengusaha-pengusaha cina yang ada, dan
tidak sedikit pula yang menjalin bisnis dengan mereka dan dikelola oleh staf pribadinya.
2.

Keluarga Presiden : mereka adalah keluarga dari presiden yang berkuasa saat itu, yang

berhasil membesarkan bisnisnya akibat kemudahan-kemudahan yang mereka terima, contoh


gamblang dari kapitalisme ini adalah bagaimana Marcos (mantan presiden Filipina) dan
keluarga-keluarganya memegang saham-saham penting di Filipina. Benjamin Romualdez,adik
laki-laki Imelda Marcos mengepalai First Philipine Holdings . Alfredo memonopoli kasinokasino dikota-kota utama Filipina

3.

Kapitalis Konco : Kapitalis Konco adalah pihak swasta yang dekat dengan pemerintah.

Contohnya adalah Tomi Winata yang terkenal sangat dekat dengan presiden Indonesia, Susilo
Bambang Yudhuyono.
4.

Kapitalis Birokrat : ada 3 definisi dari kapitalis birokrat it sendiri, yang pertama adalah

mereka yang masih menjadi birokrat, yang kedua adalah mereka yang tidak lagi menjadi birokrat
namun masih berhubungan erat dengan birokrat dan yang ketiga adalah mereka mempunyai
bisnis sendri dan menjalankannya seperti kapitalis yang lain.contoh dari kapitalis ini adalah
pemilik Singha Beer yaitu Boon Rawd Brewery, Sarit Thanarat yang memiliki Bangkok
International Trading CO.

Kapitalisasi Tanpa Teknologi


Seperti yang dikatakan diatas bahwa kapitalisme yang terjadi di Asia Tenggara bukanlah
kapitalisme tulen, karena kapitalisme bukanlah lahir dari persaingan-persaingan pengusaha local,
melainkan perpindahan modal asing yang diinvestasikan kenegara tersebut. Jadi bisa dikatakan
bahwa kapitlisme yang terjadi adalah kapitalisme perifikasi (yaitu negara-negara di Asia
Tenggara merupakan satelit ekonomi negara kuat). Jadi bila kita rasionalkan Asia Tenggara
tidaklah bergerak secara mandiri sama sekali industry dalam negerinya, melainkan dikendalikan
oleh perusahaan-perusahaan asing negara tersebut.
Hal ini menurut Yoshihara disebabkan oleh proses industrialisasi yang tidak disertai dengan
peningkatan teknologi. Teknologi yang minim membuat tidak maksimalnya proses
produksi,karena barang yang dihasilkan akan mempunyai daya saing yang rendah daripda yang
dihasilkan olej negara dengan teknologi yang lebih bagus. Namun teknologi itu sangatlah mahal
dan bahkan tidak bisa dibeli, cara lain untuk peningkatan teknologi adalah dengan melakukan
riset,namun cara ini juga memakan banyak waktu sedangkan kebutuhan akan suatu produk
suadah sangat mendesak. Karena itulah satu-satunya cara adalah bekerjasama dengan perusahaan
asing yang mempunyai teknologi serta menumpang kepada teknologi mereka. Tentu saja hal ini
beralibat buruk terhadap suatu negara. Karena negara tersebut akan mengalami ketergantungan
teknologi.

Ini sangat berlainan dengan di Jepang dan Barat, yang banyak melakukan penelitian teknologi.
Perusahaan yang selalu mengadakan modernisasi teknologi akan selalu satu langkah di depan
pasar. Sedangkan yang terjadi di ASEAN sebaliknya: pasar yang memimpin industri. Ini
mungkin karena banyak kapitalis ASEAN berasal dari kalangan dagang, yang sedikit
perhatiannya terhadap perkembangan teknik perusahaannya. Ketergantungan teknologi ini
menyebabkan kapitalisme ASEAN bergantung pada luar. Kurangnya sikap dan lingkungan
masyarakat yang sedikit sekali perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan
pada rasionalisme sendiri -- ikut menjadi akar perkembangan industri tanpa perkembangan
teknologi ini. Pada 1970, di Muangthai dibentuk Kementerian Ilmu Pengetahuan Teknologi dan
Energi. Tetapi ini lebih merupakan sesuatu di atas kertas daripada sesuatu yang sungguhsungguh. Tidak lama kemudian orang menamakannya "kementerian makam". Dana dan fasilitas
untuk kementerian tersebut sangat sedikit dan tidak berarti apa-apa. Di Filipina, anjuran Roger
Posadar, Dekan Fakultas Sains di Universitas Filipina, supaya lebih memperhatikan penelitian,
diabaikan oleh umum. Di Indonesia, B.J. Habibie dilihat Yoshihara sebagai satu-satunya orang
yang membela ilmu pengetahuan dan teknologi, dan ia sangat bersimpati ada usaha tersebut.
Masyarakat harus diberi fantasi, katanya. Namun, diakuinya, hal itu kadang-kadang memang
mahal

Kapitalisme Semu: Penguasa dan Pengusaha di Indonesia


This entry was posted on August 4, 2010, in Ekonomi & Politik and
tagged Kapitalisme,Nasionalisme, Orde Baru, Pengusaha. Bookmark the permalink. 2 Comments
Pada September 1990, LP3ES menerbitkan sebuah buku karya Yoshihara Kunio,Kapitalisme
Semu Asia Tenggara. Buku yang sempat dicetak untuk kedua kalinya tersebut akhirnya dilarang
beredar oleh Kejaksaan Agung setahun kemudian lantaran dianggap menghina Presiden Soeharto
karena membandingkan gaya pemerintahannya dengan gaya diktator Filipina Ferdinand Marcos.
Kunio menyatakan, dalam buku itu dia tidak membandingkan pemerintahan Soeharto dengan
Marcos. Meski begitu, buku tersebut memang berisi kritik atas praktik bisnis yang berlangsung
di Indonesia serta negara-negara Asia Tenggara lainnya pada saat itu.
Tesis yang diajukan Kunio dalam buku tersebut, di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya
tidak ada kapitalisme murni jika mengacu pada praktik yang lazim di negara-negara maju. Di
Jepang misalnya, dia mengatakan, para kapitalis di sana lebih mengandalkan inovasi dan
kompetisi, dan dalam banyak hal merupakan pelaku modernisasi ekonomi.
Sementara praktik yang berlangsung di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya adalah
munculnya kapitalisme semu (ersatz capitalism). Para pengusaha besar (kapitalis) di Indonesia
tidak mampu berdiri sendiri dan bersaing dengan kompetitornya tanpa bantuan pemerintah.
Kebanyakan dari mereka, kata Kunio, adalah para pemburu rente (rent seekers) yang mencoba
mencari keuntungan melalui jalinan koneksi dengan pemerintah. Mereka mencari peluang
menerima rente dengan memanfaatkan proteksi, lisensi bisnis, atau monopoli kegiatan bisnis
tertentu dari pemerintah.

Kunio menyebutkan, para pemburu rente tersebut sangat dekat atau masuk dalam lingkaran
kekuasaan. Mereka antara lain anggota keluarga presiden, para konco atau kroni presiden, bekas
birokrat atau tentara yang banting setir menjadi pengusaha, serta para politisi (Kunio, 1990: 91134). Intinya, kata Kunio, para kapitalis semu tersebut hanya bisa hidup dengan bersandar pada
kekuasaan politik.
Menurut Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980,
para kapitalis semu tersebut merupakan pengusaha klien. Mereka adalah individu dan perusahaan
yang bergantung pada penguasayang menjadi patron merekauntuk dapat melakukan
kegiatan bisnisnya (hlm 265). Praktik patron-klien ini telah berlangsung sejak Indonesia baru
mengecap kemerdekaan. Atas kritiknya tersebut, buku Muhaimin ini pun sempat disomasi oleh
Probosutedjo, pengusaha yang juga adik tiri Soeharto, karena isi buku tersebut yang menyindir
dirinya.
Jika pada masa pemerintahan Soekarno kita mengenal jargon politik adalah panglima, kegiatan
politik yang bebas lebih penting dari kegiatan ekonomi. Oleh Orde Baru, istilah tersebut berganti
menjadi ekonomi sebagai panglima. Para pendukung Orde Baru beranggapan bahwa sumber
kehancuran perekonomian Indonesia pada masa Soekarno adalah akibat pertikaian politik dan
ideologi yang berlangsung bebas. Karena itu, kegiatan politik direduksi, ekonomi pun naik daun,
dan kata pembangunan menjadi kosakata resmi pemerintahan Soeharto.
Jamie Mackie, seorang pengamat asal Australia, mengatakan bahwa selama dua dasawarsa
pemerintahan Orde Baru, jargon politik sebagai panglima tidak sepenuhnya mati. Dalam
artikelnya di majalah Prisma (1984), dia menyatakan, di Indonesia bukan harta material yang
menentukan kekuasaan politik, melainkan kekuasaan politiklah yang mendatangkan harta
material karena dalam sejarah Indonesia, politik tetap sebagai panglima.
Tata kekuasaan di Indonesia pasca-Soeharto tidak lagi terpusat di tangan presiden. Kekuasaan
makin tersebar, posisi DPR yang selama Orde Baru hanya pemberi legitimasi bagi presiden
semakin kuat. Partai-partai politik yang menjadi rumah bagi para politisi pun menjadi tempat
untuk meraih kekayaan atau menyelamatkan kekayaannya. Di sanalah, selain birokrasi, menjadi
tempat bersandar baru bagi para pengusaha pemburu rente.

Seperti yang disindir Mackie, kekuasaan politiklah yang memberikan keuntungan material
menunjukkan, dwifungsi antara pengusaha dan penguasa penting jika ingin mendapatkan harta
material di negeri ini. Maka berbondong-bondonglah para pengusaha membeli suara agar
dinominasikan menjadi calon anggota DPR atau kepala daerah. Dengan uang, mereka bisa
beriklan di televisi atau surat kabar serta membiayai kegiatan survei.
Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, dalil yang dipakai politisi cum pedagang adalah M-P-MM-MP.
Dengan uang (M-Money), maka akan memiliki kekuasaan (P-Power), dengan kekuasaan dia
mendapat tambahan uang (MM-More Money). Dan dengan tambahan uang, dia dapat meraih
lebih banyak kekuasaan (MP-More Power), dan seterusnya (Seputar Indonesia, 27 Juli 2010).
Kuliah umum Sri Mulyani Indrawati tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik pada 18 Mei
2010 menunjukkan hal itu. Konflik kepentingan, kata dia, banyak terjadi dalam pembuatan
kebijakan, terutama yang berimplikasi pada anggaran, bisa belanja atau insentif. Pejabat yang
berlatar belakang pengusaha sering tidak risih ikut dalam pemutusan kebijakan tersebut. Meski
dia mengaku sudah meninggalkan bisnisnya, di belakangnya ada keluarga atau teman-temannya
yang berharap dari kue kebijakan tersebut.
Dengan kekuatan uang, pengusaha seperti memiliki senjata ampuh untuk menekan pemerintah
atau parlemen. Kedua institusi negara tersebut bahkan seperti tersandera oleh kekuatan uang, dan
menafikan kekuatan suara rakyat yang telah memilihnya. Pemerintah merasa perlu membentuk
Komite Ekonomi Nasional (KEN) untuk menampung suara pengusaha agar untuk melakukan
kajian ekonomi nasional, regional, maupun global. Padahal di pemerintahan ada Bappenas dan
Badan Kebijakan Fiskal yang bertugas merancang kebijakan pembangunan nasional.
Pemerintah juga tampaknya tidak bisa menahan desakan pengusaha yang meminta kenaikan tarif
dasar listrik (TDL) diturunkan meski sudah disepakati dengan DPR. Demikian pula dengan
kegagalan pemerintah menuntut Bakrie sebagai pemegang saham PT Lapindo Brantas
memberikan ganti rugi atas semburan lumpur di Sidoarjo.
Situasi Indonesia 12 tahun setelah Reformasi belum bisa menghasilkan sebuah etika dalam
berpolitik dan berbisnis yang sehat. Belum ada pemisahan antara kepentingan publik dan privat
yang tegas dan jelas sehingga dapat menimbulkan penyimpangan kekuasaan. Pengusaha adalah
kelompok yang paling konservatif dalam lingkungan sosial politik di suatu negara. Mereka

mencari posisi paling aman di bawah ketiak siapa pun penguasanya, semata-mata mencari rente.
(*)

https://www.academia.edu/5425991/Resensi_Buku_Kapitalisme_Indonesia
http://www.griyabuku.net/kapitalisme-semu-asia-tenggara--871-0.dhtml

Anda mungkin juga menyukai