Anda di halaman 1dari 14

, March 8, 2010

Pengertian Negara Hukum

Kali ini saya akan sedikit membedah pengertian negara hukum


Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar
hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun
berdasarkan hukum tidak tertulis. keabsahan negara memrintah ada yang mengatakan
bahwa karena negara merupakan lembaga yang netral, tidak berpihak, berdiri diatas
semua golongan masyarakat, dan mengabdi kepada kepentingan umum. namun dalam
prakteknya tidak jarang sitilah-istilah "demi kepentingan umum", "pembangunan untuk
seluruh masyarakat", "negara tidak mungkin mau mencelakakan warganya", serta
ungkapan ucapan lain yang sepadan selalu dikumandangkan dalam pernyataan-
pernyataan politik para petinggi negara, dapat saja dipakai sebagai pembenaran terhadap
penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa seseorangatau sekelompok warga agar
bersedia mematuhi keinginan negara.

Konsep negara hukum sangat terkait dengan sistem hukum yang dianut oleh negara
yang bersangkutan. dalam literatur lama pada dasarnya sistem hukum di dunia ini dapat
dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu sistem hukum kontinental dan sistem
hukum anglo saxon, sehingga kedua sistem hukum itu seolah-olah membelah dunia kita
ini menjadi dua kubu. sedangkan tulisan-tulisan yang akan datang kemudian mengatakan
selain kedua sistem hukum diatas terdapat juga sistem hukum lain seperti sistem
hukum islam, sistem hukum sosialis dan lain-lain. pengelompokkan itu menurut prof.
Bagir Manan lebih bercorak historis atau akademik. dalam kenyataannya akan dijumpai
hal-hal sebagai berikut :
1. terdapat sistem-sistem hukum (suatu negara) yang sekaligus mengandung ciri-ciri
tradisi hukum kontinental dan tradisi hukum anglo saxon atau gabungan antara tradisi
hukum kontinental dan tradisi hukum sosialis, ataupun gabungan antara hukum anglo
saxon dan tradisi hukum sosialis.
2. terdapat sistem-sistem hukum yang tidak dapat digolongkan kedalam salah satu dari
tiga kelompok diatas misalnya negara-negara yang mengidentifikasikan diri dengan
tradisi hukum menurut ajaran islam (the moslem legal tradition).
philips m. hadjon hanya mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara hukum, yaitu;
rechtsstaat, the rule of law, dan negara hukum pancasila. dewasa ini menurut M. Tahir
Azhary dalam kepustakaan ditemukan lima macam konsep negara yaitu:
1. nomokrasi islam; adalah konsep negara hukum yang pada umumnya diterapkan di
negara-negara islam.
2. rechtsstaat; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara eropa
kontinental, misalnya; belanda, perancis dan jerman.
3. rule of law; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara anglo
saxon, seperti; inggris dan amerika serikat
4. social legality; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di negara-negara
komunis.
5. konsep negara hukum pancasila; adalah konsep negara hukum yang diterapkan di
indonesia.

pada posting selanjutanya saya akan membahas tentang arti-arti dari beberapa konsep-
konsep negara hukum menurut M. Tahir Azhary.

Dalam literatur hukum, ada empat sistem hukum dunia yg paling dominan:
civil law, disebut juga sistem hukum Eropa-Kontinental, banyak diterapkan di negara2 Eropa daratan dan bekas
jajahannya (seperti Indonesia yg menerapkan civil law yg dibawa Belanda)
common law, disebut juga case law atau sistem hukum Anglo-Sakson, diterapkan di Inggris dan negara2 bekas
jajahannya
Islamic law (hukum Islam)
socialist law (hukum sosialis)
Kedua istilah 'civil law' dan 'common law' dalam literatur hukum Indonesia tidak diterjemahkan karena memang sulit
mencari padanan langsungnya.
Namun demikian, menurut definisinya:
common law = hukum yg dibuat berdasarkan adat/tradisi yg berlaku dalam masyarakat dan keputusan hakim. Pada
mulanya, sistem hukum ini tidak tertulis.
civil law = hukum yg dibuat berdasarkan kodifikasi hukum yg dilakukan lembaga legislatif. Berbeda dg common law, civil
law sejak awal pembuatannya sudah merupakan sistem hukum tertulis.
Karena ciri khas dan kompleksitasnya istilah 'common law' dipertahankan dan tidak diterjemahkan.
Kalau diterjemahkan 'hukum adat' bisa rancu dg 'hukum adat' (adat/customary law) yg diakui keberadaannya di
Indonesia.
Kalau diterjemahkan 'hukum tak tertulis', tidak sesuai lagi dg kenyataan sekarang bahwa 'common law' sudah menjadi
hukum tertulis.
Kalau diterjemahkan 'hukum kasus' (case law), makna asalnya jadi berkurang karena sebenarnya istilah 'case law' tsb
hanyalah sebutan lain dari 'common law' dan tentu saja kurang populer daripada 'common law'.
Dg semua pertimbangan tsb dan juga fakta bahwa literatur hukum Indonesia tetap mempertahankan istilah 'common
law' tanpa diterjemahkan, saya mengusulkan istilah tsb tidak perlu diterjemahkan karena berpotensi mengurangi dan
mengaburkan makna yg dimaksud.

Ref.:
Suherman, Ade Maman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Globalisasi dan Hukum Perbandingan


Ditulis oleh Tia di/pada Desember 14, 2008

Bab 7
Globalisasi dan hukum perbandingan

1. Mr. Palomar
Tokoh yang dibuat oleh Calvino tentang Mr. Palomar adalah orang yang mencari
kunci untuk menguasai kompleksitas dunia dengan menguranginya (mereduksi) menjadi
mekanisme yang paling sederhana. Konsep Mr. Palomar ini berusaha menyederhanakan
segala sesuatu untuk dapat memahaminya.
Di era globalisasi, kita dipaksa untuk menitikberatkan perhatian pada keseluruhan
dunia fenomena hukum. Di dunia yang semakin saling ketergantungan satu sama lain,
hampir semua studi hukum menjadi kosmpolitan. Bagi studi hukum kosmopolitan, ada
kebutuhan terhadap kebangkitan jurisprudens umum dan pemikiran ulang tentang hukum
perbandingan dari perspektif global.

2. Hukum Perbandingan: Pandangan Pihak Luar


Literatur sekunder tentang hukum perbandingan dapat diringkas dalam empat
proposisi atau hipotesis. Pertama, literatur sekunder yang menunjukkan gejala-gejala
disiplin marjinal baru yang berusaha untuk membuat dokumentasi resmi dalam hal
penghormatan intelektual, manfaat praktis, dan relevansi. Kedua, dalam 20 tahun
terakhir hukum perbandingan memiliki keragaman praktek untuk mencakup berbagai
bidang hukum melampaui fokus tradisional pada hukum perdata, terutama kewajiban;
tetapi membuat teori tentang subyek telah tidak sejalan dengan perkembangan-
perkembangan ini. Ketiga, studi mikro-komparatif telah mendominasi hukum
perbandingan yang melembaga; terutama dalam tradisi Anglo-Amerika. Dan keempat,
hukum perbandingan dan teori hukum di era modern telah terpisah: beberapa ahli
jurisprudens kanonik modern telah memberikan banyak perhatian pada hukum
perbandingan dan masalah teoritisnya; sebaliknya, beberapa ahli hukum perbandingan
utama telah banyak menggunakan jurisprudens modern.
Studi komparatif (perbandingan) harus menjadi pusat disiplin ilmu kosmopolitan
di akhir abad 20; membangun gambaran hukum yang akurat dan koheren di dunia adalah
tugas utama jurisprudens umum; perbandingan dan generalisasi dalam hukum dipenuhi
dengan kesulitan teoritis dan, pada gilirannya, teori hukum perlu mengambil wawasan
yang diberikan oleh hasil perbandingan yang terperinci. Singkatnya, hukum perbandingan
dan teori hukum membutuhkan satu sama lain.
Tulisan sekunder standar tentang hukum perbandingan membedakan antara dua
pendekatan utama: studi perbandingan makro yang ditunjukkan oleh pendekatan Sistem
Besar (Grands Systemes) dari Rene David dan lainnya, dan studi perbandingan mikro
yang biasanya digambarkan sebagai mendekati tipe ideal yang disebut Tradisi Negara
dan Barat.

3. Perbandingan Makro: Perdebatan The Grands Systemes


Pembagian kadang-kadang dilakukan dalam hukum perbandingan antara studi
keluarga hukum dan perbandingan terperinci dari aspek-aspek doktrin hukum tertentu.
Ini mencerminkan pembagian antara studi perbandingan makro dan mikro. Ini terkadang
dianggap sebagai dua usaha yang berbeda, tetapi semua ahli hukum perbandingan tahu
bahwa ada banyak tingkatan perbandingan yang saling berkaitan dan bahwa hampir
semua pekerjaan harus dilakukan pada sejumlaah tingkatan yang tidak dapat dipisahkan.
Perlu untuk membedakan antara dua bentuk tersebut karena dalam praktek mereka sering
memiliki tujuan-tujuan yang berbeda dan disajikan kepada pihak yang berbeda.
Studi keluarga hukum kadang-kadang disamakan dengan pendekatan The
Grands Systemes. Ini berkembang dalam dua konteks utama: kursus pengantar yang
dirancang untuk memberikan mahasiswa hukum suatu tinjauan (atau peta) hukum di
dunia dan Ensiklopedia Hukum Perbandingan Internasional.
Jika tujuan utama disiplin ilmu hukum adalah untuk memajukan pengetahuan dan
pemahaman tentang masalah pokoknya, maka pasti salah satu aspeknya harus merupakan
aspirasi untuk membangun gambaran total yang akurat dan lengkap tentang hukum di
dunia.
Tradisi The Grands Systemes secara umum tidak menangani hal ini. Salah satu
alasannya adalah bahwa tradisi ini telah terjebak dalam perdebatan panjang tentang
bagaimana mengelompokkan sistem hukum (tatanan) utama di dunia. Zweigert dan Kotz
telah menolak upaya untuk menggunakan ras atau lokasi geografis atau hubungan
produksi atau ideologi sebagai kriteria utama, membatasi ide pada gaya pemikiran hukum
yang dominan tentang sistem hukum kehidupan modern. Mereka mengidentifikasi lima
faktor sebagai sentral gaya keluarga hukum: (1) latarbelakang atau perkembangan
sejarah, (2) keutamaannya dan karakteristik cara berpikir dalam masalah hukum, (3)
terutama lembaga-lembaga hukum yang berbeda, (4) jenis-jenis sumber hukum yang
diakui dan cara menanganinya, (5) ideologinya.
Berdasarkan kriteria-kriteria ini, Zweigert dan Kotz mengelompokkan sistem-
sistem hukum menjadi delapan kelompok atau keluarga: keluarga Romanistik (Romawi),
keluarga Nordik, keluarga Common law, keluarga sosialis, sistem Timur Jauh, sistem
Islam, dan hukum Hindu.
Ini merupakan kategorisasi yang aneh. Skema Zweigert dan Kotz dianggap
kurang memuaskan. Taksonomi yang memuaskan perlu memiliki tujuan yang
didefinisikan dengan jelas; unit-unit perbandingan yang jelas; pembedaan yang tepat dan
pasti; dan spesies yang tidak tumpang tindih yang menghabiskan genusnya. Di dalam
keluarga hukum memperdebatkan kondisi-kondisi ini yang secara umum tidak dipenuhi.
Pertama, tujuan. Penggunaan yang paling umum adalah untuk memperkenalkan
hukum secara umum atau sistem hukum tertentu bagi mahasiswa hukum pemula atau
sebagai pengenalan dasar bagi hukum perbandingan atau bagi pembaca non-spesialis.
Pemetaan pengenalan tersebut dapat berfungsi dalam memberikan konteks umum bagi
studi-studi khusus. Untuk tujuan sederhana tersebut, tinjauan yang mentah mungkin
sudah cukup; dapat berupa berbagai hal, dan nilai relatif dari taksonomi yang berbeda
jarang membutuhkan perhatikan teoritis yang serius. Namun, untuk tujuan
mengembangkan jurisprudens umum modern, pendekatan untuk membangun gambaran
total hukum di dunia perlu lebih sistematik dan akurat.
Kedua, tingkat-tingkat perbandingan. Jika daftar calon untuk memetakan
mencakup berbagai bentuk hukum non-negara dan sistem negara nasional dan sub-
nasional, maka sulit untuk menemukan satu dasar tunggal untuk mengelompokkan
mereka: hukum Skotlandia, hukum New York, hukum Islam, hukum Pasagarda, dan
hukum Uni Eropa bukan merupakan spesies dari satu genus tunggal. Beberapa calon
untuk dimasukan dalam peta hukum dunia yang komprehensif tidak melihat batas-batas
negara: misalnya hukum Islam, lex mercatoria, hukuk kanon (norma), atau hukum
Romawi, calon-calon lain seperti hukum Uni Eropa dan hukum Internasional Publik
melampaui batasan negara tetapi sangat berhubungan dengan negara-negara berdaulat;
seperti hukum Mississippi atau hukum Dinka atau Maori terbatas dalam batasan negara.
Untuk menggambarkan tatanan hukum berkaitan dengan hubungan global, internasional,
transnasional, regional atau lokal dan nasional, membutuhkan pembedaan tingkat-tingkat
klasifikasi (pengelompokan). Masing-masing tingkat membutuhkan
pembedaan/pembagian tersendiri. Taksonomi yang paling standar terbatas pada satu atau
dua tingkat, biasanya hukum publik atau agama.
Ketiga, bahkan asumsi bahwa fokus ada pada hukum negara, tidak jelas apakah
unit-unit perbandingan, apa yang dibandingkan, adalah sistem, tatanan, budaya atau
tradisi. Kadang ini semua berjalan bersamaan sehingga pengelompokan tidak
mengandung spesies dari satu genus tunggal. Dengan kata lain, tidak jelas keluarga
hukum merupakan keluarga apa. Banyak ahli hukum perbandingan yang secara langsung
maupun tidak langsung menganggap sistem hukum sebagai unit perbandingan. Namun
istilah yang digunakan sangat membingungkan: hukum Jerman, hukum Islam dan hukum
Afrika adalah sistem hukum dalam pengertian yang berbeda. Jika sistem hukum
digunakan dalam arti yang tepat, misalnya sistem hukum negara dari semua anggota PBB
atau tatanan hukum yang memenuhi beberapa kriteria jurisprudens bagi eksistensi sistem
hukum, maka tidak mungkin untuk mengakomodir beberapa calon standar seperti hukum
Islam, Hindu atau Afrika. Jika tradisi atau budaya disubstitusi, pengertiannya tidak
jelas sehingga memunculkan penolakan untuk menggunakan mereka bagi sistem
pengelompokan yang tepat dan bermanfaat.
Hukum Hindu dapat diinterpretasikan sebagai sistem konsep dan prinsip, tetapi
bukan sebagai sistem hukum negara. Meski ada beberapa negara Islam, hukum Islam
tidak terbatas pada negara tersebut. Hukum Islam dapat dilihat dari berbagai perspektif:
misalnya, sistem norma, atau sebagai kumpulan ide, atau sebagai budaya yang mencakup
praktek dan gaya serta ide interpretatif , atau sebagai tradisi yang mencakup perubahan
atau perkembangan sepanjang waktu sehubungan dengan semua ini bahkan dalam
sistem yang diputuskan oleh Tuhan. Jika melihat hukum Islam di Arab Saudi atau Sudan
atau Malaysia atau Inggris, untuk memahaminya perlu melihat sejarah, lembaga,
penduduk, dan praktek lokal, serta norma, konsep dan budaya.
Pertimbangan yang sama diterapkan pada hukum lembaga-lembaga keagamaan
seperti huku Yahudi atau Budha, atau budaya tanpa negara atau tradisi seperti Hukum
Gipsi. Istilah Hukum Afrika awalnya mengacu pada hukum adat atau tradisional
masyarakat Afrika, jarang digunakan untuk mengacu pada sistem hukum nasional negara
berdaulat modern di Afrika. Hukum sosialis atau sistem hukum sosialis merupakan
kategori yang tidak mudah. Sistem hukum sosialis adalah sistem hukum negara yang
dipengaruhi oleh ideologi tertentu pada periode tertentu dari sejarah mereka di sini
perbedaan dengan ideologi lain seperti demokratik sosial, liberal, atau sistem agama; dan
ideologi yang secara langsung relevan dengan semua gaya pemikiran hukum.
Keempat, bagian perdebatan keluarga hukum telah terpusat pada pembedaan
pengelompokan (klasifikasi). Ada banyak cara mengelompokan sistem hukum atau
tatanan seperti halnya kota dan negara. Ras, bahasa, tahap pembangunan ekonomi,
ideologi, sumber sejarah, konsep dan lembaga substantif, dan bahkan iklim di antara
faktor tersebut.
Ide gaya pemikiran dapat diterapkan pada cara berpikir dalam kedua keluarga
sistem hukum negara dan beberapa bentuk hukum non negara, seperti hukum Islam,
Yahudi dan Gipsi. Tetapi ide gaya pemikiran dominan perlu didekati dengan frase
reduksionis seperti pikiran hukum dan berpikir seperti pengacara. Beberapa profesi
hukum sangat ditinggikan; bahwa sepanjang pengacara berpikir, mereka tidak hanya
berpikir tentang persoalan hukum; dan bahwa dalam semua sistem hukum atau budaya
atau tradisi apa yang merupakan cara berpikir valid, logis dan tepat dan interpretasi
tentang persoalan hukum terus dipertentangkan. Merupakan hipotesis bahwa pola-pola
pertentangan tentang berpikir hukum dan interpretasi terus berulang, dengan variasi lokal,
lintas budaya misalnya perbedaan antara interpretasi sengaja dan faktual, berpikir gaya
besar dan gaya formal, berpikir substantif dan otoritas, dan perbedaan yang
diperdebatkan dalam common law dan filosofi hukum sipil.
Perbandingan mikro melengkapi perbandingan makro. Satu tugas bagi
jurisprudens umum adalah membangun gambaran fenomena hukum di dunia sebagai
keseluruhan.
4. Perbandingan Mikro: Tradisi Negara dan Barat
Satu hal yang menarik fokus perhatian pada unit-unit yang lebih kecil adalah
karena lebih mudah ditangani. Ini adalah apa yang dipikirkan Mr. Palmer.
Dari penjelasan ahli hukum perbandingan terkemuka, kita dapat membangun tipe
ideal konsepsi Hukum Perbandingan utama dengan karakteristik berikut:
i. Masalah pokok utama adalah hukum positif dan sistem hukum resmi negara
bangsa (sistem hukum publik).
ii. Fokus secara eksklusif pada masyarakat kapitalis Barat di Eropa dan Amerika
Serikat, dengan pertimbangan yang kurang terhadap Timur (negara sosialis
termasuk China), Selatan (negara miskin) dan negara kaya di Laut Pasifik
(Jepang, macan Asia).
iii. Perhatian pada persamaan dan perbedaan antara common law dan civil law,
seperti digambarkan oleh tradisi atau sistem orang tua, terutama Prancis dan
Jerman untuk hukum sipil, Inggris dan Amerika Serikat untuk common law.
iv. Fokus hampir seluruhnya pada doktrin hukum.
v. Fokus dalam praktek terutama pada hukum privat, terutama hukum kewajiban,
yang sering dianggap mewakili inti sistem atau tradisi hukum.
vi. Perhatian dengan deskripsi, analisis, dan penjelasan daripada evaluasi dan saran,
kecuali bahwa salah satu penggunaan utama hukum perbandingan legislatif
diklaim sebagai pelajaran untuk dipelajari dari solusi asing pada masalah yang
sama klaim yang secara teoritis bermasalah.

Proposisi ini adalah tipe ideal untuk penjelasan sekunder yang paling eksplisit
tentang sifat dan lingkup hukum perbandingan. Ini relevan untuk membuat sejumlah
argumen sebagai berikut.
Pertama, antara 1945 dan 1980, asumsi ini sangat berpengaruh dalam hal
konseptualisasi sub-disiplin dan pelembagaannya dalam jurnal, buku teks, kursus, proyek,
dan semua cara berpikir di atas. Model Negara dan Barat terbatas dalam hal masing-
masing unsurnya: hukum publik, negara Barat, dengan doktrin khususnya hukum privat,
dan perbedaan antara sistem hukum sipil dan common law orang tua sebagai fokus
utama. Banyak literatur sekunder tentang hukum perbandingan sebagai bidang ilmu
memiliki fokus yang sempit, mengabaikan beberapa contoh praktek terbaik, dan
merendahkan kekayaan, keragaman dan perbedaan studi hukum transnasional dan
kosmopolitan.
Ahli hukum perbandingan kadang-kadang bersikukuh pada perbedaan antara
hukum asing dan hukum perbandingan. Perbandingan mencakup berbagai kegiatan dan
asing adalah persoalan relatif. Pada tingkat teoritis hampir semua deskripsi mencakup
perbandingan. Kita menggunakan perbandingan dalam hidup sehari-hari menggunakan
analogi, model, metafora, tipe ideal dan berbagai alat lainnya. Beberapa contoh karya
terbaik ahli hukum perbandingan misalnya:
Studi paralel (studi Biclefeld Kreis tentang contoh dan interpretasi
statuta);
Menjelaskan sistem sendiri dibandingkan dengan yang lain, seperti
studi Llewellyn di Amerika.
Dan sebagainya.

Model Negara dan Barat sekarang sudah ketinggalan jaman, tetapi belum
digantikan oleh teori yang koheren. Ini tidak menyarankan bahwa harus mengganti satu
teori reduksionis dengan yang lain, tetapi bahwa isu utama berkaitan dengan lingkup,
metode, pembandingan, perbandingan, dan hubungan dengan persoalan lain yang perlu
ditangani.
Kritik terhadap model Negara dan Barat perlu dihargai dan dikembangkan. Pertama,
ada alasan yang baik untuk menyempitkan fokus, terutama di tahap awal. Kedua, ada
manfaat dan biaya dalam kualitas karya yang dilakukan dalam kerangka Negara dan
Barat.
Model Negara dan Barat memiliki empat kelemahan utama: digambarkan secara
sempit; telah terisolir dari bidang yang sama; ketinggalan jaman; dan teori di bawah
standar. Apa yang kurang adalah pandangan koheren tentang usaha dan diskusi tentang
isu-isu pembandingan, metode, tingkat, tujuan dan sebagainya. Singkatnya, pekerjaan
jurisprudens tidak dilakukan secara memadai bagi studi hukum perbandingan atau
kosmopolitan. Sehingga perlu pemikiran ulang yang radikal.

5. Pemikiran Ulang Hukum Perbandingan: Agenda Teoritis


Salah satu implikasi globalisasi bagi disiplin ilmu hukum adalah bahwa ia
memerlukan kebangkitan jurisprudens umum dan pemikiran ulang hukum perbandingan
dari perspektif global sebagai unsur utama dalam studi hukum kosmopolitan. Pemikiran
ulang hukum perbandingan mencakup semua tugas utama teori hukum termasuk sintesa,
konstruksi dan penjelasan konsep, perkembangan penting prinsip-prinsip normatif umum,
mengembangkan teori-teori tatanan menengah empiris dan normatif, dan teori kerja yang
memberikan panduan bagi berbagai peserta, termasuk ahli hukum perbandingan, sejarah
intelektual, dan kajian kritis tentang asumsi dan premis yang mendasari diskusi hukum.
Konstruksi dan penjelasan konsep merupakan perhatian tradisional jurisprudens
analitik. Jurispruden analitik perlu memperluas fokusnya pada konsep-konsep kunci
dalam sub-disiplin khusus yang berhubungan dengan hukum termasuk teori tata negara,
hukum dan ekonomi, sosiologi hukum, dan studi sosio-hukum.
Tugas lain bagi jurisprudens analitik adalah membantu analisis terminologi dasar
studi perbandingan. Ahli hukum perbandingan berpendapat bahwa hukum perbandingan
adalah metode, bukan subyek, tetapi tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
metode tersebut.
ADA APA DENGAN SOSIALISME-RELIGIUS

KabarIndonesia - Sejarah memang milik penguasa. Poros yang memegang kekuasaan mempunyai kekuatan penuh untuk
memaparkan atau mungkin mengaburkan fakta sejarah. Sejarah pahit bangsa Indonesia dengan warna merah Komunisme
menjadi modal memasung pembelajaran dan pengingkaran tujuan didirikannya Negara Indonesia, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pemahaman publik tentang Sosialisme sama dengan Komunisme. Membaca Sosialisme akan mendapat
atribut kiri dan sebagainya, dan sebaginya. Padahal secara intertekstual, Konsep Sosialisme juga akan kita temui dalam
ayat-ayat Al Quran. Yang mana? Penafsiran siapa? Lalu, Kelompok Islam mana yang mempercayainya? Historia Sosialisme

Bibit kawite Sosialisme sebenarnya telah lama ada dalam sejarah peradaban dunia. Plato, oleh sebagian kalangan disebut-
sebut sebagai Bapak Sosialisme. Secara logis, fenomena ini menggiring pada simpulan bahwa di dalam masyarakat Yunani
juga ada kesenjangan sosial sehingga pemikir seperti Plato terbersit untuk menghilangkan kesenjangan tersebut. Meng Tze
di Cina juga dapat disebut-sebut sebagai Bapak Sosialisme Cina karena dia mencetuskan gagasan pemerataan
kesejahteraan pada masyarakat. Jauh sebelum mengenali apalagi memahamai gagasan mereka, jauh di lubuk hati, kita juga
menghendaki "keadilan sosial" baik di bidang ekonomi, sosial-kemasyarakatan, serta jaminan hukum dan politik dari sistem
negara.

Sosialisme lahir sebagai faham ekonomi dan kemasyarakatan pada akhir abad ke-18 di Eropa. Revolusi industri di Inggris
telah memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yaitu kaum borjuis yang menguasai sarana produksi karena penguasaan
modal bertimbun di tangan mereka. Sosialisme berkembang sebagai reaksi terhadap kondisi buruk yang dialami masyarakat
menengah ke bawah (kelas buruh) di bawah tekanan sistem kapitalisme liberal.

Sejumlah cendekiawan tampil menyerukan persamaan hak bagi semua lapisan, golongan dan kelas masyarakat. Mereka
menyuarakan distribusi keadilan dalam ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka adalah St. Simon (1769-1873), Fourisee (1770-
1837), Robert Owen (1771-1858) dan Louise Blane (1813-1882). Tokoh-tokoh ini melahirkan purwa-rupa dari Sosialisme,
generasi berikutnya seperti Proudhon, Karl Marx, Frederick Engels, maupun Bakunin berangkat dari konsep pemikiran
mereka. St. Simon dinobatkan sebagai The Godfather of Socialism karena dialah orang pertama yang menyerukan perlunya
sarana-sarana produksi dimiliki sepenuhnya oleh negara. Gagasannyalah yang mendorong lahirnya sistem Kapitalisme
Negara (state capitalism).

Menjelang akhir abad ke-19, Sosialisme berkembang menjadi aliran-aliran yang diferensial dan menyebar bagai virus ke
seluruh Eropa. Fenomena ini dilatarbelakangi model-model pengorganisasian gerakan-gerakan bawah tanah yang radikal
dan revolusioner, selain tulisan-tulisan di media maupun kegiatan diskusi intelektual. Pierre J. Proudhon (1809-1865)
adalah penganjur sosialisme generasi kedua di Perancis setelah generasi St. Simon dan Louis Blanc. Proudhon memiliki
perbedaan pendapat dengan para pendahulunya yang cenderung menghapuskan hak-hak individual. Proudhon
memperjuangkan dipertahankannya hak-hak individual secara terbatas. Proudhon menolak gagasan Totalitarian-
Kolektivisme dari kaum sosialis radikal seperti Marx.

Menurut Marx, hak individual harus dihapuskan secara menyeluruh dan dikelola oleh negara. Pemikiran Marx ini berangkat
dari Faham Dialektika Materialismenya. Perbedaan pandangan antara Prodhoun dan Marx inilah yang mengawali
perpecahan di tubuh sosialis internasional, sosialisme pun terfragmentasi menjadi aliran-aliran seperti Sosialisme Demokrat,
Komunisme ala Marx, Sosialisme Anarkis ala Bakunin, Marxisme-Leninisme, Sosialisme ala Kautsky, Sosialisme Kristen,
dan lain-lain. Karl Marx banyak menginspirasi pemikir sosialisme. Konsep pemikirannya yang sederhana yaitu tidak ada
ruang bagi hak-hak individual dalam pemilikan sarana produksi menjadi sumber inspirasi guna membangun sistem
ekonomi, hukum, Negara, dan masyarakat yang sosialis.

Konsep Marx ini berangkat dari fakta bahwa kekayaan individual bukan sesuatu yang dapat mengangkat martabat individu.
Karena prinsip ekonomi dalam Kapitalisme telah mendoktrinasikan penghalalan segala cara agar mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya, meski harus memeras tenaga kerja dan menindas hak-hak kolektif masyarakat. Kekayaan individual,
menurut Marx, justru membunuh martabat individu, karena didapatkan dengan jalan yang tidak bermoral seperti. korupsi,
manipulasi, kolusi, penipuan, bahkan pelanggaran hukum. Marx menyadari bahwa kapitalisme bisa mematikan pranata
hukum dan masyarakat. Dehumanisasi yang dilakukan oleh kaum borjuis dan kapitalisme mencapai mendorong Marx
menulis buku-bukunya seperti Manifesto Komunis, Das Kapital dan lain-lain. Marx menyerukan agar kaum buruh bersatu
di bawah bendera "Penghapusan Kelas".

Marx bak Malcolm X menyuarakan kepentingan umum dan meyakini bahwa kedudukan buruh hakekatnya jauh lebih mulia
disbanding pemilik alat-alat produksi (kapitalis). Karena buruhlah yang memeras keringat memproduksi sesuatu yang
dibutuhkan masyarakat. Bakunin (1814-1876), tokoh sosialis sahabat dengan Karl Marx dan sama-sama berguru kepada
Proudhon. mengajarkan faham sosialisme yang radikal karena berasaskan pengacauan dan anarkisme. Dia menyerukan
agar rakyat yang tertindas melakukan tindakan apa saja untuk membuat perubahan. Baginya setiap orang memiliki
kebebasan untuk berbuat seperti itu. Manusia tidak perlu tunduk pada norma-norma sosial, dan undang-undang serta
hukum positif yang berlaku dalam masyarakat. Gerakan anarkis terutama berkembang di Rusia pada abad ke-19. Dari
faham ini tumbuh berbagai gerakan radikal dan atheis revolusioner yang menghalalkan segala cara. Novel-novel Dostoyevski
seperti Notes from the Underground, Devil, Karamasov Brothers, dll. menjadi potret gerakan dan psikologi kaum anarkis dan
sosialis revolusioner Rusia abad ke-19.

Ketika Indonesia terpuruk dalam kolonialisme Belanda, Sneevliet, seorang sosialis-komunis Belanda, membawa dan
menyebarkan paham ini. Contoh hasil karyanya adalah perpecahan dalam Sarekat Islam (SI) yang telah eksis dan berakar di
masyarakat. SI malih rupa menjadi SI Merah (sosialis) dan SI Putih. Orang-orang dalam SI Merah inilah yang kemudian
berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Sosialisme dalam Islam Konsep Keadilan Sosial ada dalam ajaran
agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen klasik dan Islam. Kebijakan ekonomi yang tidak berbasis pemerataan dan
keadilan sosial dikutuk dalam kitab suci agama-agama tersebut. Bung Hatta memaparkan dalam Persoalan Ekonomi
Sosialis Indonesia (1963), "Sekarang, bagaimana duduknya sosialisme Indonesia? Cita-cita sosialisme lahir dalam pangkuan
pergerakan kebangsaan Indonesia.

Dalam pergerakan yang menuju kebebasan dari penghinaan diri dan penjajahan, dengan sendirinya orang terpikat oleh
tuntutan sosial dan humanisme perikemanusiaan yang disebarkan oleh pergerakan sosialisme di benua Barat.

Tuntutan sosial dan humanisme itu tertangkap pula oleh jiwa Islam, yang memang menghendaki pelaksanaan perintah
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta Adil, supaya manusia hidup dalam sayang menyayangi dan dalam suasana
persaudaraan dengan tolong-menolong. Bung Hatta menyatakan bahwa Islam anti-kapitalisme karena menghisap dan
menindas, kapitalisme lebih jahat dari perbudakan dan feodalisme. Dunia ini milik Allah yang disediakan sebagai tempat
manusia untuk sementara. Manusia hanya meminjam dunia, kepunyaan Allah, wajib bagi manusia memeliharanya dan
mewariskan kepada generasi selanjutnya dalam keadaan yang lebih baik daripada yang diterimanya dari angkatan
terdahulu. Surat Al-Takatsur dan Al-Humazah, mengutuk sikap ekonomi yang egois (kapitalisme). Nukilan Surat Al-Taubah
ayat 34-35 digambarkan betapa Islam mengutuk ketidakadilan sosial-ekonomi yang terdapat dalam suatu masyarakat :

"Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari kalangan para rahib dan pertapa itu yang benar-benar
memakan harta manusia dengan cara yang tidak benar dan menyimpang dari jalan Allah. Adapun mereka yang menimbun
emas dan perak dan tidak menggunakannya di jalan Allah, maka peringatkanlah mereka itu dengan adanya siksa yang
pedih. Yaitu ketika harta itu dipanaskan dalam api neraka, kemudian disetrikakan kepada kening, lambung dan punggung
mereka. (lalu dikatakan kepada mereka) : "Inilah yang kamu tumpuk untuk kepentingan kamu sendiri di dunia, maka sekarang
rasakanlah harta yang dulu kamu tumpuk itu.

Keadilan sosial dalam Islam match dengan Egalitarianisme yang menekankan kepada persamaan hak dan kewajiban. Tetapi
Allah menciptakan umatnya dengan keberagaman kemampuan dan latar belakang geografis, maka berkembang pula
keberagaman frekuensi dan tingkat penghasilan. Seorang petani dan PNS mendapatkan penghasilan berkala (per bulan atau
per masa panen), sedangkan wiraswasta di bidang kuliner frekuensi penghasilan mereka adalah per hari. Namun, perspektif
yang digunakan dalam mengukur keberagaman tersebut tidak hanya berlandaskan konsep materialisme; yakni jumlah.
Kesuksesan panen seorang petani sama halnya dengan kesuksesan seorang guru bidang studi UNAS yang muridnya 100%
lulus.

Ketika hasil panen itu memuaskan maka penghasilan petani juga akan mengalami kenaikan. Sedangkan, ketika hasil
kelulusan tersebut memuaskan, fee yang diterima Sang Guru adalah tetap. Islam menolak mentah-mentah konsep "sama
rata sama rasa" produk Komunisme karena menghapuskan hak-hak individual dalam masyarakat. Islam mengakui
kepemilikan perorangan tetapi ada batasan agar tidak menimbulkan kesenjangan. Rezki yang diterima harus dibelanjakan di
jalan Allah, seperti untuk membantu sesama yang memerlukan, bukan untuk memperkaya diri pribadi dengan
menghalalkan segala cara termasuk penipuan, perampasan, dan bentuk-bentuk usaha yang minor kemaslahatan umat.
Atheisme dalam Faham Sosialisme Modern memang pantas mati. Tetapi keadilan sosial harus kita amin-i.

Muhammad Iqbal dan Muhammad Husein Heikal adalah contoh cendekiawan muslim yang sejalan dengan konsep keadilan
sosial dalam Sosialisme. Pemikiran mereka kemudian dikenal sebagai Sosialisme-Religius. Di Indonesia, tokoh-tokoh seperti
H.O.S. Cokroaminoto, K. H. Agus Salim, Bung Hatta, M. Natsir, Syafrudin Prawiranegara, Nurcholis Madjid, Mubyarto dan
lain-lain. K. H. Agus Salim (1920), tokoh SI ini mengatakan bahwa gagasan tentang sosialisme tercakup dalam ajaran agama
Islam. Syafrudin Prawiranegara (1955) mengatakan bahwa seorang Muslim haruslah sekaligus seorang sosialis. Masyumi
pun menerima tjap sebagai partai Islam Sosialis, karena tokoh-tokohnya mengemukakan gagasan bahwa bahwa Sosialisme
telah terdapat dalam ajaran Islam. ***********

Oleh : Anjrah Lelono Broto, S.Pd, Penulis dan Litbang LBTI (Lembaga Baca Tulis Indonesia)

18th, 2007 by kopi_susu

o Filsafat

KAPITALISME: SEKILAS SEJARAH

*) AG. Eka Wenats Wuryanta

Pengantar

Tak seorang pun manusia di dunia ini lepas dari kecenderungan untuk menjadi kapitalis. Juga tak ada satu

pun perusahaan yang bisa bebas nilai dengan tendensi kapitalisasi. Bahkan dapat dikatakan bahwa apa

saja yang dimakan, ditonton, dinikmati, diminum, ditiduri atau dipakai adalah produk-produk kapitalisme.

Hasil teknologi yang mengagumkan, proses industrialisasi yang begitu dramatis, penjelajahan dunia baru,

penyebaran agama dan budaya tidak bisa melepaskan diri dari usaha dan hasil rekayasa sosial yang

diolah oleh pelaku-pelaku kapitalisme.

Bisakah kita mendefinisikan diri sebagai seorang yang anti kapitalisme? Mampukah sekarang kita yang

hidup dalam dunia pasar ini bisa merumuskan diri sebagai seorang yang a-kapitalis? Kalau ada orang

yang bisa menjawab dengan arogan bahwa dia adalah anti kapitalisme atau a-kapitalis maka dapat

dipastikan orang itu adalah mania Robinson Crusoe atau seorang manusia langka yang a-historis, tidak

realistis dan tidak tahu diri. Tenaga dan kekuataan kapitalisme begitu mengakar dan tertanam dalam

seluruh kehidupan manusia. Tak sejengkal dan seinci tubuh manusia yang bisa terhindar dari jamahan

kapitalisme. Mengapa kapitalisme sebagai ideologi dan praktek hidup bisa sedemikian mengakar? Itulah

pertanyaan yang seharusnya dan relevan diajukan.

Definisi

Kapitalisme secara etimologis berasal dari kata caput, yang artinya kepala, kehidupan dan kesejahteraan.

Makna modal dalam kapital seharusnya diinterpretasikan sebagai titik kesejahteraan. Dengan makna

kesejahteraan, definisi kapital mulai dikembangkan dengan arti akumulasi keuntungan yang diperoleh

dalam setiap transaksi ekonomi. Oleh sebab itu, interpretasi awal dari kapitalisme adalah proses

pengusahaan kesejahteraan untuk bisa memenuhi kebutuhan. Dalam definisi ini, sebetulnya kapitalisme

mempunyai definisi yang konstruktif-manusiawi. Pasti setiap orang mempunyai keinginan dasar untuk

memenuhi kebutuhan dasarnya dalam hidup sehari-hari.


Masalahnya dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam era revolusi industri, kapitalisme

didefinisikan sebagai paham yang mau melihat serta memahami proses pengambilan dan pengumpulan

modal balik (tentu saja yang sudah dikumpulkan secara akumulatif) yang diperoleh dari setiap transaksi

komoditas ekonomi. Pada saat itu pula, kapitalisme tidak hanya dilihat sebagai ideologi teoritis tapi

berkembang menjadi paham yang mempengaruhi perilaku ekonomi manusia.

Kapitalisme Purba

Kapitalisme purba adalah tahapan awal pembentukan kapitalisme yang ditemukan dalam bibit-bibit

pemikiran masyarakat feodal yang berkembang di Babilonia, Mesir, Yunani dan Kekaisaran Roma. Para

ahli ilmu sosial menamai tahapan kapitalisme purba ini dengan sebutan commercial capitalism.

Kapitalisme komersial berkembang ketika pada jaman itu perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah

berkembang dan membutuhkan sistem hukum ekonomi untuk menjamin fairness perdagangan ekonomi

yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan.

Bahkan Max Weber pernah menyatakan bahwa akar kapitalisme berawal dari sistem Codex Iuris Romae

sebagai aturan main ekonomi yang kurang lebih universal dipakai oleh kaum pedagang di Eropa, Asia

Barat serta Asia Timur Jauh dan Afrika Utara. Aturan main ekonomi ini sebetulnya dimanfaatkan untuk

memapankan sistem pertanian feodal. Dari aturan ini pula muncul istilah borjuis yang mengelompokkan

sistem feodalisme yang disempurnakan dengan sistem hukum ekonomi itu. Kelompok borjuis dipakai

untuk menyebut golongan tuan tanah - bangsawan dan kaum rohaniwan yang biasa mendiami biara yang

luas dan besar.

Perkembangan selanjutnya adalah perkembangan kapitalisme yang dikenal sebagai tata cara dan kode

etik yang dipakai oleh kaum merkantilis. Kaum pedagang yang banyak berkumpul di bilangan pelabuhan

Genoa, Venice dan Pisa. Kaum merkantilis memakai kapitalisme sebagai tahap lanjutan sistem sosial

ekonomi yang dibentuk. Tatanan ekonomi dan politik yang berkembang memerlukan hukum dan etika

yang disusun dengan relatif mapan. Hal ini disebabkan terjadi perkembangan kompetisi dalam sistem

pasar, keuangan, tata cara barter serta perdagangan yang dianut oleh para merkantilis abad pertengahan.

Para merkantilis mulai membuka wacana baru tentang pasar. Ketika mereka berbicara tentang pasar dan

perdagangan, mau tidak mau mereka mulai bicara tentang barang dagang (komoditas) dan nilai lebih

yang nantikan akan banyak disebut sebagai the surplus value (nilai lebih). Dari akar penyebutan inilah,

wacana tentang keuntungan dan profit menjadi bagian integral dalam kapitalisme sampai abad

pertengahan.

Kapitalisme Industri

Pandangan merkantilis dan perkembangan pasar berikut sistem keuangan telah mengubah cara ekonomi

feodal yang semata-mata bisa dimonopoli oleh para tuan tanah, bangsawan dan kaum rohaniawan.

Ekonomi mulai bergerak menjadi bagian dari perjuangan kelas menengah dan mulai menampakkan

pengaruh pentingnya. Ditambah lagi, rasionalisasi filosofis abad modern yang dimulai dengan era

renaissance dan humanisme mulai menjalari bidang ekonomi juga. Setidaknya penulis akan menyebut

tiga tokoh atau ikon ilmuwan filsafat sosial yang cukup memberikan pengaruh yang dramatis terhadap

perkembangan kapitalisme industri modern. Mereka adalah Thomas Hobbes dengan pandangan egoisme

etisnya, yang pada intinya meletakkan sisi ajaran bahwa setiap orang secara alamiah pasti akan mencari

pemenuhan kebutuhan dirinya. Yang lain adalah John Locke. Dia menekankan sisi liberalisme etis, di

mana salah satu adagiumnya berbunyi bahwa manusia harus dihargai hak kepemilikan personalnya.

Tokoh lainnya adalah Adam Smith dan David Ricardo yang mencoba menukikkan pandangan dua tokoh
sebelumnya dengan filsafat laissez faire dalam prinsip pasar dan ekonomi. Pandangan klasik Adam Smith

menganjurkan permainan bebas pasar yang memiliki aturannya sendiri. Persaingan, pekerjaan dari

invisible hands akan menaikkan harga kepada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja dan modal

beralih dari perusahaan yang kurang menguntungkan kepada yang lebih menguntungkan. Laissez faire

adalah ungkapan penyifat. Pandangan ini menekankan bahwa sistem pasar bebas diberlakukan sistem

kebebasan kepentingan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah.

Kapitalisme di tiga tokoh itu (Hobbes, Locke dan Adam Smith) mendapatkan legitimasi rasionalnya.

Akselarasi perkembangan kapitalisme rasional ini memicu analisa dan praktek ekonomi selanjutnya.

Akselarasi kapitalisme semakin terpicu dengan timbulnya revolusi industri. Kapitalisme mendapatkan

piranti kerasnya dalam pencapaian tujuan utamanya, yaitu akumulasi kapital (modal). Industrialisasi di

Inggris dan Perancis mendorong adalah industri-industri raksasa. Perkembangan raksasa industri mekanis

modern ini memicu kolonialisme dan imperialisme ekonomi. Tidak mengherankan apabila dalam konteks

ini terjadi exploitation lhomme par lhomme. Situasi penindasan yang ada menimbulkan reaksi alamiah

dari orang-orang yang kebetulan mempunyai kepedulian sosial kolektif yang mengalami trade-off dalam

era industri. Salah satu orang itu adalah Karl Marx. Dia mereaksi adalah sistem yang tidak beres dalam

kapitalisme yang cenderung menafikkan individu dalam konteks sosial.

Meski sosialisme sudah menjadi budaya tanding tetap saja kapitalisme maju dan semakin mapan dalam

percaturan kehidupan manusia. Max Weber menganalisa bahwa kemapanan kapitalisme selain didukung

dengan faktor sekular juga mendapatkan legitimasi religiusnya. Weber beranggapan bahwa ada kaitan

antara bangkitnya kapitalisme dengan Protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk sekular dari

penekanan Protestanisme pada individualisme dan keharusan mengusahakan keselamatannya sendiri.

Nilai-nilai religi Kristiani terutama Aliran Calvinisme memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam

perkembangan kapitalisme lanjut.

Kapitalisme Lanjut

Kapitalisme lanjut merupakan fase lanjutan dari kapitalisme industri. Kapitalisme industri memicu

agregasi akumulasi modal bersama yang dikumpulkan melalui pembaruan perusahaan nasional dan

multinasional. Dalam fase ini, kapitalisme bukan semata lagi hanya mengakumulasi modal tapi lebih dari

itu, yaitu investasi. Dalam arti ini, kapitalisme tidak hanya bermakna konsumsi dan produksi belaka, tapi

menabung dan menanam modal sehingga mendapatkan keuntungan berlipat dari sebuah usaha adalah

usaha yang terus ditumbuhkan. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya didasarkan pada soal faktor produksi

tapi juga faktor jasa dan kestabilan sistem sosial masyarakat. Oleh sebab itu, kapitalisme lanjut dengan

refleksi sosialnya terus mengembangkan bagaimana mereka tetap berkembang mendapatkan keuntungan

tapi tetap menyediakan lahan pendapatan yang cukup bagi para konsumen sebagai sekaligus faktor

utama pasarnya.

Kapitalisme tahap ini mencapai puncak aktualisasinya melalui proses kewirausahaan ekonomi yang

mencoba mengkombinasikan kembali peran pasar bebas dalam bidang ekonomi dengan intervensi negara

dalam bidang politik.

Faktor modernisasi dalam wacana kapitalisme lanjut ini tidak terjebak pada dikotomi kapitalis sebagai

pemilik modal dan buruh sebagai faktor produksi melainkan berlanjut pada wacana bagaimana akhirnya

pekerja dihadapkan pada masalah kepemilikan bersama (share holder) dalam sebuah proses kapitalisasi

yang tetap saja memberikan ruang pada keuntungan dan proses akumulasi investasi.

Debat pembangunan kapitalisme dalam konteks sistem dunia (E. Wallerstein) juga menambah
kompleksitas proses kapitalisme sebagai raksasa ekonomi yang tak terelakkan. Debat lanjutan kapitalisme

dalam konteks globalisme tidak cenderung menempatkan pada kekuatan sosialisme dan kapitalisme

belaka melainkan relasi interdependen antar pelaku ekonomi yang justru meluas. Bahkan Anthony

Giddens pernah menyatakan bahwa dinamika kapitalisme sebagai resultante yang saling terhubung dan

tersinergi dalam kapitalisme itu sendiri, industrialisasi, pengawasan dan kekuatan militer.

Kapitalisme yang dijiwai oleh semangat mencari untung menjadi sumber dinamisme luar biasa, dan ketika

bergandengan dengan industrialisme menghasilkan tahap global sekarang ini. Dunia yang kita huni

sekarang juga dalam pengawasan yang terus-menerus, mulai di tempat kerja dan merambat pada

masyarakat. Negara meniru pabrik. Gugus institusi ini masih ditambah dengan munculnya kekuatan

militer sebagai penjamin stabilitas ekonomi sebagai syarat mutlak pasar yang bebas dan tenang.

Kapitalisme lanjut semakin matang dengan kemajuan teknologi informasi yang semakin merangsek

kekuatan-kekuatan konvensional pasar tradisional yang ada.

Refleksi Kritis

Terlihat dalam sekilas sejarah ini, kapitalisme sebagai sebuah ideologi dan praktek sosial telah teruji

dengan berbagai tantangan dan ujian. Masalahnya adalah ramalan Karl Marx tentang kontradiksi dalam

kapitalisme tidak pernah terbukti secara empiris. Tapi justru kapitalisme menampakkan diri sebagai ide

yang semakin berkembang, cepat belajar, kritis dengan dirinya sendiri, lentur dan fleksibel. Apa

sebabnya?

Pertanyaan itu hanya bisa diajukan pada setiap manusia. Karena kembali pada awal, manusia diciptakan

untuk memenuhi kesejahteraannya. Dan presis, kapitalisme dalam arti tertentu mampu belajar, mau

memperbaiki mekanisme sosial dan krisis legitimasi sosialnya. Seperti Jurgen Habermas katakan, yaitu

ketika kita mau belajar kapitalisme sesungguhnya kita belajar dari manusia itu sendiri. Dan ungkapan ini

semakin mengokohkan kekaguman Karl Marx terhadap kapitalisme.

_________________________

Bahan Pustaka

1. Bell, Daniel, The Cultural Contradictions of Capitalism, Basic Books:New York, 1976

2. Braudel, Fernand, Capitalism and Civilization, Harper & Row:New York, 1984

3. Faulkner, Harold, The Decline of Laissez Faire, Holmes:New York, 1978

4. Fried, Morton, The Evolution of Political Society, Random House:New York, 1970

5. Heilbroner, Robert, Marxism: For and Against, WW. Norton:New York, 1980

6. Wallerstein, Emanuell, Historical Capitalism, Verso:London, 1983

_____________________________

Penulis adalah Direksi Institut Studi Sosial Demokrasi

dan Staff Pengajar Univ. Atmajaya Jakarta

COM, Semarang - Sistem hukum modern yang dibangun pada abad 19 dan terus dikembangkan hingga sekarang sesungguhnya
dirancang untuk melanggengkan sistem ekonomi kapitalisme.

Guru Besar Hukum Internasional Undip Semarang Prof FX Adji Samekto dalam pidato pengukuhan guru besar di Semarang, Sabtu
mengatakan, perspektif studi hukum kritis menunjukkan, saintifikasi hukum modern yang dibangun pada abad 19 memang untuk melayani
tatan sosial yang bercorak kapitalistik.
Sistem kapitalistik ini mewujud dalam mekanisme pasar yang kompetitif melalui kebebasan yang dijamin oleh sistem demokrasi. "Jadi,
sistem hukum modern memang (dirancang) untuk melanggengkan kapitalisme," katanya.

Kapitalisme merupakan sistem sosial yang bersumber dari kepentingan akumulasi modal dan keuntungan dan untuk meraih semua ini
dilakukan eksploitasi sumber daya manusia, teknologi, dan alam.

Oleh karena itu, menurut dia, eksploitasi sumber daya manusia dan alam pun tidak akan bisa dibatasi dalam konteks kepentingan
maksimalisasi keuntungan.

Masalah lingkungan hidup, kemiskinan, pelanggaran ketertiban umum sebagai ekses unjuk rasa, hingga demonstrasi, menurut dia, bukan
sekadar persoalan domestik, melainkan soal pilihan ideologi liberalisme global yang kian membelenggu negara.

Menyikapi ketidakadilan yang berlaku dalam hukum internasional, katanya, kajian hukum internasional di era globalisasi tidak boleh
sekadar kontemplasi pasif, tetapi harus emansipatoris untuk membangkitkan kesadaran baru dalam melihat realitas sebenarnya yang
merugikan negara miskin dan sedang berkembang.

Hukum internasional sebagai bagian dari sistem hukum modern telah dikonstruksi sebagai ketentuan yang bersifat netral, tidak berpihak,
bersifat impersonal atau tidak subjektif.

Akan tetapi, menurut Adji, dalam implementasinya menunjukkan hal yang sebaliknya, bahkan sejak ketentuan hukum internasional dibuat,
aturan ini memang berpotensi tidak netral dan memihak pada kepentingan tertentu yang lebih dominan (negara maju dan kaya).

"Hal ini terjadi karena logika-logika dan struktur hukum internasional muncul dari adanya power relationships dalam masyarakat
internasional," kata profesor berusia 45 itu.

Hasil kajian atas beberapa praktik kebijakan globalisasi di sejumlah negara Dunia Ketiga, terutama di Afrika, menunjukkan bahwa
globalisasi malah menjerumuskan mereka ke dalam ketidakberdayaan.

"Oleh karena itu perlu digugat, bagaimanakah sesungguhnya peran hukum internasional di era globalisasi, apakah mampu menciptakan
keadilan dalam hubungan antarbangsa atau malah sebaliknya," katanya.

Selain Adji Samekto, dalam waktu bersamaan dikukuhkan pula Prof Sumarsono (Fakultas Peternakan), dan Prof Singgih Tri S (Sejarah).
[*/L1]

Dapatkan berita populer pilihan Anda gratis setiap pagi disini atau akses mobile langsung http://M.inilah.com via ponsel dan Blackberry !

Pakar Hukum: UU Ekonomi RI Lebih Mengacu Sistem


Kapitalis

Solo (ANTARA News) - Sebagian besar undang-undang (UU) ekonomi di Indonesia


perlu ditata ulang karena lebih mengacu pada sistem ekonomi kapitalis.

"Banyak UU Indonesia yang mengabdi kepada kepentingan kapitalis dan justru


bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945," kata Pakar Hukum Ekonomi Universitas
Sebelas Maret (UNS) Solo, Adi Sulistiyono, di Solo, Kamis.

Padahal, menurut dia, sistem ekonomi memiliki hubungan yang saling terkait dengan
sistem hukum.

Sistem ekonomi Indonesia yang dalam praktiknya lebih mengacu pada sistem kapitalis
menyebabkan hukum ekonominya kurang berpihak kepada rakyat kecil, seperti petani.

"Sistem kapitalis lebih cenderung berpihak pada kepentingan-kepentingan negara


maupun perusahaan transnasional," kata doktor bidang Ilmu Hukum lulusan Undip
Semarang itu.

Menurut dia, saat ini sudah sangat mendesak agar Indonesia segera mempertegas sistem
ekonominya yang berdasarkan pada pasal 33 UUD 1945, sehingga acuan dalam
menyusun perundang-undangannya menjadi lebih jelas.

Ia mengatakan, UU ekonomi ini dibuat berdasarkan pasal 33 UUD 1945 dan basis
filosofinya sebagai penjabaran dari sistem ekonomi Indonesia.

Selain itu, kata dia, hingga kini belum ada satu presiden pun di Indonesia yang
menjadikan pembangunan hukum sebagai prioritas utama untuk menopang
pembangunan ekonomi.
Menurut dia, yang terjadi hingga saat ini ialah pembangunan dibiarkan mengalir tanpa
orientasi yang jelas.

"Dengan ketegasan ini diharapkan pembangunan hukum ekonomi dapat menghasilkan


peraturan yang lebih mengutamakan asas kekeluargaan untuk kemakmuran rakyat,"
katanya.(*)

COPYRIGHT 2007 ANTARA

PubDate: 15/11/07 16:07

Anda mungkin juga menyukai