Anda di halaman 1dari 66

"Q uentin Meillassoux adalah

dentuman besar termutakhir


dalam filsafat Kontinental. Ia mau
dasarnya bukanlah sesuatu yang
baru. Problem ini sudah mengada
sejauh keberadaan disiplin filsafat itu
menjebol perayaan suam-suam kuku sendiri, yakni pertanyaan mengenai,
filsafat Kontinental kontemporer atas “bagaimana kebenaran dapat
matinya realisme dan materialisme. dipikirkan sekaligus dimunculkan
Kehadiran buku ini memperkarakan dalam pikiran?”
terobosan Meillassoux itu melalui Bagi Yosie pertanyaan ini
kerangka psikoanalisis Lacanian. penting untuk diajukan dan dijawab
Kita bisa berdebat panjang tentang kembali, bahkan kalau perlu dalam
kesimpulannya. Akan tetapi, usaha bentuknya yang paling vulgar dan
Yosie dalam mengambil posisi pijak tanpa perasaan malu-malu, di tengah
yang mandiri—dan merisikokan gempuran serampangan pemikiran
diri demi posisi pijak itu—wajib pasca-modern yang pada dasarnya
kita hargai. Filsafat di Indonesia menjatuhkan kebenaran sebagai
kurang maju bukan karena kita sebatas permainan kuasa. Berbeda
tak punya bahan bacaan, tetapi dengan para pemikir pasca-modern
karena kita gampang berpuas-diri yang menjadikan kontingensi sebagai
menjadi pembebek filsuf besar dan batas pengetahuan manusia yang
berkubang nyaman dalam kultur dengannya kebenaran menjadi tiada
fanboy filosofis—tanpa ambisi dan tidak relevan, dalam buku ini
untuk menggagas yang baru, tanpa Yosie hendak merisikokan hipotesis
usaha untuk bereksperimen, tanpa bahwa kontingensi justru menjadi
keberanian untuk merisikokan kondisi kemungkinan yang secara
diri. Di sini, Yosie tampil sebagai dialektis justru menjadi keniscayaan
pengecualian. Buku ini merupakan bagi kebenaran itu. Dalam upaya
rekaman dari usahanya untuk Yosie inilah, Psikoanalisa Lacanian
berfilsafat secara mandiri. Dan filsafat menjadi sebuah senjata utama bagi
di Indonesia berutang padanya untuk pembukaan jalan menuju, serta
keberanian itu." menjawab, (problem) kebenaran.
Dengan kata lain bagi Yosie,
— Martin Suryajaya, penulis buku- pesan dalam buku ini adalah
buku filsafat. sederhana; mereka yang tidak
berbicara mengenai kebenaran dalam
filsafat, harus tutup mulut ketika
hendak berceloteh mengenai filsafat

"D i tengah semua hiruk-pikuk


kebaruan dan kekinian yang
muncul dari konstruksi filosofis yang
itu sendiri.

— Muhammad Ridha, anggota


diargumentasikan oleh Yosie, problem Partai Rakyat Pekerja (PRP). Editor
pengetahuan yang digeluti Yosie pada IndoProgress.

1
Hizkia Yosie Polimpung

2
“ Ontroantropologi:
Fantasi Realisme Spekulatif
Quentin Meillassoux

3
Hizkia Yosie Polimpung

Hizkia Yosie Polimpung adalah peneliti dan ketua


Koperasi Riset Purusha, anggota Aliansi Pemuda
Pekerja Indonesia (APPI), dan anggota editor-kolektif
Jurnal IndoProgress. Ia juga merupakan salah satu
pendiri klinik koperatif dan pusat riset Minerva Co-
Lab: Hipnoterapi, Psikoanalisis dan Psike Kolektif di
mana ia menjalankan praktik sebagai psikoterapis.
Menempuh pendidikan sarjana Ilmu Hubungan Inter­
nasional di Universitas Airlangga, magister Ilmu Hubungan
Internasional (spesialisasi Pengkajian Strategi dan Keamanan)
di Universitas Indonesia, dan doktoral Ilmu Filsafat di Universitas Indonesia.
Saat ini ia terdaftar sebagai dosen di Paramadina Graduate School of Diplomacy,
Universitas Paramadina. Sebagai praktisi hipnoterapi, ia memiliki sertifikasi
sebagai Certified Hypnotherapist (CHt.) dan Certified Instructor (CI.) dari The
Indonesian Board of Hypnotherapy (IBH), Certified Hypnotherapist (CHt.) dari
International Association of Counselors and Therapists (IACT), dan Certified
Master Practitioner Neurolinguistic Programming (MNLP.) dan Certified
Trainer (CT.) dari Neo NLP Society Indonesia. Ia juga terdaftar di jejaring
praktisi psikoanalisis global, Lacan Online, sebagai psikoanalis Lacanian.

Ia adalah penulis buku Asal Usul Kedaulatan (Kepik, 2014), dan penulis-ber­
sama buku Marxisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa (IndoProgress, 2016),
Membedah Tantangan Jokowi-JK (peny. Coen H. Pontoh; Marjin Kiri dan
IndoProgress, 2014), Oposisi Demokratik di Era Mediasi-Massal Demokrasi (UI
Press, 2012), Dilema Kultural dalam Strategi Diplomasi Indonesia di ASEAN (UI
Press, 2012). Tulisan dan makalahnya tersebar di harian dan jurnal-jurnal mulai
dari IndoProgress, The Jakarta Post, Esquire, Koran Sindo, dll. Area risetnya
adalah seputar interseksi transdisipliner dari psikoanalisis, studi urban dan
ekonomi politik global. Topik kajian yang sedang digelutinya saat ini adalah
pembentukan subjektivitas pekerja kreatif dan anak muda perkotaan, dan
proses kerja imaterial di era kapitalisme pasca-Fordis. Di samping itu, ia juga
aktif dalam mengarusutamakan dan memfasilitasi pengembangan jejaring
koperasi dan jejaring riset kolaboratif.

Buku ini adalah pengembangan dari disertasi doktoralnya yang berjudul Kritik
terhadap Proyek Filsafat Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux dari Perspektif
Psikoanalisis Jacques Lacan (Universitas Indonesia, 2016).

4

Ontroantropologi:
Fantasi Realisme Spekulatif
Quentin Meillassoux

Hizkia Yosie Polimpung

5
Hizkia Yosie Polimpung

ONTOANTROPOLOGI: FANTASI REALISME


SPEKULATIF QUENTIN MEILLASSOUX
© Hizkia Yosie Polimpung

Editor: Naufil Istikhari Kr


Penyerasi: Taufiqurrahman
Penata Sampul: Ayik Miftah
Penata Isi: Mawaidi D. Mas

Diterbitkan oleh Aurora


(CV. Cantrik Pustaka)
Pondok Warsito, Jl. Legi 32, Papringan, Catur-
tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta 55598
Email: naskahcantrik@gmail.com
Facebook: Cantrik Pustaka
Twitter: @cantrikpustaka
Website: cantrikpustaka.com

Perpustakaan Nasional:
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Ontoantropologi: fantasi realisme spekulatif
quentin meillassoux/Hizkia yosie polimpung
—Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2017
300 hlm ; 14,5 x 20,7 cm

ISBN 978-602-60226-8-4
Cetakan Pertama, Januari 2017

apabila pembeli mendapati buku ini


dalam keadaan rusak, halaman terbalik,
atau kosong, silakan kirim kembali
ke alamat di atas.

6
Dari Penerbit

M ari kita baca buku ini dengan gambaran karikatural agar filsafat
tidak selalu tampak menjenuhkan.
Seorang mahasiswa filsafat di sebuah perguruan tinggi negeri
pesimis masa depannya akan berakhir sebagai peternak lele.
Bukan karena khawatir tidak bisa mendapatkan lowongan kerja,
melainkan karena ilmu yang dipelajarinya menjadi demikian lemah.
Ia, dengan filsafat yang sudah susah-payah dipelajarinya, tidak bisa
berbuat apa-apa. Kenapa? Karena filsafat yang berkembang akhir-
akhir ini menutup semua kemungkinan manusia mengakses yang
absolut. Manusia (dianggap) selalu sudah terkurung dalam horizon
kemanusiaannya. Namun akhirnya, daripada semua upaya filosofis
untuk mencari kebenaran absolut hanya akan dianggap sama saja
dengan harga lele yang selalu dipengaruhi oleh konteks ekonomi-
politik (korelat manusia), pikir mahasiswa itu, lebih baik jadi peternak
lele saja yang tak perlu susah-payah berpikir. Meski keputusan ini
teramat dilematis untuk diambil. Singkatnya, berfilsafat, ketika tidak
bisa mengakses yang absolut, itu tak lebih istimewa dari beternak
lele.
Pembatasan akses manusia terhadap yang absolut itu, setidak­
nya, dimulai sejak Immanuel Kant menulis Kritik atas Rasio Murni.
Mulanya Kant hendak mengkritik metafisika yang terobsesi meng­
gapai benda-dalam-dirinya (das Ding an sich). Kritik itu cukup
tajam—bahwa daripada memikirkan benda-dalam-dirinya, filsuf se­
mes­tinya cukup memikirkan apa yang memungkinkan kognisi ma­
nu­sia bisa bermetafisika.

7
Hizkia Yosie Polimpung

Sejak itulah proyek filsafat seolah disepakati bersama, yaitu


menghajar habis metafisika. Bagi Kant, benda-dalam-dirinya itu,
objek yang absolut dan independen dari manusia, yang menjadi
ob­sesi metafisika, tidak mungkin terpikirkan oleh manusia. Alih-
alih mengafirmasi keabsolutan dan independensi dunia eksternal
manu­sia, Kant justru memaklumatkan bahwa “objek harus menye­
sesuaikan dengan pikiran kita”.
Maklumat itu menandai senjakala metafisika. Dan yang abso­
lut, karenanya, juga telah dijauhkan dari akses pengetahuan
manusia. Segala sesuatu di dunia hanya bisa diketahui berdasarkan
mediasi dan representasinya kepada manusia. Seluruh varian filsa­
fat pasca-Kantian, yang mewujud dalam rupa-rupa filsafat ber­
label “kontemporer”, terutama yang melintasi trajektori Husserl,
Heidegger dan Wittgenstein, meresapi spirit Kantianisme tersebut.
Manusia tak dapat mengakses yang absolut.
Perdebatan filsafat berlabel kontemporer, karenanya, bukan lagi
soal yang absolut, melainkan soal manakah relasi atau korelasi atau
mediasi atau apa pun namanya yang paling memungkinkan untuk
memahami dunia. Relasi-korelasi-mediasi itu muncul dalam bera­
gam nama. Mulai dari “kehedak kuasa”-nya Friedrich Nietzsche, “in­
tensionalitas”-nya Edmund Husserl, “ada-dalam-dunia”-nya Martin
Heidegger, “permainan bahasa”-nya Ludwig Wittgenstein, “narasi
kecil”-nya Jean-François Lyotard, “relasi kuasa-pengetahuan”-
nya Michel Fou­cault, “différance”-nya Jacques Derrida, “aparatus
ideologis”-nya Louis Althusser, hingga konsep “dunia ketiga”-nya
Gottlob Frege dan “acquaintance”-nya Bertrand Russell.
Itulah era yang—secara tepat oleh Hizkia Yosie Polimpung
dalam buku ini—disebut “kembalinya irasionalitas dalam filsafat”.
Pada momen inilah Quentin Meillassoux, filsuf Prancis yang masih
berusia 50 tahun itu, hadir ke gelanggang sejarah filsafat Barat. Ia
membangun sebuah proyek filsafat yang mencoba membuka jalan
menuju yang absolut; mengambil posisi berlawanan dengan seluruh
varian filsafat pasca-Kantian yang disebutnya sebagai “korela­sion­
isme”.
Inilah juga kabar gembira bagi mahasiswa filsafat yang pesimis
masa depannya akan berakhir sebagai peternak lele. Bahwa filsafat,

8
Dari Penerbit

melalui Quentin Meillassoux, kembali dimungkinkan untuk meng­


akses yang absolut tanpa intervensi relasi-korelasi-mediasi kemanu­
siaan.

Lahir di Paris, Prancis, pada tahun 1967, Quentin Meillassoux men­


jadi anak seorang antropolog yang populer di masanya, Claude
Meillassoux (1925-2005). Pada masa mudanya, Meillassoux belajar di
kampus yang telah melahirkan banyak filsuf besar di Paris: École
Normale Supérieure. Di situlah Meillassoux menjadi murid salah
seorang filsuf besar abad ke-21 Alain Badiou.
Pada tahun 2006, buku pertamanya Après la finitude diterbitkan.
Gurunya, Alain Badiou, memberi kata pengantar untuk buku tersebut
sembari menuliskan pujian:

Tujuan “Seri Filsafat” ini bukan hanya untuk menerbit­


kan karya-karya filsafat kontemporer yang telah matang
dan ulung atau dokumen-dokumen filsafat yang pen­
ting dari setiap era, melainkan juga tulisan-tulisan yang
mampu menghadirkan sesuatu yang baru [...]. Kategori
kebaruan itu pantas kita sematkan pada buku Quen­
tin Meillassoux ini. [...] Tidak berlebihan jika Quentin
Meillassoux dikatakan telah membuka jalan baru dalam
sejarah filsafat; sebuah jalan yang menghindari pembe­
daan kanonis Kant antara ‘dogmatisme’, ‘skeptisisme’,
dan ‘kritik’.

Tidak hanya sekali Badiou memuji Meillassoux. Di lain kesem­


patan, dalam sebuah wawancara dengan Ben Woodard, Badiou juga
berkomentar tentang realisme spekulatif dengan merujuk ke filsafat
Meillassoux:

Posisi Realisme Spekulatif itu adalah posisi yang titik


mula filsafatnya bukan hubungan subjek dengan objek
atau subjek dengan dunia atau apa yang oleh Quentin
Meillassoux dinamai korelasionisme. Saya sudah lama

9
Hizkia Yosie Polimpung

mengenal Quentin Meillassoux—bahkan saya jadi pem­


bimbing disertasi doktoralnya—dan sejak awal saya
berpikir bahwa deskripsi dan kritiknya terhadap korela­
sionisme itu sangat penting.

Oleh karena, salah satunya, komentar positif dari Badiou itulah,


dengan cepat Meillassoux naik daun. Dua tahun setelah terbitan
pertamanya, Après la finitude langsung diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dan diterbitkan dengan judul After Finitude oleh
Continuum. Dari situlah ia segera menemui pembaca filsafat dalam
lingkup internasional.

Buku Après la finitude atau Setelah Keterhinggaan mengemban misi


filosofis yang sangat berat. Setelah selama beberapa dekade filsafat
terpasung oleh wacana keterhinggaan, wacana yang mengurung
manusia dalam relasi-korelasi-mediasi, kini Quentin Meillassoux
dengan Après la finitude berusaha menembus keterhinggaan itu.
Filsafat, di era Setelah Keterhinggaan, memampukan dirinya untuk
menjadi tak-hingga demi menemukan klaim sahih bagi yang absolut.
Namun, dengan apa akses tehadap yang absolut itu dimung­
kinkan? Jawaban Meillassoux: dengan matematika! Berikut klaim
Meillassoux terhadap matematika dalam Après la finitude:

Semua aspek objek yang dapat diformulasikan dalam


term matematis dapat dimengerti secara bermakna seba­
gai sifat dari objek itu sendiri. Semua aspek objek yang
dapat ditangkap oleh penalaran matematis dari­ pada
hanya oleh persepsi dan sensasi dapat secara ber­makna
menjadi sifat objek itu sendiri tidak saja saat manusia
ada, tetapi juga saat manusia tidak ada.

Matematikalah, dalam formulasi Meillassoux, yang memung­


kinkan manusia mengakses yang absolut yang independen dari

10
Dari Penerbit

keberadaan manusia. Sesuatu yang dapat dirumuskan secara mate­


matis tidak mensyaratkan keberadaan manusia. Bahwa 2+2 akan
tetap sama dengan 4, baik ada manusia atau tidak ada manusia. Mate­
matika dianggap mampu berbicara tentang dunia tanpa tergantung
pada relasi-korelasi-mediasi manusia.
Namun, benarkah matematika demikian bebas dari unsur ke­
ma­nusiawian? Inilah salah pertanyaan yang dimunculkan Hizkia
Yosie Polimpung dalam buku ini. Jika tadi mahasiswa filsafat calon
peternak lele boleh senang karena Meillassoux telah membuka
kemungkinan bagi filsafat, melalui matematika, untuk mengakses
yang absolut, maka kini Hizkia Yosie Polimpung melalui buku ini
justru mempertanyakan usaha Meillassoux tersebut.
Bahkan Hizkia Yosie Polimpung dalam buku ini, melalui pisau
bedah psikonalisis Lacanian, tampak sedang berusaha mengungkap
ketaksadaran-ketaksadaran si analisan yang tak lain adalah Quentin
Meillassoux itu sendiri. Ratifikasi Meillassoux terhadap “dunia luar
raya” sebagai dunia yang independen dari manusia, misalnya, oleh
Hizkia Yosie Polimpung dianggap sebagai ketaksadaran Meillassoux
yang didorong oleh hasratnya terhadap yang absolut. Pada saat
Meillassoux mengandaikan “dunia luar raya” sebagai dunia yang
independen dari manusia, secara tak sadar, Meillassoux justru
menarik batas independensinya dari manusia.
Demikian juga saat Meillassoux begitu yakin matematika mampu
mengakses yang absolut, ia secara tak sadar memasukkan manu­
sia yang dianggapnya irasional ke dalam objek wacana mate­matis,
sehingga matematika pun selalu didera oleh unsur kemanusiawian.
Oleh karena itulah, “sang psikonalisis” Hizkia Yosie Polimpung
dalam buku ini menengarai wacana yang absolut dalam Quentin
Meillassoux hanyalah fantasi ketaksadaran Quentin Meillassoux
sendiri. Sebab segala pengandaian yang oleh Meillassoux dianggap
independen dari manusia nyatanya selalu dideterminasi oleh
ontoantropologi: sebuah asumsi ontologis terkait yang absolut yang
(secara tak sadar) didasarkan pada batas kemanusiawian.
Oleh karena itu, menarik kita melihat lebih lanjut bagaimana
kritik terhadap filsafat Meillassoux yang terobsesi pada yang absolut
ini dioperasikan oleh Hizkia Yosie Polimpung dengan gaya seorang

11
Hizkia Yosie Polimpung

psikoanalis menemui pasiennya. Jika Anda juga termasuk salah satu


jenis mahasiswa filsafat yang pesimis masa depannya akan berakhir
sebagai peternak lele hanya karena filsafat yang dipelajarinya
tidak mampu menggapai yang absolut, dengan membaca buku ini,
barangkali Anda akan sadar bahwa obsesi terhadap yang ab­solut
itu hanyalah hasrat tak sadar yang sebenarnya bercorak ontoan­
tropologis.
Terakhir, terima kasih banyak kepada Hizkia Yosie Polimpung
yang telah memercayai kami untuk menerbitkan naskah filsafatnya
ini. Perlu kita akui, buku ini memberi sumbangan penting bagi
perkembangan wacana filsafat di Indonesia. Selamat membaca![]

12
Pengantar Penulis

Dari Penulis

B uku ini adalah tentang apa yang disebut di sini sebagai onto­
antropologi, yaitu pandangan ontologis yang meletakkan manu­
sia sebagai jangkar dari keberadaan segala sesuatunya. Apabila
dalam tradisi metafisika kita mengenal istilah ontoteologi, yang mana
Tuhan ditempatkan sebagai jangkar ontologis segala sesuatunya, di
dalam filsafat kontemporer kita melihat korelat-korelat kemanusiaan
yang menjadi jangkar ontologis ini. Mulai dari ide, rasio, kehendak,
kuasa, bahasa, dst., semuanya berkompetisi mengisi kekosongan
pasca-Tuhan dikumandangkan kematiannya oleh Nietzsche. Sayang­
nya, Tuhan tidaklah benar-benar mati, ia menjelma dan merasuk
dalam rupa-rupa yang baru dalam filsafat, yaitu dalam rupa manusia.
Alhasil, kita bisa menduga, korelat-korelat manusia tadi tidak lain
adalah jejak-jejak sekuler Tuhan dalam filsafat. Adalah Quentin
Meillassoux [baca: kwang-tang meiy-yas-suh] yang mencoba,
dan berhasil, menunjukkan betapa filsafat kontemporer, sekalipun
meng­gadang-gadang tentang perbedaan (dalam segala bentuk dan
manifestasi konseptualnya) sebenarnya tetap mengulangi satu kesa­
maan, yaitu peneguhan korelat manusia sebagai jangkar kebe­radaan
ontologis.
Buku ini mencoba memberikan refleksi kritis akan proyek
filsafat Meillassoux. Setelah memberikan kritik terhadap filsafat-
fil­safat perbedaan ini, yang disebutnya korelasionisme (yang le­bih
spesifiknya lagi mengacu pada fenomenologi, Analitik, dan pasca­­
modernisme), Meillassoux mencoba untuk kembali menjajal ke­
mampuan filsafat untuk menaja problem ontologis, yaitu meng­
klaim kebenaran absolut. Tentunya kali ini adalah kebenaran absolut
yang nirmetafisik, nirabsolutis, dan nirontoantropologis. Sayangnya
buku ini menunjukkan keterbatasan dari upaya Meillassoux

13
Hizkia Yosie Polimpung

tersebut. Namun demikian, komitmen Meillassoux melalui proyek


realisme spekulatifnya adalah sesuatu yang tetap dipertahankan
di sini, sekalipun cara mengeksekusi proyek tersebut sepenuhnya
dipertanyakan. Proyek meretas jalan menuju rasionalitas yang
absolut, menurut penulis, adalah apa yang kita butuhkan saat
ini dalam mengonfrontir rupa-rupa irasionalitas dalam berbagai
jelmaannya: fundamentalisme religius, irasionalitas pasar, brutalitas
kekuasaan negara, krisis lingkungan, dst. Tidak pernah proyek filsafat
dalam menggapai yang absolut menjadi serelevan sekarang ini.
Tidak pernah tuntutan agar filsafat membumi menjadi semendesak
sekarang ini. Namun demikian, proyek ontologis bukanlah sesuatu
yang mengawang-awang. Setinggi dan seabstrak apa pun filsafat
bergerak menuju awan-awan untuk mencari yang absolut, disertasi
ini hendak menunjukkan bahwa ia, yang absolut, tidak ada di atas
sana. Yang absolut telah selalu ada di sini, sekarang, hadir bersama
kita. Tugas filsafat adalah membongkar tabir yang selamanya
menghalangi kita untuk melihat presentasi murni dari yang absolut.
Tabir itu, tak lain, dan ironisnya, adalah kemanusiaan itu sendiri.
Buku ini adalah buah pemikiran, yaitu korelat, dari penulis
selama setidaknya tujuh tahun. Tentunya dalam waktu yang sepan­
jang itu (yang sebenarnya tidak terlalu panjang), penulis berjumpa
dengan orang-orang yang turut andil secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses pengembangan ide-ide yang termaktub di
sini. Setidaknya ada beberapa oknum yang harus penulis akui sebagai
pemantik, sumber inspirasi, dan juga sekaligus, tentu saja, lawan
dialektis penulis. Martin Suryajaya adalah orang yang ter­ hadap
pemikirannya penulis bereaksi keras. Kegigihan dan keketatannya
dalam berfilsafat dan dalam upaya merengkuh yang absolut adalah
inspirasi awal penulis untuk juga menjajaki proyek serupa, walaupun
dengan lintasan yang bisa jadi berbeda. Buku ini adalah penjabaran
megaekstensif dari respon penulis atas buku Martin, Materialisme
Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsa­fat Kontemporer, yang
diterbitkan oleh IndoProgress dalam dua seri tahun 2012 silam.
Ulasan kritis (dan konfrontasional) akan buku tersebut adalah kali
pertama ide yang ada di sini dipresentasikan ke publik. Muhammad
Ridha dan Muhammad Al-Fayyadl juga turut mengintervensi

14
Pengantar Penulis

perdebatan, dan pada gilirannya turut menjadi rekan dialog penulis


dalam mempertajam argumen-argumen di sini.
Inspirasi kedua adalah dari Muhammad Al-Fayyadl, terutama
artikelnya tentang “Bunuh Diri Kelas”—yaitu cara (Derridean)
bagi kelas menengah untuk bisa menjadi revolusioner. Lainnya
adalah kesempatan penulis untuk menjadi pembahas buku Tony
Rudyansjah, yang juga adalah ko-promotor penulis, yang berjudul
Alam, Kebudayaan dan Yang Ilahi. Melalui tulisan Al-Fayyadl, pe­
nulis disadarkan mengenai keterinklusian kita dalam sistem yang
hendak kita lawan, dan bagaimana pengabaian terhadap kenya­
taan tersebut justru menjadi bumerang. Pembatalan terhadap
keterinklusian tersebut adalah hal yang penulis petik dari tulisan Al-
Fayyadl. Lalu pada buku Rudyansjah, penulis untuk pertama kalinya
ditunjukkan mengenai sejarah sebuah disiplin tentang manusia, yaitu
antropologi, yang pada perkembangan mutakhirnya justru sampai
pada pembatalan akan kemanusiaan itu sendiri. (Pembacaan ini,
sayangnya, tidak begitu disambut oleh sang penulis). Imam Ardhianto
dan Geger Riyanto turut memandu penulis menelusuri pemikiran-
pemikiran antropologi pascasosial dan nirmanusia (Strathern,
Ingold, de Castro, Descola, dst.), dan semakin meyakinkan penulis
me­ngenai gagasan pembatalan manusia ini. Sayangnya, di buku ini
kekayaan pendekatan antropologi ini belum banyak tertuang karena
keterbatasan penulis. Namun demikian, ide mengenai pembatalan-
diri ini berperan sentral dalam mendeskripsikan posisi penulis
terkait, tidak hanya realisme spekulatif Meillassoux, melainkan
keseluruhan upaya manusia dalam menggapai yang absolut.
Inspirasi ketiga adalah saat penulis dan beberapa kawan men­
dapat kesempatan untuk mendirikan suatu organisasi eksperimental,
yaitu Koperasi Riset Purusha. Aspirasi saintifik, eksperimental dan
transformatif, ditambah dengan pemikiran-pemikiran yang berasal
dari simpulan penelitian di lapangan, adalah apa-apa yang memotivasi
kami untuk mendirikan Koperasi tersebut. Althusser terkenal akan
kutipannya dari Lenin bahwa tidak ada praktik revolusioner tanpa
teori revolusioner. Penulis berpendapat sebaliknya, praktik-praktik
revolusioner adalah laboratorium untuk kita mengeksperimentasikan
pemikiran, teori dan filsafat revolusioner. Bagi penulis sendiri,

15
Hizkia Yosie Polimpung

Koperasi ini adalah laboratorium tersebut. Ia terbentuk karena,


salah satu sumbangsih kecilnya, pemikiran-pemikiran penulis yang
dalam versi filosofisnya tertuang di disertasi ini. Tidak hanya itu,
melalui Koperasi tersebut, dan juga kemudian pada serikat pekerja
eksperimental Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI), dan dengan
kamerad yang penulis temui di sana, penulis mengembangkan ide-
ide dalam disertasi ini. Penulis tidak bisa menyebut keseluruhan
anggotanya di sini, namun beberapa nama yang memiliki pengaruh
signifikan pada ide di disertasi ini perlu penulis sampaikan: Dodi
Mantra dan Lawrensia Hanny Wijaya adalah dua orang yang
darinya penulis belajar banyak tentang makna dari ‘eksperimentasi
revolusioner’, yang dalam disertasi ini mendarat dalam ide mengenai
eksperimentasi filosofis dalam memikirkan yang absolut.
Pula melalui Koperasi Riset Purusha ini penulis mencoba meng­
inisiasi klinik koperatif, Minerva Co-Lab: Hypnotherapy, Psycho­
analysis and Collective Psyche, dalam rangka menjajal eksperimentasi
psike kolektif setelah mendapat lisensi praktisi psiko/hipnoterapi dari
The Indonesian Board of Hypnotherapy. Dalam praktik-praktik di sini,
ide ketiadaan dan keterstrukturan ‘manusia’ oleh ketaksadaran yang
penulis tuangkan di buku ini mendapatkan konfirmasi-konfirmasi
empiriknya. Bahkan tidak jarang pengalaman-pengalaman klinis
ini memberikan inspirasi dan pemahaman baru bagi konsep-konsep
ontologis Lacanian di disertasi ini. Terima kasih juga untuk Mr. AX
yang sudah boleh penulis pakai kasus klinisnya di buku ini untuk
mengilustrasikan teori Lacan.
Terlepas dari ketiga peristiwa di atas, penulis banyak mendapat
masukan, saran, inspirasi, kritik, sanggahan, dan lawan diskusi dari
kawan-kawan dan kolega. Beberapa nama yang bisa saya sebutkan:
Mahmud Syaltout, Azis Rahmani, Muhammad Arif, Dwinta Kun­
taladara, Richard Oh, Bramantya Basuki, Suluh Pamuji, Bagus Juang,
Gede Indra Pramana, Yogi Ishabib, Aditya Fernando, Ken Kumbara,
Khoirul Anwar, Prasojo, Lukman Arifianto, Priska Sabrina Luvita,
Fazar Sargani, Niken Anjar Wulan, Anggraeni Widhiasih, Mita
Yesyca, Gaby Yosefina, Suarbudaya Rahadian, Daniel Sihombing,
Awa­ludin Marwan, Tommy Awuy, Sarasdewi, Rocky Gerung,
Daniel Hutagalung, Nick Srnicek, dan Nina Barcelona Black. Untuk

16
Pengantar Penulis

nama-nama ini, dan nama-nama lain yang luput disebutkan, penulis


menyampaikan terima kasih.
Buku ini adalah pengembangan dari disertasi doktoral penulis
di Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Uni­
versitas Indonesia. Karenanya, buku ini tidak akan bisa ada tanpa
bim­bingan, masukan, arahan, fasilitasi dan wanti-wanti dari para
dosen. Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo telah dengan sangat sabar
membantu dan memberi arahan dalam pengerjaan disertasi ini, tidak
hanya dalam kapasitasnya sebagai promotor, melainkan juga sebagai
guru dan senior. Dr. Tony Rudyansjah dan Dr. Donny Gahral Adian
juga memberikan arahan yang berguna dalam mengembangkan
argumen penulis di disertasi ini. Dr. Robertus Robet dan Dr. Budiarto
Danujaya, sebagai penguji, telah membantu menunjukkan celah-
celah argumentasi penulis. Prof. Dr. Riris Toha Sarumpaet juga tidak
kalah membantunya bagi penulis dalam memperbaiki poin-poin
penyajian argumen penulis. Dr. Akhyar Lubis juga turut membantu
penulis untuk mengklarifikasi poin-poin di disertasi ini. Almarhum
Dr. Vincentius Jolasa juga turut memberi semangat penulis untuk
menyelesaikan disertasi ini.
Penulis juga berterima kasih untuk kawan-kawan S2 dan
S3 Filsafat UI yang telah bersama-sama memutar otak di bangku
perkuliahan dan terbuai dalam abstraksi nan menghanyutkan dari
filsafat: Karina Anjani, Puri Kurniasih, Ranti Putriani, Irfie Maellanie,
Asep, Rikobidik, Pak Halkis, Bu Sa’adah, Pak Njoman, Pak Bruno,
Pak Yohanes Sumaryanto, Pak Amsar, Bung Anggara. Cormac
Gallagher dari Lacan in Ireland juga berkontribusi sangat besar untuk
penulis bisa mengakses seluruh seminar Lacan dalam bahasa Inggris,
terutama di tengah melapuknya bahasa Prancis penulis. Library
Genesis, Aaaaarg dan Sci-Hub adalah tiga situs yang tanpanya
disertasi ini bisa dibilang menjadi tidak mungkin. Semangat luar
biasa juga diberikan oleh orang-orang terdekat penulis: Papa (Rudolf
Polimpung), Mama (Grace Rumengan), Joan Aurelia, Tirza Petrina,
Hulda Tabitha, dan Abraham Timothy.

17
Hizkia Yosie Polimpung

Akhir kata, jika benar kata Meillassoux bahwa filsafat adalah


eksperimentasi tentang bentuk “aneh” argumentasi yang berbatasan
langsung dengan sisi gelapnya: sofisme dan skeptisisme, maka
sebenarnya berarti bahwa filsafat itu tidak ada, tidak di dunia ini.
Karena hari-hari ini, bentuk-bentuk argumen yang berbatasan
langsung dengan sofisme dan skeptisisme adalah argumen-argumen
fundamentalis fanatik, mulai dari fundamentalisme religius, moral,
negara, pasar, rasial, preferensi seksual, dst. Tidak ada tempat untuk
rasionalitas dan kebenaran absolut filsafat. Jika memang demikian,
satu-satunya cara agar filsafat tidak terperosok menjadi eskapis dan
fatalis, tampaknya hanya dengan mengafirmasi ketiadaan filsafat
itu sendiri. Dengan mengokupasi sisi gelap yang adalah ketiadaan,
filsafat memiliki peluang yang besar untuk membayang-bayangi
seluruh fondasi irasional tatanan dunia hari ini, dan meruntuhkannya
dari dalam. Mungkin hanya yang tiada, yang nihil, yang bisa me­
nyelamatkan filsafat, dan yang kemudian menyelamatkan kita. Bisa
jadi justru dari kegelapan, kebenaran absolut itu muncul. Akhirnya,
bisa kita pahami pengakuan seorang filsuf: “Saya adalah seorang
nihilis karena saya masih percaya pada kebenaran.”

Jakarta, November 2016

Penulis

18
“ Where there is nothing, read that I love you

19
Hizkia Yosie Polimpung

20
Isi Buku

Dari Penerbit
Pengantar Penulis

BAB I
Ontoteologi, Ontoantropologi, Realisme Spekulatif 23
Dua Ontologi — Realisme Spekulatif — Realisme
dan Realitas Eksternal yang Objektif dan Absolut —
Ontoantropologi dalam Realisme Spekulatif — Tentang
Buku Ini — Menyituasikan Kritik Ontoantropologi —
Kerangka Pembahasan

BAB II
Filsafat Libidinal Jacques Lacan dan Keganjilan
Ontologis 61
Psikoanalisis Lacan atau Filsafat Libidinal —
Ketidaksadaran, Perbedaan Seksual dan Ontologi —
Keganjilan Ontologis dan Fantasi Fundamental — Demo
Analisis — Fantasi Realisme Spekulatif

BAB III
Filsafat di Era Kembalinya Irasionalitas:
Menyituasikan Intervensi Realisme Spekulatif
Quentin Meillassoux 97
Peralihan Spekulatif — Idiosinkrasi Meillassoux —
Irasionalitas I: Kontra-Revolusi Ptolemian — Irasionalitas
II: Filsafat sebagai Pelindung Fanatisme

21
Hizkia Yosie Polimpung

BAB IV
Problem Ansestral, Solusi Astral: Seksualitas Dunia
Luar Raya 130
Ansestralitas dan Lintasan Menuju Dunia Luar Raya —
Paradoks Ganda Arke-Fosil: Di Manakah Itu di Luar? —
Lini Pelarian Astral — “Seandainya Manusia tak Pernah
Ada …” — Paradoks Heisenberg dan Perburuan Partikel
Tuhan — Dunia tanpa Manusia? — Yang di dalam Kulit —
Seksualisasi Ontologis — Refleksi Transferensial

BAB V
Ketiadaan Absolut: Konsekuensi Faktialitas dan
Kemanusiawian Matematika 177
Argumen Faktialitas dan Matematika Transfinit — Dari
Tiada, Menuju Tiada, Dengan Tanpa Alasan — Dialog
Pasca-Kematian — Absolutisasi Faktisitas dan Keniscayaan
Kontingensi — Mengekang Hiperkaos — Absolut Matematis
dan Yang Tak Terhitungkan — Inferensi Probabilis dan
Keberuntungan — Transfinit Cantorian — Tiada dan
Variannya — Tiada Meontologis — Tiada Ontikologis —
Matematikalisasi, Seksualisasi — Rasionalitas Nirmanusia
— Irasionalitas Manusia dan Ketaksadaran Saintifik —
Matematika Manusiawi I: Korelat Pervert

BAB VI
Simpulan 259
Keganjilan Ontologis — Seksualisasi Ontologi — Dari
Ansestralitas ke Astralitas — Ketidaksadaran Saintifik

22
Simpulan

BAB VI

Simpulan

“Man is a mistake, he must go”


D.H. Lawrence1

“That makes them laugh. Except that it has a


very important consequence, especially for the
revolutionaries, which is that nothing is everything
[rien n’est tout].”
Jacques Lacan2

B uku ini adalah tentang apa yang disebut sebagai ontoantropologi,


yaitu suatu pandangan ontologis yang meletakkan manusia
sebagai jangkar dari keberadaan segala sesuatunya. Apabila dalam
tradisi metafisika dikenal dengan ontoteologi, yang mana Tuhan
ditempatkan sebagai jangkar ontologis segala sesuatunya, kini di
dalam filsafat kontemporer kita melihat korelat-korelat kemanusiaan
yang menjadi jangkar ontologis ini. Mulai dari ide, rasio, kehendak,
kuasa, bahasa, dst., semuanya berkompetisi mengisi kekosongan
pasca-Tuhan dikumandangkan kematiannya oleh Nietzsche, sang
filsuf nihilis. Sayangnya, Tuhan tidaklah benar-benar mati, ia men­
jelma dan merasuk dalam rupa yang baru dalam filsafat, yaitu dalam
rupa manusia. Alhasil, kita bisa menduga, korelat-korelat manusia
tadi tidak lain adalah jejak-jejak sekuler Tuhan dalam filsafat.

1 D. H. Lawrence, Women in Love (Wordsworth Classics, 1999),Ch. 11.


2 Jacques Lacan, Seminar XVII: The Otherside, h. 203.

259
Hizkia Yosie Polimpung

Adalah Quentin Meillassoux yang mencoba, dan berhasil, me­


nun­jukkan betapa filsafat kontemporer, sekalipun menggadang-
gadang tentang perbedaan (dalam segala bentuk dan manifestasi
konseptualnya) sebenarnya tetap mengulangi satu kesamaan, yaitu
peneguhan korelat manusia sebagai jangkar keberadaan ontologis.
Meillassoux adalah seorang filsuf kontemporer yang, di tengah
tren relativisme, justru tertarik untuk merehabilitasi realisme dan
membawanya satu tingkat lebih jauh. Bahkan, seiringan dengan
upaya ini, ia juga membawa filsafat ke satu lompatan lebih maju.
Dalam tren fanatisme dan ekstremisme yang menyeruak di pe­
lataran publik hari ini, filsafat seolah kehilangan taji untuk mengem­
ban tugas sejarahnya untuk memberikan refleksi bahkan dakwaan
rasional atasnya. Alih-alih demikian, sebagaimana yang sudah diba­
has di bab tiga, ironisnya filsafat justru mengizinkan irasionalitas ini
dapat terakses kepada yang absolut. Filsafat kontemporer melakukan
ini dengan menolak seluruh klaim absolut yang rasional dengan ala­
san karena itu semua metafisik dan absolutis yang bertabiat represif
dan eksklusioner. Namun sebagai gantinya, ia malah mengizinkan
segala bentuk pemikiran—doktrin keagamaan, petuah moral, keari­
fan lokal, dsb.—untuk memiliki akses yang sama terhadap yang
absolut sepanjang mereka tidak mengklaim dirinya sebagai rasional.
Alhasil, hanya sebentuk kesalehan subjektif yang menjadi prasyarat
“filosofis” sebuah pemikiran akan yang absolut. Filsuf-filsuf kontem­
porer pun menjadi tidak terbedakan dengan motivator, pertapa bijak
dan pengkhotbah moral. Di sini, keluh Meillassoux, bukan hanya fil­
safat menjadi tereduksi menjadi sebentuk fideisme, ia malah tanpa
disadari menjadi pelindung bagi fanatisme itu sendiri tepat justru
karena ia tidak bisa menyalahkan atau membenarkan pemikiran fa­
natis tersebut secara rasional.
Kontribusi Meillassoux adalah membawa kembali agenda filsa­
fat untuk mengakses yang absolut melalui pikiran rasional. Tanpa
secara naif mengulangi realisme konvensional dan mengabaikan be­
gitu saja dakwaan dari kaum relativis, Meillassoux terang-terangan
mengonfrontasi pemikiran-pemikiran mereka tepat di jantungnya.
Setelah memberikan kritik terhadap filsafat-filsafat relativis ini, atau
yang disebutnya korelasionisme (yang lebih spesifiknya lagi mengacu

260
Simpulan

pada fenomenologi, Analitik, dan pascamodernisme), Meillassoux


mencoba untuk kembali menjajal kemampuan filsafat untuk menaja
problem ontologis, yaitu mengklaim kebenaran absolut. Ketimbang
mereduksi filsafat sebagai suatu refleksi mengenai etika, Meillassoux
memampukan filsafat untuk kembali mengemban tugas pertama­
nya—yaitu ontologi.
Meillassoux mampu menunjukkan bahwa adalah mungkin
bagi filsafat untuk bisa mengklaim kebenaran absolut, tanpa harus
men­jadi absolutis; bahwa adalah terpikirkan suatu bentuk filsafat
yang bisa menyatakan kebenaran absolut secara rasional tanpa
meng­ulangi buruknya rupa metafisika. Bagi Meillassoux, filsafat
tersebut adalah filsafat spekulatif yang punya orientasi realis.
Dengan aparatus filsafatnya, Meillassoux memulai proyeknya untuk
merehabilitasi filsafat untuk dapat melanjutkan tugas historisnya
sebagai pengklaim kebenaran absolut di tengah rongrongan obsku­
rantis dari filsafat-filsafat korelasionis. Adalah korelasionisme, yang
karenanya kita tidak akan pernah mendapat akses ke yang absolut
karena keterkungkungan kita dalam korelat kemanusiaan, yang
menjadi lawan utama dari filsafat realisme spekulatif secara umum,
dan Meillassoux secara khusus.

Keganjilan Ontologis

Menggunakan kerangka ontologi Lacanian, buku ini mem­


pertahankan sebuah klaim bahwa terdapat dimensi ketidaksadaran
dalam realisme spekulatif Quentin Meillassoux saat mengklaim
mengenai ada terdapatnya (there is; il y a) dunia di luar manusia yang
keberadaannya independen dari seluruh korelat keberadaan manusia.
Meillassoux menyebut dunia semacam ini sebagai dunia luar raya
(le grand dehors, the great outdoor). Dimensi ketidaksadaran ini pada
gilirannya menjadi suatu fantasi fundamental—dalam pengertian
Lacan—yang membuat keseluruhan diskusi mengenai realitas
eksternal di luar manusia dan juga kemungkinan mengaksesnya
menjadi mungkin dan terpikirkan. Ketidaksadaran ini, dengan
demikian, bersifat konstitutif bukan hanya bagi kesahihan klaimnya,

261
Hizkia Yosie Polimpung

melainkan juga bahkan bagi pengajuan problem tentangnya (yi.


problem ansestral Meillassoux)3 secara keseluruhan, mulai dari
tentang eksistensi realitas eksternal, tentang absolusitas, sampai
tentang kemungkinan pikiran untuk menjangkaunya.
Lalu apakah bentuk ketidaksadaran yang dimaksud? Tidak lain
adalah pengandaian diam-diam akan ontoantropologi. Manusia (an­
tropos), dengan demikian, terreifikasi (terobjektivikasi) dan terang­
kat statusnya menjadi objek fetis yang keberadaannya bukan hanya
tidak dipertanyakan lagi, melainkan menjadi fundamen dasar yang
memungkinkan klaim-klaim mengenai absolusitas realitas yang
eksternal dari manusia menjadi memiliki bobot makna. Ontoantro­
pologi berperan penting dalam manuver tak sadar Meillassoux dalam
membelah dunia ke dalam dua entitas—pikiran dan dunia eksternal
(yi. dunia luar raya, the great outdoor, le grand dehors), dengan manu­­
sia sebagai tapal batasnya: di dalam manusia “dihuni” oleh pikiran,
di luar manusia “dihuni” oleh objek-objek material yang absolut
dan independen dari pikiran manusia. Menggariskan batas pemo­­
tong (cut) ontologis antara yang di luar dan yang di dalam manusia
inilah yang penulis tunjukkan sebagai manuver tak sadar ontoan­
tropologi atau, menggunakan term Lacan, manuver seksualisasi
dunia. Sebagai suatu pemotongan ontologis, seksualisasi ini dengan
sendirinya menjadi kondisi praontologis bagi terbelahnya dunia ke
dalam pikiran dan dunia luar. Alhasil, dunia luar raya itu pada diri­­
nya sendiri adalah kemungkinan yang tercipta oleh modus hasrat
tak sadar ini.
Membaca ontoantropologi dalam kerangka psikoanalisis Laca­
nian menjadikan manusia (antropos) sebagai apa yang penulis
sebut ‘objek ganjil’ (uncanny object), dan kemanusiaan (dalam artian
gagasan APA PUN tentang apa itu ‘manusia’)4 sebagai objek pe­

3 Secara umum problem ansestral Meillassoux menyoal bagaimana meratifikasi pikir­


an untuk bisa mengakses suatu realitas yang keberadaannya sama sekali tidak
mensyaratkan keberadaan pikiran itu sendiri, bahkan yang hadir terlebih dahulu dari
pikiran. Lih., Meillassoux, After Finitude, h. 26-7.
4 Gagasan kemanusiaan yang dimaksud di sini amat-sangat generik, bukan hanya
tentang ‘apa itu artinya menjadi manusia’ sebagaimana kegemaran groupies eksisten­
sialisme dan humanis-universalis, melainkan juga ‘seperti apa manusia itu?’, ‘bagai­
mana manusia harus berbentuk secara anatomis?’, ‘seperti apa penampakan ‘manusia’
itu?’, ‘apa yang kita sebut manusia dan bukan manusia?’, dst.

262
Simpulan

nye­bab hasratnya (OPH).5 Dengan begini, manusia sebagai OPH


ontoantropologi merepresentasikan suatu hasrat yang lain, selain
dari tujuan “resmi” petualangan filosofis dalam menggali realitas
objektif dan dalam mengemansipasi kebenaran absolut. Hasrat
tersebut tidak lain adalah hasrat untuk mengamankan titik pijak
dasar untuk memulai segala sesuatu, yaitu gagasan kemanusiaan
yang utuh dan integral itu sendiri. Hasrat akan kemanusiaan adalah
yang menjadi motivasi hasrat dalam pengandaian ontoantropologi
realisme spekulatif Quentin Meillassoux.
Buku ini mendiskusikan upaya-upaya yang ditempuh Meillas­
soux untuk mengeksekusi proyek metafisikanya yang berusaha
untuk tidak menjadi metafisik. Lebih tepatnya, upaya Meillassoux
dalam mengklaim prinsip absolut, tanpa mengabsolutkan entitas.
Pasalnya, bagi Meillassoux, suatu pemikiran akan menjadi absolutis
dan metafisik saat ia mengabsolutkan suatu entitas—Tuhan, ide,
sejarah, progresi, phallus, kuasa, dsb. Menyudahi absolutisme tanpa
membuang yang absolut secara keseluruhan berarti berhenti meng­
absolutkan entitas apa pun, seraya mulai memikirkan prinsip absolut.
Melalui prinsip ini, disolusi (dan bukan resolusi) problem absolut
oleh filsafat kritis dan pascamodernisme yang selalu mencoba
menghalang-halangi pikiran untuk menggapai yang absolut dengan
selalu menakut-nakuti bahaya absolutisme, praktis mampu diterabas
oleh Meillassoux.
Terlepas dari urgensi dan relevansinya, sayangnya upaya
Meil­lassoux masih belum bisa optimal (jika bukan gagal) dalam
memam­ pukan pikiran untuk mampu mengakses yang absolut
tanpa terperosok kembali ke jurang korelasionisme. Meillassoux
sudah mampu menunjukkan jalan setapak menuju dunia luar raya
yang absolut dan objektif, namun demikian ia masih belum mampu
menapakinya dan melewatinya. Sebaliknya, sebagaimana yang
coba diargumentasikan di sini, ia malah mengulangi metafisika
yang telah menjadi musuh besar bersama filsafat: ontoteologi dan
ontoantropologi. Apabila dalam ontoteologi keberadaan hakiki dari
segala sesuatu dideterminasi oleh Tuhan, dan dalam ontoantropologi
filsafat korelasionis Tuhan menjelma dalam korelat kemanusiaan

5 Atau, dalam terma teknis Lacanian, objet petit a, atau objet cause de désir.

263
Hizkia Yosie Polimpung

(ide, bahasa, kuasa, dll.), maka dalam pengulangannya di filsafat


Meil­­lassoux, ontoantropologi merupa dalam manusia itu sendiri,
kemenyatuan seluruh korelat kemanusiaan dalam suatu ide kesatuan
manusia yang dibatasi oleh kulit. Bukannya Tuhan sudah lengser
dari filsafat dan digantikan manusia, melainkan justru Tuhan me­
ngambil rupa baru dalam manusia. Alhasil, adalah manusia yang
men­jadi jangkar sekaligus tiang pancang setiap kali pikiran berusaha
memikirkan keberadaan objektif dan absolut dari segala sesuatunya.
Buku ini didedikasikan untuk memberikan refleksi kritis
terhadap proyek pemikiran Meillassoux: mengeksplisitikan
pengulangan onto­antropologi, menunjukkan kondisi-kondisi yang
memungkinkan pengulangan tersebut, melacak konsekuensi-
konsekuensi dari klaim­­nya, dan akhirnya mengupayakan sebuah
kemungkinan solusi atas keterbatasan ini. Dengan kritik, penulis
tidak lantas hendak me­­ nyingkirkan begitu saja proyek realisme
spekulatif Meillassoux. Seba­liknya, kritik yang dilancarkan dalam
buku ini sebenarnya justru berpegang pada komitmen yang dijunjung
tinggi oleh Meillassoux: yaitu komitmen untuk meretas sebuah
jalan bagi pikiran menuju yang absolut namun yang tidak absolutis.
Sebagaimana diargumentasikan dalam buku ini, penulis melihat
bahwa sekalipun Meillassoux telah berhasil memberikan arahan
baru bagi filsafat, namun ia sendiri belum mampu menempuh jalan
tersebut. Bahkan, jalan yang diambil Meillassoux, tanpa disadarinya
justru membawanya ke arah yang berlawanan. Untuk alasan inilah
penulis memberikan kritik, dan sekaligus berpisah jalan dengan
realisme spekulatif Meillassoux.

Seksualisasi Ontologi

Psikoanalisis Jacques Lacan adalah pisau analisis yang relevan


untuk membedah problem ontologis dalam filsafat Meillassoux. Hal
ini bukan karena ia mampu memberikan petunjuk aplikatif dari
analisis manusia-individu ke ranah ide dan pemikiran. Sebaliknya,
psikoanalisis Lacan telah selalu merupakan sebentuk pemikiran
ontologis. Poin inilah yang menjadi posisi awal penulis saat

264
Simpulan

mengintrodusir Lacan. Interogasi Lacan mengenai psikis individu


manusia sebenarnya adalah selalu tentang bagaimana kemanusiaan
tercipta melalui pembelahan ontologis yang disebutnya dengan
seksualisasi. Tentu kata seksualisasi ini tidak bisa disamakan dengan
penggunaannya di kehidupan sehari-hari. Seksualisasi dalam
pengertian Lacanian adalah proses penciptaan suatu objek has­rat
yang sekaligus menjadi unsur pembentuk sang subjek itu sen­diri.6
Bukan subjek yang melakukan seksualisasi, namun justru subjek itu
sendiri bersama objeknya yang tercipta melalui proses sek­sualisasi.
Seksualitas, dalam neofreudianisme Lacan, sebenarnya adalah se­
buah solusi sekaligus efek dari suatu manuver pembelahan onto­logis
(yi. seksualisasi) dari ketiadaan menjadi keberadaan dua hal (sub­
jek-objek, maskulin-feminin, penanda-petanda, dll.), yi. creatio ex
nihilo. Hubungan di antara kedua ihwal ini dicirikan sebagai suatu
kemustahilan, namun justru kemustahilan inilah yang memunculkan
efek seksual (dalam artian erotis) dari kedua belah pihak.
Konsep seksualisasi di sini digunakan Lacan untuk menunjukkan
bahwa manusia pada dasarnya adalah sebentuk hasrat tersendiri
yang notabene suatu kontingensi historis.

[T]he ego is the sum of the identifications of the subject,


with all that implies as to its radical contingency. If
you allow me to give an image of it, the ego is like the
superimposition of various coats borrowed from what I
would call the bric-à-brac of its props department.7

Sebagai sebuah kontingensi historis, apa pun yang kita pahami


tentang apa itu “manusia” tidak lebih dari sekadar penjejalan kons­
truksi makna ke dalam seonggok daging (tubuh) berikut materia­
lisasinya dalam pernak-pernik atribut fisik (misal, potongan rambut,
anting, dll.), sosial (misal, nama, reputasi, kelas), politik (misal,
kewarganegaraan) dan kultural (misal, agama, ras, dll.) atasnya.

6 Untuk penjelasan Lacan mengenai pemotongan (coupure) ini, lihat penjelasan di Bab
2.Lihat juga, Jacques Lacan, Le Séminaire, Livre VI: Le Désir et son interpretation, bagian
seminar tertanggal 20 dan 27 Mei 1959; dan Alenka Zupančič, Why Psychoanalysis, h. 6-20.
7 Lacan, Seminar II: The Ego, h. 55.Bric-à-bracadalah barang-barang, pernak-pernik dan
ornamen antik keseharian yang biasa dipakai untuk dekorasi meja dan lemari paja­
ngan. Banyak dijumpai di toko maupun kios jalanan.

265
Hizkia Yosie Polimpung

Sebelum bermakna, manusia adalah apa yang disebut di buku ini


sebagai objek ganjil (uncanny object). Saking ganjilnya sehingga bagi
siapa pun yang menyadari ini akan mendapati setiap ungkapan yang
merujuk pada “aku” sebagai suatu keganjilan. Pasalnya apa referensi
dari kata “aku” di sana? “Orang menggunakan ego dengan cara yang
sama dengan orang Bororo menggunakan burung Kakaktua. Orang
Bororo mengatakan saya adalah burung Kakaktua, kita mengatakan
saya adalah saya,”8 kata Lacan.
Bahkan Lacan menandaskan, hanya “orang gila” yang dengan
lantangnya mengatakan bahwa ia adalah dirinya (“aku adalah aku”).9
Apabila seseorang yang mengira dirinya raja adalah gila, kata Lacan,
maka seorang raja yang mengira memang ia adalah raja adalah tidak
kalah gilanya.10 Gila di sini sebenarnya mengacu pada definisi dari
psikosis—suatu struktur klinis yang mana subjek tidak merasakan
sedikit pun kontradiksi yang ada pada dirinya, yaitu kontradiksi
bahwa dirinya dan konsepsi tentang kedirian itu pada dasarnya
adalah kontingen. Absennya keraguan mengenai identitas/esensi
kediriannya adalah ciri utama subjek psikotik. Orang-orang yang
punya rasa percaya diri tinggi dan karismatik, misalnya, sebenarnya
berstrukturkan psikotik. Inilah mengapa penulis berpendapat bahwa
jika ada aparatus konseptual yang mampu membedah tuntas problem
ontoantropologi, maka ia adalah psikoanalisis Lacanian.
Melalui psikoanalisis Lacanian ini, penulis mempertahankan
dua argumen besar mengenai hal-hal yang mengondisikan pengu­
langan ontoantropologi di dalam pemikiran Meillassoux. Pertama,
postulasi dunia luar raya—ranah ansestral, eksternal, dan ulterior—
yang notabene merupakan suatu dimensi yang keberadaannya sama

8 “One makes use of the ego in  the same way as the Bororo does the parrot. The Bororo
says I am a parrot, we say I am me [moi],” Ibid., h. 39. Di sini Lacan membandingkan
manusia dengan orang Indian Bororo yang dikaji oleh Claude Lévi-Strauss. Orang
Bororo, mengatakan dirinya sebagai burung kakaktua merah, sama seperti seekor
ulat menyebut dirinya kupu-kupu. Adalah Jonathan Z. Smith yang mempopulerkan
ungkapan “I am a Parrot.” Jonathan Z. Smith, “I Am a Parrot (Red),” History of Religions,
11, 4 (1972).
9 Di sini Lacan menggunakan kata ‘orang gila’ dalam artiannya sehari-hari dan bukan
teknis klinis.Lih. Lacan, Écrits: Complete Edition, h. 139.
10 “If a man who thinks he is king is mad, a king who thinks he is king is no less so.” Ibid.,
140

266
Simpulan

sekali acuh terhadap korelat kemanusiaan (pikiran, bahasa, kehen­


dak, nilai, dst.) adalah bermasalah sedari awal. Pasalnya, ketimbang
suatu postulasi filosofis, ia tidak lain adalah efek dari proses pem­
belahan ontologis tak sadar sang objek ganjil untuk mengamankan
posisi kediriannya. Pengamanan posisi diri ini dilakukan dengan
membelah dunia ke dalam dua sisi: sisi dalam yang dihuni oleh di­
ri-manusia dan sisi luar yang dihuni objek-objek yang keberadaan­
nya absolut—dalam artian independen dari manusia. Adalah kulit
manusia yang menjadi batasan, bukan hanya fisik, melainkan juga
imajiner dan bahkan ontologis. Dengan pembelahan ini, manusia
“memanusiakan” dirinya dan kemudian segala sesuatunya, dalam
artian ia menyebangunkan seluruh dunia dengan dirinya, meng­
analogikan, bahkan memproyeksikan bentuk citraan dirinya ke sana.
Lacan menyebut ini dengan “hominisasi dunia.”11 Ontoantropologi,
dengan demikian, menjelma dalam bentuk antropomorfisme dan an­
troposentrisme.
Dalam psikoanalisis Lacan pembelahan ontologis semacam
ini terjadi melalui proses seksualisasi. Dalam kasus Meilassoux, ia
membelah dunia ke dalam dua hal: pikiran sang manusia filsafat
dengan dunia luar raya. Dunia luar raya yang absolut ini menjadi objek
hasrat Meillassoux justru karena kemustahilannya untuk dijangkau.
Dunia luar raya, ketimbang suatu ranah yang objektif, justru adalah
efek dari proses seksualisasi dari suatu objek ganjil yang kemudian
disebut (atau menyebut dirinya) dan dimaknai sebagai manusia,
dan kemudian dinamai Meillassoux. Baik Meillassoux (qua manusia
filsafat) dan dunia luar raya objektif dan absolutnya, sebenarnya
berada dalam satu realitas yang sama: realitas seksual.12 Realitas
seksual, yang adalah nama sebenarnya dari apa yang sehari-hari
kita sebut ‘realitas’, adalah korelat dan hasil dari proses seksualisasi.
Tidak ada realitas tanpa seksualitas.
Keganjilan manusia semakin memuncak saat Meillassoux men­
coba mempertahankan argumennya untuk kesahihan postulasi
dunia luar raya ansestral ini dengan mengajukan apa yang penulis
se­but skenario kontrafaktual “seandainya manusia tidak ada.” Ske­

11 Lacan, Seminar I: Freud’s Paper, h. 141.


12 Tentang ‘realitas seksual’, lih. Lacan, Seminar XI: Four Fundamental, h. 150.

267
Hizkia Yosie Polimpung

na­rio Seandainya ini sebenarnya ada dua macam, empiris dan


ontologis. Perbedaan mendasarnya adalah di kemungkinan kebera­
daan manusia. Pada skenario empirisis, manusia dihilangkan
untuk melihat perilaku objek tanpa intervensi manusia. Namun
demikian, manusia masih dimungkinkan untuk ada, untuk masuk
mengintervensi. Artinya, sekalipun ia tidak ada di tempat itu (di
situs eksperimen/pengandaian), namun ia masih ada di tempat lain,
dan kedua macam tempat ini (tempat eksperimen dan tempat lain),
masih sama-sama berada pada satu macam dunia, yaitu pada satu
macam cakrawala kemungkinan. Para saintis tentunya familiar
dengan metode riset seperti ini, misalnya, membedakan perilaku
kutu air dengan dan tanpa manusia.
Namun hal ini akan menjadi sama sekali berbeda saat ia menjadi
persoalan ontologis. Bukan hanya satu atau sekelompok manusia
yang disingkirkan, melainkan seluruh manusia itu sendiri sebagai
keseluruhan spesies yang dihilangkan. Dalam skenario ontologis,
adalah kemungkinan manusia yang dicoret, dan coba dibayangkan
bagaimana nasib seluruh realitas dan objek nirmanusia dengan tanpa
intervensi manusia dan kemanusiaan. Kali ini, tentu saja, kita amat
berharap Meillassoux tidak mencoba membayangkan literalitasnya
saat ia berkata, “[s]ingkirkan sang pengamat, dan dunia menjadi
hampa akan kualitas-kualitas merdu, indah, harum, dst., persis
seperti api menjadi hampa akan rasa sakit saat jari disingkirkan.”13
Penulis sendiri tidak bisa membayangkan cara lain selain antroposida
(anthropocide) untuk benar-benar mewujudkan skenario ini supaya
Meillassoux bisa mengonfirmasi angan-angan skenarionya—itu pun
jika ia masih hidup.
Kalimat terakhir barusan sebenarnya dimaksudkan untuk
selo­rohan semata. Namun demikian, apabila diperhatikan dengan
lebih saksama, sebenarnya ada sejumput kebenaran di situ yang
membuatnya tidak lagi lucu. Kebenaran itu adalah bahwa tidak ada
satu pun cara yang realis-tis untuk bisa menyingkirkan manusia dari
seluruh muka bumi demi memberi kesempatan sang manusia terakhir

13 “Remove the observer, and the world becomes devoid of these sonorous, visual, olfactory,
etc., qualities, just as the flame becomes devoid of pain once the finger is removed.”
Meillassoux, After Finitude, h. 1.

268
Simpulan

untuk memeriksa, misalnya, apa yang dilakukan kutu air terhadap


pantatnya tanpa intervensi kemanusiaan. Kecuali Meillassoux mem­
bayangkan suatu Hari Pengangkatan yang mana manusia tiba-tiba
hilang dan diangkat ke Surga, maka skenario itu tidak memiliki
rujukan konkretnya. Ironis, bahkan untuk pengandaian ontologis
akan suatu dunia luar yang absolut tanpa manusia pun, masihlah
manusia dibutuhkan. Inilah poin utamanya, absennya kemungkinan
yang realis-tis untuk mewujudkan skenario penyingkiran manusia
secara umum, membuat seluruh pertanyaan tentang ansestralitas
justru dipertanyakan kesahihan titik tolak yang menjadi pijakannya.
Hikmah yang bisa dipetik kemudian adalah bahwa membayangkan
ketiadaan ontologis manusia dengan mengabaikan begitu saja kenya­
taan bahwa manusia dan korelat-korelatnya telah terlebih dahulu
ada secara historis, adalah suatu pelanggaran kesahihan penalaran
yang amat fatal. Pasalnya, kita tidak akan memiliki cukup persiapan
untuk menerima kenyataan bahwa bisa jadi yang historis ini justru
mendeterminasi, menstruktur, dan mengarahkan pembayangan on­
to­logis yang kita lakukan dengan pikiran. Inilah paradoksnya: jika
pikiran tidak bisa independen dari manusia, bagaimana bisa ia meng­
akses realitas eksternal yang independen dari manusia?
Problem lainnya adalah saat manusia disingkirkan, maka
tidak lagi tersisa perwakilan spesies kita untuk menjadi pendengar,
pembaca dan responden dari jawaban pertanyaan “apa jadinya
dunia tanpa manusia?”! Justru menjadi suatu keganjilan tersendiri
saat filsafat dan pikiran bisa terus ada saat manusia diasumsikan
secara ontologis tidak ada lagi. Suara (si)apakah yang menyatakan
deskripsi tentang dunia ketika tidak ada manusia? Pikiran (si)apakah
yang merumuskan alur logis pendeskripsian tersebut? Apabila suara
dan pikiran ini adalah kepunyaan para realis, maka pertanyaannya,
mantra keramat apa yang memampukan para realis untuk dapat
meninggalkan tubuh manusia mereka dan melayang-layang meng­
amati dunia yang tanpa manusia?—tapi, lantas, ‘mereka’ ini apa
sekarang? Dengan kata lain, apa status ontologis dari pikiran manu­
sia ini saat instansiasinya di tubuh manusia telah dilenyapkan sama
sekali dari muka Bumi? Demikianlah pikiran manusia ini menjadi

269
Hizkia Yosie Polimpung

suatu objek yang ganjil, persis justru saat manusia coba dilenyapkan.
Meillassoux tidak memberikan justifikasi apa-apa mengenai apa
status pikiran dan dirinya sebagai filsuf yang tetap berpikir saat
kemanusiaan tidak ada lagi.
Menarik sebenarnya bagaimana Meillassoux sama sekali tidak
mendiskusikan mengenai “sisi dalam” (inside) yang adalah sisi balik
dari sisi luar (outside) yang notabene penyebutannya berceceran
di sepanjang pembahasan di buku After Finitude. Apabila hendak
diterka-terka, maka setidaknya ada dua petunjuk yang secara implisit
memberi tahu kita mengenai apa yang ada di benak Meillassoux
tentang ‘sisi dalam’. Yang paling culas tentunya adalah seruan ajakan
Meillassoux dalam memberikan arahan ke mana filsafat sebaiknya
mulai berpikir: yaitu “keluar dari diri kita sendiri, merengkuh yang
pada dirinya sendiri, untuk mengetahui apakah sesuatu dengan
atau tanpa keberadaan kita.”14 Tapi ungkapan “keluar dari diri” ini
masih abstrak. Di bagian lain, Meillassoux memberi operasionalisasi
lebih lanjut tentang apa itu ‘diri’. Yaitu dengan menggunakan kulit
sebagai batasan penanda ‘diri’, “kita tidak bisa keluar dari kulit
kita.”15 Dengan demikian, terlihat jelas bahwa sebenarnya adalah
kulit yang menjadi batasan antara interioritas pikiran manusia dan
eksterioritas dunia luar raya. Dengan demikian, “di dalam” adalah
dimulai dari kulit dan ke dalamnya, sementara “di luar” juga dimulai
dari kulit ke luarnya. Tapi apakah yang ada di sebelah dalam kulit?
Apakah manusia? Apakah pikiran? Sayangnya pertanyaan ini sama
sekali tidak terlintas sebersit pun di After Finitude.
Dalam ontoantropologi, kulit manusia memainkan peran yang
amat vital, yaitu sebagai penanda (marker), sebagai garis batas, sebagai
poin acuan, dan sebagai titik tolak pikiran untuk mengualifikasi
segala sesuatu yang nirmanusia—yi. objek maupun dunia luar raya
(Meillassoux). Itulah mengapa disebut ontoantropologis, yaitu kare­
na “yurisdiksi” antroposentrisme ini tidak hanya di satu atau dua
objek saja, melainkan seluruh objek yang menghuni ‘sisi luar’ dari
manusia pada umumnya; ‘logos’ dari yang ontis, adalah selalu ‘logos’

14 “[T]o get out of ourselves, to grasp the in-itself, to know what is whether we are or
not,”Meillassoux, After Finitude, h. 27. Cetak miring teks asli dihilangkan.
15 “[W]e cannot get out of our own skins,” Ibid., h. 11.

270
Simpulan

dari ‘antropos’. Dengan demikian, repetisi ontoantropologis terletak


pada kualifikasi apa yang nirmanusia dengan selalu mengacu kepada
segala sesuatu yang berada di luar batasan kulit manusia.
Kontradiksi ini tampak paling jelas justru saat antroposentrisme
ini dipakai untuk melihat manusia itu sendiri. Karena mengasumsikan
manusia adalah utuh, dan bahwa objek adalah segala sesuatu yang
di luar kulit manusia, maka Meillassoux akan kerepotan apabila
ditanya mengenai status ontologis dari, misalnya, hidung, kepala,
sistem pernapasan, darah, lendir atau kuku dari manusia itu sendiri?
Dengan mengatakan bahwa ini semua adalah ‘objek’, maka ini
akan mengontradiksi definisi mereka mengenai apa itu objek, apa
itu yang di luar. Tentunya Meillassoux memegang teguh hukum
nirkontradiksi, bukan? Tentunya juga ia tidak akan sampai hati untuk
memberikan jawaban kontradiktif bahwa benda-benda tadi juga
adalah objek, karena bagaimana bisa suatu ‘objek’ sekaligus berada
di dua tempat, luar dan dalam, yang notabene saling berkontradiksi?
Apabila tubuh tercacah-cacah, apakah hal itu juga berarti sang Aku
(manusia) itu sendiri ikut tercacah-cacah? Lalu kini, apa itu Aku?
Juga, secara ontologis, apakah status paha, betis, telapak, dada dan
panggul Aku? Apakah mereka adalah (juga) Aku itu sendiri? Apakah
mereka adalah instansiasi dari Aku? Lalu (si)apakah ‘saya’ yang
sedang berpikir dan berbicara di sini? Apakah ‘saya’ adalah Aku?
Apa pun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, satu hal
yang pasti, yaitu bahwa pertanyaan-pertanyaan ini cukup mampu
untuk mengacak-acak kerapian antroposentrisme Meillassoux
dalam menjaga keutuhan ‘manusia’ dengan membalutnya dengan
kulit. Karena antroposentrisme ini mendeterminasi konsepsi onto­
logis mengenai manusia dan nirmanusia, maka jadilah ia suatu
onto­an­tropologi. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini akan
disa­jikan kemudian. Namun yang terlebih penting saat ini adalah
bahwa destabilisasi pengandaian keutuhan manusia ini turut meng­
interogasi status ontologis dari ‘pikiran’ setelah manusia yang men­
jadi pembalutnya sudah tercacah-cacah habis. Artinya, pikiran harus
telah terlebih dahulu berhasil untuk keluar dan meninggalkan tubuh
manusianya. Inilah yang penulis sebut dengan peristiwa astral.

271
Hizkia Yosie Polimpung

Dari Ansestralitas ke Astralitas

Demikianlah proses pembentukan ego sebagaimana yang diteorikan


Lacan persis terjadi dalam manuver postulasi dunia luar raya ini. Di
satu sisi Meillassoux meretrojeksikan suatu sisi luar dalam takaran
dan pancangan yang sangat antroposentris (yi. ego-ideal), namun
di sisi lain secara bersamaan ia mengintrojeksikan suatu citra ideal
mengenai keutuhan ragawi dari apa yang kemudian disebut dan
dimaknai sebagai “manusia” (yi. ideal-ego).16 Melalui seksualisasi
dunia luar raya ini, sebenarnya bukan komitmen realis spekulatif
untuk mengakses yang absolut yang menjadi taruhannya, melainkan
stabilitas dan normalitas dari citraan diri manusia itu sendiri. Yang
absolut, dalam skema hasrat Meillassoux, tidak lebih dari sekadar
perantara yang hilang saat tugasnya untuk mengantarkan sang
filsuf ke objek penyebab hasratnya yang adalah kemanusiaan sudah
selesai. Penulis menyebut ini sebagai suatu “skandal hasrat absolut.”
Skandal ini hanya mungkin terjadi saat Meillassoux secara aktif
terinklusi dalam strukturasi tak sadar ontoantropologis akan problem
ansestralitas yang justru menciptakan cul-de-sac (kebuntuan) yang
mustahil dilampaui antara ‘sisi dalam’ dan ‘sisi luar’. Ia mustahil
karena memang ia adalah suatu skandal yang coba diabaikan oleh
Meillassoux yang adalah perancangnya.
Sketsa solusi yang penulis tawarkan adalah dengan pertama-
tama mengafirmasi kenyataan bahwa dunia luar dan dunia dalam
adalah hasil proses seksualisasi tak sadar manusia. Dengan meng­
afirmasi, penulis mengusulkan untuk mengomplikasi problem anses­
tralitas dengan apa yang penulis sebut problem astralitas. Problem
astralitas menyoal kesahihan pikiran untuk bisa meninggalkan tubuh
manusianya dan menjadi otonom. Resolusi bagi problem astralitas
ini, dengan demikian, memberi landasan kokoh bagi problem anses­
tralitas Meillassoux dengan tanpa mengulangi ontoantropologi.
Problem astralitas mengakui secara penuh bahwa pembelahan onto­
lo­gislah yang menciptakan manusia dan realitas objektifnya. Yang

16 Uraian terbaik mengenai dialektifka retrojeksi ego-ideal dan introjeksi ideal-ego


dalam pemikiran Lacan, khususnya fase cermin (mirror phase), lihat Lorenzo Chiesa,
Subjectivity and Otherness, h. 14-26.

272
Simpulan

hendak dilakukan astralitas kemudian adalah membatalkan sek­sua­


lisasi ontologis ini, ketimbang mengabaikannya sebagaimana Meil­
lassoux. Dengan pikiran mampu untuk menjadi tubuh astral yang
bisa lepas dari tubuh manusianya, dengan demikian manjadikan
pikiran itu absolut/independen dari subjeknya, pada gilirannya
akan meruntuhkan pembelahan ontologis tadi. Tanpa pemecahan
problem astralitas, maka problem ansestralitas Meillassoux menjadi
tidak legitim.
Peristiwa astral inilah yang bagaimanapun juga diandaikan
secara implisit oleh seruan Meillassoux untuk “get out of ourselves.”
Karena (si)apa yang sebenarnya terbang keluar dari tubuh di sini,
jika bukan pikiran itu sendiri. Akhirnya, pikiran tersebut dengan
sendirinya menjadi suatu tubuh astral untuk kemudian mengakses
dunia astral, yaitu dunia yang hanya bisa dimasuki oleh tubuh-
tubuh astral yang sudah meninggalkan tubuh konkretnya. Dunia
astral inilah satu-satunya jalan menuju dunia ansestral, dunia luar
raya Meillassoux. Sekalipun terkesan paranormal, klenik, atau
mistis, sebenarnya problem astral ini punya nilai filosofis. Nilai ini
didapatnya justru karena kenyataan bahwa sebenarnya bukan hanya
Meillassoux saja yang mengandaikan ontoantropologi, melainkan
hampir seluruh filsafat modern dan kontemporer juga mengandaikan
keutuhan manusia yang serupa. Itulah mengapa problem ini penting
untuk juga dipecahkan. Apabila diformulasikan secara filosofis,
maka problem astralitas menyoal bagaimana meratifikasi pikiran
untuk dapat menjustifikasi kenyataan bahwa ia mungkin untuk bisa
independen dari tubuh manusia.

Ketidaksadaran Saintifik

Argumentasi kedua buku ini berkaitan dengan upaya Meillassoux


memberi solusi bagi problem ansestralitasnya, yaitu upayanya un­
tuk memikirkan suatu cara yang mana pikiran bisa mengakses yang
absolut. Sebagaimana diketahui, Meillassoux merumuskan suatu
prin­sip faktialitas (factualité) yang menandaskan suatu pengetahuan
onto­logis mengenai yang absolut, yaitu bahwa ia adalah kontingensi

273
Hizkia Yosie Polimpung

radikal yang tanpa alasan (unreason). Faktisitas yang diimplikasikan


oleh prinsip faktialitas ini bukanlah faktisitas Heideggerian, yaitu se­
mata-mata keberadaan faktual dari entitas absolut, melainkan karak­
ternya yang adalah kontingen radikal—ia bisa menjadi apa pun, atau
tidak menjadi sama sekali, dengan tanpa alasan. Prinsip faktialitas,
dengan demikian, dilihat Meillassoux sebagai salah satu cara untuk
mengklaim suatu pengetahuan yang absolut tanpa harus menjadi
absolutis, karena bukan suatu entitas transenden yang diabsolutisa­si,
melainkan prinsip kontingensi dari entitas tersebut yang diabso­lutkan.
Argumentasi kritis penulis terkait prinsip faktialitas ini adalah
bahwa sekalipun Meillassoux mengatakan kontingensi radikal ini se­
bagai suatu ketiadaan alasan, sayangnya ia tidak mempertanggung­
jawabkan apa yang dimaksudnya sebagai ‘yang tiada’. Ketiadaan
alasan bagi prosedur absolutisasi Meillassoux ini justru menjadi mis­
teri teologis tersendiri. Pasalnya, ketiadaan ini menjadikan prosedur
absolutisasi Meillassoux sebagai suatu creatio ex nihilo. Alhasil, tidak
ada perbedaan krusial dari mengabsolutkan entitas dengan meng­­
absolutkan prinsip/karakter entitas apabila keduanya tidak memi­­
liki landasan rasional. Lebih jauh lagi, penulis menemukan bahwa
ternyata, setelah melalui upaya pelacakan atas konsepsi kontingensi
radikal, konsepsi ‘tiada’ yang diandaikan Meillassoux ini dekat de­
ngan tradisi meontologis yang bahkan eskatologis. Ketiadaan, bagi
Meillassoux, adalah sebentuk negasi—yang bukan, yang tanpa, yang
melampaui—yang notabene mengasumsikan bahwa yang ada saat
ini tidaklah sejati, sehingga suatu saat nanti akan hadir keberadaan
yang absolut. Demikianlah konsepsi kontingensi Meillassoux, yaitu
sebagai sesuatu yang pada akhirnya hadir. Pembacaan ini dikonfir­
masi sendiri oleh Meillassoux saat berpendapat bahwa Tuhan, sebagai
suatu absolut, akan datang, dan Dia memang harus datang—bagi
Meillassoux. Ironisnya, konsepsi ketiadaan meontologis ini adalah
yang mencirikan tradisi pemikiran teologisme yang, salah satunya,
dipelopori oleh Martin Luther, sang reformator gereja Protestan.
Menjadi tidak terlalu berlebihan apabila pembacaan ini kemudian
membuat penulis sampai pada penyimpulan bahwa realisme speku­
latif Meillassoux tidak lebih dari sekadar apologetika teologis dalam
bentuknya yang sekuler.

274
Simpulan

Sebenarnya yang menjadi pertaruhan dalam kritik ini adalah


status ‘nihil’ dari creatio ex nihilo, karena sekali lagi disampaikan,
bahwa kritik ini sama sekali tidak bertujuan menyudahi proyek
penggapaian yang absolut. Semenjak ia menjadi satu-satunya
landasan yang dipakai Meillassoux dalam mendirikan yang absolut,
maka ‘tiada’ ini tidak boleh tidak terefleksikan secara filosofis.
Cara yang penulis usulkan di sini adalah mau tidak mau kita harus
berspekulasi dengan mengabsolutkan yang tiada ini, lalu merati­
fikasinya sebagai landasan absolut yang rasional. Ketiadaan, karena
ia adalah rasional, adalah bentuk pengetahuan kita akan yang
absolut. Yang absolut adalah tiada. Sama sekali tidak ada kontradiksi
di sini sekalipun ia tampak demikian. Pasalnya, tiada yang dimaksud
adalah selalu tiada dalam artian ketiadaan makna, dan makna adalah
selalu makna yang diberikan oleh manusia. Ya, sekali lagi, oleh
manusia. Pasalnya, tanpa manusia, tidak akan ada makna; makna
adalah dan hanyalah warisan manusia.
Sekilas penulis terang-terangan tampak mengulangi ontoantro­
pologi. Namun demikian, satu yang mesti ditekankan bahwa “on­
toantropologi” ini sama sekali berbeda dengan yang dikritisi dalam
buku ini. Lantaran dengan menyatakan bahwa ketiadaan adalah se­lalu
antroposentris, penulis tidak sedang menyerah pada fatalisme yang
diakibatkan oleh ontoantropologi. Hal ini juga tidak lantas membuat
penulis merisikokan diri untuk mengulangi sesat pikir episte­mik
dengan mengaburkan ontologi dan epistemologi. Satu hal yang perlu
dipahami di sini, manuver ini adalah manuver yang relevan karena
dengan ontoantropologi, harus diakui bahwa ontologi adalah selalu
antropos—baik antropomorfis maupun antroposentris. Yang penulis
tawarkan adalah mengafirmasinya, ketimbang mengabaikan begitu
saja seolah hal ini tidak terjadi. Pasalnya, dengan meng­ abaikan
ontoantropologi, kita hanya akan mengulangi kenaifan re­alisme
tradisional.
Menerima bahwa ontologi adalah selalu ditentukan oleh, dari
dan karena kemanusiaan tidak lantas membuat kita kehilangan
akses sama sekali ke yang absolut. Pasalnya, dan berterima kasih
kepada Lacan, manusia itu pada dasarnya juga adalah korelat itu
sendiri. Manusia adalah sebentuk hasrat tersendiri. Formulasi onti­

275
Hizkia Yosie Polimpung

kologi yang penulis ajukan adalah untuk mengafirmasi poin ini.


Dengan melihat manusia sebagai efek pembentukan hasrat yang
historis dan kontingen, maka bisa kita lihat bagaimana manusia itu
sendiri, praktis, pada dasarnya adalah tiada. Ketiadaan di sini tepat
dalam artiannya yang antroposentrik—tiada karena tidak termaknai/
bermakna. Dengan demikian, manusia itu sendiri, sebagi objek ganjil
pramakna, yaitu praontologis, pada dasarnya adalah absolut.
Manusia adalah suatu kontingensi radikal yang tereduksikan
ketakbermaknaannya menjadi kebermaknaan manusiawi melalui
proses-proses historis. Dua sisi yang tak terdamaikan ini secara
tandem dan bersamaan hadir di dalam objek ganjil/manusia. Onti­
kologi mampu mengantisipasi recokan dari eskatologisme teologis
meontologi yang mengatakan bahwa yang absolut akan datang
suatu hari nanti. Ontikologi dengan demikian mampu melihat
bahwa yang absolut itu telah selalu ada di dalam yang nirabsolut;
yang nirmanusia adalah tandem dari manusia itu sendiri; sama
seperti ketakbermaknaan adalah selalu mengiringi segala macam
makna. Kontra pemikiran ke-Tuhan-an Meillassoux, ontikologi
justru mampu melihat Tuhan yang benar-benar Tuhan, yang tidak
terde­terminasi oleh ontoantropologi. Tuhan yang ditunjukkan oleh
ontikologi adalah Tuhan yang sudah selalu hadir bersama kita di
dalam keseharian kita; yang ilahi adalah sudah selalu hadir ber­
dam­pingan dengan yang fana. Akhirnya, dua fitur yang absolut
versi ontikologi adalah,1) ketiadaan makna yang sudah selalu
antroposentrik, dan sekaligus 2) kehadiran di waktu sekarang—dan
bukan suatu saat nanti.
Argumentasi berikutnya berkaitan dengan manuver matema­
tikalisasi Meillassoux. Meillassoux menderivasi matematika dari
prin­sip faktialitas, persis seperti prosedur yang dilakukan oleh Des­
cartes. Namun berbeda dari Descartes, matematika Meillassoux
tidak dijamin oleh entitas absolut transenden, melainkan oleh suatu
prinsip absolut yang notabene imanen. Sebagai prosedur pikiran,
matematika adalah absolut karena ia mampu mengantarkan pikiran
untuk memikirkan sesuatu yang notabene acuh terhadap pikiran.
Namun demikian keyakinan Meillassoux bahwa matematika
memang memiliki kualitas absolut telah dipertanyakan di buku ini,

276
Simpulan

bahkan juga telah dilacak ironi mengenai sumber keabsolutannya,


dan juga kompleksitas konsekuensi yang diimplikasikannya.
Ironi yang dimaksud adalah bahwa matematika mendapatkan
kapasitas rasional absolutnya tidak semata-mata karena ia tersusun
dari tanda-tanda tak bermakna (meaningless sign) sebagaimana
yang diyakini Meillassoux.17 Asal-usul tanda-tanda tak bermakna
ini pun tidak dipertanyakan oleh Meillassoux, sayangnya. Penulis
ber­argumen bahwa karakter absolut matematika justru didapat dari
kenyataan bahwa ia adalah korelat dari manusia yang adalah irasional.
Di sini, kemanusiawian matematikalah yang menjadikannya absolut.
Pembacaan ini memungkinkan suatu pandangan alternatif mengenai
absolut: yang absolut adalah selalu didapat dari pembatalan akan
kemanusiaan. Matematika mampu menjadi absolut karena ia mampu
“melepaskan diri” dari irasionalitas subjektif manusia yang adalah
kreatornya, pemikirnya, dan penggunanya. Dimensi irasionalitas
subjektif yang mendorong manusia untuk berfilsafat, misalnya
kreativitas, kegigihan, motivasi personal, semangat revolusioner,
gaya idiosinkratik, ambisi, keyakinan, paksaan orang tua, dst., ada­
lah apa-apa yang membuat matematika terus berkembang. Tepat di
sinilah matematika dikatakan mendapat “kehidupannya” dari manu­
sia untuk bisa terus menjajal segala cara untuk mengakses yang
absolut.
Buku ini menunjukkan tiga hal yang menjadi penyebab
utama dari absolusitas matematika: yang pertama adalah pada
kenyataan aktualnya sebagai suatu korelat yang adalah buah
pikiran dari manusia. Untuk ini, Meillassoux menjanjikan sebuah
pertanggungjawaban yang sampai buku ini ditulis, belum juga
dipenuhinya.18 Kedua, adalah pada “nasibnya” sebagai “alat” manusia
dalam menghasrati yang absolut. Sebagaimana analisis pada bagian
sebelumnya, yang absolut sebagai objek hasrat manusia sebenarnya
tidak lebih dari sekadar perantara bagi objek lain yang lebih
menarik bagi manusia (yi. objek penyebab hasrat)—yaitu sensasi
keutuhan diri manusia filsafat itu sendiri. Dari poin ini maka bisa

17 Poin Meillassoux ini dielaborasinya secara ekstensif di Meillassoux, Iteration, Reite­


ration, Repetition: A Speculative Analysis of the Meaningless Sign.
18 Lihat bagian penutup makalah Meillassoux. Ibid.

277
Hizkia Yosie Polimpung

disimpulkan bahwa matematika adalah alat pemuas hasrat tersebut,


dan matematikalisasi adalah modus pemuas hasratnya. Pula sudah
ditunjukkan bagaimana corak hasrat Meillassoux akan yang absolut
adalah bercorak maskulin, pervert dan psikotik. Maka ini pula yang
turut menjadi program utama matematika: menciptakan subjek
manusia filsafat yang mas­kulin, psikotik dan pervert.
Penyebab ketiga adalah konsekuensi lanjutan dari kedua sebab
di atas. Matematika turut mewarisi irasionalitas yang menjadi fitur
dari kemanusiaan. Kenyataan matematika adalah korelat sekaligus
alat pemuas hasrat manusia adalah sesuatu yang harus diakui.
Tanpa pengakuan akan hal ini, kita akan terbutakan akan kenyataan
bahwa matematika juga memiliki ketaksadaran, atau dalam bahasa
seorang matematikawan cum fisikawan probabilis Bayesian yang
diacu penulis, E.T. Jaynes, konjektur. Konjektur matematika adalah
apa yang membuatnya selalu menjadi bias—bias preferensi dan bias
informasi. Bayesianisme yang diajukan Jaynes adalah upaya afirmasi
terhadap kemungkinan bias ini, dan bukan pengabaiannya begitu
saja sebagaimana probabilis dari kubu frekuentis (frekuensialis,
bahasa Meillassoux).
Bayesianisme Jaynes pada gilirannya menunjukkan cara lain
dalam memperlakukan matematika dan memobilisasinya sebagai
aparatus untuk menggapai yang absolut tanpa terdeterminasi on­
toantropologi. Dimensi eksperimental matematika adalah apa yang
dituju oleh probabilisme—artinya, justru keterbukaannya terhadap
kekeliruan karena bias personal adalah apa yang membuat matema­
tika bisa terus berada di jalur absolut. Dengan kata lain, pengakuan
akan bias personal (yi. irasionalitas subjektif) pada gilirannya me­
mampukan matematika secara rasional untuk membatalkan bias-bi­
as subjektif manusia sang matematikawan/filsuf.

Proyek ontologis filsafat bukanlah sesuatu yang mengawang-awang.


Setinggi dan seabstrak apa pun filsafat bergerak menuju awan-awan
untuk mencari yang absolut, buku ini hendak menunjukkan bahwa
ia, yang absolut, tidak ada di atas sana. Yang absolut telah selalu ada di

278
Simpulan

sini, sekarang, hadir bersama kita. Tugas filsafat adalah membongkar


tabir yang selamanya menghalangi kita untuk melihat presentasi
murni dari yang absolut. Tabir itu, tak lain, dan ironisnya, adalah
kemanusiaan itu sendiri. Hanya filsafat yang bisa menyelamatkan
umat manusia dari konsekuensi-konsekuensi irasionalitas kemanu­
siaan. Demikianlah filsafat harus membunyikan lonceng yang meng­
ingatkan kita bahwa waktu ontologis dari manusia dan kemanusiaan
sudah berakhir dan harus segera diakhiri. Akhirnya filsafat adalah
nama lain dari penanda kepunahan manusia.
Jika benar kata Meillassoux bahwa filsafat adalah eksperimentasi
tentang bentuk “aneh” argumentasi yang berbatasan langsung dengan
sisi gelapnya: sofisme dan skeptisisme, maka ini berarti bahwa filsafat
itu sebenarnya tidak ada, tidak di dunia ini. Karena hari-hari ini,
bentuk-bentuk argumen yang berbatasan langsung dengan sofisme
dan skeptisisme adalah argumen-argumen fundamentalis fanatik,
mulai dari fundamentalisme religius, moral, negara, pasar, rasial,
preferensi seksual, dst. Tidak ada tempat untuk rasionalitas dan
kebenaran absolut filsafat. Jika memang demikian, satu-satunya cara
agar filsafat tidak terperosok menjadi eskapis dan fatalis, tampaknya
hanya dengan mengafirmasi ketiadaan filsafat itu sendiri. Dengan
mengokupasi sisi gelap yang adalah ketiadaan, filsafat memiliki
peluang yang besar untuk membayang-bayangi seluruh fondasi
irasional tatanan dunia hari ini, dan meruntuhkannya dari dalam.
Mungkin hanya yang tiada, yang nihil, yang bisa menyelamatkan
filsafat, dan yang kemudian menyelamatkan kita. Bisa jadi justru
dari kegelapan, kebenaran absolut itu muncul.
Sketsa kemungkinan solusi yang coba penulis formulasikan
di sela-sela pembahasan filsafat Meillassoux ini (yi. astralitas dan
nihilisme ontikologis) memang jauh dari sempurna. Penulis sendiri
membatasi elaborasi yang lebih sistematis atasnya karena alasan
pembatasan masalah penelitian. Namun demikian, setidaknya poin
argumentasi pokok dari buku ini sudah tersampaikan, yaitu bahwa
kita, manusia-filsuf, tidak bisa begitu saja mengabaikan kemanusiaan
berikut konsekuensi-konsekuensi yang diimplikasikannya pada
upaya-upaya filosofis kita. Ketimbang pengabaian, satu-satunya
cara realistis untuk meresolusi kontradiksi yang disebabkan ontoan­

279
Hizkia Yosie Polimpung

tropologi adalah dengan pertama-tama mengafirmasinya, dan


kemudian mengakselerasi kontradiksi tersebut sampai pada titik
ia justru membatalkan dirinya sendiri. Demikianlah saat entropi
dari satu sistem yang terisolasi bernama kemanusiaan, yaitu yang
dihuni oleh entitas-entitas hasil seksualisasi yang adalah manusia
dan realitas objektif, telah mencapai taraf maksimum, ia akan
mampu membatalkan kemanusiaan itu sendiri dan pada akhirnya
menunjukkan bahwa yang absolut telah selalu ada mendahului
segala bentuk kemanusiaan.
Inilah tugas filsafat yang disebutkan Meillassoux, yang kini
mendapat maknanya yang tidak lagi seperti yang ada di benak
Meillassoux. Tugas filsafat adalah mengafirmasi dan kemudian
mengakselerasi kontradiksi-kontradiksi kemanusiaan sampai titik di
mana ia menjadi terbatalkan. Karena dengan mengakselerasi ini,
kita sedang berjalan pada jalur yang tepat menuju pengetahuan
yang absolut. Pasalnya, kita tahu bahwa yang absolut adalah tiada,
dan yang ada hanyalah ada karena korelat kemanusiaan. Kita
tahu bahwa adalah kemanusiaan yang selamanya mengaburkan
pandangan kita akan yang absolut yang notabene sudah selalu hadir.
Irasionalitas yang menjadi fitur manusia kini telah bereproduksi
dengan sedemikian maraknya dan mengontaminasi seluruh aspek
kehidupan. Manusia, yang menjadi pusat dari segala sesuatu di
planet ini (antroposen), telah menularkan irasionalitasnya ke
mana-mana. Dunia ini terjangkiti dengan irasionalitas di sana-sini.
Kapitalisme, neoliberalisme, fundamentalisme, ekstremisme, bah­
kan praktik-praktik saintisme, secara bersamaan telah menjadi
korelat-korelat yang hidup, yang saking hidupnya mereka semua
semakin menjadi penantang manusia dalam menjadi pusat dari
segala sesuatunya. Karena kehidupan korelat-korelat ini didapat dari
manusia, kini kita lihat di mana-mana terjadi penghisapan sistematis
seluruh aspek kehidupan manusia (kreativitas, emosionalitas, afeksi,
kognisi, makna, ketakutan, kualitas biologis, dst.) melalui rupa-rupa
algoritma teknologi kontrol, proses komodifikasi kapitalis, retorika
kerakyatan fasis, manipulasi genetika untuk tujuan profit murni, dst.
Proyek filsafat menggapai yang absolut tidak pernah segenting
dan serelevan ini. Tidak pernah tuntutan agar filsafat untuk mem­

280
Simpulan

bumi dan beraliansi dengan disiplin lainnya (ekonomi, sosio-antro­


pologi, teologi, biologi, fisika, matematika, neurosains, dll.) menjadi
semendesak sekarang ini. Dengan kapasitasnya sebagai suatu
rasionalitas absolut yang mampu membatalkan kemanusiaan, bah­
kan kita sendiri, para manusia, membutuhkan filsafat lebih dari ka­
pan pun. Untuk itulah tampaknya tidak berlebihan apabila buku ini
berujung pada satu seruan: filsuf sedunia, bersatulah!

281
Hizkia Yosie Polimpung

Daftar Pustaka

“Chomsky Vs Zizek (Full Compilation),” YouTube, 19 Juli 2013 [Video],


diakses pada 20 Maret 2014 dari https://www.youtube.com/
watch?v=JWOI0Xym2ZY
“Earth,” Wikipedia [Ensiklopedia daring], diakses dari https://
en.wikipedia.org/wiki/Earth.
“sic,” Oxford Dictionaries, n.d., diakases dari: http://www.
oxforddictionaries.com/definition/english/sic.
Agamben, Giorgio, Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life, terj. D
Heller-Roazen (Stanford Uni Press, 1998).
Agamben, Giorgio, What is An Apparatus? and Other Essays, terj.
D. Kishik & S. Pedatella (Stanford, California: Stanford
University Press, 2009).
Alain-Miller, Jacques, “Suture (Elements of the Logic of Signifier),”
dlm. Concept and Form, Volume One. Key Texts from the
Cahiers pour l’Analyse, terj & peny., P. Hallward & K. Peden
(Verso, 2012).
Al-Fayyadl, Muhammad, “Bunuh Diri Kelas,” IndoProgress, 19 Mei
2011. URL: http://indoprogress.com/2011/05/bunuh-diri-
kelas/.
Al-Khalili, Jim, The Hunt for Higgs, BBC Horizon [video dokumenter]
(London, 2012).
Armitage, Duane, “Heidegger’s Contribution to Philosophy: Pauline
Meontology and Lutheran Irony,” The Heythrop Journal: A
Quarterly Review of Philosophy and Theology, 55, 4 (2014).
Austin, Michael, “Badiou’s Anthro-Ontology,” Complete Lies [Blog
daring], 14 Februari 2009, diakses dari http://buymeout.
wordpress.com/2009/02/14/badious-anthro-ontology/
[diakses pada 5 Maret 2014].

282
Daftar Pustaka

Badiou, Alain, & Ben Woodard, “Interview,” dlm. L. Bryant, N.


Srnicek & G. Harman, peny. The Speculative Turn: Continental
Materialism and Realism.
Badiou, Alain, “Preface,” dlm. Meillassoux, Quentin, After Finitude.
Badiou, Alain, “The Ethic of Truths: Construction and Potency,” terj.,
T. Sowley, Pli, 12 (2001).
Badiou, Alain, Being and Event, terj. O. Feltham (Continuum, 2005).
Badiou, Alain, Deleuze: The Clamor of Being, terj. L. Burchill
(University of Minnesota Press, 2000 [1997]).
Badiou, Alain, Ethics: An Essay on the Understanding of Evil, terj. P.
Hallward (Verso, 2001).
Badiou, Alain, L’antiphilosophie de Lacan: Séminaire 1994-1995
(tidak terbit), diakses di http://www.entretemps.asso.
fr/Badiou/94-95.htm.
Badiou, Alain, Theoretical Writings, peny. & terj., R. Brassier & A.
Toscano (Continuum, 2004)
Barad, Karen, Meeting the Universe Halfway: Quantum Physics and
the Entanglement of Matter and Meaning (Duke Univ Press,
2007).
Becker, Konrad & Felix Stalder, peny., Deep Search: The Politics of
Search Beyond Google (London: Transaction Publishers, 2009)
Berardi, Franco “Bifo,” Soul at Work: From Alienation to Autonomy
(Semiotext[e], 2009).
Brassier, Ray, & Bram Leven, “Against an Aesthetics of Noise,”
nY, 5 Oktober 2010, diakses dari: http://www.ny-web.be/
transitzone/against-aesthetics-noise.html.
Brassier, Ray, “Axiomatic Heresy: The non-philosophy of François
Laruelle,” Radical Philosophy, 121, Sep/Oct 2003.
Brassier, Ray, Nihil Unbound: Enlightenment and Extinction (Palgrave
Macmillan, 2007).
Braver, Lee, A Thing of This World: A History of Continental Anti-
Realism (Northwestern University Press, 2007).
Brock, Stuart & Edwin Mares, Realism and Antirealism (Acumen,
2007).
Bryant, Levi, Nick Srnicek & Graham Harman, peny., The Speculative
Turn: Continental Materialism and Realism (re.press, 2011).

283
Hizkia Yosie Polimpung

Burris, Greg, “What the Chomsky-Žižek debate tells us about


Snowden’s NSA revelations,” The Guardian, 11 Agustus 2013.
Diakses pada 20 Maret 2014 dari http://www.theguardian.
com/commentisfree/2013/aug/11/chomsky-zizek-debate-
snowden-nsa.
Carnap, Rudolf, “On protocol sentence,” Nôus, 21, 4 (1987 [1932]).
Chiesa, Lorenzo, Subjectivity and Otherness: A Philosophical Reading
of Lacan (MIT Press, 2007).
Chiesa, Lorenzo, “The World of Desire: Lacan between Evolutionary
Biology and Psychoanalytic Theory,” Filozofski vestnik, XXX,
2 (2009).
Clemens, Justin, Psychoanalysis is an Antiphilosophy (Edinburgh Uni
Press, 2013).
Copjec, Joan, Read My Desire: Lacan against Historicist (MIT Press,
1994).
Deleuze, Gilles & Félix Guattari, A Thousand Plateaus. Capitalism and
Schizophrenia, vol 2, terj. B. Massumi (Continuum, 2004).
Deleuze, Gilles & Félix Guattari, What Is Philosophy?, terj. H.
Tomlinson & G. Burchell (Columbia Uni Press, 1994).
Deleuze, Gilles, Difference and Repetition, terj., P. Patton (Colombia
University Press, 1994).
Deleuze, Gilles, The Logic of Sense, terj. M. Lester (Athlone Press,
1990).
Derrida, Jacques, Acts of Religion, peny. G. Anidjar (Routledge, 2002).
Derrida, Jacques, “Cogito and History of Madness,” dlm. J. Derrida,
Writing and Difference.
Derrida, Jacques, “Force of Law: The ‘Mystical Foundation of
Authority’” dlm. J. Derrida, Acts of Religion, peny. G.
Anidjar (Routledge, 2002).
Derrida, Jacques, Of Grammatology, terj., G. Spivak, (John Hopkins
University Press, 1976).
Derrida, Jacques, Writing and Difference, terj. A. Bass (Routledge,
1978).
Descartes, René, “Meditations on First Philosophy,” dlm. The
Philosophical Writings of Descartes, vol 1, terj. J. Cottingham,
R. Stoothoff, dan D. Murdoch (Cambridge Uni Press, 1985).

284
Daftar Pustaka

Descartes, René, “Principles of Philosophy,” dlm. R. Descartes, The


Philosophical Writings of Descartes, vol 2, terj. J. Cottingham,
R. Stoothoff, dan D. Murdoch (Cambridge Uni Press, 1985).
Descartes, René, The Philosophical Writings of Descartes, vol 1, terj. J.
Cottingham, R. Stoothoff, dan D. Murdoch (Cambridge Uni
Press, 1985).
Descartes, René, The Philosophical Writings of Descartes, vol 2, terj. J.
Cottingham, R. Stoothoff, dan D. Murdoch (Cambridge Uni
Press, 1985).
Devitt, Michael, Realism and Truth, edisi kedua (Princeton University
Press, 2007).
Dollar, Mladen, “’I Shall Be with You on Your Wedding-Night’: Lacan
and the Uncanny,” October, 58, (Autumn, 1991).
Epicurus, Epicurus: The Extant Remains, terj. & peny., C. Bailey
(Oxford Clarendon, 1926).
Faye, Emmanuel, “Nazi Foundations in Heidegger’s Work” terj. A.
Watson & R.J. Golsan, South Central Review, 23, 1 (Spring
2006).
Faye, Emmanuel, Heidegger. L’introduction du nazisme dans la
philosophie: Autour des séminaires inédits de 1933-1935 (Paris:
Albin Michel, 2005).
Finocchiaro, Maurice A., “Introduction,” dlm. G. Galilei, Galileo on
the World Systems.
Fisher, Mark, Capitalist Realism: Is there no alternative? (Zero Books,
2009).
Foucault, Michel, “My body, this paper, this fire” (Appendix II), dlm.
M. Foucault, History of Madness.
Foucault, Michel, “Reply to Derrida” (Appendix III), dlm. M. Foucault,
History of Madness.
Foucault, Michel, History of Madness, terj. J. Murphy & J. Khalfa
(Routledge, 2006).
Franklin, James, The Science of Conjecture: Evidence and Probability
before Pascal (John Hopkins Uni Press, 2015).
Freud, Sigmund, “Civilization and Its Discontents,” dlm. S. Freud,
The Standard Edition of the Complete Psychological Works of
Sigmund Freud, vol. XXI.

285
Hizkia Yosie Polimpung

Freud, Sigmund, “Negation,” dlm. S. Freud, The Standard Edition of


the Complete Psychological Work, peny., J. Strachey, vol. XX.
Freud, Sigmund, “The ‘Uncanny’”, dlm. S. Freud, The Standard Edition
of the Complete Psychological Work, peny., J. Strachey, vol.
XVII.
Freud, Sigmund, “The Economic Problem of Masochism”, dlm. S.
Freud, The Standard Edition of the Complete Psychological
Works of Sigmund Freud, vol. XXIV.
Freud, Sigmund, “The Interpretation of Dream,” dlm. S. Freud, The
Standard Edition of the Complete Psychological Work, vol. IV
& V.
Freud, Sigmund, The Standard Edition of the Complete Psychological
Works of Sigmund Freud, 24 volume, peny & terj. J. Strachey,
dkk. (The Hogart Press and the Institute of Psychoanalysis,
London 1953-74)
Furuta, Aya, “One Thing Is Certain: Heisenberg’s Uncertainty
Principle Is Not Dead,” Scientific American, edisi 8 Maret
2012.
Galilei, Galileo, Galileo on the World Systems: A New Abridged
Translation and Guide, terj. M.A. Finocchiaro (Uni California
Press, 1997).
Galloway, Alexander R., “The Poverty of Philosophy: Realism and
Post-Fordism,” Critical Inquiry, 39, 2 (Winter 2013).
Girard, Rene, Deceit, Desire and the Novel (London: Johns Hopkins
Uni Press, 1966).
Gratton, Peter, “Meillassoux’s Speculative Politics: Time and the
Divinity to Come,” Analecta Hermeneutica, 4 (2012).
Gratton, Peter, Speculative Realism: Problems and Prospects
(Bloomsbury: London, 2014).
Hägglund, Martin, Radical Atheism: Derrida and the Time of Life
(Stanford Uni Press, 2008).
Hägglund, Martin, “Radical Atheist Materialism: A Critique of
Meillassoux,” dlm. L. Bryant, N. Srnicek & G. Harman, peny.,
The Speculative Turn: Continental Materialism and Realism.
Hallward, Peter & Knox Peden, Concept and Form, Volume One. Key
Texts from the Cahiers pour l’Analyse (Verso, 2012).

286
Daftar Pustaka

Hallward, Peter, “Anything is Possible: A Reading of Quentin


Meillassoux’s After Finitude,” dlm. L. Bryant, N. Srnicek & G.
Harman, peny., The Speculative Turn: Continental Materialism
and Realism.
Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian (KPG, 2003).
Harman, Graham, Quentin Meillassoux: Philosophy in the Making
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011)
Harman, Graham, The Quadruple Object (Zero Books, 2011).
Harman, Graham, Weird Realism: Lovecraft and Philosophy (Zero
Books, 2011)
Hart, James G., Who One Is, Book 1. Meontology of the “I”: A
Transcendental Phenomenology (Springer, 2009).
Hecker, Florian, Chimerization (Primary Information, 2013), URL:
http://chimerization.documenta.de/.
Heidegger, Martin, “Postscript to ‘What is Metaphysics?’,” dlm. M.
Heidegger, Pathmarks.
Heidegger, Martin, Being and Time, terj. J. Stambaugh (State Uni of
NY Press, 2010).
Heidegger, Martin, Martin Heidegger in Conversation, terj. B.S.
Murthy (Arnold-Heinemann, 1978).
Heidegger, Martin, Pathmarks, terj. W. McNeill (Cambridge Uni
Press, 1998).
Hume, David, A Treatise of Human Nature, edisi cetak ulang dari
naskah asli (Oxford Clarendon, 1960).
Hume, David, “Dialogues Concerning Natural Religion,” dlm. D.
Hume, Dialogues Concerning Natural Religion, And Other
Writings, peny. D. Coleman (Cambridge Uni Press, 2007).
Hume, David, Dialogues Concerning Natural Religion, And Other
Writings, peny. D. Coleman (Cambridge Uni Press, 2007).
Huneman, Philippe & Estelle Kulich, Introduction à la phénoménologie
(Armand Colin, 1997).
Jameson, Fredric, “The Vanishing Mediator: Narrative Structure in
Max Weber,” New German Critique, 1 (Winter, 1973).
Jaynes, Edwin Thompson, “Mathematical formalities and style,”
dlm. E.T. Jaynes, Probability Theory: The Logic of Science
(Cambridge University Press, 2003).

287
Hizkia Yosie Polimpung

Jaynes, Edwin Thompson, “Probabilities in quantum theory,” dlm.


Wojciech H. Zurek, peny., Complexity, Entropy, and the
Physics of Information.
Jaynes, Edwin Thompson, Probability Theory: The Logic of Science
(Cambridge University Press, 2003).
Jaynes, Edwin Thompson, The Second Law as Physical Fact and as
Human Inference (1990), tidak terbit.
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, terj., P. Guyer & A.W. Wood
(Cambridge Uni Press, 1998).
Kant, Immanuel, Prolegomena to Any Future Metaphysics, terj., G.
Hatfield (Cambridge Uni Press, 2004).
Kantorowicz, Ernst, The King’s Two Bodies (Princeton Uni Press,
1956).
Kearney, Richard, Dialogues with Contemporary Continental Thinkers:
The Phenomenological Heritage (Manchester: Manchester
University Press, 1984).
Kierkegaard, Søren, “Fear and Trembling,” dlm. S. Kierkegaard, Fear
and trembling; Repetition. Kierkegaard’s writings.
Kierkegaard, Søren, Fear and trembling; Repetition. Kierkegaard’s
writings, 6, terj. H.V. Hong & E.H. Hong (Princeton Uni Press,
1983).
Kindleberger, Charles P., (dan Robert Z. Aliber), Manias, Panics and
Crashes: A History of Financial Crises, edisi kelima (Palgrave
Macmillan, 2005).
Kojève, Alexander, Introduction to the Reading of Hegel, terj. J.H.
Nichols (Cornell Uni Press, 1980)
Lacan, Jacques, “Conférence de presse du docteur Jacques Lacan
au Centre culturel français, Rome, 29 octobre 1974,” dlm. J.
Lacan, Pas-Tout Lacan, 1926-1981.
Lacan, Jacques, “Discourse of Jacques Lacan at the University of
Milan on May 12, 1972,” dlm J. Lacan, Lacan in Italia.
Lacan, Jacques, “Presentation on Transference,” dlm. J. Lacan, Écrits:
Complete Edition.
Lacan, Jacques, “Remarks on Daniel Lagache’s Presentation:
‘Psychoanalysis and Personality Structure’,” dlm. Écrits:
Complete Edition.

288
Daftar Pustaka

Lacan, Jacques, “Science and Truth,” dlm. J. Lacan, Écrits: Complete


Edition.
Lacan, Jacques, “Seminar on ‘The Purloined Letter’,” terj. J. Mehlman,
Yale French Studies, 48 (1972).
Lacan, Jacques, « 1975-10-04 Conférence à Genève sur le symptôme
» dlm. J. Lacan, Pas-tout Lacan, 1926-1981.
Lacan, Jacques, Écrits, A Selection, terj. A. Sheridan (Routledge,
2001).
Lacan, Jacques, Écrits: Complete Edition, terj. B. Fink (W.W. Norton
& Co., 2006).
Lacan, Jacques, Lacan in Italia, 1953-1978, terj. L. Boni (La Salamandra,
1978).
Lacan, Jacques, Le Séminaire, Livre VI : Le Désir et son interpretation,
1958-59, edisi École lacanienne de psychanalyse (ELP) (n.d.),
tidak terbit.
Lacan, Jacques, Le Séminaire, Livre VII : L’éthique de la psychanalyse
(Seuil, 1986).
Lacan, Jacques, Le Séminaire, Livre X : L’angoisse (Seuil, 2004).
Lacan, Jacques, Le Séminaire, Livre XI  : Les quatre concepts
fondamentaux de la psychanalys (Seuil, 1973).
Lacan, Jacques, Le Séminaire, Livre XVIII : D’un discours qui ne serait
pas du semblant, 1971 (Seuil, 2007).
Lacan, Jacques, Le Séminaire XXIV : L’insu que sait de l’une bévue,
s’aile a mourre, edisi École lacanienne de psychanalyse (ELP)
(n.d.), tidak terbit.
Lacan, Jacques, Pas-tout Lacan, 1926-1981 (École Lacanienne de
Psychanalyse, 2013).
Lacan, Jacques, Seminar I: Freud’s Papers on Technique, terj. J.
Forrester (W.W. Norton & Co., 1988).
Lacan, Jacques, Seminar II: The Ego in Freud’s Theory and in the
Technique of Psychoanalysis (W.W. Norton & Co., 1988).
Lacan, Jacques, Seminar III: The Psychoses, terj. R. Grigg (W.W. Norton
& Co., 1993).
Lacan, Jacques, Seminar IV: Object Relations, terj. L.V.A. Roche (n.d.),
tidak terbit.

289
Hizkia Yosie Polimpung

Lacan, Jacques, Seminar VII: The Ethcis of Psychoanalysis, terj. D.


Porter (Tavistock/Routledge, 1992).
Lacan, Jacques, Seminar VIII: Transference, terj. C. Gallagher (n.d.),
tidak terbit.
Lacan, Jacques, Seminar IX: Identification, terj. C. Gallagher (n.d.),
tidak terbit.
Lacan, Jacques, Seminar XI: Four Fundamental Concept of
Psychoanalysis, terj. A. Sheridan, (W.W. Norton & Co., 1981).
Lacan, Jacques, Seminar XIV, The Logic of Phantasy, terj. C. Gallagher
(n.d.), tidak terbit.
Lacan, Jacques, Seminar XVII: The Otherside of Psychoanalysis, terj. R.
Grigg (W.W. Norton & Co., 2007).
Lacan, Jacques, Seminar XIXa: The Knowledge of the Psychoanalyst,
terj. C. Gallagher (n.d.), tidak terbit.
Lacan, Jacques, Seminar XIXb: Or Worse, terj. C. Gallagher (n.d.),
tidak terbit.
Lacan, Jacques, Seminar XX, Encore: On Feminine Sexuality, The
Limits of Love and Knowledge, terj. B. Fink (W.W. Norton &
Co., 1998).
Lacan, Jacques, Seminar XXIII: The Sinthome, 1975-76, terj. L. Thurston,
diterbitkan di Ornicar, 6-11, (1976-1977).
Land, Nick, Fanged Noumena: Colected Writings, 1987-2007, edisi
kedua (Urbanomic, 2012).
Laruelle, François, Principes de la non-philosophie (PUF, 1996).
Laruelle, François, The Philosophies of Difference: A Critical
Introduction to Non-Philosophy, terj. R. Gangle (Continuum,
2010).
Lawrence, D. H., Women in Love (Wordsworth Classics, 1999).
Leibniz, Gottfried W., “Principles of Nature and Grace, Based on
Reason,” dlm. G.W. Leibniz, Philosophical Essays.
Leibniz, Gottfried W., Philosophical Essays, terj. & peny., R. Ariew &
D. Garber (Hackett Publishing, 1989).
Levinas, Emmanuel & Richard Kearney, “Dialogue with Emmanuel
Uvinas,” dlm. R. Kearney, Dialogues with Contemporary
Continental Thinkers: The Phenomenological Heritage.

290
Daftar Pustaka

Locke, John, An Essay Concerning Human Understanding (Clarendon


Press, 1998).
Lucretius, On the Nature of Things, terj. M.F. Smith (Heckett
Publishing, 2001).
Luther, Martin, Martin Luther’s Basic Theological Writings, terj. &
peny., T.F. Lull (Fortress Press, 1989).
Luther, Martin, Lectures on Romans (Philadelphia: The Westminster
Press, 1967).
Mannoni, Octave, Clefs pour l’imaginaire ou l’Autre Scène (Paris:
Editions du Seuil, 1968).
Meilassoux, Quentin, “Appendix: Excerpts from L’Inexistence divine,”
terj. G. Harman, dlm. G. Harman, Quentin Meillassoux:
Philosophy in the Making.
Meilassoux, Quentin, “Potentiality and Virtuality,” Collapse, II (March
2007).
Meilassoux, Quentin, “Spectral Dilemma,” Collapse, IV (May 2008).
Meilassoux, Quentin, “Subtraction and Contraction,” Collapse, III
(November 2007).
Meilassoux, Quentin, After Finitude: An Essay on the Necessity of
Contingency, terj. Ray Brassier (Continuum, 2008).
Meilassoux, Quentin, Après la finitude: Essai de la nécessité de la
contingence (Seuil, 2006).
Meilassoux, Quentin, Contingence et l’absolutisation de l’Un,
makalah untuk seminar Métaphysique, ontologie, hénologie,
Université Paris 1, 2008.
Meillassoux, Quentin, Iteration, Reiteration, Repetition: A Speculative
Analysis of the Meaningless Sign, ter. R. Mackay, transkrip
kuliah di Freie Universität, Berlin, 20 April 2012.
Meilassoux, Quentin, L’Inexistence divine, Disertasi untuk
Departemen Filsafat, Université de Paris 1, Prancis, 1996.
Meilassoux, Quentin, Time without Becoming, terj. R. Brassier,
makalah unutk seminar di Middlesex, London, 2008.
Meillassoux, Claude, The Anthropology of Slavery: The Womb of Iron
and Gold (University of Chicago Press, 1991).
Meillassoux, Quentin, “Spectral Dilemma,” Collapse, IV (2009).

291
Hizkia Yosie Polimpung

Minsky, Hyman, Stabilizing an Unstable Economy (McGraw Hill,


2008).
Murphy, Cullen, God’s jury: The Inquisition and the Making of the
Modern World (Mariner Books, 2013).
Negarestani, Reza, “Instrumental Spectrality and Meillassoux’s
catoptric controversies,” Urbanomic, 29 April 2009. URL:
https://www.urbanomic.com/instrumental-spectrality-and-
meillassouxs-catoptric-controversies/.
Negarestani, Reza, “Nature, its man and his goat (Enigmata of natural
and cultural chimeras),” dlm. F. Hecker, Chimerization
(Primary Information, 2013), URL: http://chimerization.
documenta.de/.
Negarestani, Reza, “The Labor of the Inhuman, Part I: Human,” e-flux,
#52, 2 (2014).
Negarestani, Reza, “The Labor of the Inhuman, Part II: Inhuman,”
e-flux, #53, 3 (2014).
Negri, Antonio & Cesare Casarino, “It’s a Powerful Life  : A
Conversation on Contemporary Philosophy,” Cultural
Critique, 57 (2004).
Negri, Antonio, Political Descartes: Reason, Ideology and Bourgeois
Project, terj. M. Mandarini & A. Toscano (Verso, 2007).
Nietzsche, Friedrich, The Gay Science, terj. Josefine Nauckhoff
(Cambridge Uni Press, 2001).
Oxford Advanced Learner’s Dictionary, edisi ke-8.
Parker, Ian & David Pavón-Cuéllar, peny., Lacan, Discourse, Event:
New Psychoanalytic Approaches to Textual Indeterminacy
(Routledge, 2014).
Pasquinelli, Matteo, “Google’s PageRank Algorithm: A Diagram of
the Cognitive Capitalism and the Rentier of the Common
Intellect,” dlm. K. Becker & F. Stalder, peny., Deep Search: The
Politics of Search Beyond Google.
Pfaller, Robert, “The Familiar Unknown, the Uncanny, the Comic,”dlm.
S. Žižek, peny., Lacan: The Silent Partners (Verso, 2005).
Polimpung, Hizkia Yosie, Asal-Usul Kedaulatan (Penerbit Kepik,
2014).

292
Daftar Pustaka

Polimpung, Hizkia Yosie, “Implikasi Anti-Sekuler dari Sekulerisasi:


Memetik Pelajaran dari Teologi Politik Kedaulatan Negara,”
Jurnal Peradaban Global, 1 (2012).
Polimpung, Hizkia Yosie, Komun dalam “Komunikasi,” atau
Bagaimana Teologi (Kristen) Dapat Belajar dari Komunikasi
tentang Peperangan Rohani?, Makalah disampaikan pada
kuliah umum Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Teologia
Inalta, Kelapa Gading, Jakarta, 20 Agustus 2011.
Polimpung, Hizkia Yosie, “Tuhan di Bumi,” IndoProgress, 10 Januari
2014, URL: http://indoprogress.com/2014/01/tuhan-di-bumi/.
Putnam, Hillary, Reason, Truth, and History (Cambridge University
Press, 1981).
Ragland, Ellie, & Dragan Milovanovic, Lacan: Topologically Speaking
(Other Press, 2014).
Rorty, Richard, Consequences of Pragmatism (University Minnesota
Press, 1982).
Rudyansjah, Tony, Alam, Kebudayaan dan Yang Ilahi (Titian, 2011)
Saavedra, Miguel de Cervantes, Don Quixote, terj. J. Rutherford
(Penguin Classics, 2003)
Schram, Stuart, The Thought of Mao Tse-Tung (Cambridge Uni Press,
1989).
Schmitt, Carl, Political Theology: Four Chapters on the Concept of
Sovereignty, terj. G. Schwab (MIT Press, 1985)
Sève, Lucien, “An Embryonic Science: The Psychology of Personality,”
dlm. Man In Marxist Theory And The Psychology Of Personality
(The Harvester Press, 1978), edisi digital dari: https://www.
marxists.org/archive/seve/works/1974/ch1/ch01.htm.
Sève, Lucien, Man In Marxist Theory And The Psychology Of Personality
(The Harvester Press, 1978), edisi digital dari: https://www.
marxists.org/archive/seve/index.htm.
Shaviro, Steven, The Universe of Things: On Speculative Realism (Uni
Minnesota Press, 2014)
Siqi, Ai, “Surreptitious Substitution of Theory of Reconciliation of
Contradictions and Classes for Revolutionary Dialectics
Must Not Be Permitted,” Renmin Ribao, 20 Mei 1965, diakses
dari http://marxistphilosophy.org/ChinTrans1221.htm.

293
Hizkia Yosie Polimpung

Skodo, Admir, peny., Other Logics: Alternatives to Formal Logic in the


History of Thought and Contemporary Philosophy (Brill, 2014).
Smith, Barbara H., What Was “Close Reading”? A Century of Method
in Literary Studies, makalah Digital Humanities Workshop
series “On Method,” Heyman Center, Columbia University,
New York, May 6, 2015.
Smith, Jonathan Z., “I Am a Parrot (Red),” History of Religions, 11, 4
(1972).
Soler, Colette, Lacanian Affects: The Function of Affect in Lacan’s Work
(Routledge, 2016).
Stahl, Saul & Catherine Stenson, Introduction to Topology and
Geometry, edisi kedua (Wiley, 2013).
Stavish, Mark, Between the Gates: Lucid Dreaming, Astral Projection,
and the Body of Light in Western Esotericism (Weiser Books,
2008)
Suryajaya, Martin, Materialisme Dialektis: Kajian tentang Marxisme
dan Materialisme Dialektis (Resist Book, 2012).
Terranova, Tiziana, “Another Life: social cooperation and a-organic
life,” Digithum, 12 (2010).
Watkin, Christopher, “Proving the Principle of Logic: Quentin
Meillassoux, Jean-Luc Nancy, and the Anhypothetical,” dlm.
A. Skodo, peny., Other Logics: Alternatives to Formal Logic in
the History of Thought and Contemporary Philosophy (Brill,
2014).
Virno, Paolo, When the Word Becomes Flesh: Language and Human
Nature, terj. G. Mecchia (Semiotext[e], 2015).
Wang, G. M., E. M. Sevick, Emil Mittag, Debra J. Searles, & Denis
J. Evans, “Experimental Demonstration of Violations of the
Second Law of Thermodynamics for Small Systems and
Short Time Scales,” Physical Review Letters, 89 (2002).
Wilde, Oscar, The Soul of Man Under Socialism and Selected Critical
Prose (Penguin Books, 2001).
Wittgenstein, Ludwig, Tractatus Logico-Philosophicus, terj. D. F. Pears
& B. F. McGuinness (Routledge, 2001).
Žižek, Slavoj, Did Somebody Say Totalitarianism: Five Interventions in
The (Mis)use of a Notion (Verso, 2001).

294
Daftar Pustaka

Žižek, Slavoj, Enjoy your symptom: Jacques Lacan in Hollywood and


out (Routledge, 2008 [1992]).
Žižek, Slavoj, Less than Nothing (London : Verso, 2013).
Žižek, Slavoj, Organs without Bodies: Deleuze and Consequences
(Routledge, 2004).
Žižek, Slavoj, peny., Lacan: The Silent Partners (Verso, 2005).
Žižek, Slavoj, The Pervert’s Guide to Cinema, sutr. Sophie Fiennes
(Mischief Film & Amoeba Film, 2006) [Film].
Žižek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology (Verso, 2008).
Zupančič, Alenka, “Not-Mother: On Freud’s Verneinung,” e-flux, #33,
3 (2012).
Zupančič, Alenka, The Odd One In: On Comedy (MIT Press, 2008).
Zurek, Wojciech H., peny., Complexity, Entropy, and the Physics of
Information (Addison-Wesley, 1990).

295
Hizkia Yosie Polimpung

Indeks

A After Finitude 10, 32, 39, 40, 41,


Absolut 21, 22, 34, 103, 177, 188, 44, 45, 49, 54, 57, 92, 95, 104,
192, 193 106, 107, 108, 110, 112, 113,
ada 8, 10, 11, 14, 15, 17, 18, 23, 25, 114, 116, 118, 119, 121, 123,
26, 27, 28, 29, 31, 32, 34, 35, 124, 127, 130, 131, 133, 134,
36, 37, 38, 39, 40, 46, 47, 48, 136, 137, 140, 141, 143, 144,
49, 51, 52, 53, 55, 56, 62, 63, 148, 153, 155, 160, 161, 171,
65, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 174, 177, 178, 184, 185, 192,
75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 195, 196, 197, 202, 205, 207,
83, 84, 87, 88, 89, 90, 93, 94, 208, 225, 226, 227, 228, 231,
99, 100, 101, 104, 107, 109, 243, 262, 268, 270, 283, 287,
111, 112, 114, 115, 116, 117, 291
118, 119, 120, 122, 124, 125, ansestral 56, 59, 60, 91, 134, 135,
131, 133, 134, 137, 138, 139, 138, 139, 141, 142, 143, 144,
140, 142, 143, 144, 145, 146, 145, 146, 147, 150, 153, 154,
148, 149, 150, 152, 153, 154, 159, 160, 165, 172, 182, 186,
155, 158, 159, 160, 161, 162, 262, 266, 267, 273
164, 167, 168, 169, 170, 172, Ansestral 22, 130
173, 174, 178, 179, 182, 183, Aquinas 24, 25
184, 185, 186, 187, 188, 189, astral 147, 164, 165, 166, 271, 273
190, 191, 192, 193, 194, 195, Astral 22, 130, 147, 294
197, 198, 199, 200, 201, 202,
203, 204, 206, 208, 209, 211, B
212, 213, 214, 215, 216, 218, Badiou 9, 10, 29, 30, 31, 32, 49, 61,
219, 220, 221, 222, 223, 224, 64, 79, 99, 102, 106, 107, 126,
226, 228, 237, 238, 239, 240, 161, 177, 202, 204, 220, 282,
241, 242, 243, 247, 249, 250, 283
251, 253, 256, 261, 266, 267, Badiou, Alain 283
268, 269, 270, 274, 275, 276,
278, 279, 280 C
Ada 22, 24, 26, 27, 29, 31, 101, 108, Cantor 201, 202, 203, 205, 247
148, 188, 191, 197, 199, 206, Cantorian 22, 201, 202, 203, 205
213, 218 Cartesian 46, 60, 64, 100, 111, 116,

296
Indeks

193, 205, 225, 226 239, 240, 244, 245, 246, 254,
Cogito 100, 284 256, 258, 262, 263, 265, 267,
272, 275, 276, 277, 278
D Hasrat 74, 88, 90, 91, 92, 170, 263
Deleuze 30, 97, 104, 133, 166, 200, Heidegger 8, 25, 26, 27, 59, 98, 100,
220, 283, 284, 295 104, 108, 116, 121, 122, 130,
Deleuze, Gilles 284 214, 282, 285, 287
Derrida 8, 27, 47, 98, 100, 107, 108, Heideggerian 27, 99, 126, 179, 204,
115, 215, 284, 285, 286 274
Derrida, Jacques 284 Heidegger, Martin 130, 287
dunia luar raya 11, 33, 41, 42, 50, hiperkaos 46, 186, 187, 189, 190,
51, 54, 59, 91, 138, 142, 147, 193, 196
148, 153, 161, 163, 166, 170, Hiperkaos 22, 188
172, 175, 238, 261, 262, 263, Hume 92, 93, 99, 114, 117, 193, 194,
266, 267, 270, 272, 273 195, 196, 198, 199, 205, 231,
246, 247, 287
F Hume, David 287
faktialitas 59, 60, 176, 177, 178, 192,
193, 200, 205, 206, 209, 210, K
211, 214, 215, 216, 217, 223, Kant 7, 8, 9, 25, 32, 33, 74, 98, 99,
228, 257, 273, 274, 276 100, 104, 108, 109, 110, 111,
Faktialitas 22, 177, 178, 192 112, 113, 114, 115, 116, 117,
Freud, Sigmund 285, 286 118, 119, 127, 137, 188, 189,
196, 197, 288
G Kantian 8, 98, 108, 112, 113, 114,
Galilean-Kopernikan 111, 112 119, 120, 121, 122, 128, 133,
Galilei, Galileo 109, 285, 286 139, 179, 195, 199, 204, 205
Galloway, Alexander 286 Kant, Immanuel 288
keniscayaan 1, 57, 60, 93, 95, 111,
H 117, 118, 119, 121, 178, 181,
Harman 31, 32, 35, 41, 47, 48, 49, 185, 186, 187, 189, 190, 191,
103, 104, 105, 107, 161, 162, 192, 194, 195, 196, 197, 198,
163, 164, 165, 205, 215, 283, 199, 200, 201, 203, 204, 206,
286, 287, 291 210
Harman, Graham 287 ketakberalasanan 177, 185, 193,
hasrat 12, 27, 28, 54, 55, 56, 57, 59, 200, 206, 215, 216, 234, 255,
72, 73, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 257
82, 83, 84, 85, 87, 88, 89, 90, Kontinental 1, 28, 104
91, 92, 94, 95, 101, 167, 168, kontingensi 1, 46, 47, 51, 95, 121,
169, 170, 171, 172, 174, 175, 181, 182, 185, 186, 187, 188,
222, 224, 234, 235, 236, 237, 189, 190, 191, 192, 193, 194,

297
Hizkia Yosie Polimpung

198, 199, 200, 201, 202, 204, Leibniz, Gottfried 290


205, 206, 210, 211, 212, 213, libidinal 65, 66, 67, 75, 95
214, 215, 217, 226, 228, 257, Libidinal 21, 61, 64
265, 273, 274, 276 libido 65, 66, 67
Kopernikan 98, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114 M
korelasionisme 8, 9, 10, 13, 32, 33, Matematika 11, 22, 111, 177, 178,
41, 42, 43, 44, 46, 51, 53, 59, 201, 229, 234, 236, 238, 243,
106, 131, 135, 136, 138, 141, 246, 247, 254, 255, 256, 258,
146, 159, 179, 207, 223, 225, 277, 278
226, 227, 236, 238, 260, 261, matematikalisasi 111, 113, 226, 227,
263 234, 235, 237, 243, 246, 253,
korelat 7, 13, 14, 26, 27, 30, 31, 33, 256, 258, 276, 278
41, 42, 46, 48, 50, 51, 56, 64, Matematikalisasi 22, 225
90, 101, 103, 120, 128, 131, Meillassoux 1, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11,
135, 137, 138, 140, 154, 166, 13, 14, 15, 18, 21, 31, 32, 33,
181, 183, 206, 221, 222, 225, 34, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45,
227, 243, 244, 251, 254, 256, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53,
258, 259, 260, 261, 263, 264, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 90,
267, 269, 275, 277, 278, 280 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
Korelat 22, 26, 236, 246 104, 105, 106, 107, 108, 109,
110, 111, 112, 113, 114, 115,
L 116, 118, 119, 120, 121, 123,
Lacan 4, 16, 17, 21, 54, 55, 56, 57, 124, 125, 127, 128, 129, 130,
58, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 131, 133, 134, 135, 136, 137,
68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 79, 138, 139, 140, 141, 142, 143,
80, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
89, 90, 143, 167, 169, 171, 150, 153, 155, 159, 160, 161,
172, 173, 174, 175, 200, 206, 163, 164, 165, 166, 167, 168,
220, 222, 223, 224, 225, 236, 169, 170, 171, 172, 173, 174,
237, 238, 239, 240, 242, 244, 175, 176, 177, 178, 179, 180,
246, 252, 259, 261, 262, 264, 181, 182, 183, 184, 185, 186,
265, 266, 267, 272, 275, 283, 187, 188, 189, 190, 192, 193,
284, 285, 288, 289, 290, 292, 194, 195, 196, 197, 198, 200,
293, 294, 295 201, 202, 203, 204, 205, 206,
Lacan, Jacques 288, 289, 290 207, 208, 209, 210, 211, 212,
Laruelle 29, 30, 32, 68, 102, 103, 213, 214, 215, 216, 217, 218,
283, 290, 298 219, 222, 223, 224, 225, 226,
Laruelle, François 290 227, 228, 229, 231, 232, 233,
Leibniz 93, 99, 114, 118, 190, 192, 234, 235, 236, 237, 238, 243,
193, 290 244, 245, 246, 247, 248, 252,

298
Indeks

255, 256, 257, 258, 260, 261, 266, 270, 271, 272, 273, 275,
262, 263, 264, 266, 267, 268, 276, 278, 279
269, 270, 271, 272, 273, 274, Ontoantropologi 6, 21, 23, 41, 45,
275, 276, 277, 278, 279, 280, 91, 167, 258, 262, 267
283, 286, 287, 291, 292, 294 ontologi 24, 26, 30, 31, 69, 90, 122,
Meillassoux, Quentin 283, 291 162, 200, 209, 213, 214, 219,
220, 261, 275
N Ontologi 21, 22, 23, 47, 49, 67, 162,
Negarestani 50, 51, 52, 53, 54, 292 245, 264
Negarestani, Reza 292 ontoteologi 13, 24, 25, 26, 59, 259,
Negri, Antonio 292 263
Nietzsche 8, 13, 23, 27, 259, 292 Ontoteologi 21, 23, 25
Nietzsche, Friedrich 292 OPH 72, 73, 77, 79, 80, 81, 84, 89,
nihilisme 213, 218, 219, 223, 257, 91, 168, 169, 170, 172, 263
279
nirmanusia 15, 26, 28, 53, 148, 162, P
163, 164, 227, 229, 230, 231, psikoanalisis 1, 4, 27, 54, 56, 58, 61,
234, 236, 237, 245, 246, 254, 62, 63, 64, 65, 67, 70, 73, 74,
256, 268, 270, 271, 276 75, 76, 77, 84, 85, 86, 88, 93,
Nirmanusia 22, 227 94, 131, 173, 174, 175, 222,
224, 234, 244, 262, 264, 266,
O 267
objek 8, 9, 10, 11, 26, 34, 35, 36, 37, Ptolemian 21, 108, 111
38, 39, 40, 46, 52, 53, 59, 65,
67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, R
77, 78, 79, 80, 81, 82, 84, 87, realisme spekulatif 6, 9, 15, 33, 34,
89, 91, 108, 112, 120, 134, 35, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45,
135, 139, 140, 148, 152, 153, 46, 49, 50, 55, 56, 57, 58, 59,
159, 160, 162, 163, 167, 168, 61, 62, 63, 70, 90, 92, 98, 103,
169, 172, 185, 197, 199, 207, 104, 105, 128, 161, 178, 212,
219, 220, 222, 224, 234, 235, 222, 223, 261, 263, 264, 274
236, 240, 244, 246, 253, 256, Realisme Spekulatif 3, 4, 5, 9, 21,
257, 262, 265, 266, 267, 268, 23, 28, 31, 34, 37, 40, 41, 90,
270, 271, 272, 276, 277 97, 98, 104, 135
ontoantropologi 11, 13, 26, 27, 28,
31, 41, 42, 43, 45, 52, 54, 55, S
57, 58, 59, 61, 63, 70, 91, 92, seksualisasi 22, 91, 166, 167, 225,
94, 162, 163, 164, 165, 167, 264, 265
170, 171, 172, 175, 215, 217, Seksualisasi 22, 91, 166, 167, 225,
222, 223, 224, 227, 234, 235, 264, 265
236, 245, 259, 262, 263, 264, seksualitas 22, 80, 81, 130, 265

299
Hizkia Yosie Polimpung

Seksualitas 22, 80, 81, 130, 265 W


spekulatif 6, 9, 15, 31, 33, 34, 35, 38, Wittgenstein 8, 98, 116, 121, 122,
39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 294
48, 49, 50, 51, 53, 54, 55, 56, Wittgenstein, Ludwig 294
57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 70,
90, 92, 95, 96, 98, 103, 104, Y
105, 111, 112, 113, 127, 128, yang absolut 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14,
131, 142, 143, 146, 158, 161, 15, 16, 29, 30, 34, 40, 43, 45,
169, 170, 174, 175, 178, 183, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 57, 59,
192, 193, 212, 217, 221, 222, 60, 91, 93, 94, 95, 98, 100,
223, 224, 248, 261, 263, 264, 103, 111, 112, 113, 114, 115,
272, 274 116, 117, 118, 119, 120, 122,
subjek 9, 26, 27, 30, 33, 36, 40, 41, 123, 124, 125, 127, 129, 130,
52, 53, 54, 56, 57, 58, 67, 68, 131, 134, 135, 136, 137, 138,
69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 80, 141, 149, 158, 165, 166, 167,
81, 83, 84, 86, 87, 88, 89, 90, 168, 169, 171, 172, 175, 177,
94, 95, 103, 110, 111, 112, 178, 179, 180, 181, 182, 183,
117, 120, 124, 134, 139, 140, 184, 186, 187, 192, 193, 195,
146, 162, 167, 168, 169, 170, 207, 209, 210, 216, 217, 218,
171, 173, 174, 175, 186, 222, 224, 226, 227, 228, 231, 232,
224, 229, 237, 238, 239, 240, 234, 236, 238, 243, 244, 246,
241, 242, 246, 256, 257, 265, 256, 257, 258, 260, 261, 262,
266, 278 263, 264, 267, 269, 272, 273,
274, 275, 276, 277, 278, 279,
T 280
transendental 25, 74, 139, 143, 144,
179, 195 Z
transfinit 50, 201, 202, 203, 205, 247 Žižek 50, 51, 52, 54, 63, 65, 67, 72,
Transfinit 22, 178, 201 74, 86, 102, 166, 169, 245,
Tuhan 13, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 39, 284, 292, 294, 295
50, 51, 67, 82, 87, 110, 111, Žižek, Slavoj 294, 295
112, 113, 116, 117, 118, 122,
123, 126, 138, 150, 152, 153,
154, 182, 186, 187, 193, 195,
207, 208, 212, 214, 215, 216,
217, 259, 263, 264, 274, 276,
293

300

Anda mungkin juga menyukai