Anda di halaman 1dari 16

STULOS 8/2 (September 2009) 177-192

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA POS-STRUKTURALISME


Erwin Sitompul, M.Th.

Posmodern memiliki sejarah yang panjang, melalui tokoh-tokoh seperti: F.W Nietzsche (1844-1900) dan Martin Heidegger (1889-1976), yang dianggap sebagai pemancang silsilah posmodernisme. Nietzche dengan maklumatnya kematian Tuhan, dan Heidegger dengan berakhirnya filsafat. Dan pengaruh posmodern tersebut sangat besar khususnya terhadap filsuf-filsuf Perancis, yaitu: Roland Barthes (1915-1980) dengan maklumat kematian pengarang! dan Michael Foucoult (1926-1984), serta Jaques Derrida (1930-2004) dengan konsep dekonstruksi.
ASAL-USUL PEMIKIRAN POSMODERNISME

Nietzsche adalah seorang peminat seni klasik dan mahasiswa filologi, pada umur 25 tahun (1869) Ia telah menjadi guru besar di Basel. Kendati Ia seorang profesor tetapi lebih merupakan sastrawan. Keberatannya terhadap agama Kristen adalah keberatan terhadap ajaran yang menyebabkan diterimanya apa yang ia sebut sebagai moralitas budak; bahwa agama Kristen mengajarkan penyerahan kepada apa yang dinilai sebagai kehendak Tuhan, sedangkan manusia yang menghargai dirinya sendiri jangan bertekuk lutut di hadapan Kekuasaan yang lebih tinggi; dan bahwa Gereja-Gereja Kristen telah menjadi kebohongan para tiran, dan membantu musuh demokrasi untuk menolak,kebebasan dan terus menggencet orang miskin. Nietzcshe tidak tertarik terhadap kebenaran metafisis atau agama Kristen, ataupun agama apa saja; dengan yakin ia mengatakan bahwa tidak ada agama yang sungguh-sungguh benar. Selanjutnya dikatakan bahwa agama Kristen merosot, penuh dengan pembusukan dan anasir tinja; kekuatan penggeraknya adalah pemberontakan orang-orang ceroboh dan perusak. Pemberontakan ini dimulai oleh orang-orang Yahudi, dan dihawa ke dalam agama Kristen oleh penderita-

178

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

penderita suci sepenti Paulus, yang tidak mempunyai kejujuran. Perjanjian Baru adalah ajaran dan seorang manusia yang memalukan. Agama Kristen adalah kebohongan yang paling fatal dan paling menawan yang pernah ada.1 Tokoh kedua adalah Heidegger, ia tertarik akan pertanyaan tentang mengada (atau apa artinya untuk berada). Gagasan tentang mengada berasal dan Parmenides dan secara tradisional merupakan salah satu pemikiran utama dan filsafat Barat. Persoalan tentang mengada dihidupkan kembali oleh Heidegger setelah memudar karena pengaruh tradisi metafisika dan Plato (428 sM) hingga Descartes2 (1596-1650), dan belakangan ini pada masa Pencerahan (1796).3 Sebagaimana kita tahu bahwa tradisi Descartes yang pada puncaknya era pencerahan (abad XVIII) tersebut adalah pendorong lahirnya modernitas; Pemikiran Descartes inilah yang merevolusi filsafat, telah menjadi titik tolak segala refleksi zaman modern yang tampil sebagai isme-isme. Descartes menghimpun segenap refleksi problem kesadaran yang disebutnya cogito. Rasio adalah pusat realitas; observasi menjadi pegangan kebenaran; manusia adalah subyek sejarah. Pemikiran yang berpusat pada subyek ini dianggap bertanggungjawab atas segala efek negatif yang muncul di zaman
1 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Bab XXV, terj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hl. 989-1005 2 Rene Descartes dianggap sebagal pendiri filsafat modern. Ia mulai mendirikan sebuah bangunan ilmu pengetahuan. Aku yang terbukti ada disimpulkan dan fakta yang aku pikirkan, maka aku ada ketika aku berpikir, dan hanya saat itu. Jika aku berhenti berpikir, tidak ada bukti tentang eksistensiku. Aku adalah sesuatu yang berpikir, sebuah zat yang seluruh sifat atau esensinya berupa pikiran. Karenanya, jiwa seluruhnya berbeda dan tubuh dan lebih mudah mengetahui daripada tubuh, sehingga seolah-olah tidak ada tubuh. Selanjutnya Descartes bertanya pada diri sendiri: Mengapa cogito begitu nyata? Dia menjawabnya sendiri bahwa ini disebabkan cogito itu jelas dan nyata. Kemudian dia mengadopsi pninsip berikut sebagai aturan umum: Semuanya yang aku pahami secara sangat jelas dan nyata ada!ah benar. 3 Lih. Karl Barth, From Rousseau to Ritschl (London: SCM Press, 1952), hl. 151-52, khususnya tokoh Imanuel Kant (1724-1804) dengan esainya pada 1784, Kant memberikan jawaban bagi pertanyaan penting: Apakah pencerahan itu? Pencerahan adalah direpresentasikan oleh orang-orang yang keluar dan penundukan din dan minoritas. Kelompok kecil tersebut adalah yang tidak mampu untuk menggunakan pengertiannya tanpa dipandu oleh seseorang. Kelompok kecil tersebut menundukan din bukan karena kurangnya pengertian,tetapi kurangnya suatu ketetapan hati dan merasa menggunakan keteguhan hati tersebut tanpa panduan dari yang lain.Beranilah berpikir (Sapere aude!). Milikilah keberanian untuk menggunakan pengertian yang kau miliki, itulah semboyan dan Pencerahan.

JURNAL TEOLOGI STULOS

179

modern: bencana Iingkungan akibat eksploitasi alam, tragedi kemanusian oleh rezim-rezim totaliter, atau manipulasi dan represi manusia atas manusia lain.4 Heidegger5 berusaha mendasarkan keberadaan di dalam waktu, dan dengan demikian menemukan hakikatnya atau maknanya yang sesungguhnya, artinya kemampuannya untuk dipahami.6 Heidegger berbeda dan filsuf yang mendahuluinya, Ia tidak ingin terjebak dalam satu aspek realitas melainkan mengangkat totalitas realita sebagai bahan refleksinya. Realitas sebagai suatu keseluruhan dalam filsafat disebut Ada. Nietzsche dan Heidegger yang membela gagasangagasan nihilistis. Nihilisme ditangan Nietzsche dipahami sebagai manusia bergerak dan pusat menuju X. Artinya, manusia tidak lagi menduduki posisi sentral ihwal pengetahuan. Nihilisme Nietzsche juga termanifestasikan dalam maklumatnya tentang Kematian Tuhan, Kemanakah Tuhan? tanya Nietzsche. Kita sudah membunuhnya kalian dan aku. Kita semua pembunuh. Sikap tersebut itu berarti runtuhnya nilai tertinggi (Tuhan) yang selama ini cliagung-agungkan, pengertian nihilisme adalah terdevaluasinya nilai-nilai tertinggi.7 Teori nihilisme Eropa tidak dapat dipisahkan dari apa yang disebut filsafat perbedaan (philosophy of difference). Filsafat ini menyatakan bahwa seluruh perbedaan antara kebenaran dan kekeliruan, hakikat dan penampakan, yang rasional dan yang irasional harus diakui sepanjang tak ada jaminan meyakinkan atau landasan tak tergoyahkan dan perbedaan (misalnya, Tuhan), diluar atau sebelum bahasa dan konsep-konsep kita yang terlekatkan di dalamnya, yang wewenangnya kita serukan untuk membuat perbedaan-perbedaan itu tampil secara amat obyektif. Ketika Tuhan mati dan landasan pemikiran rasional hilang, maka perbedaan pada dasarnya adalah hasil kehendak manusia untuk berkuasa (yang merupakan pola lain dan kehendak untuk menafsirkan, atau bahkan kepentingan ideologis) dan secara tak logis dinisbahkan kepada hakikat ilahiah
F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit (Jakarta: KPG, 2003), hl. 3, 4. 5 Melampui Descartes, Heidegger memperlihatkan bagaimana subyek atau keadaran itu hanyalah salah satu cara realitas menyingkapkan dirinya. Kesadaran bukan segalanya, bahkan kesadaran merupakan suatu kelupaan akan realitas. 6 http://id.wikipedia.org/wiki/Martin Heidegger 7 Hardiman, Heidegger, hl. 4.
4

180

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

atau nalar transendental yang melampui batas-batas subyek individual manusia. Artinya, semua yang kita temukan dalam pengalaman kita tentang dunia tidak lebih dan tak kurang dan serentang tafsir--hal ihwal di dunia senantiasa ditafsirkan menjadi nilai-nilai subyektif kita sendiri, dan dengan demikian satu-satunya dunia yang dapat dikenali adalah dunia perbedaan (yaitu dunia penafsiran-penafsiran). Perhatian filsafat inilah yang menjadi inti karya para postrukturalis, yang dinamakan filsafat perbedaan.(lebih penting lagi, filsafat perbedaan memberikan salah satu kunci antara nihilisme dan hermeneutika atau filsafat tafsir), dan perhatian Filsafat perbedaan (philosophy of difference) iniIah yang menjadi inti karya para postrukturalis, salah satu tokoh diantaranya adalah Jacques Derrida, yang dikenal dengan istilah dkonstruksi.8 Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Ada yang memberi contoh implementasi dekonstruksi sederhana, yaitu tentang Batman (mohon maaf harus dicari contoh lain yang kontekstual), yang dilukiskan sebagai pahlawan tetapi Batman berbeda dengan Superman. Jika Superman menegakkan kebenaran dan keadilan yang dilandasi semangat cinta dan keikhlasan, maka sebaliknya Batman menegakkan kebenaran setelah kedua orangtuanya dibunuh yang tidak lain dapat dikatakan jika Batman memulai karirnya itu dengan melakukan pembalasan dendam. Nah, kepada Batman inilah, terminologi dekonstruksi dapat diterapkan, Batman telah mendekonstruksi konsep pahlawan selama ini (yaitu pekerjaan tulus, tanpa latar belakang pembalasan dendam yang mendasarinya, didekonstruksi oleh Batman). Derrida mengakui bahwa dekonstruksi sulit dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subyek yang menjadi acuannya.9 Posmodernisme berkembang dalam berbagai bidang ilmu: arsitektur, perencanaan kota sejarah, ekonomi, politik, psikologi, teknologi media masaa, filsafat, bahasa, dan seni, termasuk sastra.
Gianni Vatimo, The End of Modernity-Nihilisme dan Hermeneutika dalam Budaya Posmodern, terj. (Yogyakarta: Sadasiva, 2003), hl. 8-9. 9 http://www.yesalover.wordpress.com
8

JURNAL TEOLOGI STULOS

181

Ada yang berpendapat bahwa modernisme dan posmodernisme merupakan dua gejala yang saling melengkapi, posmodernisme tidak menghancurkan modernisme, posmociernisme hanya membangkitkan kembali segala sesuatu yang laten, tersembunyi, terlupakan, terabaikan, dan terlalaikan. Bagi kelompok posmodernisme semua yang terlupakan tersebut tetap memiliki fungsi, yang dengan sendirinya harus diberi arti. Namun walau demikian ada juga yang membedakan antara modernisme dengan posmodenisme, diantaranya: (a) pergeseran nilai yang menyertai budaya massa dan produksi ke konsumsi, dan pencipta ke penerima, dan karya ke teks, dan seniman ke penikmat, (b) pergeseran dan keseriusan (intelektualitas) ke nilai-nilai permainan (populer), dan kedalaman ke permukaan, dan universal ke partikular, (c) kebangkitan kembali nilai-nilai estetis periode tahun 1960-an, (d) munculnya politik representasi periode 1970-an yang menentang struktur otoritas, dan (e) kebangkitan kembali tradisi primordial, dan nilai-nilai masyarakat lama.10
POSSTRUKTURALIS DALAM MENAFSIRKAN ALKITAB

Di Indonesia secara historis posmodernisme muncul bersamaan dengan postrukturalis. Secara etimologis, khususnya dalam kehidupan praktis sehari-hari kedua istilah hampir tidak dibedakan. Dalam pembicaraan ini postrukturalis semata-mata dikaitkan dengan wilayah pengkajian sastra. Ciri-ciri khas postrukturalis adalah ketidakmantapan teks. Makna karya ditentukan oleh apa yang dilakukan oleh teks, bukan apa yang dimaksudkan oleh pengarang asli, sehingga terjadi pergeseran dan estetika produksi ke estetika konsumsi, penerima menjadi pencipta. Makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, tetapi partisipasi aktif. Karya bukan milik pengarang, melainkan milik pembaca, karya sebagai anonimitas, tidak ada karya pertama, semua intertekstual. Makna teks tergantung pada konteks, interaksi pembaca, teks tidak tertutup, tetapi terbuka sebab secara terus menerus berinteraksi ke luar dirinya.11
Mengutip pendapat Robert Dunn, Pascamodernisme, Populisme, Budaya Massa, dan Garda Depan dalam Penelitian Sastra dan Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif, ed. Nyoman Kutha Ratna, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006), hl. 151. 11 Ibid., hl. 158-63
10

182

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

Pengaruh postrukturalis pada saat ini sangat mempengaruhi penafsiran Alkitab, khususnya dalam karya beberapa pakar Biblika. Hal tersebut memperlihatkan adanya pergeseran paradigma dalam hermeneutika. Mereka menemukan bahwa cara yang lama (baca; historis- kritis) adalah mandul, terbatas, atau salah arah dan meyakini bahwa sekarang saatnya untuk melakukan sesuatu yang baru. munculnya perspektif baru dalam ilmu tafsir yaitu pengaruh dan ilmu sastra. Ilmu sastra baru itu justru menentang klaim penelitian historis kritis bahwa pengetahuan yang seobyektif mungkin tentang maksud asli teks dalam konteksnya dahulu adalah satu-satunya yang penting. Sebuah teks kalau sudah ditulis, juga teks-teks Alkitab, tidak lagi sepenuhnya terikat pada situasinya yang asli, melainkan mendapat semacam otonomi, lalu dapat dimengerti secara baru dalam konteks-konteks yang baru. Dalam pembacaan rohani jarak antara pengarang dahulu dan pembaca sekarang tidak dipentingkan, sebagaimana dalam historis kritis. Itulah sebabnya paguyuban (komunitas) pernbaca sebagai jemaat dalam membaca Alkitab banyak ditentukan oleh pekerjaan Roh Kudus. Arti rohani sebuah bacaan lahir dan pembacaan teks dalam terang seluruh Alkitab sebagaimana diteruskan, difahami dan dikongkritkan dalam pengakuan iman, pengajaran agama, ibadat dan seluruh kehidupan jemaat. Pembacaan itu boleh dibilang subyektif, tetapi tidak individual subyektif.12 Pada makalah kita akan dibahas pendekatan postrukturalis 13 di antaranya: (1) Kritik tanggapan-pembaca dan (2) Dekonstruksi 1. Kritik Tanggapan Pembaca Kritik Tanggapan-pembaca (selanjutnya KTP) atau ada juga yang menggunakan istilah teori resepsi sastra (resepsi: tanggapan/penerimaan/ penyambutan pembaca). Dalam arti luas didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respons yang dimaksudkan
12

P.G. Katoppo, peny., Firman Allah: Harapan Bagi Semua (Jakarta: LAI, 1989),

hl. 108

13 A.A. Sitompul dan U. Beyer, Metode Penafsiran Alkitab (Jakarta: Gunung Mulia, 1999), hl. 294-301.

JURNAL TEOLOGI STULOS

183

tidak dilakukan antara seorang pembaca dengan, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu. KTP tampil sebagai teori dominan sejak tahun 1970-an, dengan pertimbangan: (a) sebagai jalan keluar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian kepada unsure-unsur, (b) timbulnya kesaklaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan, dalam rangka humanisme universal, (c) kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalul kompetensi pembaca, (d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pembaca, (e) kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca. Analogi-analogi yang berkaitan dengan peranan pembaca, dalam hubungan ini pembaca sebagai subyek transindividual, subyek yang berada dalam perkembangan sejarah, membawa KTP sangat relevan dengan paradigma postrukturalis. Berkat adanya keterlibatan pemcalah hakikat multikultural bisa digali secara maksimal, bukan penulis.14 Ada perbedaan antara KTP dengan penafsiran yaitu ciri-ciri KTP adalah reaksi, balk langsung maupun tidak langsung sedangkan penafsiran bersifat lebih teoritis dan sistematis. Penafsiran vs Kritik Tanggapan Pembaca Perikop Lukas 5:1-11 menurut pengamatan saya selama ini dapat ditafsirkan dalam dua jenis kelompok: (1) secara gramatikal-historis, penafsiran ini menyimpulkan bahwa ketaatan Petrus kepada Yesus (sebagai Tuhan yang berkuasa): (a) membuahkan hasil tangkapan ikan yang banyak dan tidak mengecewakan (ayat 7) sekalipun sepanjang malam tidak dapat menangkap ikan. Itu artinya bahwa jika seseorang taat kepada Yesus maka tidak ada yang mustahil. (b) perubahan status Petrus yang semula penjala ikan berubah menjadi murid Kristus yaltu sebagai penjala manusia (2) secara alegoris, penafsiran ini menyatakan: (a) orang banyak adalah sebagai Kristen pantai hanya mendengar secara umum, (b) Petrus sebagai Kristen yang mendalam sehingga kerohaniannya diperkaya (mendapatkan ikan yang banyak karena taat kepada Kristus. OIeh karena itu orang percaya haruslah menjadi Kristen yang semakin dalam kerohaniannya (ayat 4); atau jangan jadi
14

Ratna, Penelitian., hl. 163-172

184

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

Kristen pantai saja sebab tidak akan mendapatkan kekayaan rohani yang melimpah. Kedua model penafsiran tersebut selama ini sudah pada dasarnya diterima oleh kelompok masing-masing dan memang bagi para pendengarnya tentu dapat menjadi berkat. Tetapi bagi KTP ada beberapa pertanyaan yang muncul terhadap perikop tersebut: a. Siapakah tokoh utama dan apa perannya jika dikaitkan dalam konteks Lukas? b. Apakah sebenarnya yang hendak disampaikan teks Lukas 5:1-11? Atas dasar pertanyaan tersebut maka pendekatan KTP untuk membaca Lukas 5:1-11 tersebut. Landasan Teoritis KTP Pendekatan KTP dipelopori oleh dua orang yang bernama Stanley Fish dan Wolfgang Iser. Tokoh pertama memiliki latar belakang Kritik Baru yang memiliki pandangan ketidak terganturigan dan swadaya dan karya sastra sebagai suatu seni dan memberikan perhatian terhadap pembacaan secara cermat (close reading) dan karya sastra itu sendiri dan pada terhadap sejarah, biografi dan sebagainya. Pokok pikirannya dapat disimpulkan bahwa pembaca yang membuat sastra. Ia mengkualifikasikan subyektifitas ini dengan mendefinisikan bahwa pembaca sebagai anggota dan paguyuban penafsiran yang menyatakan bahwa perhatian diberikan oleh pembaca dan jenis dan sastra yang dibuat oleh para pembaca. Tokoh kedua adalah Wolfgang Iser, tokoh ini nampaknya sebagai pengantara dan dua posisi (1) bahwa anti adalah sesuatu yang ash dan secara sederhana adalah isi dan konteks (seperti isi dan kacang) dan (2) bahwa makna secara esensial adalah hasil dan pembacaan. Iser melihat bahwa sebuah teks adalah hash dan apa yang dimaksud oleh pengarang, dengan pembacaan terhadap teks bukan hanya maksud dan pengarang tetapi juga maksud dan para pembaca. Ia juga menekankan bahwa bukan hanya teks secara aktual tetapi juga tindakan yang dihibatkan dalam menanggapi teks tersebut harus menjadi pertimbangan dalam sastra.

JURNAL TEOLOGI STULOS

185

KTP bukan suatu kritik yang bersifat seragam; tetapi memiliki spektrum yang luas. Pada umumnya semua pendekatan ini dilatar belakangi oleh sastra Kritik Baru di Amerika. Kritik Baru yaitu penekanan pada teks itu sendiri dan telah mengembangkan prosedur untuk analisa yang hati-hati terhadap teks. Maksud dan pengarang ash bukan lagi yang menjadi tujuan sebab dalam Kritik Baru hal tersebut telah diputuskan tidak lagi bisa digunakan. Pada sisi lain bahwa tanggapan pembacalah merupakan variabel yang memberikan arah.15 Pendekatan KTP yang radikal dapat menghindari kesementaraan apa yang ditentukan oleh pembaca sebagai suatu paguyuban, yang menetapkan maksud yang diberikan oleh pembaca dan bentuk tanggapan yang dibuat oleh para pembaca. Tujuan penekanan pada komunitas memberikan pembacaan dapat diidentifikasi; pembacaan yang tepat adalah yang menyetujui sesuatu yang diyakini dan dipraktekan oleh paguyuban. Dalam pembacaan KTP terhadap Lukas 5:1-11 adalah suatu pendekatan yang tetap mempertahankan kesatuan strukutural dan karya sastra dan proses pembacaan secara cermat (close reading) untuk membuka struktur tersebut. Oleh karena itu melalui pendekatan KTP mencoba untuk menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan tokoh utama, karakterisasi setiap tokoh dan motivasi dan setiap tokoh tersebut sehingga pada akhirnya akan memperoleh pembacaan yang jelas. Beberapa hal disimpulkan KTP adalah: (1) tokoh utama adalah Yesus atau Guru, sedangkan tokoh pendukung yaitu: orang banyak, para nelayan, Simon (sebagai teman, 4:38), anak-anak Zebedeus (Yakobus dan Yohanes). (2) karakter tokoh utama, yaitu Yesus memiliki motivasi memberitakan Injil dan kota ke kota (4:43-44 bdk. 4:18-19, 31), sedangkan Simon (sebagai tokoh teman) memiliki motivasi mencari ikan dari orang banyak (tokoh pendukung) memiliki motivasi hanya mendengarkan Yesus. Sikap konsisten Yesus jelas, Ia memiliki motivasi memberitakan Injil dan kota ke kota (4:31), oleh karena itu ia tidak mau ditahan orang banyak hanya diam di satu kota atau tempat (4:42), bahkan ia
15 Edgar V. McKnight, Post Modern Use of the Bible-The Emergence of Reader Oriented Criticism (Nashville: Abingdon Press.1988), hl. 15, 16.

186

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

tidak mau terperangkap oleh orang banyak (5:1-2). Dan hal tersebut berdampak terhadap tokoh teman: Simon (seorang nelayan ikan) yang pada akhirnya meninggalkan pekerjaannya karena mengikut Yesus (5:11). Sikap Yesus jelas bahwa ia memiliki visi memberitakan Injil (dan ini jelas menjadi tema utama sebagaimana dalam Lukas 4:15-19). Tema yang menjadi ciri khas Injil Lukas jelas bahwa Yesus lebih kecil dan Yohanes sebab Ia dekat dengan orang kecil sejak lahir: Ia dikunjungi gembala dan dalam pelayanannya memberikan perhatian kepada kelompok marjinal (gembala, janda, perempuan berdosa, pengemis yang miskin, kaum perempuan, pemungut cukal dan orang-orang berdosa) Pembacaan terhadap Lukas 5:1-11 akan memberikan gambaran pergerakan yang dibuat oleh pembaca dalam membuat pengertian dan suatu teks Alkitab. Pertama, memberikan perhatian kepada rangkaian garis lurus: kata-kata, kalimat-kalimat clan selanjutnya (disejajarkan dengan pembacaan secara cermat (close reading) sebagaimana ditekankan dalam Kritik Baru). Kedua, memberikan perhatian terhadap kategori bentuk sastra (genre) dan si yang dapat ditentukan/ditetapkan dalam unit itu. Skema pembacaan KTP untuk Lukas 5:1-3 sbb: 16
Allah mengutus Yesus ke dunia (Lukas 4:18-20) Yesus menerima tugas pengutusan (4: 43-45) Yesus memerintahkan kepada Simon (5:3) Untuk beralih dari daratan (5:4) Simon menerima perintah Yesus (5:5) Berhasil pindah dari daratan ke laut yang lebih dalam

Berhasil dalam pengajaran (5:11)

16

Ibid., hl. 125

JURNAL TEOLOGI STULOS

187

2. Dekonstruksi Apakah makna ungkapan dalam Lukas 6:20: Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Dalam penafsiran selama ini memunculkan beberapa macam pendapat, misalnya: (1) orang miskin itu berbahagia sebab Tuhan akan membela orang miskin (Ul.15:1- 11), (2) orang miskin itu berbahagia sebab hal itu terjadi dengan seizin Tuhan dan dengan maksud mendidik, (3) orang miskin itu berbahagia sebab Tuhan akan memberkati secara materi jika orang tersebut bertobat dan senantiasa berharap akan kemurahan Tuhan dan (4) orang miskin itu berbahagia, karena ia selalu merasa kurang secara rohani maka Tuhan akan memuaskan kerohanian mereka. Kepelbagai penafsiran dan perbedaan sikap orang Kristen dan gereja terhadap kemiskinan akan mengakibatkan penanganan yang berbeda, hal itu nampak dan sikapnya terhadap permasalahan sosial yaitu kemiskinan, ada yang berpendapat bahwa: (1) tanggung jawab gereja yang utama dan yang terpenting adalah pertama memberitakan Injil dan membina kerohanian jemaat lalu menolong masalah ekonomi dan (2) gereja pertama-tama harus memperhatikan masalah kemiskinan dan membantu orang-orang terlantar (tidak hanya orang Kristen) supaya menjadi saksi kepada dunia. Oleh sebab itu kita akan melihat pada saat ini bahwa ada kelompok pertama (khususnya orang Injili) lebih mengutamakan pemberitaan lnjil, kalaupun membagi sembako, atau pinjaman modal dan fasilitas lain dengan harapan supaya menjadi anggota jemaat gerejanya. Sedangkan kelompok kedua (kalangan Oikumenikal dan Katolik) lebih banyak kegiatan sosial untuk mengentaskan kemiskinan, dan tidak jarang gereja lebih idenitk dengan organisasi sosial yang terbuka bagi semua orang.
Dekonstruksi Makna Berbahagialah Kamu yang Miskin

Pendekatan ini mencoba dua hal yaitu:17 Pertama, dekonstruksi adalah mensiasati untuk membuka ketidakkonsistenan atau celah-celah dalam penglihatan (visiun) dan uraian dan sebuah teks, dengan secara perlahan memahami apa yang menjadi fokus dan perhatian terbesar
17 Steven L. Mc Kenzie & Stephen R.hayes, eds., To Each Its Own Meaning (Louisville: Westminsterihon Knox Press), hl. 253-66

188

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

untuk menuju suatu evaluasi yang menjadi sumbangsih teks tersebut. Kritik dekonstruksi secara tegas mengharapkan bahwa jika kita membaca sebuah teks seharusnya menghasilkan buah secara melimpah/lebat, kita perlu memberikan perhatian terhadap beberapa aspek dan bahasa; bahwa hal tersebut belum lengkap, dengan cara pendengar atau pembaca untuk mengisi/melengkapi dalam gambaran yang disarankan oleh ucapan atau tulisan tersebut; dengan cara mengisi/memenuhi kedalam gambar yang disarankan oleh ucapan atau tulisan; dengan cara menghubungkan segera kata-kata tersebut bukan dengan kenyataan, tetapi dengan kata lain dalam pola yang telah memberikan makna; dan tidak tetap mengikuti kualitas dan bahasa, bahwa makna tersebut adalah secara berkesinambungan dapat diperbesar atau bergeser sebagaimana pembaca mengikuti teks. Karena itu penekanan dalam dekonstruksi, yang menjadi karakteristik utama dan kritik postrukturalis, yaitu tidak berkaitan dengan struktur bahasa, sekalipun nampaknya memuat sesuatu yang jelas dan arti yang tegas. Kedua, dekonstruksi menyarankan langkah yang lebih penting lagi dalam pendekatan sejenis ini adalah bukan melakukan reproduksi dan bukan melakukan reaktualisasi dan makna yang telah dinyatakan oleh pengarang dalam teks atau sesuatu yang menempati pola dan sebuah teks. Lebih dari itu pembacaan seharusnya menantang bagi para pembaca, membuka terobosan dunia pembaca untuk secara kreatif melakukan penemuan, kepada pengenalan baru yang mungkin memberikan pendapat sebagai irasional atau merubah pengenalan sebagai hubungan yang logis, dan tidak selalu memiliki hubungan yang bersifat perasaan, tetapi sesuatu membawa persamaan bunyi yang dekat. Seperti halnya yang dilakukan oleh Jacques Derrida sebagai contoh permainan bunyi yang sama antara Hegel dan eagle dan kita juga dapat bermain-main dengan kata here dan hear untuk mengejutkan pembaca kepada kesadaran terhadap kerancuan dan kehadiran, bahwa hal tersebut merupakan anti yang berlaku saat ini dalam bahasa yang diucapkan. Tetapi penekanan pada permainan, sebagai gambaran yang baik oleh permainan kata-kata. ltulah sebabnya peneliti dekonstruksi banyak melihat bagian metafora terpisah dan konteksnya, misalnya bila seseorang mengatakan: ben amplopnya, kemungkinan artinya bisa banyak; apakah Ia meminta amplop sebagai pembungkus surat,

JURNAL TEOLOGI STULOS

189

atau meminta uang sogok/pelicin supaya urusan beres, atau tanda terima kasih sekadar bantuan tanpa kesepakatan/tanda tangan. Demikian karya dekonstruksi mempunyai banyak pengertian. Situasi yang berbeda dan pendengarnya menggeser kemungkinan dan penafsiran yang obyektif. Itu sebabnya setiap berkomunikasi menuntut kontak antara pengirim dan penerima pesan. TAFSIR POSMODERN (POS-STRUKTURALIS) VERSUS TAFSIR MODERN (STRUKTURALIS) Kita sebagai pembaca modern memiliki jarak kurang lebih 2000 tahun dengan Alkitab. Ketika kita membaca Lukas 6:20 Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Saat ini bagi kita hanya membaca teks yang berupa tulisan, maka dalam lingkup tersebut kita menghadapi tiga aspek: (1) arti yang dimaksud oleh pengarang, (2) makna yang dimengerti oleh pembaca dan (3) makna secara tata bahasa dan tekstuat dan kata-kata tersebut. Ketika membaca teks secara tulisan, kita tidak dapat membaca pikiran (mind) pengarang, atau pembicara itu sendiri. Kita juga harus menyadari bahwa masing-masing teks telah ditulis beberapa waktu yang lalu, dalam budaya yang berbeda dan pendengar tertentu. Maka muncul pertanyaan bagi pembaca saat mi, yaitu: (1) apakah yang dimaksud bahagia tersebut? (2) kalau keadaan miskin merupakan sesuatu yang bahagia bagaimana kalau seorang Kristen menjadi kaya? dan (3) bagaimana sikap kita terhadap kemiskinan? Tema kedekatan dan empati Yesus terhadap orang miskin dan lemah ml dalam Injil Lukas, tidak dapat dipungkiri karena penulis Injil tersebut mengawali tulisanya dengan bentuk nyayian (puisi) dalam Lukas 1:52-53. Dalam Irijil Lukas kata kaya muncul 19 kali, sedangkan kata miskin muncul 10 kali tetapi yang menarik bahwa Yesus mengingatkan orang kaya supaya tidak terjerat oleh kekayaan, melainkan menantang supaya kekayaan itu menjadi berkat bagi orang miskin. Contoh khas (yang hanya muncul dalam Lukas) adalah kisah Zakeus (pemungut cukai dan kaya) yang akhirnya bertobat (mengembalikan uang kepada yang ditipu dan setengahnya dibagikan kepada orang miskin) sehingga diselamatkan.

190

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

Bagi pembaca postrukturalis ungkapan dalam Lukas 6:20 memunculkan celah dan tidak konsisten. Pertama, apakah makna kebahagiaan bagi orang miskin saat ini dan disini? Kedua adalah ketidakkonsistenan yaitu bagaimana kalau orang Kristen menjadi kaya dan pada kenyataannya justru orang-orang Kristen saat ini dapat dikategorikan kaya. ltulah sebabnya pasti Lukas 6:20 merupakan gambar yang belum lengkap dan fenomena kehidupan orang Kristen, sehingga kita harus melengkapinya. Salah satu hipotesa untuk melengkapi gambar tersebut adalah dengan menggabungkan kesatuan Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, alasanya bahwa: (a) kedua kitab ini ditujukan kepacla Theofilus (Lukas 1:1 dan Kisah 1:1), (b) pernyataan langsung dalam Kis 1:1, dalam bukuku yang pertama..., (c) cerita penutup Injil Lukas yaitu Kenaikan menjadi cerita pembuka untuk Kisah Para Rasul, cerita Injil Lukas dilanjutkan di dalam Kisah Para Rasul oleh pelaku utama yang sama: Yesus dan para murid-Nya dan gaya bahasa dan kesatuan teologis antara Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Jadi pembacaan terhadap Lukas 6:20, sebagaimana dibawah berikut:
Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: Berbahagialah, hal kamu yang miskin (ptochos), karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.

Sikap Yesus dalam Injil Lukas, sebagaimana kita tahu bahwa Ia begitu dekat dengan orang miskin (ptochos: kemiskinan secara materi), para pemungut cukai, orang berdosa, perempuan dan yang terpinggirkan bahkan orang yang sakit). Sikap Yesus tersebut begitu nyaring dalam tulisan Lukas dan Kisah Para Rasul, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang baru yang dilakukan oleh Yesus. Sikap yang baru tersebut adalah sesuatu yang harus ada dalam komunitas baru yaltu gereja. Yesus mengaitkan orang-orang terbuang, orang-orang terusir, masysarakat yang terpinggirkan diantara mereka yang diajak masuk kedalam suatu masyarakat alternatif yang menjadi pusat dan urutan dalam Lukas-Kisah Para Rasul. Dalam kaitan ini, sikap Yesus yang menantang orang kaya, bukan karena bahaya kekayaan yang dapat menjadi tamak tetapi juga karena kebutuhan orang-orang miskin.
Tetapi celakalah kamu, hal kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu (Luk 6:24).

JURNAL TEOLOGI STULOS

191

Teks tersebut nampak tidak konsisten dengan ungkapan yang disampaikan terdahulu (lebih awal) oleh penulis Lukas dalam nyanyian pujian Maria (1:52) sebagai berikut:
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa;

Maka muncul pertanyaan apakah yang menjadi fokus/tujuan utama dan ucapan berbahagialah kamu yang miskin. Apakah tokoh Yesus adalah anti kehidupan yang kaya, tentu tidak demikian sebab kita akan melihat dalam Injil Lukas muncul kisah Zakeus (orang kaya tetapi pemungut cukai yang ada hanya dalam Injil Lukas [19:2]), menjadi semakin menarik sebab ternyata Yesus menumpang di rumah Zakeus. Yesus senang bahwa pemungut cukai bertobat, Zakheus sendiri akan mengembalikan sua kali lipat orang yang telah dirugikan dan setengah hartanya akan dibagikan kepada orang miskin. Tetapi sebaliknya orang banyak malah bersungut-sungut (19:7-9)
Tetapi semua orang yang melihat hal Itu bersungut-sungut, katanya: Ia menumpang di rumah orang berdosa. Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: Tuhan, setengah dan milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dan seseorang akan kukembalikan empat kali lipat. Kata Yesus kepadanya: Hari ini telah terjadi keselamatan kepada numah ini, karena orang inipun anak Abraham.

Jelas, bahwa Yesus bukan mengutuk orang kaya tetapi lebih tepat menantang orang kaya, supaya ia mengerti bahwa hidupnya tidaklah tergantung kepada kekayaannya. (bdk. 12:13-21; 16:13; 18:18-25). Tema ini terus mengalir sepanjang tulisan Lukas-Kisah Para Rasul, sebagaimana kita lihat sejak awal Injil Lukas (4:18)
Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin;

Yesus mengkhotbahkan kabar baik kepada orang miskin bukan hanya memperkenalkan bahwa Ia akan berbagi kedaulatan Allah dan kesembuhan bagi kaum marjinal, tetapi juga menciptakan pemuridan yang memiliki sikap hati berbagi dengan orang miskin. Dan realisasinya kita melihat dalam Kis. 4:32, khususnya dalam penatalayanan.

Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dan

192

POSMODERNISME DAN HERMENEUTIKA

kepunyaannya adalah miliknya sendini, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama (Kis. 4:32). Maka jelas bahwa kemiskinan dalam kekristenan mungkin saja akan selalu ada, tetapi kemiskinan secara materi bukanlah hal yang menakutkan; karena sebagai pengikut Kristus, ia akan senantiasa hidup dalam pemeliharaan Allah melalui kepanjangan umat-Nya yang mempraktekan etika Kerajaan Allah, yaitu: disini, saat ini dan sekarang ketika kita masih ada di dunia ini.
PENUTUP

Hal ini semua adalah arah-arah baru pada era posmodern ini, khususnya dengan kemunculan prinsip pembacaan pos-strukturalisme. Ini adalah suatu alternatif masakini dalam mengerti teks Alkitab.

Anda mungkin juga menyukai