Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/305722295

Agama dan Modernitas

Book · January 2013

CITATIONS READS

0 7,835

1 author:

Dr. Ja'far, MA
State Islamic University of Sumatera Utara, Medan Indonesia
26 PUBLICATIONS   31 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Perspektif Pendidik Al Washliyah dan Al Ittihadiyah tentang Paham dan Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme di Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Dr. Ja'far, MA on 30 July 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HAKIKAT MODERNITAS

Kalangan sosiolog mengklasifikasikan tipe masyarakat menjadi tiga


periode sejarah, yakni pramodern, modern dan posmodern. Tiap-tiap
periode sejarah kehidupan masyarakat ini memiliki pendukung dan
karakteristik masing-masing. Dalam hal batasan waktu, Lois Hoffman dan
John Hoffman menegaskan bahwa periode pra-modern adalah sebelum
tahun 1650, periode modern adalah sejak tahun 1650 sampai tahun 1950,
sedangkan periode posmodern adalah setelah tahun 1950.1 Namun
demikian, tidak semua ahli sepakat dengan pembagian ini.
Dalam penentuan periode modern, tampak sekali bahwa tidak ada
konsensus para ahli. Bendix menyatakan bahwa periode modern dimulai
pada abad ke-18.2 Ritzer dan Goodman menilai bahwa periode modern
bermula sejak abad ke-17.3 Raymond menganggap bahwa periode modern
dimulai pada abad ke-16 sampai abad ke-19.4 Meskipun tidak ada
kesepakatan terhadap awal dari periode modern, namun dapat dipastikan
bahwa periode ini bertitik tolak dari keberhasilan Eropa mengembangkan
dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, setelah sekian lama
mengalami kemunduran peradaban. Revolusi ilmu pengetahuan dan
teknologi, menurut para ahli, didorong oleh sejumlah nilai sosial budaya
masyarakat Barat, dan kelak semua nilai tersebut disebut sebagai nilai-nilai
fundamental modernitas dan menjadi karakteristik masyarakat modern.

1Lois Hoffman dan John Hoffman, Modern dan Posmodern Ways of Knowing:
Implications for Therapy and Integration (Costa Mesa: Vanguard University of
Southern California, t.t.), h. 4.
2Reinhard Bendix, “Apa Itu Modernisasi,” dalam Modernisasi: Masalah

Model Pembangunan, terj. Mien Joebhaar et al (Jakarta: Rajawali, 1985), h. 5.


3George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Tri

Wibowo Budi Santoso (Jakarta: Kencana, 2004), h. 552.


4Raymond Apthorpe, “Modernization” Adam Kuper dan Jessica Kuper

(ed.), Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jilid II (Jakarta: Rajawali, 2000), h. 673.

3
Penulisan artikel ini memiliki tujuan ganda. Pertama. Berupaya
menjelaskan dan menegaskan pengertian sejumlah istilah yang berkaitan
dengan tema modernitas seperti modern, modernis, modernisasi,
modernitas dan modernisme. Kedua. Berupaya melacak nilai-nilai
fundamental modernitas yang dianggap sebagai pendorong kemunculan
era modern. Pengetahuan terhadap pengertian dan nilai-nilai fundamental
modernitas diharapkan dapat menjadi semacam pemantik bagi perubahan
sosial suatu komunitas, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern, sebab masih dapat ditemukan bahwa sekelompok masyarakat
masih tergolong tradisional (pramodern) dan jauh dari nilai-nilai
modernitas meski mereka sudah memasuki periode modern secara global.

Pengertian

Setidaknya, ada lima istilah yang penting dijelaskan sebelum mulai


mendiskusikan tema ‘agama dan modernitas,’ yaitu modern (modern),
modernis (modernist), modernitas (modernity), modernisme (modernism) dan
modernisasi (modernization). Istilah pertama, yaitu modern, adalah berasal
dari bahasa Inggris, modern. Sejumlah kamus bahasa Inggris
mendefinisikan modern sebagai of the present or recent times, new and up-to-
date,5 person living in modern times,6 dan of pertaining to the historical period
following the Middle Ages.7
Dalam kamus bahasa Indonesia, istilah modern dimaknai sebagai
‘terbaru,’ ‘mutakhir,’ ‘secara baru,’ dan ‘sikap, cara berpikir dan cara
bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.’8 Wilson menyatakan bahwa kata

5A.S. Hornby, et al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English


(London: Oxford University Press, 1973), h. 630.
6H.W. Fowler & F.G. Fowler, The Concise Oxford Dictionary of Current

English (London: Oxford University Press, 1976), h. 701.


7Barbara Ann Kipfer (ed.), Random House Webster’s College Dictionary (New

York: Random House Reference, 1999), h. 793.


8Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3

(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 751; W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), h. 653.

4
modern bermakna ‘yang baru’ sebagai lawan ‘yang kuno,’ atau ‘perubahan
terbaru’ sebagai lawan dari ‘tradisional.’9 Sementara itu, Bendix
menyatakan bahwa “istilah modern mencakup seluruh era sejak abad
kedelapanbelas, ketika penemuan-penemuan seperti mesin uap dan mesin
pemintal meletakkan landasan teknik yang pertama bagi industrialisasi
berbagai masyarakat.10 Dengan demikian, istilah modern merujuk kepada
suatu kondisi sosial dan kultural masyarakat.
Istilah kedua, modernis berasal dari bahasa Inggris, modernist.
Kamus-kamus bahasa Inggris memaknai modernist sebagai believer in
modern, supporter of modern,11 a person who holds modern views or uses modern
methods, a person who supports the study of modern subjects in preference to the
ancient classics, dan a person who interprets religions teaching in a modern way.12
Dengan demikian, kata modernis mengacu kepada seseorang yang
memiliki, memegang, bahkan mendukung pandangan dan metode
modern, serta menjadikannya sebagai sarana menjalani kehidupan.
Istilah ketiga, modernitas, yang berasal dari bahasa Inggris,
modernity, dan dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai
‘kemodernan.’13 Dalam kamus bahasa Inggris, kata ini dimaknai sebagai
being modern,14 the condition of being modern or up-to-date,15 dan the equality of
being modern.16 Dengan demikian, modernitas dapat dimaknai sebagai
menjadi modern dan kondisi menjadi modern. Dalam hal ini, modernitas
lebih mengacu kepada sikap hidup yang modern.

9John F. Wilson, “Modernity,” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia


of Religion, Vol. IX (New York: Macmillan Library References USA, 1993), h. 18.
10Bendix, “Apa Itu Modernisasi,” h. 5.
11Hornby, et al., The Advanced Learner’s Dictionary, h. 630.
12The World Book Dictionary, Vol. II (Chicago: World Book, 2006), h. 1336.
13Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 751.
14Hornby, et al., The Advanced Learner’s Dictionary, h. 630.
15Edward N. Teall & C. Ralph Taylor, Webster’s New American Dictionary

(New York & Washington: Book’s Inc. Publishers, 1965), h. 626.


16Kipfer (ed.), Random House Webster’s College, h. 793.

5
Menurut Eduardo, seorang sosiolog, bahwa modernitas (modernity)
mengacu kepada sebuah periode historis yang bermula di Eropa Barat
melalui serangkaian perubahan sosial, budaya dan ekonomi selama abad
17. Modernitas dicirikan dengan tiga hal berikut. Pertama. Pengandalan
kepada penalaran dan pengalaman yang telah menyebabkan pertumbuhan
ilmu pengetahuan dan kesadaran ilmiah, sekularitas dan rasionalitas
instrumental. Kedua. Kehidupan didasarkan pada pertumbuhan
masyarakat industri, mobilitas sosial, ekonomi pasar, kemelekan huruf,
serta birokratisasi dan konsolidasi negara-bangsa. Ketiga. Keberadaan
konsepsi bahwa manusia adalah bebas, otonom, bisa mengendalikan diri
dan refleksif.17 Dengan demikian, modernitas mengacu kepada sebuah
periode setelah periode tradisional dan/atau periode sejarah setelah
periode Abad Pertengahan, yaitu suatu periode dimana budaya suatu
masyarakat telah bergerak dari sistem feodalisme menjadi sistem kapitalis,
industrialis, dan sekularis.
Istilah keempat adalah modernisme, berasal dari bahasa Inggris,
modernism. Dalam kamus bahasa Inggris, modernisme dipahami sebagai
modern views or methods,18 modern term or expression,19 modern, character or
practice, the theory and practice of modern art,20 modern attitudes or methods.21
Modernism kerap diartikan juga sebagai a religious movement stressing ethical
and citical values rather than theological creeds and dogmas,22 “the movement in
Roman Chatolic thought that interpreted the teaching of the Church in the light of
modern philosophic and scientific thought,” “the liberal theological tendency in
20th century protestantism,”23 “a movement among Roman Chatolics to modify
the teachings and tenets of the Church in the direction of the scientific, literary and

17Eduardo P. Archetti, “Modernity,” dalam Adam Kuper dan Jessica Kuper


(ed.), Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jilid II (Jakarta: Rajawali, 2000), h. 671-672.
18Hornby, et al., The Advanced Learner’s Dictionary, h. 630.
19Fowler & Fowler, The Concise Oxford Dictionary of Current English, h. 701.
20The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II (Boston:

Haugton Mifflin Company, 1979), h. 843.


21The World Book Dictionary, Vol. II, h. 1336.
22Edward & Taylor, Webster’s New American Dictionary, h. 626.
23Kipfer (ed.), Random House Webster’s College, h. 793.

6
philosophic opinions of the 1800’s and 1900’s.”24 Dalam kamus bahasa
Indonesia disebutkan bahwa modernisme adalah ‘gerakan yang bertujuan
menafsirkan kembali doktrin tradisional dan menyesuaikannya dengan
aliran-aliran modern dalam filsafat, sejarah dan ilmu pengetahuan.’25

Menurut Ahmed, modernisme adalah modern views or methods,


especially tendency in matters of religious belief to subordinate tradition to
harmony with modern thought [pandangan atau metode modern, terutama
kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi dalam masalah keyakinan
agama agar harmonis dengan pemikiran modern], atau the most recent phase
of world history marked by belief in science, planning, secularism and progress
[fase terkini sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains,
perencanaan, sekularisme dan kemajuan].26
Dalam sejarah Kristen, seperti disebut O’Collins dan Farrugia,
bahwa modernisme adalah “gerakan teologi Katolik abad XIX dan XX di
Inggris, Prancis, Italia dan Jerman. Gerakan ini mendukung kritik terhadap
Kitab Suci modern, menerima perkembangan historis dalam Kristianitas,
melawan Neo-Skolastisisme dan terbuka terhadap perkembangan dalam
ilmu pengetahuan dan filsafat.”27 Harun menguatkan bahwa modernisme
dalam masyarakat Barat diartikan sebagai pikiran, aliran, gerakan dan
usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama
dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.28 Dalam hal ini,
modernisme memiliki misi untuk menyesuaikan ajaran-ajaran agama
Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern.
Pikiran dan aliran ini membawa masyarakat Barat kepada sekularisme.29

24The World Book Dictionary, Vol. II, h. 1336.


25Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 751.
26Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam (London-New York:
Routledge, 1992), h. 6.
27Gerald O’Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta:

Kanisius, 1996), h. 203.


28Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan

(Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h. 11.


29Ibid.

7
Pandangan ini didukung oleh Bernard M.G. Reardon, bahwa dalam sejarah
Kristen Katolik, terdapat sebuah gerakan teologi bernama modernisme,
yakni “sebuah gerakan yang hendak memasukkan karakter modern dan
liberal dalam ajaran Gereja Katolik Roma pada awal abad 20.”30

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa modernisme adalah


sikap, pandangan dan gerakan berkarakter kemodernan. Modernisme
adalah berpandangan dan bersikap modern. Modernisme adalah gerakan
yang bersikap dan berpandangan modern. Dengan kata lain, modernisme
bisa dipahami sebagai mode pemikiran (filsafat), strategi dan gaya modern.
Istilah ini mengacu kepada produk pemikiran.

Istilah kelima adalah modernisasi, sebuah istilah yang berasal dari


bahasa Inggris, modernization. Dalam kamus bahasa Inggris disebutkan
bahwa modernization adalah make suitable for present day needs,31 to cause to be
modern, to give a modern character or appearance to modern, to accept modern
theories or custom,32 to make modern in appearance, style or character, to accept or
adopt modern ways, ideas or style,33 to make modern, give a new or modern
character, to become modern, dan adopt modern ways.34 Dengan demikian,
secara etimologi modernisasi adalah “membuat cocok dengan kebutuhan
hari ini,” “memberikan karakter dan corak modern,” dan “mengadopsi
cara, ide dan gaya modern.”
Wilson menyatakan bahwa modernism dan modernization adalah
“sikap sosial dan budaya atau program-program yang didedikasikan
untuk mendukung apa yang disebut sebagai modern.” Secara spesifik,
bahwa modernisme dipahami sebagai sikap komit terhadap dunia modern
dalam lingkungan intelektual dan budaya. Sedangkan modernisasi adalah

30Bernard M.G. Reardon, “Christian Modernism,” dalam Mircea Eliade


(ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. IX (New York: Macmillan Library References
USA, 1993), h. 11.
31Hornby, et al., The Advanced Learner’s Dictionary, h. 630.
32Edward & Taylor, Webster’s New American Dictionary, h. 626.
33The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, h. 843.
34Kipfer (ed.), Random House Webster’s College, h. 793.

8
“sebuah rencana untuk membuat aspek-aspek politik dan ekonomi
masyarakat menjadi baru.”35
Dalam kamus bahasa Indonesia, modernisasi diartikan sebagai
“proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk
dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini,”36 dan “proses perubahan
atau perombakan keadaan lama kepada yang baru sesuai dengan tuntutan
zaman guna kemajuan.”37
Sejumlah sosiolog sudah memberikan definisi bagi modernisasi.
Reinhard Bendix, misalnya, menyatakan bahwa modernisasi adalah “satu
jenis perubahan sosial sejak abad kedelapan belas, yang terdiri dari
kemajuan sesuatu masyarakat perintis di bidang ekonomi dan politik, dan
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian di masyarakat-masyarakat
pengikut.”38 Haviland menyatakan modernisasi adalah “proses perubahan
kebudayaan dan sosio-ekonomis yang meliputi segala-galanya dan
terdapat di seluruh dunia, di mana seluruh masyarakatnya berkembang
berusaha mendapatkan sebagian karakteristik umum yang terdapat dalam
kebanyakan masyarakat industri yang maju.”39 Armer dan Katsillis
menyatakan bahwa modernisasi adalah “proses perubahan menuju tipe
serta sistem sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di Eropa Barat
dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai abad ke-19, yang selanjutnya
sistem tersebut berkembang ke negara-negara Eropa lain dan pada abad
ke-19 dan abad ke-20 berkembang ke Amerika Selatan, Asia dan Afrika.”40
Menurut Nurcholish Madjid, modernisasi adalah “proses perombakan pola
berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah, dan menggantikannya

35Wilson,“Modernity,” h. 18.
36Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 751.
37Zainul Bahri, Kamus Umum: Khususnya Bidang Hukum dan Politik

(Bandung: Angkasa, 1993), h. 180.


38Bendix, “Apa Itu Modernisasi,” h. 17.
39William A. Haviland, Antropologi, Jilid II (Jakarta: Erlangga, t.t.), h. 301.
40J. Michael Armer dan John Katsillis, “Modernization Theory,” dalam

Edgar F. Borgatta (ed.), Encyclopedia of Sociology, Vol. III (New York: Macmillan
Reference USA, t.t.), h. 1883.

9
dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah.”41 J.W. Schoor,
seperti dikutip oleh Manan, mendefinisikan modernisasi sebagai
“penerapan pengetahuan ilmiah kepada semua aktifitas dan semua bidang
kehidupan atau kepada semua aspek-aspek masyarakat.”42 Soekanto
menjelaskan bahwa modernisasi adalah “suatu proses perubahan yang
menuju pada tipe sistem-sistem sosial, ekonomi dan politik yang telah
berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-17 sampai
abad ke-19.”43 Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa modernisasi
adalah suatu proses memodernkan suatu komunitas masyarakat tertentu.
Modernisasi biasanya diterapkan kepada suatu komunitas masyarakat
yang masih tradisional.

Modernisasi dan Modernitas dalam Perspektif Sosiologi

Berdasarkan telaah pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa


istilah modern, modernitas, modernisasi, modernis dan modernisme
memiliki kaitan erat. Istilah modernitas mengacu kepada sebuah periode
sejarah, posisi periode ini adalah sesudah pra-modern dan sebelum
posmodern. Periode ini berawal di Eropa ketika terjadi serangkaian
perubahan dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya selama abad ke-17.
Periode ini muncul sebagai akibat dari upaya modernisasi yang dilakukan
oleh masyarakat Eropa. Para pelopor dan pendukung modernisasi ini
disebut kaum modernis. Sedangkan segala sikap, komitmen, pandangan,
gagasan dan gerakan kaum modernis ini disebut modernisme. Jelas bahwa
kelima istilah ini memiliki hubungan.
Dari sini akan dapat diketahui secara tegas hubungan antara istilah
modernisasi dan modernitas. Menurut Soekanto, modernisasi adalah suatu

41Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,


1998), h. 172-173.
42Imran Manan, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan (Jakarta: Depdikbud,

1989), h. 56.
43Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali, 2005), h.

345.

10
bentuk perubahan sosial. Modernisasi dapat digolongkan sebagai
perubahan sosial yang terarah (directed-change) dan didasarkan kepada
perencanaan (planned-change). Secara historis, istilah modernisasi merujuk
kepada suatu proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang telah
berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara selama abad ke-17 sampai
abad ke-19, lalu perubahan seperti ini diikuti oleh negara-negara Amerika
Selatan, Asia dan Afrika.44 Dalam hal ini, sebuah komunitas menerapkan
paradigma modernisasi dengan tujuan untuk menggapai kemajuan dalam
berbagai bidang kehidupan. Artinya, modernisasi akan memunculkan
modernitas.

Soekanto menjelaskan bahwa proses modernisasi sebagai suatu


transformasi total berbagai aspek kehidupan masyarakat membutuhkan
sejumlah faktor pendukung agar proses ini dapat direalisasikan secara
faktual. Syarat-syarat modernisasi ini adalah cara berpikir yang ilmiah,
sistem administrasi negara yang baik dan benar-benar mewujudkan
birokrasi, adanya sistem pengumpulan data yang baik, teratur dan terpusat
pada suatu lembaga, penciptaan iklim yang favaorable dari masyarakat
terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi
massa, tingkat organisasi yang tinggi (disiplin) dan sentralisasi wewenang
dalam pelaksanaan perencanaan sosial. Sedangkan penghambat proses
modernisasi adalah keyakinan kuat terhadap tradisi, sikap intoleran
terhadap berbagai penyimpangan dan kualitas pendidikan melemah.45
Keberhasilan masyarakat Barat melakukan modernisasi adalah karena
mereka mampu memenuhi syarat-syarat dan menjauhi faktor penghambat
modernisasi tersebut. Sebab itulah, mereka dapat menjadi masyarakat
modern.
Keberhasilan masyarakat Eropa mengadakan modernisasi dalam
berbagai aspek kehidupan telah mengarahkan mereka memasuki suatu
periode sejarah bernama modernitas. Eduardo P. Archetti, sosiolog dari
University Oslo, menyatakan bahwa modernitas mengacu kepada sebuah

44Soekanto, Sosiologi, h. 345-347.


45Ibid., h. 348-349.

11
periode sejarah yang bermula di Eropa Barat melalui serangkaian
perubahan sosial, budaya dan ekonomi selama abad ke-17.46 Dengan
demikian, modernisasi telah membawa masyarakat Eropa menuju periode
modernitas. Dalam hal ini, mereka telah menjadi masyarakat modern.

Para pakar ilmu-ilmu sosial telah memberikan berbagai nama


untuk masyarakat modern. C.E. Black, seperti dikutip Manan, berbagai
nama untuk masyarakat modern antara lain the achieving society, the
advanced society, the developed society, the free society, the great society, the
industrial society, the integrated society, the mass society, the mass-consumption
society, the mobilized society, the modern society, the new society, the organic
society, the rational society, the rasionable society, the socialist society, the
technological society, dan the urban society.47 Secara tegas dapat dikatakan
bahwa nama-nama ini telah ikut mencerminkan karakteristik masyarakat
modern itu sendiri.
Para ahli sosiologi membagi periodesasi masyarakat menjadi tiga,
yakni pra-modern, modern dan posmodern. Lois Hoffman dan John
Hoffman merumuskan secara rinci bahwa periode pra-modern adalah
sebelum tahun 1650, periode modern adalah sejak tahun 1650 sampai
tahun 1950, sedangkan periode posmodern adalah setelah tahun 1950.48
Setiap periode sejarah tersebut memiliki karakteristik masing-masing.
Sejumlah ahli membuat perbedaan tegas antara pramodern,
modern dan posmodern. Menurut Hofman dan Hofman, epistemologi era
modern adalah agama dan wahyu. Sementara epistemologi era modern
adalah akal, empirisme dan sains. Sedangkan epistemologi era posmodern
adalah epistemologi pluralisme dan holisme.49

Secara rinci dapat diuraikan bahwa masyarakat periode pramodern


memiliki sejumlah karakteristik. Pertama. Hubungan keluarga dan
masyarakat sangat erat. Kedua. Organisasi sosial didasarkan kepada adat-

46Eduardo, “Modernity,” h. 671.


47Manan, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan, h. 62.
48Hoffman dan Hoffman, Modern dan Posmodern,” h. 4.
49Ibid.,” h. 3.

12
istiadat. Ketiga. Percaya kepada kekuatan gaib. Keempat. Tidak ada lembaga
khusus sebagai pengatur bidang pendidikan dalam masyarakat. Kelima.
Tingkat buta huruf sangat tinggi. Keenam. Kegiatan ekonomi hanya untuk
memenuhi kebutuhan sendiri dan tidak dipasarkan. Ketujuh. Kegiatan
ekonomi dan sosial memerlukan kerjasama dengan sistem gotong-royong.
Kedelapan. Hukum masyarakat dipahami oleh anggota masyarakat yang
sudah dewasa. Sedangkan menurut Bill Crouse, era pra modern dicirikan
dengan kuatnya ortodoksi, kepercayaan, dogma-dogma dan tradisi, serta
tidak ada batas tegas antara dunia spiritual dan dunia material.50
Periode modern berarti kelanjutan dari periode pra-modern. Griffin
menyebut sejumlah ciri era modern, yakni industrialisasi, urbanisasi,
teknologisasi, birokratisasi, rasionalisasi instrumental, sekularisasi,
egalitarianisme dan materialisme.51 Dostoeusky menyebut bahwa era
modern memiliki tiga jiwa, yakni kesadaran diri sebagai subjek, sikap kritis
terhadap prasangka-prasangka tradisi dan progressifitas.52 Sedangkan
menurut Bill Crouse, era modern berlandaskan rasionalisme, kebebasan,
kemajuan dan optimisme, serta kecenderungan kepada perspektif
imanensi, bukan transendensi.53 Memang disadari bahwa modernisme
dianggap oleh sekelompok ahli sebagai proyek gagal, seperti pendapat
Jurgen Habermas, dan mereka mengajukan berbagai kritik terhadapnya.
Menurut Akbar S. Ahmed, era posmodernis memiliki sejumlah
karakteristik. Pertama. Hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas;
semangat pluralisme; skeptis terhadap ortodoksi tradisional; penolakan
terhadap pandangan bahwa dunia adalah sebuah totalitas universal; dan
pendekatan terhadap harapan akan solusi akhir dan jawaban sempurna.
Kedua. Dalam banyak cara yang bersifat mendasar, media adalah dinamika

50Bill Crouse, Posmodernism: A New Paradigm (Makalah, tidak diterbitkan),


h. 1.
51David Ray Griffin, Visi-visi Posmodern, terj. A. Gunawan Admiranto

(Jakarta: Kanisius, 1988), h. 29.


52Dostoesky, Menggugat Manusia Modern (Jakarta: Kanisius, 2008), h. 34;

Haviland, Antropologi, h. 234..


53Crouse, Posmodernism, h. 2-3.

13
sentral. Ketiga. Kaitan posmodernisme dengan revivalisme etno-religious
atau fundamentalisme perlu ditelaah oleh ilmuan sosial dan politik.
Revivalisme adalah sebab dan akibat dari posmodernisme. Keempat.
Kontinuitas dengan masa lalu tetap merupakan ciri posmodernisme.
Kelima. Karena sebagian besar penduduk menempati wilayah perkotaan
dan sebagian lebih besar lagi masih dipengaruhi oleh ide-ide yang
berkembang dari wilayah ini, maka metropolis menjadi sentral bagi
posmodernisme. Keenam. Terdapat elemen kelas bagi perkembangannya
dan demokrasi adalah syarat mutlak bagi perkembangannya. Ketujuh.
Posmodernisme memberikan peluang, mendorong penjajaran wacana,
eklektisme dan pencampuran berbagai citra. Kedelapan. Ide tentang bahasa
sederhana terkadang terlewatkan oleh ahli posmodernisme, meski mereka
mengklaim dapat menjangkaunya.54 Dengan demikian, ciri mendasar era
ini adalah dekonstruksi, relativisme, pluralisme, skeptisisme heterogenitas,
perspektif holisme dan kebangkitan etis dan spiritualitas. Dalam hal ini,
posmodernisme memperoleh kritikan dari sekelompok modernis.

Nilai-nilai Fundamental Modernitas


Masyarakat Barat memang sangat berhasil mencapai kemajuan
dalam berbagai aspek kehidupan dan membuat mereka menjadi suatu
masyarakat modern, bahkan menjadikan zaman mereka sebagai zaman
modernitas, namun keberhasilan tersebut berakar dari sistem nilai budaya
mereka dan sistem nilai tersebut telah menjadi pondasi kokoh bagi proses
modernisasi yang mereka lakukan. Dengan kata lain, masyarakat Barat
memperhatikan bahkan merealisasikan sistem nilai tertentu sebagai basis
pembangunan masyarakat. Sistem nilai tersebut telah sukses membawa
masyarakat Barat menjadi masyarakat modern. Artinya, sistem nilai
budaya masyarakat Barat telah menjadi prasyarat penting bagi kelancaran
modernisasi kehidupan masyarakat tersebut. Tanpa keberadaan dan
komitmen terhadap sistem nilai budaya tersebut, upaya modernisasi akan

54Ahmed, Postmodernism and Islam, h. 10-26; Ernest Gellner, Posmodernism,


Reason and Religion (London-New York: Routledge, 1992).

14
kandas tanpa membawa hasil sebagaimana dicita-citakan, yakni menjadi
masyarakat modern.
Menurut Manan, paradigma modernisasi mengemukakan model
linier pembangunan sebagaimana telah dilalui banyak mesyarakat maju
adalah bermula dari pengembangan intelektual dan pengembangan
tersebut menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan dan perkembangan
teknologi. Namun patut disadari bahwa menurut paradigma modernisasi,
adalah revolusi tersebut berakar dari sistem nilai budaya mereka.55 Dengan
demikian, nilai sosial budaya menjadi faktor pendorong dan pendukung
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada akhirnya
menyembulkan revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan
membawa suatu komunitas menjadi masyarakat modern.
Alex Inkeles dan Smith, seperti dikutip Manan, pernah membahas
transformasi orang-orang tradisional menjadi orang-orang modern. Kedua
tokoh ini memandang penting perubahan spirit, cara berpikir, merasa dan
bertindak dari orang-orang tradisional yang hendak menjadi masyarakat
modern. Spirit dan cara berpikir, merasa dan bertindak ini dapat disebut
sebagai sistem nilai dan semuanya menjadi syarat penting bagi upaya
memodernkan sebuah komunitas. Dalam hal ini, Inkeles dan Smith56
mengemukakan bahwa sistem nilai ini disebut sebagai kepribadian, dan
kepribadian masyarakat modern tersebut adalah:
1. Terbuka terhadap pengalaman dan cara-cara baru;
2. Siap untuk perubahan-perubahan;
3. Sanggup membentuk dan mempunyai pendapat tentang berbagai hal
baik di dalam maupun di luar lingkungannya;
4. Sadar akan keragaman sikap dan pendapat di sekitarnya dan sanggup
memberi penilaian;
5. Mengetahui dunia luas;

55Manan, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan, h. 64.


56Ibid., h. 70-71; Haviland, Antropologi, h. 334-337.

15
6. Lebih berorientasi kepada masa sekarang dan masa depan;

7. Percaya bahwa manusia mampu mengontrol lingkungannya;


8. Memandang lingkungan alam dan sosial sebagai keadaan-keadaan
yang dapat dipergantungi;

9. Menghargai keterampilan teknis dan menyukai pembagian pendapatan


yang berdasarkan sumbangan seseorang;
10. Berhasrat memajukan pendidikan dan pekerjaan;

11. Sadar dan menghargai harkat manusia;


12. Mengerti logika keputusan-keputusan.
Dalam perspektif lain, menurut Syahrin Harahap, era Renaissans
telah berhasil menghantarkan masyarakat Eropa Barat kepada periode
sejarah umat manusia baru bernama abad modern. Kemodernan dunia
(modernitas) ternyata tidak saja membuat kondisi dunia semakin canggih
dari sudut sarana dan fasilitas kehidupan, tetapi juga melahirkan sederetan
nilai-nilai baru yang modern dan progressif, antara lain, memiliki
tanggungjawab pribadi dan sikap jujur; menunda kesenangan sesaat demi
kesenangan abadi; pemanfaatan waktu dan etos kerja; keyakinan bahwa
keadilan dapat diratakan; penghargaan yang tinggi terhadap ilmu
pengetahuan; memiliki visi dan perencanaan yang tepat tentang masa
depannya; semangat menjunjung tinggi bakat dan kemampuan serta
memberikan penghargaan berdasarkan prestasi.57
Sejumlah sosiolog telah melacak pengaruh orientasi nilai sosial
budaya masyarakat Barat terhadap kemajuan (modernitas) Eropa. Nilai-
nilai tersebut kelak disebut sebagai nilai-nilai fundamental modernitas.
Kluckhohn dan Strodtbeck mengembangkan teori nilai sosial budaya.58

57Syahrin Harahap, “Nilai-nilai Fundamental Modernitas bagi Kehidupan


Umat Beragama,” (Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Islam dan
Modernitas,” Medan, Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, 05 April 2007),
h. 1-2.
58Amri Marzali, Antropologi & Pembangunan Indonesia (Jakarta: Kencana,

2005), h. 113-116.

16
Kedua tokoh ini mendapati bahwa keberhasilan pembangunan Barat
dikarenakan masyarakat Barat berorientasi kepada sejumlah nilai seperti
berorientasi kepada masa depan, pandangan bahwa hukum alam bisa
diketahui dan dikuasai, pandangan bahwa bekerja dapat menimbulkan
kerja yang lebih banyak, pandangan bahwa manusia adalah sama,
pandangan bahwa kebudayaan material adalah penting, serta pandangan
bahwa kehidupan sebagai sesuatu yang baik.59 Semua pandangan tersebut
telah menjadi nilai sosial budaya masyarakat Barat dan orientasi nilai
tersebut telah membawa kepada kemajuan bahkan modernitas. Semua
pandangan tersebut dapat disebut sebagai nilai-nilai fundamental
modernitas.
Manan melanjutkan bahwa pandangan Kluckhohn dan Strodtbeck
tentang orientasi nilai sosial budaya tersebut memang akan mengarahkan
suatu komunitas kepada modernitas, dikarenakan alasan sebagai berikut:
1. Nilai berupa orientasi ke masa depan akan mengarahkan seseorang
mempunyai sikap hemat dan mendorong kegemaran menabung.
Dalam perspektif ekonomi, tabungan dapat meningkatkan investasi
dan kunci kemajuan ekonomi;
2. Nilai berupa keyakinan bahwa hukum alam bisa diketahui dan
dikuasai akan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi akan bisa meningkatkan
kualitas dan kuantitas pemenuhan kebutuhan dasariah manusia;
3. Nilai berupa keyakinan bahwa bekerja dapat menghasilkan kerja yang
lebih banyak dan lebih baik akan mengarahkan kualitas kesejahteraan
masyarakat;

4. Nilai berupa keyakinan bahwa semua manusia adalah sama akan


mampu mendorong kepada sikap percaya diri, apresiatif terhadap
sesama manusia dan memunculkan institusi politik yang demokratis;

59Manan, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan, h. 65.

17
5. Nilai berupa keyakinan bahwa kebudayaan material adalah penting
dan normal akan mendorong setiap orang memperolehnya;
6. Nilai berupa keyakinan bahwa hidup adalah sesuatu yang baik dan
bermakna akan mendorong setiap orang mengisi hidup dengan karya-
karya besar dan bermakna.60
Manan menyebut sejumlah pandangan para sosiolog tentang
orientasi nilai masyarakat Barat. T. Parsons, lewat teori pattren variables,
ikut menambahkan bahwa masyarakat modern menganut suatu orientasi
nilai tertentu yakni mengutamakan penilaian berdasarkan keberhasilan
dan prestasi, bukan status. Max Weber menyatakan bahwa masyarakat
modern memiliki nilai-nilai seperti sikap menjunjung tinggi kerajinan,
kehematan, ketenangan hati dan kebijaksanaan, bahkan rasionalitas telah
dijadikan sebagai jiwa kehidupan ekonomi, teknik, penelitian ilmiah,
kemiliteran, hukum dan sistem administrasi. David McClelland
menambahkan bahwa masyarakat modern memiliki jiwa wiraswasta
dengan karakter khasnya seperti suka bertanggungjawab atas semua
pekerjaannya, suka bekerja dengan hasil yang jelas dan terukur dengan
sukses atau gagal, bekerja dengan rencana dan berani mengambil resiko.
E.E. Hagen menyatakan bahwa masyarakat modern memiliki
kecenderungan kreatif dan kesanggupan memecahkan masalah dan
menggunakannya untuk tujuan ekonomis. Kepribadian ini memunculkan
kepribadian inovatif. Orang-orang kreatif dan inovatif memiliki sifat
seperti terbuka terhadap pengalaman baru, imajinasi yang kreatif, yakin
kepada penilaian sendiri, kepuasan menghadapi dan menyelesaikan
masalah, kesadaran akan kewajiban dan tanggungjawab untuk berhasil,
cerdas, giat, dan memiliki persepsi bahwa dunia adalah tantangan.
Sedangkan Daniel Lerner menyatakan bahwa masyarakat modern adalah
masyarakat berkarakter dinamis, mampu merubah diri secara tepat dalam
masa perubahan sosial yang cepat, dan mempunyai kapasitas untuk
melihat diri sendiri dalam posisi orang lain.61 Para ahli ini menilai bahwa

60Ibid., h. 66.
61Ibid., h. 66-70.

18
sejumlah karakter dan nilai tersebut sangat mempengaruhi perubahan
sosial masyarakat Eropa, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern. Artinya, kemunculan era modern didorong oleh perubahan spirit
dan cara berpikir, merasa dan bertindak masyarakat tradisional.

Berdasarkan deskripsi para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan


bahwa modernitas menampung sejumlah nilai fundamental. Pertama.
Mengutamakan penilaian berdasarkan keberhasilan dan prestasi, bukan
status. Kedua. Menjunjung tinggi kerajinan, kehematan, ketenangan hati,
kebijaksanaan dan rasionalitas. Ketiga. Berjiwa wiraswasta. Keempat.
Berjiwa kreatif, inovatif dan kesanggupan memecahkan masalah dan
menggunakannya untuk tujuan ekonomis. Kelima. Berkarakter dinamis,
mampu merubah diri secara tepat dalam masa perubahan sosial yang
cepat, dan mempunyai kapasitas untuk melihat diri sendiri dalam posisi
orang lain.
Deskripsi tersebut menegaskan bahwa nilai-nilai sosial budaya bisa
mendorong kepada kemajuan. Sejarah melukiskan bahwa capaian-capaian
masyarakat Barat mengarahkan mereka kepada suatu kehidupan baru
bernama kehidupan modern, dan fenomena ini muncul sebagai akibat dari
penerapan suatu sistem nilai. Kelak, sistem nilai ini disebut oleh para ahli
sebagai nilai-nilai fundamental modernitas, yakni nilai-nilai yang muncul,
tumbuh dan berkembang selama periode modern, sebagai nilai-nilai dasar
pendorong kemajuan masyarakat Barat.
Tidak kalah penting, menurut Syahrin Harahap, bahwa modernitas
memang menghadapi resistensi dari sebagian umat beragama, akan tetap
penyebab resistensi tersebut adalah karena tiga faktor. Pertama.
kemunculan sisa limbah dari modernitas berupa sikap westernis, sekularis
dan liberalis dan ketiga sikap tersebut dipraktikkan oleh sejumlah
modernis dalam sebuah komunitas agama. Kedua. Kekhawatiran bahwa
modernitas dipandang sebagai modifikasi terhadap agama, sementara
sebagian kalangan menilai bahwa ajaran agama telah final dan tidak boleh
diperbaharui. Ketiga. Adanya kecenderungan sebagian pemikir yang

19
“meringan-ringankan” agama.62 Padahal, bagi sebagian kalangan bahwa
meskipun modernisasi adalah proyek Barat, namun sebuah komunitas
akan bisa menjadi modern tanpa harus menjadi seorang westernis,
sekularis dan liberalis, dengan cara menginternalisasikan nilai-nilai
fundamental modernitas tersebut dalam kehidupan mereka. Konon lagi,
nilai-nilai fundamenla modernitas tersebut akan mendapat legitimasi dari
agama-agama dunia.
Kesimpulannya adalah ada kaitan erat antara istilah modern,
modernisasi, modernitas, modernis dan modernisme. Istilah modernitas
mengacu kepada sebuah periode sejarah, posisi periode ini adalah sesudah
pra-modern dan sebelum posmodern. Periode ini berawal di Eropa ketika
terjadi serangkaian perubahan dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya
selama abad ke-17. Periode ini muncul sebagai akibat dari upaya
modernisasi yang dilakukan oleh masyarakat Eropa. Para pelopor dan
pendukung modernisasi ini disebut kaum modernis. Sedangkan segala
sikap, komitmen, pandangan, gagasan dan gerakan kaum modernis ini
disebut modernisme. Artinya, kelima istilah ini memiliki hubungan antara
istilah satu dengan lainnya.
Diakui bahwa fenomena perubahan sosial, budaya dan politik
tersebut muncul sebagai akibat kelahiran revolusi ilmu pengetahuan dan
teknologi, namun penyebab dasar dari revolusi tersebut adalah adanya
perubahan spirit, serta cara berpikir, merasa dan bertindak dalam diri
masyarakat Eropa. Orientasi mereka terhadap sejumlah nilai-nilai sosial
budaya menjadi pemantik tepat bagi kemunculan revolusi ilmu dan
teknologi, bahkan melahirkan sebuah era baru bernama era modern.

62Ibid., h. 2. Menurut Roland Robertson, era modern ditandai oleh fakta


bahwa masyarakat cenderung mendukung pluralisme agama dan kontrol agama
mulai hilang. Bahkan, menurut Luckmann, periode ini juga ditandai oleh
kemunduran agama yang berorientasi Gereja, dan menurut Wilson, agama hanya
terlibat sedikit dalam masyarakat sekuler-Modern. Lihat Roland Robertson (ed.),
Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, terj. Achmad Fedyani Saifuddin
(Jakarta: Rajawali Press, 1988), h. 167-197.

20
Meskipun nilai-nilai tersebut menjadi basis kemunculan revolusi
ilmu dan teknologi, namun ketika masyarakat Barat sudah menjadi
masyarakat modern, nilai-nilai tersebut tetap melekat dalam dan menjadi
kepribadian masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain mengutamakan
penilaian berdasarkan keberhasilan dan prestasi; menjunjung tinggi
kerajinan, kehematan, ketenangan hati, kebijaksanaan, dan rasionalitas;
berjiwa wiraswasta; berjiwa kreatif, inovatif dan kesanggupan
memecahkan masalah dan menggunakannya untuk tujuan ekonomis;
berkarakter dinamis, mampu merubah diri secara tepat dalam masa
perubahan sosial yang cepat, dan mempunyai kapasitas untuk melihat diri
sendiri dalam posisi orang lain. Akhirnya, nilai-nilai tersebut menjadi nilai-
nilai fundamental modernitas.[]

21

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai