indoprogress.com/2012/11/review-anggar-septiadi/
Dengan kata lain, pendidikan tidak hadir dengan ilmu pengetahuan yang bebas nilai.
Lewat sekolah, kepentingan menjaga eksistensi kelompok dominan gencar dilakukan.
Berdasarkan pandangan tersebutlah, paradigma pendidikan pada akhir 1970-an
memiliki dinamikanya. Lewat pendekatan sosiologis, khususnya perspektif Marxis, ahli-
ahli seperti Michael Apple, Pierre Bordieu, Henry Giroux, dan Paulo Freire, memulai
analisis sosiologi pendidikan. Mereka, khususnya Freire, tidak sepakat bahwa yang
diajarkan pada siswa sekolah adalah pengetahuan objektif. Sebaliknya, apa yang
diajarkan adalah pengetahuan yang mengandung dominasi budaya, yaitu pengetahuan
yang disusun melalui proses selektif yang memasukkan kepentingan tertentu dan
membuang yang lainnya (Freire: 2007). Kebudayaan selalu terkait dengan kekuasaan
dan memuat karakteristik serta pengalaman kelas tertentu.
Kekuasaan sendiri tidak selalu bermakna negatif. Ia bersifat dialektis, tetapi mode of
operation-nya bersifat represif. Pada taraf tertentu, kekuasaan merupakan daya dorong
dari semua perilaku manusia di mana masyarakat mempertahankan hidupnya, berjuang
dan berusaha mewujudkan cita-cita kehidupannya yang lebih baik. Di sisi lain,
kekuasaan punya arti kemutlakan, dalam hal ini kekuasaan bersifat eksklusif dan
sebagai kekuatan negatif (Freire: 2007).
Karena banyak menggunakan Marx dalam menganalisis proses pendidikan, para ahli
sosiologi pendidikan sepakat –walau tidak sepenuhnya – bahwa kelas kapitalis adalah
kelas yang dominan. Termasuk dalam Marx and Education, Jean Anyon menggunakan
1/10
analisis Marxis untuk menjabarkan bagaimana ketidakmerataan pendidikan di Amerika
Serikat.
Anyon membuka (bagian Introduction) bukunya melalui tiga ide utama Marx dalam
mengejewantahkan silang sengkarut dunia pendidikan; kapitalisme sebagai sumber
utama sistem sosial, ekonomi, dan ketidakmerataan pendidikan; kelas sosial sebagai
penjelasan sosial dan pendidikan secara heuristik; dan analisis budaya yang menemani
sistem kapitalis dapat dijadikan sumber praktik-praktik neo-Marxis dengan pedagogi
kritis. (hal. 5)
Kemudian Anyon berangkat pada analisis kedua: analisis relasi kelas sosial sebagai
penjelasan atas dimensi sosial dan pendidikan. Dalam pembahasannya, Anyon lebih
banyak menggunakan teori-teori neo-Marxis seperti analisis hegemoni Antonio Gramsci.
Setelah kapitalis diyakini sebagai kelas yang dominan yang didasari atas ketidakadilan,
selanjutnya demi menopang eksistensinya, kapitalisme melancarkan serangan-serangan
2/10
yang hegemonik. Caranya beragam, mulai dari yang represif, persuasif hingga adiktif
(Nuryatno:2008). Dan pada tahap tertentu, karena gerilya-nya, upaya hegemonik
tersebut bisa menjadi sebuah kewajaran bagi kelompok minor.
Semisal, anggapan bahwa dengan pendidikan tinggi berkualitas dan mahal, kita akan
mendapat kerja yang strategis, pada akhirnya hanya menghasilkan logika permisif:
bukan mempertanyakan kenapa biaya menjadi mahal, kenapa akses menuju pendidikan
semakin runcing, tapi lebih mengarah kepada tindakan menyelamatkan diri dalam
mekanisme kapitalisme.
‘We have no choice but to “start where we are” and use whatever means we have a hand
in the struggle against exploitation and subordination’ (hal.14).
Mencontoh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (lih. Schooling in Capitalist America: 1976),
sejak 1980-an Anyon mulai menulis dengan keyakinan bahwa kondisi ketimpangan
pendidikan jelas disebabkan oleh distribusi ekonomi yang tidak merata. Selain itu, ada
korelasi langsung antara proses pembelajaran, pengalaman murid, dan kemampuan
yang didapat murid di sekolah dengan masa depan murid yang dicirikan dari pekerjaan
yang diperoleh murid kelak.
3/10
Dalam Bab 1 Marx and Education, Anyon mengemukakan temuan-temuan penelitiannya
yang telah ia lakukan sejak 1970-an terhadap lima kelas lima di Sekolah Dasar dengan
latar belakang ekonomi yang berbeda; dua sekolah kelas pekerja; satu sekolah kelas
menengah; satu sekolah kelas profesional; dan satu sekolah elit eksekutif. Walau secara
prosedural kelima sekolah tersebut sama, tetapi Anyon mendapati fakta bahwa masing-
masing sekolah merepresentasikan kelas sosial dalam pembelajaran dan konsepsi
pengetahuannya. Dari perbedaan tersebut tercermin pekerjaan-pekerjaan yang akan
dan bisa murid lakoni di masa depannya.
Fenomena ini tercermin dengan kuat pada pelajaran matematika. Ada satu kejadian di
mana guru menyuruh untuk membuat sebuah diagram dengan membuat garis, lalu
membuat nomor pada tiap titik, dan kemudian menghubungkan antar titik yang dibuat.
Saat itu ada satu gadis yang menyela guru tersebut, dimana mengatakan bahwa ia
dapat membuat diagram tersebut lebih cepat dari langkah-langkah yang diberitahu si
guru. Si guru kemudian marah “No, you don’t; you don’t even know what i’m making yet. Do
this way, or it’s wrong,’ bentak guru tersebut (hal. 24). Di sekolah kelas pekerja ini, Anyon
juga banyak menemukan guru yang berkata dan bertindak kasar kepada murid untuk
membuat disiplin kelas.
Dengan cara menghapal, ketiadaan apresiasi terhadap murid, dan kontrol disiplin yang
ketat, sekolah kelas pekerja memang merepresentasikan mekanisme kerja dari buruh-
buruh murah. Dan murid pun dipersiapkan untuk menjadi buruh murah selanjutnya.
Di sekolah kelas menengah, nilai jadi tolak ukur murid. Murid dipacu untuk untuk
mendapat nilai bagus ketimbang sekolah kelas pekerja yang lebih mengutamakan cara-
cara prosedural. Walau tidak seketat sekolah kelas pekerja, guru masih menerapkan
kontrol. Malah arahan-arahan guru membuka sedikit ruang bagi murid untuk
berekspresi, walau tidak diutamakan.
Nilai–nilai murid pada sekolah kelas menengah diyakini berisi informasi, fakta, dan
pengetahuan. Makanya mendapat nilai tinggi menjadi tujuan untuk kemudian
diakumulasikan demi mendapat perolehan-perolehan yang menguntungkan bagi murid
kelak di kemudian hari; seperti mendapatkan pekerjaan dan akses masuk ke perguruan
tinggi. 00000Proses pembelajaran tersebut, kata Anyon, juga berpengaruh pada
kebutuhan kelas pekerja menengah. Yakni dengan pemberian sedikit ruang untuk
mengambil keputusan, pemahaman terhadap konsep, dan dapat dinilai secara numerik.
Di sekolah kelas profesional, murid diberi ruang bebas untuk mencipta ide, dan konsep-
konsep baru. Tugas-tugasnya berupa hasil buah pikir dan ekspresi individual. Murid
diminta untuk menjelajah lebih jauh konsep yang sudah ada ditambah imajinasinya.
4/10
Tugasnya bisa berupa tulisan atau bentuk kerajinan tangan.
Dalam mengontrol kelas, guru lebih longgar terhadap murid. Guru biasa bernegosiasi
dengan murid dalam mengambil keputusan. Kemampuan negosiasi ini kelak dibutuhkan
murid dalam pekerjaannya, seperti konsultan, desainer, pemilik media yang banyak
melibatkan kreatifitas dan pengambilan keputusan.
Di sekolah elit profesional, murid dituntut untuk lebih dari sekadar berekspresi, yakni
untuk memiliki kemampuan analisis intelektual. Murid secara berkelanjutan diminta
untuk menanggapi sebuah masalah, membuat produk intelektual yang logis dan
memiliki nilai akademis. Tujuan utama dari menganalisis masalah tersebut adalah untuk
mengonsep aturan yang mencakup banyak elemen, yang kemudian digunakan untuk
mengatasi masalah tersebut.
Di dalam kelas murid punya otonomi penuh, mereka bebas melakukan apapun. Para
guru selalu berpesan bahwa murid harus bisa mengontrol dirinya sendiri atas dasar
aturan rasional dan disiplin berpikir. Dengan kemampuan tersebut, murid kelak
diharapkan mampu menjadi stakeholder yang memiliki kontrol terhadap diri sendiri serta
keharusan mengendalikan orang lain dalam sistem yang dibuat dengan tanggung jawab.
Dari temuan di lima sekolah tersebut, Anyon makin memperjelas bahwa kemampuan,
keahlian, dan ilmu pengetahuan yang didapat pada sekolah berkorelasi langsung
dengan kebutuhan ekonomi kapitalisme. Sayangnya, berdasarkan klasifikasi tersebut
muncul diskriminasi kelas sosial yang makin ekstrim.
Terhadap kemunduran itu, Kamar dagang dan industri Amerika menyalahkan sistem
pendidikan di Amerika yang tidak bisa menciptakan Manusia Amerika yang mampu
berkompetisi secara global. Laporan A Nation at Risk: The Imperative for Educational
Reform (http://www.ed.gov/pubs/NatAtRisk) menyimpulkan bahwa jika pekerja memiliki
aspek kognitif dan kemampuan teknis yang lebih baik bisnis Amerika akan lebih
kompetitif.
Newark sendiri pada pertengahan 1990-an memunyai banyak keluarga miskin, dan jadi
daerah konsentrasi kemiskinan. Kebanyakan sekolah di sana juga merupakan sekolah
miskin dengan 78 persen murid berasal dari keluarga berpendapatan rendah, dan
didominasi 80-85 persen orang kulit hitam dan latin. Padahal, pada awal abad 20,
Newark adalah kota industri terkemuka.
Pada awal 1930-an ekonomi dan perubahan sosial di Newark menciptakan sistem
sekolah yang muridnya mayoritas berasal dari kulit putih, karena jumlah sekolah tidak
lagi mampu menampung kelas menengah. Sementara investasi terhadap kota dan
masyarakat menurun.
Kedua, ada hubungan langsung antara kontur dan nasib sekolah Newark dengan
ekonomi dan transformasi kota. Pada 1930-an, berbagai kebijakan Negara bagian
maupun Amerika berkontribusi atas penipisan ekonomi Newark. Misalnya, peningkatan
pajak properti yang menyebabkan perpindahan industri-industri dari Newark. Selain itu,
kelas menengah juga mulai bergerak ke pinggiran kota.
Ketiga, Newark kemudian menjadi daerah yang minim dari investasi ekonomi, dan
ditambah kebijakan pemerintah yang tidak menyampingkan konteks sosial Newark.
Sempat mendapat angin segar dari kebijakan One Man One Vote yang merevisi prosedur
voting untuk mengisi jajaran pemerintah bagian sehingga kota memiliki representasi
yang lebih besar. Namun, perpindahan kelas menengah ke pinggiran kota segera
mendominasi hasil suara, dan kota kembali kehilangan suara.
Kondisi isolasi politik kota kemudian berkontribusi pada penurunan pendanaan sekolah
kota secara nasional. Makanya, Newark pada 1961 mulai dijadikan destinasi bagi orang-
orang kulit hitam miskin untuk hidup, yang kemudian malah mendominasi dan
6/10
menjadikan Newark sebagai daerah gettoisasi. Sekolah Newark kemudian dibanjiri orang
kulit hitam dengan dana pendidikan yang minim.
Dalam Bab 3, Anyon mengartikulasikan kritiknya atas dua kebijakan tersebut. Pertama,
untuk beberapa dekade terakhir, pendidikan dan kemampuan yang lebih tinggi tidak
serta merta mendapatkan upah yang tinggi. Pekerja Amerika kini lebih produktif dari
yang pernah ada, karena mereka telah mendapat pendidikan dan memiliki kempampuan
teknis yang lebih tinggi, tapi upah mereka makin lama makin menurun. (hal. 69)
Hal ini dimulai dari dekade awal 2000-an, ketika pemulihan pengangguran justru
menunjukkan polarisasi kelas sosial yang makin runcing. Pekerjaan yang disediakan
hanya pekerjaan berupah murah dengan beban kerja lebih tinggi. Keluarga rendah mau
tidak mau menerimanya, karena selepas resesi ekonomi, mereka benar-benar tidak
memiliki apapun. Sementara pertumbuhan dari hasil produksi buruh berupah murah ini
malah membawa keluarga kaya makin menuju puncak, yang secara dramatis
meningkatkan ketidakmerataan pendapatan.
7/10
makin diperparah oleh kebijakan pemotongan pajak pendapatan dari Presiden Bush
bagi kelompok pengusaha, yang lebih rendah ketimbang kelompok menengah dan
bawah (lih. The State of Working America: 2009)
Dengan kemampuan yang relatif tinggi dan jam kerja yang ditambah, pekerja tingkat
menengah dan rendah telah meningkatkan produktifitas perusahaan, namun mereka
tidak mendapatkan upah yang meningkat sebagai proses produktifitas yang meningkat.
Kedua, fakta bahwa pekerjaan di Amerika yang justru sangat sedikit dibayar tinggi karena
kemampuan kognitif dan teknis. Pekerjaan-pekerjaan dalam ekonomi Amerika selama
beberapa dekade terakhir hanya memproduksi pekerjaan dengan upah rendah.
Pada 2005 Anyon mendapati bahwa 77 persen pekerjaan yang diproyeksikan ada pada
dekade mendatang akan berupah rendah. Hanya kurang lebih seperempat kesempatan
pekerjaan yang menyediakan gaji di atas 26.000 dollar setahun (hal.71). Hal ini didukung
oleh beberapa penelitian yang dilakukan sejak 2000-2006, yang berkesimpulan bahwa
‘pekerjaan yang layak’ adalah yang berpendapatan minimum 17 dollar per-jam, serta
memiliki asuransi kesehatan dan uang pensiun. Sementara pada 2006, hanya 23 persen
masyarakat yang memiliki ‘pekerjaan yang layak.’
Padahal, di satu sisi akses terhadap pendidikan, khususnya pendidikan tinggi telah
meningkat dari yang pernah ada. Sejak 1979 ada peningkatan lebih dari dua per tiga,
atau sekitar 70 persen masyarakat yang mengenyam pendidikan tinggi pada 2008.
Masyarakat sebenarnya lebih terdidik, namun tetap miskin karena memang tidak
memiliki kesempatan atas pekerjaan berupah tinggi. Buat Anyon, ‘education did not
create the problem of wide-spread poverty and low-wage work, and education will not solve
the problem.’ (hal. 75)
Kemudian, dalam proses pembelajaran tersebut, harus ada pergerakan dari ruang kelas
menuju tempat masyarakat berpenghasilan rendah, orang hitam dan Latin, serta imigran
tinggal lainnya. Dengan kata lain, tujuannya untuk meningkatkan keterlibatan murid
pada kontestasi ruang publik yang nyata. Hal ini, buat Anyon, berguna untuk
mengaransemen protes-protes sosial dari peserta didik yang telah memiliki kesadaran
politik. Ketidakmerataan gaji, dan akses lulusan peguruan tinggi untuk mendapat gaji
yang tinggi harus dilihat sebagai pintu masuk menuju kesetaraan. (hal. 97)
8/10
Kedua, Anyon berusaha mendorong sekolah menjadi pusat gerakan untuk transformasi
sosial. Guru bisa menggunakan orang tua, murid, sebagai agen perubahan. Makanya
pendidik yang kritis kini punya peran baru dalam proses pendidikan, yakni membantu
murid untuk menjelaskan relasi yang membuat kondisi ini menjadi tidak adil. Pendidik
yang kritis menjadi kunci bagaimana membangun sekolah sebagai ruang-ruang yang
menjelaskan keadilan sosial itu seperti apa (hal. 99).
Ketiga, selain itu, para aktivis sosial turut diikutsertakan dalam memperluas gerakan
tersebut. Dari semua elemen tersebut, kegiatan seperti diskusi, kampanye, dan
provokasi mengenai kepentingan bersama digencarkan. Keterlibatan langsung dari
elemen tersebut di dalam aksi-aksi protes yang nyata juga sangat diharapkan. Di sini,
pedagogi kritis memiliki peran untuk menjadi pedoman dalam proses pendidikan,
pendidik yang kritis harus memberikan pengalaman langsung atas kerja-kerja keadilan
sosial yang lebih luas. Walau Anyon tidak berharap banyak atas hasil dari gerakan
tersebut, tetapi buatnya, ini akan berguna, khususnya bagi murid, untuk menjadi bekal
dalam kerja-kerja perubahan sosial selanjutnya. (hal. 104)
Catatan Kritis
Sebenarnya Anyon sudah menggunakan Marx dengan baik buat menganalisis medan
pendidikan sebagai penunjang konfigurasi kapitalisme. Namun, secara bersamaan
Anyon juga telah meninggalkan Marx. Pertama, pembacaan mengenai keadilan sosial
hanya dimaknai dari pemerataan distribusi ekonomi, dalam hal ini gaji atau upah.
Artinya, saya menganggap Anyon sendiri memisahkan ekonomi hanya untuk ekonomi.
Sementara, ia tidak bermaksud menghapus kelas sosial (borjuis-proletar) sebagaimana
konklusi akhir Marx.
Kedua, ia juga telah jauh meninggalkan Marx dengan mengklaim bahwa pendidik yang
kritis adalah agen yang revolusioner. Di satu sisi, Anyon juga tidak begitu menjelaskan
bagaimana seorang pendidik bisa bersifat revolusioner, atau paling tidak kritis. Padahal
sebelumnya, Anyon mengafirmasi bahwa institusi pendidikan telah masuk dalam logika
kapitalisme dengan geraknya dari sektor publik ke sektor privat, yang mana proses
pendidikan hanya dimaknai, apakah ia menghasilkan untung atau tidak bagi kapitalisme
(hal.75).
Ketiga, gerakan yang diusung Anyon sebenarnya berkarakter reformatif, tidak tidak
radikal. Di sini, ia mencontoh model gerakan-gerakan sipil di Amerika Serikat pada 1940-
an mengenai isu-isu kesetaraan orang kulit hitam dalam akses terhadap fasilitas-fasilitas
publik (hal. 98). Jika ia setia dengan analisa Marxis, maka ketidakadilan dan kesenjangan
pendidikan, hanya mungkin dihapuskan ketika kapitalisme telah berhasil dienyahkan.
Anggar Septiadi, mahasiswa sosiologi fakultas ilmu sosial UNJ, Pemimpin Umum Lembaga
Pers Mahasiswa DIDAKTIKA, UNJ
9/10
Bacaan tambahan:
Anyon, Jean. Ghetto Schooling: A Political Economy of Urban Educational Reform. Teachers
College Press, New York 1997
Freire, Paulo. Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan dan Pembebasan. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta. 2007
Marx, Karl. The Portable Karl Marx diedit Eugene Kamenka. New York. 1983
10/10