Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut al-Syabani (Jalaludin, 2012) filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang
teratur, yang menjadikan filsafat sebagai jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan
memadukan proses pendidikan. Artinya, filsafat pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai
dan maklumat-maklumat yang diupayakan untuk pengalaman kemanusiaan merupakan
faktor yang integral. John Dewey (Jalaudin, 2012) filsafat pendidikan merupakan suatu
pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik yang menyangkut daya pikir
(intelektual) maupun daya perasaan (emosional), menuju tabiat manusia.
Filsafat pendidikan merupakan landasan ilmiah bagi pelaksanaan pendidikan yang
terus berkembang secara dinamis. Sedangkan filsafat pendidikan merupakan landasan
filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan, apakah ia
guru ataukah seorang sarjana pendidikan. Membekali mereka dengan pengetahuan
dimaksud di atas berarti memberi dasar yang kuat bagi kesuksesan profesi mereka.
Ilmu pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam pbidang
pendidikan, karena itu bersifat filosofis. Sedangkan, filsafat pendidikan merupakan
aplikasi suatu analisis filosofis terhadap bidang pendidikan. Keberadaaan filsafat bagi
ilmu pengetahuan bukan bersifat insidentil, melainkan filsafat itu merupakan teori umum
dan landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan.
Terdapat berbagai macam filsafat pendidikan yang ada dan dua diantaranya adalah
filsafat pendidikan humanisme dan Pancasila. Dalam makalah ini akan dibahas secara
mendalam mengenai filsafat pendidikan humanisme dan Pancasila agar pemahaman baik
penulis maupun pembaca mengenai filsafat pendidikan humanisme dan Pancasila
semakin baik.
B. Rumusan Masalah
1. Siapa saja tokoh aliran humanistik dan apa teorinya?
2. Bagaimana prinsip teori humanistik dalam pendidikan?
3. Bagaimana implikasi teori humanistik dalam pendidikan?
4. Apa yang dimaksud filsafat Pancasila?
5. Bagaimana hubungan Pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat
Pancasila?
6. Bagaimana filsafat pendidikan Pancasila dalam tinjauan ontologi, epistimologi,
dan aksiologi?
7. Bagaimana penerapan filsafat pendidikan Pancasila dalam pendidikan?
C. Tujuan
1. Mengetahui tokoh-tokoh aliran humanistik beserta teorinya.
1
2. Mengetahui prinsip teori humanistik dalam pendidikan.
3. Mengetahui implikasi teori humanistik dalam pendidikan.
4. Mengetahui tentang filsafat Pancasila.
5. Mengetahui hubungan Pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari filsafat
Pancasila.
6. Mengetahui filsafat pendidikan Pancasila dalam tinjauan ontologi, epistimologi,
dan aksiologi.
7. Mengetahui penerapan filsafat pendidikan Paancasila dalam pendidikan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tokoh-Tokoh Filsafat Pendidikan Humanistik dan Teorinya


Humanistik merupakan aliran yang berkembang selama zaman Renasissance Eropa dan Reformasi
Protestan. Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah memanusiakan manusia. Proses belajar
dianggap berhasil jika si pelajar telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus bersaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut
pandang pengamatnya. (Sugihartono, Fathiyah, Harahap, Setiawati, & Nurhayati., 2015:116)
Tujuan utama para pendidik ialah membantu siwa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu
masing-masing individu mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu
dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Para ahli humanistik melihat adanya
dua bagian pada proses belajar, yaitu sebagai berikut.
1. Proses pemerolehan informasi baru.
2. Personalisasi informasi pada individu.
Terdapat tiga tokoh penting yang mendukung teori humanistik. Tokoh-tokoh tersebut di
antaranya sebagai berikut.
1. Arthur Combs (1912-1999)
Arthur Combs mencetuskan teori tentang pembelajaran bermakna (meaningful learning).
Belajar dapat terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Meaning (makna atau arti) adalah konsep
dasar yang sering digunakan. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak
relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa Matematika atau Sejarah bukan karena bodoh
tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting
mereka harus mempelajarinya.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa
mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal
arti atau makna tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu melainkan individulah yang
memberikan arti pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana guru dapat
membawa siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan
menghubungkannya dengan kehidupannya (Gayne & Briggs dalam Sugihartono, dkk, 2015:
117).
Combs menggambarkan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua buah lingkaran (besar
dan kecil) yang bertitik pusat satu. Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan
lingkaran besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri
makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit
hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

3
2. Abraham Maslow (1908)
Teori Maslow didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri individu terdapat dua hal, yaitu.
a. Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
b. Kekuatan untuk melawan atau menolak hambatan untuk berkembang.
Individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hierarkis seperti
terdapat pada gambar berikut ini.

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia ke dalam tujuh hierarki. Bila


seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia
dapat menginginkan kebutuhan di atasnya (kebutuhan akan rasa aman) dan seterusnya.
Jika kebutuhan ini telah terpenuhi orang akan kembali mencari kebutuhan yang lebih
tinggi lagi, dan akhirnya self-actualization. Hierarki kebutuhan menurut Maslow ini mempunyai
implikasi yang penting dan harus diperhatikan oleh guru pada waktu mengajar. Maslow
menyatakan bahwa perhatian dan motivasi tidak mungkin berkembang jika kebutuhan dasar
siswa belum terpenuhi (Sugihartono, Fathiyah, Harahap, Setiawati, & Nurhayati., 2015: 119)
Menurut keyakinannya (Maslow), manusia harus diselidiki sebagai suatu totalitas, sebagai
suatu sistem. Setiap bagian tidak dapat dipisahkan dari bagian lainnya, dan jika bagian-bagian itu
tidak kita pelajari seluruhnya sebagai suatu kesatuan, maka jawaban-jawaban yang kita peroleh
akan tidak tuntas. (Goble, 1987: 45).
Maslow mencetuskan gagasan tentang aktualisasi diri. Secara bebas Maslow melukiskan
aktualisasi diri sebagai penggunaan dan pemanfaatan secara penuh bakat, kapasitas-kapasitas,
potensi-potensi, dsb, Orang yang teraktualisasikan dirinya memenuhi dirinya dan melakukan
yang terbaik yang dapat dilakukannya. Pribadi yang teraktualisasikan dirinya merupakan contoh
tepat spesies manusia, wakil kelompok yang kemudia disebut olehnya sebagai pucuk yang
tumbuh mekar (the growing tip). (Goble, 1987: 48). Ciri pribadi yang teraktualisasi adalah
kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, apa adanya dan bukan menurutkan keinginan
4
mereka. Proses aktualisasi adalah perkembangan atau penemuan jatid iri dan mekarnya potensi
yang ada atau yang terpendam. Maslow mengistilahkan aktualisasi diri sebagai menjadi
manusia secara penuh.
Belajar adalah mengerti dan memahami siapa diri kita, bagaimana menjadi diri sendiri, apa
potensi yang kita miliki, dan ke arah mana perkembangan kita akan menuju. Belajar di satu sisi
adalah memahami bagaimana setiap orang berbeda dengan yang lainnya, dan di sisi lain adalah
memahami bahwa setiap orang menjadi manusia sama seperti manusia yang lain.
Teori Maslow ini menghendaki suatu bentuk pendidikan baru yang memberi tekanan lebih
besar pada pengembangan potensi seseorang, terutama potensinya untuk menjadi manusiawi,
memahami diri dan orang lain serta berhubungna dengan mereka, mencapai pemuasan atas
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, tumbuh ke arah aktualisasi diri. Pendidikan ini akan
membantu orang menjadi pribadi yang sebaik-baiknya sesuai kemampuannya. Pengajaran di
kelas harus dikaitkan dengan kehidupan. Siswa harus belajar tumbuh, mempelajari perbedaan
antara yang baik dan yang buruk, yang boleh dan tidak boleh, serta yang harus dilakukan dan
dilarang.
3. Carl Rogers (1902)
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
(1) kognitif (kebermaknaan), dan
(2) experiental (pengalaman atau signifikansi).
Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiential learning menunjuk
pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar ini mencakup keterlibatan
siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas
pada siswa.
Aspey dan Roebuck (Sugihartono, 2007) menyatakan bahwa yang terpenting dalam proses
pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaaran,
yaitu:
1) Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus
belajar hal-hal yang tidak ada artinya.
2) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
3) Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai
bagian yang bermakna bagi siswa.
4) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
B. Prinsip Teori Filsafat Pendidikan Humanistik
Carl Rogers mengemukakan 10 prinsip dasar humanistik dalam bukunya yag berjudul
Freedom To Learn. Prinsip-prinsip tersebut di antaranya adalah sebagai berikut (Sugihartono,
2012).
1. Manusia mempunyai belajar alami.

5
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid memiliki relevansi
dengan maksud-maksud sendiri.
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam pesepsi mengenai dirinya sendiri
dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman ancaman dari luar semakin kecil.
5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
6. Belajar bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
7. Belajar akan lancar jika siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung
jawab dalam proses itu.
8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
inetelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, dan kreativitas lebih mudah dicapai
terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengevaluasi diri serta tidak
terlalu memikirkan penilaian orang terhadap diri kita.
10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap pengalaman
dan penyatuannya ke dalam diri sendiri (terinternalisasi) mengenai proses perubahan
itu.

C. Penerapan Filsafat Pendidikan Humanistik dalam Pendidikan


Penerapan teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses
pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam
pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para peserta didik sedangkan guru
memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan peserta didik.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada peserta didik dan mendampingi peserta didik
untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Peserta didik berperan sebagai pelaku utama (stundent center) yang memaknai proses
pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan peserta didik memahami potensi diri,
mengembangkan potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif. Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator. Berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator,
sebagai berikut.
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi
kelompok, atau pengalaman kelas

6
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan
di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing peserta didik untuk
melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan
pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling
luas dan mudah dimanfaatkan para peserta didik untuk membantu mencapai tujuan
mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima
baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
peserta didik yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu
andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta didik
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. (Dakir, 1993: 65).
Salah satu model pendidikan terbua mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif
yang dikembangkan Roggers. Terdapat beberapa ciri-ciri guru yang fasilitatif yaitu sebagai
berikut.
1. Merespon perasaan peserta didik.
2. Menggunakan ide-ide peserta didik untuk melaksanakan interaksi yang sudah
dirancang.
3. Berdialog dan berdiskusi dengan peserta didi.
4. Menghargai peserta didik.
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan.
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir peserta didik (penjelasan untuk mementapkan
kebutuhan segera dari peserta didik.
7. Tersenyum pada peserta didik. (Syaodih, 2007: 152)
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan,
pertanggungan jawaban sosial dan bahan pembelajaran yang khusus, mereka percaya bahwa

7
masalah ini tidak dapat di serahkan begitu saja kepada peserta didik. Yelon dan Weinstein
(1977) merangkumkan implikasi konsep-konsep teori belajar Humanisme terhadap
pendidikan. Implikasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Individualisasi: perlakuan terhadap individua didasarkan atas kebutuhankebutuhan
individual dan kepribadian peserta didik.
2. Motivasi: bersifat intrinsik yaitu berdasarkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan
individual peserta didik.
3. Metodologi: menggunakan metode/pendekatan proyek yang terapadu, menekankan
pada studi-studi sosial atau mempelajari kehidupan sosial.
4. Tujuan Kurikuler: mengutamakan pada pengembangan sosial, keterampilan
berkomunikasi, kemampuan untuk tanggap terhadap kebutuhan kelompok dan
individu.
5. Bentuk pengelolaan kelas: berpusat pada peserta didik, peserta didik bebas memilih
sedangkan guru/pendidik berperan untuk membantu dan bukan untuk mengarahkan.
6. Usaha mengefektifkan mengajar : pengajaran disusun dalam bentuk topiktopik yang
terpadu berdasarkan kebutuhan peserta didik secara perorangan.
7. Partisipasi peserta didik: mengutamakan partisipasi aktif peserta didik.
8. Kegiatan belajar peserta didik: Mengutamakan belajar melalui pemahaman dan
pengertian, bukan hanya memperoleh pengetahuan.
9. Tujuan umum: mencapai kesempurnaan diri dan pemahaman.
Tujuan pembelajaran pada teori ini lebih kepada proses belajarnya daripada hasil
belajarnya. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah:
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas.
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jujur:,
jelas, dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar inisiatif
sendiri.
4. Mendorong siswa untuk peka, berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara
mandiri.
5. Siswa didoring untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukan apa yang diinginkan dan menanggung risiko dari perilaku yang
ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak
menilai, secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas
segala risiko perbuatan atau proses belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya.

8
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa.
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterapkan pada materi-
materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap,
dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa
merasa senang, bergairah, berinisiatif alam belajar dan terjadi perubahan pola pikir dan pola
pikir atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak
terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab
tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang
berlaku.

D. Filsafat Pendidikan Pancasila


Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting
untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.
Oleh karena itu, pendidikan diusahakan dan diselenggrakan oleh pemerintah sebagai suatu
sistem pengajaran nasional, sebagimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 31 ayat 2.
Pendidikan selain sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, sosial budaya, juga
merupakan sarana untuk mewariskan ideologi bangsa kepada generasi selanjutnya yang
hanya dapat dilakukan melalui pendidikan. Menurut Tadjab (Jalaludin, 2011) suatu bangsa
menjadi kuat, perkasa, dan berjaya dengan dengan sistem pendidikan yang kuat, suatu
bangsa dengan sistem pendidikan yang lemah akan menjadi tidak berdaya.
Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi bangsa yang dianut.
Oleh karena itu, sistem pendidikan pendidikan nasional Indonesia dijiwai, didasari dan
mencerminkan identitas Pancasila. Sementara, cita dan karsa bangsa kita, tujuan nasional
dan hasrat luhur rakyat Indonesia tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai
perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Filsafat pendidikan Pancasila merupakan aspek
rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional. Tegasnya, tidak ada sistem pendidikan
nasional tanpa filsafat pendidikan.
Menurut UU No.2 Tahun 1989 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yakni: pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan, keterampilan,
kesehatan jasmani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab
kemasyarakatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sistem Pendidikan Nasional
9
tidaklah mungkin dijiwai dan didasari oleh sistem filsafat pendidikan yang lain selain
Pancasila.

E. Hubungan Pancasila dengan Sistem Pendidikan Ditinjau dari Filsafat Pendidikan


Pancasila merupakan dasar negara bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain.
Filsafat adalah cara berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh untuk mencari
kebenaran sesuatu. Sementara itu, filsafat pendidikan adalah pemikiran yang mendalam
tentang kependidikan berdasarkan filsafat.
Apabila dihubungkan anatar fungsi Pancasila dengan sistem pendidikan ditinjau dari
filsafat pendidikan maka dapat dijabarkan bahwa Pancasila adalah pandangan hidup bangsa
yang menjiwai sila-silanya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menerapkan sila-sila
Pancasila tersebut, diperlukan pemikiran yang sungguh-sungguh mengenai bagaimana nilai-
nilai Pnacasila itu dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, tentunya pendidikanlah yang berperan
utama.
Misalnya, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Di dalam pelaksanaan
pendidikan, tentunya sila pertama ini tentunya akan diberika kepada siswa sebagai pelajaran
pokok yang mesti diamalkan. Oleh karena itulah s ejak Sekolah Dasar hingga Perg uruan
Tinggi pelajaran Pancasila masih diberikan, tak lain agar nilai-nilai Pancasila benar-benar
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

F. Filsafat Pendidikan Pancasila Dalam Tinjauan Ontologi, Epistimologi, dan


Aksiologi
1. Ontologi
Ontologi adalah bagian dari filsafat yang menyelidiki tentang hakikat yang ada.
Menurut Muhammad Noor Syam (Jalaluddin, 2012: 173), ontologi kadang disamakan
dengan metafisika, sebelum manusia menyelidiki yang lain, manusia berusaha
mengerti hakikat sesuatu. Manusia dalam interaksinya dengan semesta raya,
melahirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis seperti apakah sesungguhnya realita yang
ada itu. Jadi, ontologi adalah cabang dari filsafat yang persoalan pokoknya apakah
keyataan atau realita itu. Rumusan-rumusan tersebut identik dengan membicarakan
tentang hakikat ada. Hakikat ada dapat berarti tidak apa-apa, karena menunjuk pada
hal umum (abstrak umum universal). Menurut Sutrisno (Jalaluddin, 2012: 173)
pengertian ini baru menjadi konkret kalau diberikan sesuatu dibelakangnya, misalnya
ada orang.
10
Demikian pula halnya dengan Pancasila sebagai filsafat, ia mempunyai isi yang
abstrak, umum, dan universal. Yang dimaksud isi yang abstrak disini bukannya
Pancasila sebagai filsafat yang secara operasional telah diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari, melainkan sebagai pengertian pokok yang digunakan untuk merumuskan
masing-masing sila.
Pancasila terdiri dari sila-sila yang mempunyai awalan dan juga akhiran, yang
dalam tata bahasa membuat abstrak, dari kata dasarnya yang artinya meliputi hal yang
jumlahnya tidak terbatas dan tidak berubah, terlepas dari keadaan, tempat dan waktu.
Dengan kata lain, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang
menjiwai sistem pendidikan nasional tidak bisa dipisahkan dengan keadaan yang ada,
karena pendidikan nasional itu dasarnya adalah Pancasila dan UUD 1945. Jadi, ini
merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam kenyataannya, Pancasila dapat dilihat dari
penghayatan dan pengalaman kehidupan sehari-hari. Dan bila dijabarkan menurut
sila-sila Pancasila itu adalah sebagai berikut.
a. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila pertama ini menjiwai sila-sila yang lainnya. Di dalam sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dengan sila pertama ini, kita diharapkan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang juga merupakan bgian dari sistem pendidikan nasional. Ini sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional, yaitu untuk menjadikan manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Allah SWT. Karena itu, di lingkungan keluarga, sekolah, dan di
masyarakat ditanamkan nilai-nilai keagamaan dan Pancasila.
Sebagai contoh, dalam kurikulum telah banyak ditemukan pelajaran yang
bernilaikan Pancasila. Dalam era globalisasi sekarang ini, dengan kemajuan yang
pesat, kita dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang rumit. Namun,
dengan berpedoman pada Pancasila, kita mampu menghadapinya, disamping itu
kita harus memiliki imtaq. Kita percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
antar pemeluk agama, tidak memaksakan suatu agama pada orang lain. Semua ini
tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan pengamalan dari sila-sila
Pancasila.
b. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

11
Manusia yang ada di muka bumi ini mempunyai harkat dan martabat yang
sama, yang diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan fitrahnya sebagai
hamba Allah SWT. Darmodiharjo (Jalaluddin, 2012: 175).
Pendidikan tidak membedakan usia, agama, dan tingkat sosial budaya dalam
menuntut ilmu. Setiap manusia mempunyai kebebasan dalam hal menuntut ilmu,
mendapat perlakuan yang sama, kecuali tingkat ketakwaan seseorang. Dan oleh
karena yang dibangun adalah masyarakat Pancasila, maka pendidikan harus
dijiwai Pancasila sehingga akan melahirkan masyarakat yang susila,
bertanggungjawab, adil dan makmur, baik spiritual maupun materiil dan berjiwa
Pancasila. Dengan demikian, sekolah harus mencerminkan sila-sila dari Pancasila.
c. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia
Persatuan merupakan kunci kemenangan. Dengan persatuan yang kuat kita
dapat menikmati alam kemerdekaan. Indonesia secara geografis membentang dari
95-141 BT dan 6-11 LS. Pancasila dan UUD 1945 serta kecintaan terhadap tanah
air menghapus perasaan kesukuan yang sempit dan memotivasi untuk penyebaran
dan pemerataan pembangunan yang kesemuanya akan menghalangi pikiran-
pikiran yang berbau separatisme atau rasialisme, menurut Aziz (Jalaluddin, 2012:
176). Dalam rangka pikiran seperti ini, maka cita-cita merupakan ideologi.
Sila ketiga ini tidak membatasi golongan dalam belajar. Ini berarti, bahwa
semua golongan dapat menerima pendidikan, baik dari golongan rendah maupun
golongan yang tinggi, tergantung kepada kemampuannya untuk berpikir, sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat 1.
d. Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan
Sila keempat ini sering dikaitkan dengan kehidupan berdemokrasi. Dalam hal
ini, menurut Djamal, demokrasi sering juga diartikan sebagai kekuasaan ada di
tangan rakyat. Sebagai contoh, dalam memilih seorang pemimpin di desa,
lembaga untuk menyalurkan kehendak untuk kepentingan bersama melalui
musyawarah (Jalaluddin, 2012: 177). Bila dilihat dari dunia pendidikan, maka hal
ini sangat relevan, karena menghargai pendapat orang lain demi kemajuan. Di
samping itu, juga sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 yang menyatakan kebebasan
untuk mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulis. Jadi, dalam
menyusun tujuan pendidikan, diperlukan ide-ide dari orang lain demi kemajuan
pendidikan.
12
e. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Setiap bangsa di dunia bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan
makmur. Keadilan ini meliputi kebutuhan di bidang materiil dan di bidang
spiritual yang didasarkan pada asas kekeluargaan.
Dalam sistem pendidikan nasional, maksud adil dalam arti yang luas
mencakup seluruh aspek pendidikan yang ada. Adil disini adalah adil dalam
melaksanakan pendidikan, antara ilmu umum dan keagamaan itu seimbang
disamping mengejar iptek, kita juga mengejar imtaq yang merupakan tujuan dari
ibadah. Adil juga dalam arti sempit dikelas, pendidikan tidak boleh membeda-
bedakan siswa, misalnya orang yang berpengaruh atau anak orang kaya lebih
diprioritaskan daripada anak seorang petani. Contoh lain, seorang kepala sekolah
harus adil terhadap bawahannya secara wajar dan sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

2. Epistemologi
Epistemologi adalah studi tentang pengetahuan (adanya) benda-benda.
Epistemologi dapat juga berarti bidang filsafat yang menyelidiki sumber, syarat,
proses berjadinya ilmu pengetahuan, batas validitas dan hakikat ilmu pengetahuan.
Dengan filsafat, kita dapat menentukan tujuan-tujuan yang akan dicapai demi
peningkatan ketenangan dan kesejahteraan hidup, pergaulan dan berwarga negara.
Untuk itu, bangsa Indonesia telah menemukan filsafat Pancasila.

a. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa


Pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh
melalui aka] atau panca indra dan dari ide atau Tuhan. Berbeda dengan Pancasila, ia
lahir tidak secara mendadak, tetapi melalui proses panjang yang dimatangkan
dengan perjuangan. Pancasila digali dari bumi Indonesia yang merupakan dasar
negara, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, tujuan atau arah untuk
mencapai cita-cita dan perjanjian luhur rakyat Indonesia (Widjaya dalam jalaludin,
2012). Dalam rangka pikiran seperti ini, maka cita-cita telah merupakan ideologi
Deliar Noer dalam Jalaludin, 2012).
Dengan demikian, Pancasila bersumber dari bangsa Indonesia yang prosesnya
melalui perjuangan rakyat. Bila kita hubungkan dengan Pancasila, maka dapat kita
ketahui bahwa apakah ilmu itu didapat melalui rasio atau datang dari Tuhan.

13
b. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Kepribadian manusia adalah subjek yang secara potensial dan aktif
berkesadaran tahu atas eksistensi diri, dunia, bahkan juga sadar dan tahu bila di
suatu mang dan waktu "tidak ada apa-apa (kecuali ruang dan waktu itu sendiri).
Manusia itu mempunyai potensi atau basis yang dapat dikembangkan. Pancasila
adalah ilmu yang diperoleh melalui perjuangan yang sesuai dengan logika. Dengan
mempunyai ilmu moral, diharapkan tidak lagi kekerasan dan kesewenang-wenangan
manusia terhadap yang lainnya. Tingkat kedalaman pengetahuan merupakan
perwujudan dari potensi rasio dan inteligensi yang tinggi. Proses pembentukan
pengetahuan melalui lembaga pendidikan secara teknis edukatif lebih sederhana.
Komum'kasi antara guru dan siswa berfungsi memperjelas bahan-bahan informasi
untuk menyamakan persepsi yang ditangkap dari berbagai sumber. Iadi, seorang
guru tidak boleh memonopoli kebenaran. Nilai pengetahuan dalam pribadi telah
menjadi kualitas dan martabat kepribadian subjek pribadi yang bersangkutan, baik
secara intrinsik, lebih-lebih secara praktis.
c. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia
Proses terbentuknya pengetahuan manusia merupakan basil dari kerja sama atau
produk huhungan dengan lingkungannya. Potensi dasar dengan faktor kondisi
lingkungan yang, memadai akan membentuk pengetahuan Dalam hal ini, sebagai
contohnya adalah ilmu sosiologi yang mempelajari hubungan manusia yang satu
dengan yang lainnya (IKIP Malang, 1983: 59). Bila ini dihubungkan dengan
Pancasila maka sangat sesuai, karena dalam hubungan antarmanusia itu diperlukan
suatu landasan yaitu Pancasila. Dengan demikian, kita terlebih dahulu mengetahui
ciri-ciri suatu masyarakat dan bagaimana terbentuknya suatu masyarakat.
d. Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Manusia diciptakan Allah Swt. sebagai pemimpin di muka bumi ini untuk
memakmurkan umat manusia. Seorang pemimpin mempunyai syarat untuk
memimpin dengan bijaksana. Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan
memang mempunyai peranan yang besar, tetapi itu tidak menutup kemungkinan
peran keluarga dan masyarakat dalam membentuk manusia Indonesia seutuhnya.
Jadi, dalam hal ini diperlukansuatu ilmukeguruan-untuk mencapai guru yang ideal,
guru yang kompeten. Setiap manusia bebas mengeluarkan pendapat dengan melalui

14
lembaga pendidikan. Setiap ada permasalahan diselesaikan dengan jalan
musyawarah, agar mendapat kata mufakat.
e. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Ilmu pengetahuan sebagai perbendaharaan dan prestasi individu serta sebagai
karya budaya umat manusia merupakan martabat kepribadian manusia (IKIP
Malang, 1983: 63). Dalam arti luas, adil di atas dimaksudkan seimbang antara ilmu
umum dan ilmu agama. Hal ini didapatkan melalui pendidikan, baik itu informal,
formal dan non formal. Dalam sistem pendidikan nasional yang intinya mempunyai
tujuan yang mengejar Iptek dan Imtaq. Di bidang sosial, dapat dilihat pada suatu
badan yang mengkoordinir dalam hal mengentaskan kemiskinan, di mana hal ini
sesuai dengan butir-butir Pancasila. Kita harus menghormati dan menghargai hasil
karya orang lain, hemat yang berarti pengeluaran sesuai dengan kebutuhan.
2. Aksiologi
Aksiologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki nilai-nilai (value). Nilai tidak
akan timbul dengan sendirinya, nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Jadi, masyarakat menjadi wadah timbulnya
nilai. Dikatakan mempunyai nilai, apabila berguna, benar (logis), bermoral, etis dan
ada nilai religius. Dengan demikian, dapat pula dibedakan nilai materiil dan nilai
spiritual. Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara memiliki nilai-nilai:
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Nilai ideal, materiil,
spiritual dan nilai positif dan juga nilai logis, estetika, etis, sosial dan religius. Jadi,
Pancasila mempunyai nilai-nilai tersendiri.
a. Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa
Percaya kepada Allah merupakan hal yang paling utama dalam ajaran Islam. Di
setiap kita mengucapkan kalimah Allah, baik itu dalam shalat, menikahkan orang,
dikumandangkan azan, para dai mula-mula menyiarkan Islam dengan menanamkan
keimanan. Dari segi tempat ibadah, di mana-mana kita jumpai tempat ibadah baik
itu masjid, Ianggar atau musholla. Dilihat dari segi pendidikan, sejak dari tingkat
kanak-kanak sampai perguruan tinggi. diberikan pelajaran agama dan hal ini
merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional.
b. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Dalam kehidupan umat Islam, setiap Muslim yang datang ke masjid untuk
shalat berjamaah berhak berdiri di depan dengan tidak membedakan keturunan, ras

15
dan kedudukan. Di mata Allah sama, kecuali ketakwaan seseorang. Inilah sebagian
kecil contoh dari nilai-nilai Pancasila yang ada dalam kehidupan umat Islam.
c. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia
Islam mengajarkan supaya bersatu dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan,
mengajarkan untuk taat kepada pemimpin. Memang Indonesia adalah negara
Pancasila, bukan negara yang berdasarkan satu agama. Meskipun demikian, warga
negara kita tidak lepas dari pembinaan . dan bimbingan kehidupan beragama untuk
terwujudnya kehidupan beragama yang rukun dan damai. Ketika masa perjuangan
Republik Indonesia, para ulama menfatwakan persatuan berjuang melawan penjajah
adalah perang fisabilillah. Sedangkan di zaman sekarang ini, berjuang yang
merupakan amal saleh adalah apabila diniatkan karena ibadah. Begitu juga dalam
pendidikan, jika kita ingin berhasil, kita harus berkorban demi tercapainya tujuan
yang didambakan. Yang jelas, warga negara punya tanggung jawab untuk
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan ini. Bercerai berai kita runtuh, bersatu
kita teguh!
d. Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/PerwakiIan
Jauh sebelum Islam datang, di Indonesia sudah ada sikap gotong royong di
musyawarah. Dengan datangnya Islam, sikap ini lebih diperkuat lagi dengan
keterangan Al-Quran. Di dalamnya juga diterangkan bahwa dalam hasil
musyawarah dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan
dipertanggungjawabkan secara moral kepada Allah Swt.
e. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Adil berarti seimbang antara hak dan kewajiban. Dalam segi pendidikan, adil itu
seimbang antara ilmu umum dan ilmu agama di mana ilmu agama adalah subsistem
dari sistem pendidikan nasional.
Mengembangkan perbuatan yang luhur, men ghormati hak orang lain, suka
memberi pertolongan, bersikap hemat, suka bekerja, menghargai hasil karya orang
lain dan bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan keadilan sosial.
Dengan berdasarkan butir-butir dari sila kelima ini, kita dapat mengetahui bahwa
nilai-nilai yang ada pada sila kelima ini telah ada sebelum Islam datang. Nilai-nilai
ini sudah menjadi darah daging dan telah diamalkan di Indonesia.
Filsafat Pendidikan Pancasila adalah tuntutan formal yang fungsional dari
kedudukan dan fungsi dasar negara Pancasila sebagai Sistem Kenegaraan Republik
16
Indonesia. Kesadaran memiliki dan mewarisi sistem kenegaraan Pancasila adalah
dasar pengamalan dan pelestariannya, sedangkan jaminan utamanya ialah subjek
manusia Indonesia seutuhnya. Subjek manusia Indonesia seutuhnya ini terbina
melalui sistem pendidikan nasional yang dijiwai oleh filsafat pendidikan Pancasila.

G. Penerapan Filsafat Pendidikan Pancasila terhadap Pendidikan


Makna filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan memiliki konsep bahwa dalam
kependidikan bahwa dalam falsafah Pancasila pendidikan merupakan suatu proses
pembelajaran agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya sendiri sesuai
dengan keinginan dan kemampuan yang dimilikinya. Peserta didik adalah pribadi yang
mempunyai keinginan untuk menjadi sesuatu yang diinginkannya sendirisendiri.
Lembaga pendidikan hanyalah sebuah dorongan yang memfasilitasi peserta didik dalam
mengembangkan kemampuannya dalam bidang akademis maupun non akademis.
Dasar epistemologis Pancasila sebagai sistem filsafat adalah Pancasila merupakan
sumber pengetahuan, sistem pengetahuan, dasar kebenaran pengetahuan, dan cara
mendapatkan pengetahuan. Unsur-unsur tersebut amat berguna untuk memperkokoh
landasan pendidikan. Hal tersebut bisa dikaitkan dengan pendidikan sebagai sebuah studi
yang lebih berorientasi pada penelitian (inquiry oriented) dan pendidikan sebagai sebuah
praktik. Filsafat Pancasila akan berguna untuk menunjang kedua ranah pendidikan
tersebut
Peran filsafat Pancasila terhadap teori-teori pendidkan antara lain: (1) dapat
memberikan arahan pada pengembangan teori-teori pendidikan menjadi ilmu
pendidikan/pedagogik. Suatu praktek pendidikan yang didasarkan pada filsafat Pancasila
akan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. (2) Filsafat Pancasila merupakan suatu
pendekatan dalam memecahkan probleatika pendidikan menyusul teori-teori pendidikan
yang tidak dapat dipecahkan dengan metode ilmiah (3) Dapat memberikan arahan akan
relevansinya dengan dunia nyata. Artinya mengarahkan teori-teori pendidikan tersebut
dapat diterapkan dalam praktek kependidikan sesuai kebutuhan hidup yang berkembang
dalam masyarakat.
Filsafat pendidikan Pancasila mendasari ilmu pengetahuan kontektual milik budaya
bangsa Indonesia yang nilai-nilainya berbeda dengan bangsa lain. Ilmu pengetahuan
kontekstual yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan milik budaya bangsa Indonesia
yang nilai-nilainya berbeda dengan bangsa lain.

17
Berikut adalah beberapa bentuk penerapan konkrit pembelajaran sesuai dengan
filsafat pendidikan Pancasila:
1. Sesuai dengan sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa maka suatu.
Misalnya : sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran guru harusnya mengajak
siswa untuk berdoa terlebih dahulu. Di dalam proses pembelajaran guru
menyelipkan nilai-nilai ketuhanan pada setiap isi materi seperti halnya siswa di
ajarkan untuk selalu bersyukur terhadap ciptaan tuhan,contoh : alam, makhluk
hidup, adanya system pernapasan dan sebagainya. Membiasakan adanya jam
untuk beribadah sesuai dengan agama masing-masing.
2. Sesuai dengan sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab maka dapat
implikasi di dalam kelas adalah :
a) Guru memperlakukan siswa dengan baik tanpa menggunakan kekerasan baik
secara lisan maupun perbuatan.
b) Guru memberikan sarana dan prasarana untuk mengembangkan potensi yang
ada dalam peserta didik.
c) Guru memberikan apresiasi kepada siswa yang mampu mengerjakan
tugasnya dengan baik.
d) Guru memahami potensi yang ada pada setiap peserta didik.
3. Sesuai dengan sila ke tiga yaitu persatuan Indonesia : guru mampu menciptakan
situasi yang menimbulkan kerjasama didalam belajar, antara anak dengan anak,
antara anak dengan guru, begitu pula antara sesama guru (diskusi, presentasi dan
pengajaran pola kolabarasi) dengan diadakannya upacara bendera setiap hari
senin maka dapat mempersatukan peserta didik. Mengadakan program
ekstrakurikuler, pramuka, calss meeting, kerja bakti dan sebagainya yang
bertujuan untuk mempersatukan peserta didik satu dengan lainnya.
4. Sesuai dengan sila ke empat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan :
a) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpendapat dalam setiap
proses pembelajaran.
b) Adanya pemilihan pengurus kelas dengan cara musyawarah dan voting.
c) Guru mampu memberikan solusi terhadapan kesulitan belajar siswa baik
secara materi maupun metode yang digunakan di dalam kelas.
5. Sesuai dengan sila ke lima yaitu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam sila itu Contohnya :
a) Guru tidak membeda bedakan peserta didik yang satu dengan yang lainnya
dalam hal pemberian sangsi, materi dan bimbangan saat proses pembelajaran.
b) Dalam penerimaan siswa baru, sekolah tidak memprioritaskan uang
sumbangan yang lebih besar.
18
c) Seorang siswa tidak memilih milih teman, ia mampu berteman dengan siapa
saja dan berlaku adil kepada semua temannya.

19
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Filsafat pendidikan huumanistik adalah memanusiakan manusia. Tujuan utama para
pendidik menurut filsafat ini ialah membantu siwa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka.sedangkan filsafat
pendidikan Pancasila menjadi ruh atau dasar dalam menjalanaknan Sistem Pendidikan Nasional.
Kedua filsafat pendidikan tersebut memiliki penerapan masing-masing dalam pendidikan.

B. Saran
Pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan maksimal. Oleh karena itu, guru
hendaknya mempelajari kedua filsafat pendidikan tersebut yaitu filsafat pendidikan
humanistik dan Pancasila untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Hal ini diharapkan
agar kegiatan pembelajaran dapat berjalan dengan lebih baik.

20
DAFTAR PUSTAKA
Goble, Frank. 1987. Mahdzab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow.
Yogyakarta: Kanisius.
Jalaludin, Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

21

Anda mungkin juga menyukai