Anda di halaman 1dari 11

KONSEP TRINA DAN TRI SENTRA

KI HADJAR DEWANTARA SERTA IMPLEMENTASINYA


DALAM PENDIDIKAN

Tugas : Ketamansiswaan
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. Supriyoko, M.Pd.

Oleh :

RATNA SARI DEWI

PROGRAM STUDI PENELITIAN DAN EVALUASI PENDIDIKAN


DIREKTORAT PASCA SARJANA PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2020
KONSEP TRINA (NITENI, NIROKKE, NAMBAHI)
DAN TRI SENTRA (KELUARGA,SEKOLAH,MASYARAKAT)
KI HADJAR DEWANTARA SERTA IMPLEMENTASINYA
DALAM PENDIDIKAN

A. KONSEP TRINA (Niteni, Nirokke, Nambahi) DALAM


PENDIDIKAN
Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan merupakan
proses pembudayaan kodrat alam setiap individu dengan kemampuan
yang dimiliki untuk mempertahankan hidup, yang tertuju pada
tercapainya kemerdekaan sehingga dapat memperoleh kebahagiaan
lahir batin. Menurut Ki Hadjar Dewantara, sistem pendidikan barat
dipandangnya tidak cocok diterapkan di Indonesia, karena dasar-
dasarnya bersifat paksaan. Anak tidak menjadi pribadi yang mandiri,
tidak memiliki inisiatif, dan tidak kreatif. Oleh karena itu, Ki Hadjar
Dewantara menerapkan konsep pembelajaran TRINA (Niteni,
Nirokke, Nambahi).
Masrukhul Amri seorang Knowledge Enterpreneur menyatakan ada
sebuah pelajaran luar biasa dari Ki Hadjar Dewantara dengan konsep
TRINA yaitu Niteni, Nirokke, Nambahi.
a. Niteni berasal dari kata dasar “titen” yang menunjuk pada
kemampuan untuk secara cermat mengenali dan menangkap makna
(sifat, ciri, prosedur, kebenaran) dari suatu obyek. Niteni berarti
proses pencarian dan penemuan makna (sifat, ciri, prosedur,
kebenaran) suatu obyek yang diamati melalui sarana inderawi.
Dengan demikian, niteni adalah proses kognitif/ pikiran yang menurut
Ki Hadjar Dewantara disebutnya cipta. Cipta adalah daya berpikir,

2
yang bertugas mencari kebenaran sesuatu dengan jalan mengamati dan
membanding-bandingkan sesuatu obyek sehingga dapat mengetahui
perbedaan dan persamaannya.
b. Nirokke dan nambahi dapat diterjemahkan sebagai meniru (to
imitate) dan mengembangkan/ menambah (to innovate/ to add value).
Pembahasan kedua konsep ini disatukan mengingat nirokke dan
nambahi berada dalam tataran yang sama yaitu aplikasi perolehan
proses niteni. Menurut Ki Hadjar Dewantara dimasukkan dalam ranah
“kemauan atau karsa” yang selalu timbul di samping atau seolah-olah
sebagai hasil buah pikiran dan perasaan. Perbedaan diantara keduanya
terletak pada kadar dan proses kreatifnya.
Nirokke atau meniru menurut Ki Hadjar Dewantara merupakan kodrat
pada masa kanak-kanak (Suroso, 2011). Dalam kaitannya dengan
proses meniru, khususnya kanak-kanak memiliki keinginan untuk
selalu meniru segala apa yang menarik perhatiannya. Sebagian besar
kemampuan, keterampilan, dan perilaku anak-anak adalah proses
peniruan khususnya orang tua, misalnya berbicara, berperilaku,
bermain, dan lain sebagainya.
Nambahi atau menambahkan/ mengembangkan adalah proses lanjut
dari nirokke. Dalam proses ini ada proses kreatif dan inovatif untuk
memberi warna baru pada model yang ditiru. Proses nambahi inilah
yang diharapkan terjadi dalam diri peserta didik. Dalam hal ini, Ki
Hadjar Dewantara menyatakan bahwa kita tidak meniru belaka, tetapi
mengolah. Kalau kita meniru saja secara “copyeren”, ingatlah bahwa
orang yang meniru belaka itu biasanya adalah orang yang tidak punya
apa-apa sendiri. Kalau orang punya, sebaliknya ia memperbaiki,

3
menambah, mengurangi, mengubah, dan mengolah sesuatu obyek
yang ditiru (Suroso, 2011).
Implementasi Konsep TRINA (Niteni, Nirokke, Nambahi) dalam
Pembelajaran
Konsep TRINA (Niteni, Nirokke, Nambahi) dapat diterapkan dalam
berbagai pelajaran. Salah satunya adalah pembelajaran matematika.
Dalam pembelajaran matematika, konsep TRINA Ki Hadjar
Dewantara dapat digunakan sebagai model pembelajaran. Namun,
dalam penerapan konsep TRINA harus secara bertahap, yakni Niteni,
Nirokke, kemudian Nambahi. Tiap tahapnya tidak saling mendahului,
karena Nambahi merupakan proses akhir yang akan menghasilkan
pengetahuan dan keterampilan yang utuh.
Contoh penggunaan konsep TRINA Ki Hadjar Dewantara dalam
pembelajaran matematika adalah sebagai berikut:
1) Siswa menyimak penjelasan guru tentang materi yang diterangkan
(kegiatan Niteni)
2) Siswa diberi penjelasan tentang cara menyelesaikan permasalahan
atau soal yang berhubungan dengan materi yang dijelaskan
(kegiatan Niteni)
3) Siswa diberi contoh soal yang berkaitan dengan materi yang
disampaikan yang diambil dari buku paket matematika kelas IV
(kegiatan Niteni)
4) Siswa melakukan pengamatan terhadap soal atau permasalahan
yang berkaitan dengan materi yang disampaikan. Guru
mengerahkan siswa untuk memperhatikan dengan seksama terhadap
soal yang diberikan (kegiatan Niteni)

4
5) Siswa diminta menemukan konsep dasar dari materi yang
disampaikan dan soal yang diamati. Guru membimbing siswa
dalam menentukan konsep materi yang disampaikan (kegiatan
Niteni)
6) Siswa mengidentifikasi penggunaan konsep yang tepat pada
permasalahan yang diberikan yang telah diamati. Guru
membimbing siswa dalam mengidentifikasi penggunaan konsep
dari soal yang diamati (kegiatan Niteni)
7) Siswa menyusun penyelesaian permasalahan dengan konsep yang
sudah diidentifikasi sebelumnya yang diamati dengan bimbingan
guru (kegiatan Nirokke)
8) Siswa menulis penyelesaian permasalahan dengan menggunakan
konsep yang sudah diidentifikasi kemudian dimodifikasi sehingga
mudah dipahami ketika mempelajari kembali (kegiatan Nambahi)
9) Siswa bersama guru menyimpulkan permasalahan yang telah
diselesaikan sesuai dengan materi yang disampaikan dengan baik
dan benar (kegiatan Nambahi)
Dengan langkah-langkah yang telah disebutkan di atas, maka
pembelajaran menggunakan konsep TRINA dapat melatih
kemampuan siswa melalui panca inderanya. Harapannya dari poses
niteni, siswa dapat mencari kejelasan dari obyek matematika melalui
pengamatan secara jeli dan mendalam. Sedangkan dari proses nirokke,
siswa dapat menirukan secara persis dari obyek yang telah diamati.
Kemudian pada proses nambahi, siswa dapat mencoba berkreasi
dalam menyelesaikan suatu masalah matematika dengan ilmu yang
sudah didapatkan dari proses niteni dan nirokke.

5
B. KONSEP TRI SENTRA PENDIDIKAN
Salah satu gagasan Ki Hadjar Dewantara yang terkenal adalah Tri
Sentra Pendidikan (Tiga Pusat Pendidikan), yang menerangkan bahwa
pendidikan berlangsung di tiga lingkungan yaitu, keluarga, sekolah,
dan masyarakat.
Ketiganya memiliki peran di dalam proses pendidikan, serta saling
mengisi dan memperkuat satu dengan yang lainnya. Tanggung jawab
pendidikan tidak hanya pada pemerintah semata, namun termasuk
juga keluarga dan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa “Satuan pendidikan adalah kelompok
layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur
formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis
pendidikan”.

6
7
Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagi unit terkecil dari masyarakat terdiri dari suami istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (UU
Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga). Keluarga merupakan lingkungan yang
pertama bagi perkembangan individu anak, karena sejak kecil anak
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga.
Awal pendidikan anak sebenarnya diperoleh melalui keluarga, dalam
dunia pendidikan disebut pendidikan informal. Pembelajaran yang
terjadi di dalam keluarga terjadi setiap hari pada saat terjadi interaksi
antara anak dengan keluarganya. Peran orang tua menjadi panutan
bagi anak-anaknya.
Dalam keluarga, orang tua mempunyai peran yang sangat penting
dalam membentuk dan mengembangkan karakter dan kepribadian
anak. Semakin baik kualitas keluarga, maka kemungkinan besar anak
akan tumbuh dan berkembang kepribadian dan karakternya yang
berkualitas pula.

8
Lingkungan Perguruan/Sekolah
Sekolah merupakan satuan pendidikan yang menyelenggarakan
kegiatan belajar mengajar secara formal atau disebut juga dengan
pendidikan formal. Penyelenggaraan pendidikan di sekolah saat ini
lebih tepat mengedepankan fasilitasi kepada peserta didik dalam arti
student center bukan teacher center.
Peran guru dalam memasilitasi peserta didik dapat dilakukan dengan
banyak cara, satu di antaranya adalah guru tidak lagi memberikan
informasi secara searah dalam bentuk ceramah. Guru dapat berperan
sebagai fasilitator, motivator atau tutor bagi peserta didik. Materi
pembelajaran yang diberikan oleh guru kepada peserta didik tidak
semata-mata hanya terfokus pada satu bidang studi yang terlepas saja,
tetapi dapat juga dikaitkan dengan bidang studi yang lain.
Hal ini dilakukan agar peserta didik dapat mempelajari hubungan
antara satu bidang studi dengan bidang studi yang lain, karena
memang kenyataannya yang dialami di dunia nyata banyak bidang
studi yang tidak berdiri sendiri. Sekolah harus melakukan pembinaan
pendidikan untuk peserta didiknya didasarkan atas tuntutan zaman.
Di zaman kekinian, guru dapat juga memfasilitasi peserta didik
dengan memanfaatkan kelas maya secara gratis (seperti google
calssroom, edmodo, schoology, dan yang sejenisnya). Peran guru
dalam kelas maya dapat melakukan proses pembelajaran secara daring
(online), sehingga guru dapat berperan sebagai fasilitator, kolaborator,
mentor, pelatih, pengarah dan teman belajar serta dapat memberikan
pilihan dan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik untuk
mengalami peristiwa belajar yang real.

9
Lingkungan Masyarakat
Dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia
yang saling berinterkasi dalam suatu hubungan sosial. Anak dalam
pergaulannya di dalam masyarakat tentu banyak berinteraksi secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya anak
bermain dengan teman-temannya di luar rumah, sedangkan secara
tidak langsung misalnya anak melihat kejadian-kejadian yang
dipertontonkan oleh masyarakat. Anak akan memperoleh
pembelajaran di dalam masyarakat tersebut.
Di era milenial seperti sekarang ini, penggunaan teknologi
seperti smartphone sudah tidak mengenal batasan usia, tua dan muda
sudah tak asing lagi meggunakan smartphone.
Kehadiran smartphone menjadikan penggunanya jarang bersosialisasi
secara langsung dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.

10
DAFTAR PUSTAKA
Nasution S, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal.
41
Novan Ardy Wiyani & Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 90.
Hasbullah. 2009. Dasar – Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Raja
grafindo. Persada.
Rulam Ahmadi, Pengantar Pendidikan: Asas dan Filsafat Pendidikan,
(Yokyakarta: ArRum Media, 2014), hal. 171
Di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Lihat Bab VI Pasal 13 Ayat 1
www.dosenpendidikan.co.id › tut-wuri-handayani
https://pauddikmassulut.kemdikbud.go.id/berita-430-tri-sentra-
pendidikan-gagasan-ki-hajar-dewantara.html
www.kompasiana.com › Humaniora › Edukasi Tri Sentra Pendidikan
untuk Mencapai Tujuan Pendidikan
id.wikipedia.org › wiki › Tripusat_pendidikan Tripusat pendidikan -
Wikipedia bahasa Indonesia ...
www.silabus.web.id › Pengetahuan Umum Pengertian Tripusat
Pendidikan | SILABUS
nasional.okezone.com › News › Nasional Tri Pusat Pendidikan Ajaran
Ki Hajar Dewantara di Zamanku ...
www.academia.edu › Makalah_Tri_Pusat_Pendidikan
jogja.antaranews.com › berita › konsep-tri-sentra-p..

11

Anda mungkin juga menyukai