Anda di halaman 1dari 10

A.

  Pendahuluan

Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk
yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun
sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang
menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan
lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan
sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa.
Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul
pada pertengahan abad ini (Hudson 1996).

Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan
masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin
menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan
ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari
bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan
kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan.  Dari perspektif
sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa
merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan
keberlangsungan hidup suatu bahasa.

Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang di gunakan manusia untuk mencapai
tujuan. Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi merupakan ciri manusia sebagai ciptaan
Tuhan yang paling sempurna. Pada saat berkomunikasi pembicara lebih banyak
menggunakan bahasa tertentu memperjelas makna yang sulit dimengerti atau diterima oleh
lawan bicara. Oleh karena itu tidak dapat dipugkiri bahwa masyarkat yang bilingual dalam
berkomunikasi akan membuat pemilihan bahasa dalam komunitas masyarakat tersebut.

Ilmu yang mengkaji mengenai bahasa disebut linguistik. Linguistik mempunyai cabang yaitu
linguistik murni dan linguistik terapan. Linguistik murni meliputi fonologi morfologi,
sintaksis, semantik dan lain-lain. Sedangkan linguistik terapan meliputi linguistik kontrastif,
linguistik komparatif, sosiolinguistik, dan selanjutnya. Menurut Kridalaksana (1078: 94)
sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta
hubungan diantara para bahasawan dengan ciri-ciri dan berbagai variasi bahasa, didalam
suatu masyarakat bahasa. Dengan demikian melalui kajian sosiolinguistik gamabaran tentang
penggunaan bahasa dapat diteliti untuk mengidentifikasi ciri-ciri bahasa dalam kaitannya
dengan ilmu bahasa melalui pola bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa.

Bahasa merupakan sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia. Masyarakat indonesia sudah
sepertinya sudah terlahir sebagai bilingual. Hal ini disebabkan hampir setiap etnis yang ada di
Indonesia memiliki kecakapan menggunakan bahasa Indonesia disamping bahasa daerah
yang ada, misalnya suku batak Toba, disamping berbahasa Batak toba dapat juga berbahasa
Indonesia, juga orang yang bersuku Batak Karo, disamping dapat berbahasa Indonesia, juga
dapat berbahasa batak karo, demikian suku Jawa selain dapat berbahasa Jawa juga dapat
menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam penggunaan bahasa Indonesia ini kadang-
kadang dialek atau aksen yang digunakan terpengaruh oleh bahasa daerah masing-masing.
Melihat kevariasian bahasa tersebut maka banyak sikap bahasa yang muncul terhadap
seorang penutur. Maka dalam tulisan ini penulis berusaha untuk meninjau hal tersebut.
Hills (1982: 81) dan Evans (1965: 2) menyatakan bahwa sikap tertentu dalam belajar pada
pertumbuhan anak merupakan bagian penting dalam pendidikan. Para ahli psikologi,
sosiologi, dan psikologi sosial sudah banyak memberikan rumusan konseptual mengenai
sikap. Sikap merupakan sesuatu yang sangat pribadi serta mempunyai latar belakang
konseptual yang cukup rumit, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.

Sikap yang dimiliki seseorang juga akan turut menentukan prilakunya. Dahlan (1982: 6)
mengemukakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan mental atau neoral yang
terorganisasikan melalui pengalaman dan berpengaruh terhadap tingkah laku individu dalam
merespon objek tertentu. Pendapat itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gerungan
(1986: 148) bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap
objek tertentu. Sikap senantiasa ada pada diri seseorang yang nampak melalui prilakunya
ketika berhubungan dengan objek tertentu.

Sikap seseorang bisa ditafsirkan dari prilaku verbal maupun noverbal. Seperti dikemukakan
Ananstasi (1982: 552) bahwa sikap seseorang memang tidak dapat diamati secara langsung,
tetapi ditafsirkan dari prilaku yang nampak, baik secara verbal maupun nonverbal. Sedangkan
Fantino (1975: 462) mengemukakan bahwa sikap dapat diidentifikasi melalui ide-ide,
perasaan, dan prilaku yang jelas. Pendapat kedua ini menafsirkan sikap dari mulai bentuk
kecenderungan seseorang untuk bertindak hingga membentuk prilaku yang nyata. Dengan
demikian sikap itu dapat diselusuri dari rancangan yang tersusun di dalam pikiran, gagasan,
cita-cita, keadaan hati, dan tingkah lakunya.

Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah berupa perasaan mendukung atau tidak
mendukung (Berkowizd dalam Azwar, 1983: 3). Sikap juga merupakan suatu tingkat afek
positif dan negatif yang berhubungan dengan objek psikologik (Trustone dalam Marat, 1984:
147). Sikap dapat dikatakan suatu reaksi emosional terhadap suatu objek psikologis. Reaksi
yang timbul bisa bersifat positif atau negatif. Sikap juga dapat berupa suasana batin
seseorang.

Seseorang yang menyetujui terhadap suatu objek akan menunjukkan sikap mendukung atau
sebaliknya. Sikap bersifat kompleks, karena pembentukannya melibatkan semua aspek
kepribadian, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi secara utuh. Pada komponen kognisi tercakup
keyakinan akan suatu objek, komponen afeksi tercakup perasaan-perasaan emosional yang
berkaitan dengan keyakinan kognisi, sedangkan komponen konasi merupakan kecenderungan
bertindak yang meliputi kesiapan merespon suatu objek sikap.

Berdasarkan paparan di atas, sikap terhadap seseuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan
dan hasil evaluasi tentang objek sikap, yang akhirnya melahirkan suatu keputusan senang
atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan
objek sikap (Allport dalam Marat, 1984: 13). Pendapat itu sejalan dengan yang dikemukakan
oleh Winkel (1983: 3), bahwa sikap yang di dalamnya terdapat unsur kognitif atau afektif
adalah kecenderungan menerima atau menolak terhadap sesuatu berdasarkan penilaian
apakah objek itu berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik.

Ciri-ciri Sikap dikemukakan juga oleh Gordon (1960: 293) yaitu: 1) sebagai suatu kesiapan
untuk merespon, 2) bersifat individual, 3) membimbing prilaku, 4) bersifat bawaaan dan
merupakan hasil belajar. Selanjutnya Rochman (1984: 230) mengemukakan:
   Ciri sikap adalah suatu kesiapan yang kompleks dari seorang individu untuk
memperlakukan suatu objek. Kesiapan itu mempunyai aspek kognisi, afeksi, dan
kecenderungan bertindak yang dapat disimpulkan dari prilaku individu itu sendiri.
Kesiapan itu merupakan penilaian positif dan negatif dengan intensitas yang
berbeda-beda, berlaku untuk kurun waktu tertentu dan dapat berubah-ubah sesuai
dengan perubahan waktu. Penilaian sebagai sikap kesiapan tersebut terarah
kepada objek itu sendiri, terhadap kelanjutan dari suatu penilaian yang
menyangkut objek itu atau akibat peristiwa yang menyangkut objek itu.

Sikap tersusun dengan kualitas dan kuantitas yang bervariasi dalam kontimum positif dengan
melewati daerah-daerah netral ke arah negatif, sedangkan kualitas sikap dinyatakan dalam
eksrem dari kedudukan yang ditempati pada arah kontinum sikap. Intensitas sikap
menyatakan kuatnya reaksi sikap, yaitu semakin jauh dari posisi netral akan semakin kuat
reaksi sikapnya. Selanjutnya Sikap memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:

1) arah sikap, merupakan afek yang membekas dirasakan terhadap suatu objek,
dapat bersifat negatif atau positif;
2) drajat perasaan, merupakan drajat penilaian terhadap sesuatu objek tertentu
dengan istilah baik dan buruk dengan kontinum berkisar dari arah negatif sampai
positif (Newcomb et al, 1977: 1981).

B.   Sikap Bahasa

1.   Pengertian Sikap Bahasa

Untuk dapat memahami apa yang disebut sikap bahasa (Language Attiude) terlebih dahulu
haruslah dijelaskan apa itu sikap. Sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi yang
berdiri tegak, prilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang di lakukan
berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat). Sebagai reaksi atas adanya
suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya
termanifestasi dalam bentuk tindakan atau prilaku. Namun dalam banyak penelitain tidak
selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah (Chaer dan
Agustina, 1995: 197-198).

Sikap bahasa pada umumnya dianggap sebagai prilaku pemakai bahasa terhadap bahasa.
Hubungan antara sikap bahasa dan pemertahanan dan pergeseran bahasa dapat dijelaskan dari
segi pengenalan prilaku itu atau di antaranya yang memiliki pengaruh langsung dan tidak
langsung bagi pemertahanan bahasa. Jadi yang sangat penting adalah pertanyaan tentang
bagaimana sikap bahasa atau ragam bahasa yang berbeda menggambarkan pandangan orang
dalam ciri sosial yang berbeda. Penggambaran pandangan yang demikian memainkan
peranan dalam komunikasi intra kelompok dan antar kelompok (Siregar, 1998: 86).

Sikap bahasa (language attitude) adalah pristiwa kejiwaaan dan merupakan bagian dari sikap
(attitude) pengguna bahasa pada umumnya. Sikap berbahasa merupakan reaksi penilaian
terhadap bahasa tertentu (Fishman, 1986). Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan
terhadap bahasa itu sendiri atau orang lain (Kridalaksana, 1982: 153). Kedua pendapat di atas
menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap
bahasanya maupun bahasa orang lain. Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman
Dictionary of Applied Linguistics (1985: 155) bahwa sikap bahasa adalah sikap pemakai
bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa orang lain.

Rusyana (1989,31-32) menyatakan bahwa sikap bahasa dari seorang pemakai bahasa atau
masyarakat bahasa baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan akan berwujud
berupa perasaan bangga atau mengejek, menolak atau sekaligus menerima suatu bahasa
tertentu atau masyarakat pemakai bahasa tertentu, baik terhadap bahasa yang dikuasai oleh
setiap individu maupun oleh anggota masyarakat. Hal itu ada hubungannya dengan status
bahasa dalam masyarakat, termasuk di dalamnya status politik dan ekonomi. Demikian juga
penggunaan bahasa diasosiasikan dengan kehidupan kelompok masyarakat tertentu, sering
bersifat stereotip karena bahasa bukan saja merupakan alat komunikasi melainkan juga
menjadi identitas sosial.

Sikap bahasa dalam kajian sosiolinguistik mengacu pada prilaku atau tindakan yang
dilakukan berdasarkan pandangan sebagai reaksi atas adanya suatu fenomena terhadap
penggunaan bahasa tertentu oleh penutur bahasa. Bahasa dalam suatu komunitas mungkin
berbeda dengan komunitas yang lain bagaimana bahasa bisa dipengaruhi penggunaannya
sesuai dengan ciri sosial yang berbeda.

Yang sering menjadi perdebatan tentang sikap bahasa adalah hakikat sikap itu sendiri.
Meskipun dikenal secara luas di dalam bidang psikologi sosial, tidak terdapat kesepakatan
yang umum tentang konsep sikap itu sendiri. Terdapat dua pandangan teoritis yang berbeda
tentang sikap, yaitu pandangan para mentalis dan behaviris. Kedua pandangan itu selalu
menjadi tumpuan teori dan pengukuran yang dilakukan dalam penelitian tentang sikap
individu maupun sikap masyarkat (Siregar, 1998: 87).

Fasold (1984) mengemukakan bahwa didalam pengkajian sosiolinguistik, definisi sikap


bahasa sering diperluas untuk mencakup sikap-sikap terhadap penutur-penutur bahasa
tertentu. Pemerluasan devenisi yang demikian mungkin akan memberikan kemungkinan
bahwa seluruh jenis prilaku yang berhubungan dengan bahasa, termasuk sikap terhadap
pemertahanan bahasa dapat dijelaskan.

Cooper dan Fishman (1974) misalnya memberikan devenisi sikap bahasa dari segi
referensinya yang oleh Ferguson sebelumnya (1972) merupakan patokan-patokan yang dapat
diamati terhadap siapa, membicarakan apa, kapan, dan bagaimana. Cooper dan Fishmen
memperluas referensinya untuk mencakup bahasa, prilaku bahasa, dan referensi yang
merupakan pemarkah atau simbol bahasa atau prilaku bahasa. Terutama dalam kaitannya
dengan psikologi sosial, misalnya Triandis (197: 2-2 dalam Chaer dan Agustina 1995: 198)
mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang
dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi.
Kesiapan ini dapat mengacu pada kesiapan mental atau Sikap prilaku.

Menurut Allport (1935) sikap adalah kesiapan mental atau saraf, yang terbentuk melalui
pengalaman yang membrikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang
terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967:
91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif,
komponen apektif, dan komponen konatif.

Komponen kognitif sikap bahasa mengacu atau berhubungan dengan pengetahuan atau suatu
kategori yang disebut proses berpikir. Komponen apektif menyangkut isu-isu penilaian
seperti baik, buruk, suka, atau tidak suka terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang
memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu keadaan, maka orang itu dikatakan
memiliki sikap positif. Jika sebaliknya disebut memiliki sikap negatif. Komponen konatif
menyangkut prilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir kesiapan reaktif terhadap suatu
keadaan. Melalui kompenen ketiga inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap
seseorang terhadap suatu keadaan (Chaer dan Agustina, 1995: 198-199).

Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap
seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini
(komponen kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun,
seringkali pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan yang didapat seseorang di
dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga
komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau
tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap.
Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.

2.   Penggolongan Sikap Bahasa

Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang dwibahasawan atau
multibahasawan. Seperti diutarakan oleh Dittmar (1976: 181) bahwa sikap ditandai oleh
sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual,
distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan problem yang timbul sebagai akibat
adanya interaksi antara individu. Hal ini nampak ketika suatu bangsa yang memiliki cukup
banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di
antara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada
sikap positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian
hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela mengenyampingkan bahasa kelompok etniknya
dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.

   Sikap bahasa itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap
bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada
tanggung jawab dan penghargaannya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa
ditekankan pada kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib (Pateda,
1987: 30).

Spolsky (1989: 149) menyatakan bahwa seseorang yang mempelajari suatu bahasa
dilatarbelakangi oleh sikapnya terhadap bahasa yang dipelajarinya, sikap itu meliputi 1) sikap
terhadap tujuan praktis penggunaan bahasa target, dan 2) sikap pada orang yang
menggunakan bahasa target. Anderson dalam Halim (1974: 71) mengemukakan bahwa sikap
bahasa itu dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap
nonkebahasaan, seperti sikap politis, sikap keagamaan, dan lain-lain.

Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka
panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan
kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun
sikap tersebut dapat berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa pun
demikian. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
a. Kesetiaan Bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa
mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa
lain. Kesetiaan bahasa, adalah sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa
dalam mempertahankan kemandirian bahasanya, meskipun apabila perlu, sampai
dengan terpaksa mencegah masuknya pengaruh asing.
b. Kebanggaan Bahasa (language pride) yang mendorong seseorang
mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan
kesatuan masyarakat. Kebanggaan bahasa, merupakan sikap yang mendorong
suatu masyarakat bahasa menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi
atau kelompoknya sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lainnya
c. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang
menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang
sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan
bahasa (language use)

Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif
terhadap bahasa. Menurut Purba, ketiga pengertian tersebut mengandung persamaan, yaitu 1)
pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang benar dengan kecermatan pemakaian
bentuk bahasa dan struktur bahasa serta pemilihan kata yang tepat dan kesadaran adanya
norma bahasa dengan penggunaan bahasa secara cermat, santun, dan layak; 2) pemakaian
bahasa dengan baik, wajar dan sesuai dengan situasi sama dengan kebanggaan bahasa yang
dijadikan syarat identitas diri dan kelompok serta menghilangkan warna bahasa daerah atau
dialeknya dalam pemakaian bahasa nasional. Sikap kesetiaan bahasa terungkap jika orang
lebih suka memakai bahasanya sendiri dan bersedia menjaganya terhadap pengaruh bahasa
asing yang berlebihan. Bertalian dengan sikap kesetiaan bahasa adalah kebanggaan bahasa
yang pada gilirannya bertautan dengan ikatan emosional pribadi pada bahasa baku (Purba,:
35).

Kesetiaan bahasa menurut konsep tersebut adalah sikap yang terdorong suatu masyarakat
untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya, apabila perlu mencegah masuknya
pengaruh asing. Kebanggaan bahasa merupakan sikap yang mendorong seseorang atau
kelompok menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan
sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lain.

Kesadaran adanya norma bahasa mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek,
santun, dan layak. Kesadaran yang demikian merupakan faktor yang sangat menentukan
prilaku tutur dalam wujud pemakaian bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan
bahasa, dan kesadaran bahasa akan adanya norma bahasa merupakan ciri-ciri positif terhadap
suatu bahasa (Garvin dan Mathiot dalam Suwito, 1989: 149).

Esensi dari semuanya itu menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan sikap yang dimiliki
oleh para pemakai bahasa. baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap
suatu bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek,
menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain, sikap berbahasa itu bisa bersifat
positif maupun negatif, serta memiliki ciri-ciri yaitu kebanggaan berbahasa, kesetiaan
berbahasa, dan kesadaran berbahasa.

3.   Jenis-jenis Sikap Bahasa


sikap bahasa menunjukkan senang atau tidaknya seorang penutr bahasa terhadap suatu
bahasa. Oleh karena itu, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sikap posif dan
sikap negatif. Menurut Anderson (dalam Chaer, 1995: 200) sikap bahasa adalah: tata
keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai
objek bahasa, yang memberi kecenderungan kepada seeorang untuk bereaksi dengancara
tertentu yang di senanginya. Sikap itu biasanya akan ada sikap positif (kalau dinilai baik atau
disukai) dan biasanya negatif (kalau dinilai tidak baik atau tidak disukai), maka sikap
terhadap bahasapun demikian.

a.    Sikap Positif

Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan
oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah
menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota
masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau
kelompok orang itu. Sikap positif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah
laku yang tidak bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku.

Sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai
dengan situasi kebahasaan. Hal-hal yang menunjukkan sikap positif seseorang terhadap
bahasanya antara lain:

1)  memakai bahasa sesuai dengan kaidah dan situasi kebahasaan


2) memakai bahasa sendiri tanpa dicampur dengan bahasa asing walaupun lawan
bicara mengerti maksud pembicaraan tersebut, alangkah lebih baik menggunakan
bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan sikap seperti
itu berarti kita bangga akan bahasa kita sendiri.
3)  memakai bahasa sesuai dengan keperluan

Dalam pergaulan sosial, kita mungkin menghadapi beragam keperluan pula. Pergaulan
antarbangsa, misalnya, kadang-kadang menuntut pemakaian bahasa yang sesuai dengan
kemampuan orang yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, bahasa yang lain atau bahasa
asing kadang-kadang diperlukan untuk keperluan itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia untuk keperluan tertentu tidak perlu dipandang
sebagai cerminan rasa kebangsaan yang rendah.

Ketiga hal di atas merupakan contoh sikap postif terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif
hanya akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa setia untuk memelihara dan
mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada
seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri.

Adul (1986: 44) berpendapat bahwa pemakai bahasa bersifat positif ialah pemakaian bahasa
yang memihak kepada bahasa yang baik dan benar, dengan wajar dan sesuai dengan situasi.
Dittmar, (dalam Suwito, 1996: 31) memperlihatkan sikap positip adalah:

1) keberhasilan suatu bangsa yang multilingual dalam menentukan salah satu bahasa
yang dijadikan sebagai bahasa nasional dari sejumlah bahasa yang dimiliki
bangsa tersebut;
2) kecermatan pemakaian bentuk bahasa dan struktur bahasa serta ketepatan dalam
pemilihan kata yang di pergunakan oleh pemakai bahasa;
3) sejauhnya mengurangi atau manusia, menghilangkan sama sekali warna bahasa
daerah atau dialeknya dalam berbahasa nasional.

Garvin dan Marthiot (dalam Suwito, 1996: 31) mengemukakan ciri-ciri pokok sikap berbahas
positif yaitu: Kesetiaan bahasa, Kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma
bahasa. Menurut Sumarsono (2002: 363), dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa
seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah topik pembicaraan (pokok
masalah yang dibicarakan), kelas sosial pemakai bahasa, kelompok umur, jenis kelamin dan
situasi pemakaian. Apabila seseorang petani, termasuk kelompok etnik Jawa, tetapi sekaligus
juga pemakai Bahasa Indonesia, termasuk golongan dewasa dan tua, tentang upacara
pengantin khas Jawa, dalam situasi resmi khas Jawa, ia akan cenderung memilih bahasa Jawa
yang baku daripada Bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya sikap positif terhadap
bahasa yang dipilihnya.

Sebaliknya, apabila ia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas sosial tinggi,
tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan elite, dia akan cenderung
memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara perkawinan. Hal ini menunjukkan sikap
terhadap Bahasa Jawa tidak positif lagi.Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang
yang cenderung memakai suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik,
mengenai ketepatan pilihan kata maupun kebakuan kaidah gramatikalnya serta kejelasan,
keruntunan jalan pikirannya.Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi
perbendaharaan bahasa.Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa yang
mengatasi dialek-dialek.

b.    Sikap Negatif

Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan


salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa
berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila
orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan
mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap
bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan
bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa.

Adul (dalam Purba, 1996: 35) mengemukakan bahwa pemakaian bahasa bersifat negatif
adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak mempedulikan
situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam kesalahan berbahasa. Dewasa ini
penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias.
Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa
tersebut.

Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang
mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman
sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang
merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang
tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya.
Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari
bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki
segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya.

Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok
orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam
tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan
tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.

Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang
harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan
kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi
pada dua hal yaitu:

1) Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/ banyak


terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak
dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris,
bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
2) Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari
(orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari
suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya
digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.

Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa
seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan
suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau
multilingual.

Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat
dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang
semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal
yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis
dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa
mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya
sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi/ campur kode
yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa
Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain.
Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.

Adul (1986: 44), berpendapat pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan
pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak memperdulikan situasi bahasa, tidak berusaha
memperbaiki diri dalam berbahasa. Sikap negatif terhadap bahasa merupakan sikap yang
tidak bertanggung jawab terhadap bahasa nasionalnya. Ia akan beranggapan bahwa bahasa
orang lain lebih baik dari bahasa nasional sehingga timbul sikap negatif terhadap bahasa.

Garvin dan Marthiot, (dalam suwito, 1996: 33) memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif
pemakai bahasa, yaitu:

1) Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah
atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu
merupakan suatu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada
gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama sekali.
2) Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat tidak ada rasa
bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain
yang bukan miliknya.
3) Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota masyarakat sampai
kepada ketidak sadaran akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya
akan mewarnai hampir seluruh perilaku berbahasanya. Mereka tidak ada lagi
dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat bahasanya dan santun
bahasanya.

Moeliono (dalam Antilan, 1996: 34) memberikan rincian tentang sikap bahasa negatif, yaitu:

1) Sikap yang meremehkan mutu sejajar dengan sikap bahasa orang yang sudah puas
dengan mutu bahasa yang tidak perlu tinggi, asal saja dimengerti.
2) Sikap yang suka menerobos terpantul dalam sikap bahasa yang merasa dapat
memperoleh kemahiran tanpa bertekun.
3) Sikap harga tuna diri dapat disaksikan perwujudannya dalam sikap bahasa orang
yang dalam hati kecilnya beranggapan bahwa beranggapan bahwa bahasa lain
lebih bergengsi dan lebih bermutu.
4) Sikap yang menjauh disiplin tercermin pada sikap bahasa orang yang tidakmerasa
mutlak mengikuti kaidah bahasa.
5) Sikap yang enggan memikul tanggung jawab koleratif bahasanya terungkap
dalam ucapan, apa yang salah kaprah lebih di terimasaja kerana kita semua
bersalah. Lagi pula masalah kebahasaan itu belum perlu diprorioritaskan karena
masih banyak masalah lain yang lebih penting dan perlu diatasi lebih dahulu.
6) Sikap yang suka melatah dapat di saksikan dalam sikap bahasa orang yang
mengambil alih diksi dari bahasa muktahir tanpa kritik.

menggunakan suatu bahasa, suatu dialek, atau suatu aksen dengan menggunakan suatu
bahasa. Orang itu berperan sebagai samaran untuk melakoni sikap bahasa dengan
menggunakan aksen tertentu. Untuk mengetahui sikap penutur siuatu bahaa dengan
menggunakan aksen tertentu kita perlu instrumenyang tepat untuk itu.

Anda mungkin juga menyukai