Anda di halaman 1dari 4

Gerakan Mahasiswa Revolusioner

Teori dan Praktek

Oleh: Ernest Mandel


Pengantar

Pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest Mandel berbicara di depan 33
perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke
Vancouver. Lebih dari 600 orang memadati Education Auditorium di New York University pada
tanggal 21 September 1968 untuk menghadiri “Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa
Revolusioner”. Presentasi Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang sangat
menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting dari seluruh perjalanannya. Pidato dan
beberapa kutipan dari diskusi yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.

Pidato Mandel adalah polemik yang sangat hebat terhadap kecenderungan “aktivisme”
dan “spontanisme”, yang belakangan ini muncul di kalangan kaum radikal di dunia Barat. Ia
kemudian berbicara mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang tidak terpisahkan antara
teori dan praktek. Selama diskusi, Mandel menjawab sejumlah pertanyaan yang kontroversial di
kalangan kaum radikal dengan argumen panjang lebar. Beberapa di antaranya berbicara tentang
azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet, “Revolusi Kebudayaan” di Cina, perlunya dibentuk sebuah
partai Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.

Bagian ketiga pamflet ini adalah pidato yang diberikan Mandel pada Seminar Ilmu dan
Kesejahteraan yang diadakan di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1970, ketika
sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel berpendapat bahwa kebutuhan
kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi
universitas yang cepat dan menghasilkan “proletarianisasi” tenaga intelektual, yang tunduk
kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak berhubungan dengan bakat perorangan atau
kebutuhan manusia.
Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan
mahasiswa yang, walaupun tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat menjadi
picu peledak di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa memiliki kewajiban
menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik
yang radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas
penduduk. Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas dan di balik itu untuk masyarakat
yang menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.

Gerakan mahasiswa pada era rezim diktator Soeharto hingga saat ini, tidak sedikit pula
yang memberikan label bahwa gerakan liberal mulai mengembang. Stigmatisasi kaum radikal
mulai menjamur pada kalangan bawah (masyarakat biasa) dan menebarkan wahyu
pemberontakan, juga hal yang sempat menjadi mitos terbesar dalam setiap gerakan mahasiswa.
Namun tidak kalah banyaknya opini, bahwa mahasiswa Indonesia yang radikal dan progressiv
dari berbagai lingkungan sosial serta lintas kultur mulai memainkan perannya, fungsi sosialnya
melalui gerakan-gerakan pembebasan.

Linkungan sosial di Indonesia mayoritas bangsa Indonesia yang religiusitasnya tinggi,


menjadikan gerakan mahasiswa dengan misi pembebasannya dari penindasan totaliter Soeharto
mendapatkan stereotip positif. Khususnya bagi umat Islam. Terideologisasi oleh teologi
pembebasan. Tetapi di sini tidak berupaya untuk meng-klaim, bahwa gerakan penggusuran
simbol orde baru (Soeharto) yang represif itu merupakan hasil kesadaran umat Islam yang
menjadi mayoritas di Indonesia.

Namun bila berbicara formasi sosial yang menindas dari rezim Soeharto, berekses lebih
pada pemeluk Islam dan membentuk bola salju atas pegerakan pembebasan yang digulirkan oleh
intelektual muda Indonesia merupakan bentuk geneologis dari violence yang dilakukan negara
(state). Adanya sosial gap, kaya-miskin dan tumbuhnya konflik horisontal adalah, anak kandung
dari kebijakan pemerintah maupun negara yang timpang. Tidak adanya pemerataan
kesejahteraan sosial. Kemiskinan absolut yang bersumber pada minimnya pertumbuhan ekonomi
dan kemiskinan relatif yang merupakan akibat pertumbuhan ekonomi, menjadi abstraksi sosial
yang nyata di Indonesia.
Melalui “ideologi” pembangunan nasional, rezim Soeharto membangun kemiskinan dan
krisis multi dimensional hingga sekarang. Kemiskinan adalah, sesuatu bisa (racun) disatu sisi dan
memberi madu pada sisi lain. Monopoli, kolusi, korupsi dan nepotisme sedari sang diktator
Soeharto sampai saat ini merupakan komoditas yang surplus. Relasinya dengan tekstual teologi
pembebasan yang bersinggungan dengan wacana agama sangat jelas yaitu, pembebasan aspek
atau dimensi sosial dari teologi pembebasan melarang keras adanya eksploitasi dan manipulasi
diberbagai bidang, baik secara fisik maupun psikis oleh dan/atau siapapun.

Bentangan relevansi dalam tulisan ini diberikan dapatlah disisipkan contoh seperti, dalam
bidang ekonomi praktek riba dan monopoli yang mengedepankan nilai lebih dilarang keras (Qs.
Al Baqarah 275-278). Segala bentuk zakat, infaq dan sedekah merupakan sugesti yang baik dan
benar agar manusia tidak teralienasi atas dirinya dari lingkungan sekitarnya dan tidak
mengadakan penimbunan harta yang mengakibatkan surplus yang pada akhirnya secara langsung
mengeksploitasi manusia lainnya.

Hal lainnya yang dapat dijadikan pijakan identifikasi nilai-nilai teologi pembebasan
yaitu, manusia memiliki hak untuk hidup, manusia memiliki hak untuk bereproduksi, manusia
memiliki hak untuk berpikir bebas dan manusia memiliki hak untuk mendapatkan keadilan.
Empat pointer ini merupakan nilai-nilai teologi pembebasan dalam ajaran agama Islam yang
mungkin juga merupakan ajaran agama-agama lain di dunia.

Ada atau tidaknya korelasi antara pergerakan kaum intelektual muda atau mahasiswa
dengan teologi pembebasan masih perlu dicari validitasnya dan kebenarannya. Namun jikalau
berbicara humanitas, yang lekat juga dengan ajaran agama yang menjadi nilai-nilai teologi
pembebasan dari pergerakan pembebasan untuk menciptakan perubahan sosial, yang dilancarkan
mahasiswa bersama rakyat mungkin bukanlah hubungan yang insidental pula. Intinya perubahan
harus tetap ada, apapun alasannya dan seperti apa perubahan yang menjadi kebutuhan mahasiswa
???? Perubahan yang mendasar, Revolusi Sosial !!!

Menurut saya, setiap kegiatan mahasiswa dapat dipahami berdasarkan posisinya dalam
masyarakat luas. Bagi saya, mahasiswa adalah representasi dari masyarakat yang berwajah
ganda.
Artinya, ritme kehidupan mahasiswa lebih condong meleburkan gaya hidup masyarakat
bawah dan atas. Dimana masyarakat bawah adalah masyarakat “pejuang”, dikarenakan mereka
adalah sekumpulan individu-individu yang selalu dipusingkan oleh sistem sosial yang ada. Oleh
sebab itu, mereka selalu menekan pihak atas untuk suatu upaya kehidupan yang lebih baik.
Kemudian, masyarakat kelas atas lebih sering mempraktikkan pola hidup yang serba cukup
sehingga mereka lah masyarakat “bertahan”. Dengan kata lain, status borjuis yang melekat pada
masyarakat kelas atas ingin selalu dilindungi oleh diri mereka sendiri. Seringkali wewenang
politik yang mereka miliki, digunakan demi kepentingan status quo tersebut.

Mahasiswa melakukan kedua hal tersebut. Banyak dari kalangan mahasiswa menikmati
hidup yang cukup berkat tingkat ekonomi orang tuanya. Ditambah lagi, mereka memiliki
peluang yang lebih besar untuk melakukan mobilisasi vertikal di tengah masyarakat luas.
Namun, di sisi lain para mahasiswa dihadapi oleh seperangkat mata kuliah yang banyak
mengulas masalah-masalah sosial di Negaranya masing-masing. Hal ini mendorong mereka
untuk lebih peka terhadap golongan bawah. Pada akhirnya banyak mahasiswa yang menjalani
hidup berdasarkan pola-pola kehidupan golongan atas dan bawah. Suatu waktu mereka begitu
mendambakan produk-produk kapitalis, kemudian di waktu yang lain mereka merenungkan
dinamika kehidupan masyarakat sekelilingnya yang disebabkan oleh kebutuhan untuk
memahami materi kuliah yang diterima di kelas.

Oleh karena itu, mahasiswa butuh proses yang lebih mendewasakan dirinya agar dapat
memilih “apa yang disadari” sebagai esensi kehidupannya.

Anda mungkin juga menyukai