Anda di halaman 1dari 3

SEMANGAT GERAKAN MAHASISWA DARI MASA

KE MASA
Oleh:
Yulius Gono Ate
Dalam masa sekarang kita mendapati masa lalu, dalam masa sekarang juga kita akan mendapati apa yang
akan datang, sejarah memberi pelajaran kepada kita.

ahasiswa berasal dari kata maha yang berarti besar, agung dan siswa yang berarti

orang yang sedang belajar di institusi, dalam hal ini pendidikan tinggi. Dari definisi
tersebut, mahasiswa memikul tanggung jawab besar dalam melaksanakan fungsinya
sebagai kaum muda terdidik yang harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat
hari ini dan masa depan. Dengan sifat dan watak yang kritis, ketajaman intelektual,
independensi, serta energi yang besar, kelompok mahasiswa selalu identik dengan
perubahan sosial di masyarakat. Oleh karena itu, sejarah mencatat dimana kaum pemuda
khususnya mahasiswa memegang peranan penting dalam tonggak perubahan di negeri ini. Sebagai anak bangsa
yang secara sosial mendapat kesempatan lebih dibandingkan dengan saudaranya yang lain, mahasiswa
kemudian menjadi penggerak utama dalam banyak dimensi perubahan sosial politik di tanah air pada masanya.
Aktivitas mahasiswa yang merambah wilayah yang lebih luas dari sekedar belajar di perguruan tinggi inilah
yang kemudian populer dengan sebutan gerakan mahasiswa. Dalam membaca sejarah pergerakan mahasiswa
perlu diletakkan secara kontekstual sesuai dengan kondisi zaman dimana dinamika sosial politik menjadi acuan
dasar membedahnya. Gerakan mahasiswa identik dengan aksi penyikapan ataupun penolakan terhadap
kebijakan rezim, mobilisasi massa, serta penyikapan terhadap isu-isu lokal, nasional, maupun internasional.
Berbagai metode dilakukan baik yang berupa aksi damai, audiensi, diskusi, represif, penyadaran, turun ke jalan,
maupun penyebaran release atau pamflet ke masyarakat, dan lainnya. Adanya gerakan mahasiswa dengan
perannya yang signifikan dalam perubahan secara langsung akan membongkar mitos lama di masyarakat, bahwa
mahasiswa selama ini dianggap sebagai bagian dari civitas akademika yang berada di menara gading, jauh dari
persoalan yang dihadapi masyarakatnya.
Secara overview, gerakan mahasiswa dapat dibagi menjadi empat fase besar menurut tinjauan sejarah
Indonesia di antaranya,yaitu:
1. Periode pergerakan nasional (1900-1945),
2. Periode orde lama (1945-1965),
3. Periode orde baru (1965-1998),
4. Periode reformasi (1999-sekarang).
Sebagai pembelajaran dari masa lalu, penting untuk diketahui bahwa setiap periode memiliki zeitgeist-nya
masing-masing. Sejak awal abad ke 20, dengan adanya penjajahan kolonialisme-imperialisme asing munculah
kesadaran untuk melepaskan diri dalam rangka mencapai kemerdekaan. Pemerintah Belanda memberlakukan
politik etis (balas budi) yang cukup menguntungkan Indonesia kala itu dimana terdapat kesempatan para kaum
muda untuk mengenyam pendididkan tinggi hingga di luar negeri. Lahirnya Perhimpunan Indonesia yang
diprakarsai oleh mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda pada tahun 1925 merupakan momentum
awal dari semua gagasan dan ide tentang sebuah gerakan perubahan kaum muda yang plural dan terorganisir
secara modern. Organisasi mahasiswa ini bertujuan untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman
kolonialisme Belanda. Pada tahun 1915, murid-murid Stovia mulai mencoba memulai gerakan dengan
mendirikan Trikoro Dharmo. Pembentukan Trikoro Dharmo adalah embrio dari momentum sumpah pemuda
yang kemudian membangun rasa persatuan dan kesatuan atas dasar kebangsaan.Pada masa pergerakan menuju
kemerdekaan reaksi keras atas penjajahan kolonial mulai bermunculan. Dengan tekanan dari pihak kolonial
yang semakin represif, gerakan alternatif seperti kelompok studi (Study club) dimulai. Analisa terhadap Studie
Club jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi politik pada saat itu politik kolonial yang
semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia
Belanda dapat direspon dan distimulasi oleh kondisi subyektif studie club yang bertransformasi menjadi sebuah
partai. Selanjutnya, kejelian kaum pemuda melihat vacum of power pada masa menjelang proklamasi menjadi
titik awal peristiwa penculikan Soekarno Hatta ke Rengasdengklok yang pada akhirnya menghasilkan
Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Berbeda halnya pada periode 1945-1965 pergerakan mahasiswa dan tatanan politik di Indonesia dapat
dilihat dari 3 fase besar. Kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan 17 Agustus 1945 menjadi momentum
dimana seluruh Ormas, partai politik, kaum pemuda, dan masyarakat mencapai kesepakatan bulat dalam
menyatakan Indonsia sebagai negara merdeka. Ini merupakan fase pertama, fase seluruh stakeholder Indonesia
memiliki tujuan yang sama. Kemudian fase kedua ditandai dengan munculnya konsep berbangsa, adanya
Piagam Jakarta. Dinamika memanas ketika terjadi peperangan ideologi antar kaum-kaum yang berkepentingan,
tiap partai mengusung konsep berbangsa yang ideal menurut cara pandang dan ideologi mereka. Ketiga, fase
kelanjutan peperangan ideologi dalam pemilu 1955 yang memunculkan 3 kekuatan besar PNI (Nasionalissekuler), MASYUMI (Nasionalis-Islam), dan PKI (Komunis).
Gerakan-Gerakan mahasiswa memiliki corak masing-masing yang merepresentasikan ideologi yang
mereka bawa. Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa terhadap kondisi sosial politik yang
berlangsung memang tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran. Tipologi Geertz ini
kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu
itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari
modernisme Islam dan tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang
tidak hanya pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu
(1955). Kondisi Pergerakan mahasiswa terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi yang tidak jauh berbeda
dengan politik aliran Geertz. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok politik yang
dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai.
Pada periode 1965-1998, pergerakan mahasiswa dan tatanan politik di Indonesia bergerak dinamis dalam
beberapa fase besar. Diantara beberapa organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI (Consentrasi gerakan
Mahasiswa Indonesia) menonjol setelah kemenangan PKI di tahun 1955. Dampak dari Demokrasi Liberal
(1950-1959) adalah lahirnya organisasi ekstra kampus yang merupakan underbow partai-partai politik seperti
GMNI, PMII, GMKI, PMKRI, GEMSOS. Bahkan Himpunan Mahasiswa Islam yang telah lahir lebih dulu juga
dituduh berafiliasi dengan Partai Masyumi. Walaupun isu tersebut juga telah sebagian di counter oleh kalangan
HMI sendiri.
CGMI dan PKI menjadi common enemy gerakan mahasiswa kemudian hal ini memicu munculnya
kesepakatan untuk mendirikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) oleh PMKRI, HMI, PMII, Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa
Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI).
Perselingkuhan antara militer dan mahasiswa menandai turunnya rezim orde lama dan berganti rezim orde
baru. Pemuda dan mahasiswa banyak terlibat di dalam tumbuhnya rezim orde baru sehingga lahirlah istilah
angkatan 66 yang sukses mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten negara. Mereka kemudian mendapat
reward untuk duduk dalam lingkaran kekuasaan orde baru. Realitas berbeda terjadi dalam gerakan mahasiswa
angkatan 1966 dan tahun 1974 dimana pada masa ini mahasiswa berkonfrontasi dengan kekuatan militer.
Diawali di tahun 1970-an dengan isu kenaikan BBM, korupsi, hingga pemborosan anggaran hingga pada
akhirnya meledaklah peristiwa MALARI 15 januari 1974, Momentum tersebut bertepatan dengan kedatangan
Perdana Menteri Jepang Tanaka lahirlah Tritura baru ; ganyang korupsi, bubarkan Asisten Pribadi Presiden, dan
turunkan harga.
Ketika penguasa menganggap mahasiswa telah diluar batas, dimulai sejak awal tahun 1978 gerakan
mahasiswa mulai diberhentikan dengan aksi teror, pengekangan, intimidasi dan penahanan tanpa sebab.
Pemerintah melalui Daod Joesuf Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberlakukan konsep NKK/BKK
(Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Terjadi dikotomi antara gerakan intrakampus dan ekstra-kampus sehingga gerakan mahasiswa cenderung mengarah pada kelompok diskusi dan pers
mahasiswa, selain itu mahasiswa dijauhkan dalam politik praktis dengan adanya UU tentang Organisasi
Kemasyarakatan serta munculnya LSM (lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai gerakan alternatif. Hal ini
berdampak pada generasi kampus yang apatis dan posisi rezim pemerintah semakin kuat.
Pada tahun 1980-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural terutama yang di
Barat, serta belajar keluar negeri merupakan suatu kondisi objektif yang ditawarkan oleh kapitalisme yang
sedang berada pada titik kontradiksi ekonomi, politik, dan budayanya. Produktivitas yang rendah (terutama
produk yang mempunyai watak nasionalistis), kemiskinan, gap antara kaya dan miskin, pengangguran,
konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas
pendidikan politik, kosongnya dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat,
perusakan lingkungan, dekadensi moral, dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakan
dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpu lan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial
(tentang masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri (terutama dari Barat) menyuburkan budaya
diskusi, penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan. Selain itu
sebagai akibat dari ditekannya hasrat politik pergerakan mahasiswa yang ada, maka muncullah gerakan-gerakan

dakwah, sebut saja munculnya LDK di masjid Salman ITB dimotori oleh Imaduddin Abdulrahim yang
berkembang dan menyebar di seluruh kampus di Indonesia.
Pada tahun 1990, kebijakan NKK/BKK dicabut dibawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Fuad
Hasan. Konsep Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) coba diberlakukan yang kemudian didalamnya
terdapat (Senat Mahasiswa Fakultas) SMF dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Hal ini menjadi awal
kebangkitan mahasiswa dan gerakan 90-an berhasil menuntut kebebasan berpendapat dan kebebasan mimbar
akademik sehingga demonstrasi dapat dilakukan di dalam kampus. Selain itu gerakan mahasiswa mencoba
membangun basis-basis sosial dengan cara turun mengadvokasi kasus-kasus kerakyatan. Hal ini dilakukan oleh
SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) dimana mereka memiliki kader-kader yang
merambah kaum buruh dan tani contoh kasus tanah Kedung Ombo, kasus buruh di Surabaya dan Jabodetabek.
Selanjutnya, dalam periodisasi pergerakan mahasiswa tercatat bahwa pertemuan antara cost, momentum, dan
kepentingan menciptakan sebuah revolusi berdarah tahun 1998, ketika ribuan mahasiswa berhasil menduduki
gedung DPR/MPR. Kemudian ini menjadi titik balik lahirnya era reformasi. Gerakan 98 bersifat momentum dan
ditopang kondisi krisis ekonomi di Indonesia yang mengakibatkan naiknya harga-harga sembako, apalagi
kemarahan massa memuncak ketika terjadi penculikan aktifis, sampai pula pemukulan dan penembakan
mahasiswa yang turun ke jalan. Dalam hal ini agenda reformasi menuntut diturunkannya Soeharto, dicabutnya
Dwifungsi ABRI, diberantasnya KKN, diamandennya UUD 1945, diterapkannya Otonomi Daerah, serta
ditegakkannya supremasi hukum. Pasca Reformasi kondisi Indonesia pun berubah, terjadinya desentralisasi
(redistribusi kewenangan pusat-daerah), demokratisasi (demokrasi langsung dan elit politik yang lebih variatif),
dan liberalisasi (kebebasan pers/media massa dan sistem sosial yang lebih kompleks).
Gerakan Mahasiswa Masa Kini
Dunia perguruan tinggi dan kemahasiswaan sekarang lebih mesra dengan pemikiran hedonis, pola hidup
konsumtif, individualis serta pragmatis. Sementara gerakan mahasiswa dituntut dapat menjaga demokrasi,
menggapai kesejahteraan, dan mencerdaskan bangsa, padahal kondisi dan tantangan saat ini adalah IT era
(Overload informasi), Cengkaraman Neoliberalisme, serta Radikalisme yang rentan memicu konflik. Hal yang
tentunya akan menarik dan patut diperbincangkan, Bagaimana pola gerakan mahasiswa yang mampu menjawab
tantangan zaman??
Di masa kini sistem organisasi kemahasiswaan masih merupakan warisan dari NKK/BKK, dimana terjadi
dikotomi gerakan intra dan ekstra kampus. Selain itu dalam internal kampus terjadi polarisasi mainstream
gerakan seperti BEM dan DPM yang didaulat sebagai Eksekutif dan Legislatif, kemudian LPM yang berfungsi
sebagai pers kampus, UKM yang mengakomodir minat dan bakat mahasiswa. Terbentuknya spektrum gerakan
mahasiswa yang lebih luas berdampak pada lemahnya konsolidasi visi, orientasi, maupun tindakan setiap
gerakan. Hal ini kemudian parahnya mengaburkan peran dan tanggung jawab mahasiswa sebagai director of
change. Pemodelan spesifikasi gerakan memiliki kelemahan dalam konteks pelepasan tanggung jawab. Di
orientasi gerakan mahasiswa dan proses reformasi yang setengah hati menghiasi arah gerakan mahasiswa masa
kini.
Gerakan zaman ini bersifat pragmatis kultural serta memiliki godaan-godaan yang lebih banyak. Pola fikir
serta gaya hidup yang berubah total di zaman IT (Overload Informasi) dan era Globalisasi tentunya sangat
mempengaruhi kaum muda kita. Gerakan mahasiswa lebih bersifat human interest sehingga Profesionalisme,
Entrepreneurship, Pengabdian Masyarakat, Gerakan Lingkungan tampaknya menjadi alternatif pilihan bagi para
mahasiswa dalam kondisi politik yang benar-benar tidak bisa diharapkan. Pada hakikatnya gerakan mahasiswa
haruslah memiliki idealisme.
HIDUP MAHASISWA !!!

Anda mungkin juga menyukai