Anda di halaman 1dari 29

ERAKAN MAHASISWA INDONESIA

ADAKAH ITU SUATU USAHA SEJARAH


MENGUBAH RAKYAT MENJADI MASSA REVOLUSIONER?
oleh: Nur Farid, S.H
(Pekerja Politik dan Mantan Direktur Yayasan Cakrawala Timur-Surabaya)
Kelas yang tersubordinasi akan benar-benar bebas dan menjadi dominan bila dapat
mengukuhkan tipe negara baru. Kebutuhan akan tipe negara baru tumbuh secara konkrit karena
adanya perkembangan tatanan moral dan intelektual baru, yakni yang dapat menjelaskan tipe
masyarakat baru, oleh karenanya di butuhkan penjelasan konsep yang paling jauh daya
jangkaunya sebagai senjata ideologi yang paling tersaring dan ampuh.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, sesuai dengan konteks jamannya, haruslah
memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya,
benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat
Indonesia. Orientasi dan tindakan politik cermin daripada bagaimana mahasiswa Indonesia
memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi
nilai-nilai tujuan ideologinya.
Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki kesadaran
berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang di berikan kesempatan sosial untuk
menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan
penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakkannya adalah absah.
Dengan demikian kronologi sejarah gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan
bagaimana mahasiswa memberikan nilai lebih terhadap organisasi. namun demikian tidak ada
maksud untuk menghargai gerakan rakyat spontan.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa didalam organisasi
gerakan mahasiswa ditempa dan di penuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Pemahaman terhadap masyarakat problem-problem rakyatnya,
2) Pemihakan kepada rakyat-nya, dan
3) Kecakapan-kecakapan dalam tindakan mengolah massa-nya.
Ketiga syarat tersebutlah yang mencerminkan:
1) Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa,
2) Metodologi gerakan maha-siswa,

3) Strukturalisasi sumberdaya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan


4) Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategik-taktik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan akumulasi dan kulminasi dari dialektika
kondisi obyektif dengan tindakan subyektif masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu gerakan
mahasiswa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh:
1) Perang-perang heroik dan patriotik didalam dan diluar negri; gerakan petani pada abad 19 dan
buruh diawal tahun 1920-an didalam dan diluar negeri; pemberontakan-pemberontakan terhadap
kolonialisme-imperialisme Belanda; munculnya kekuatan partai-partai politik di tahun 20-an,
2) Penyebaran ideologi liberal, nasionalisme, komunisme, sosial-demokrat, dan islam,
3) Kondisi ekonomi politik.
MASA PENJAJAHAN BELANDA
Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo di tahun
1915. Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum
memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa Raya. Dalam hal
ini jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan sosial sudah
bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada konteks jamannya semua idealisme
konsep-konsep tersebut belum bisa dirumuskan dan terwujud sebagai artikulator problemproblem konkrit masyarakat pada waktu itu ; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa feodalisme.
Dan yang lebih parah: belum bisa menggerakkan massanya sesuai dengan artikulasinya tersebut.
Sejarawan-sejarawan yang idealis sering mengatakan, bahwa pada tahap awal gerakan elemenelemen pelopor, pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan
kemudian menyampaikannya dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun, realita sejarah
menghidangkan kenyataan yang lain: kondisi subyektif gerakan belum bisa bersatu dengan
kondisi obyektif di luar gerakan. Keduanya belum solid, keduanya belum bisa menyatu melalui
tahap-tahap panjang, rumit dan mengesalkan.
Dan juga ada keharusan yang katanya logis dan absah, yang dipaksakan oleh sejarawansejarawan idealis, yakni keharusan yang mengatakan: karena ide-ide nasionalisme, liberal,
komunisme, sosial-demokrat, islam dan lain-lainnya sudah masuk ke tanah jajahan Hindia
Belanda, seharusnya kaum intelaktual membentuk diri menjadi pelopor yang mengartikulasi
problem-problem masyarakat serta rakyatnya dan kemudian menggerakkan massanya.
Persoalannya bukan saja terletak pada keinginan subyektif dan normatif dari kaum intelektual;
persoalannya juga terletak pada tingkat kesadaran (level of consciesness) kaum intelektual itu
sendiri (sebagai kondisi subyektif), tingkat kesadaran rakyatnya dan atmosfir ekonomi-politik
pendorong tingkat kesadaran tersebut (sebagai kondisi obyektif). Jadi, logika sejarawan idealis
tidaklah berpijak pada realitas sejarah, logika yang tidak historis.

Atau bentuk dan watak organisasi seperti Trikoro Dharmo hanya merupakan taktik kaum pelopor
dalam menghadapi kondisi pada saat itu? Tidak, tidak didapatkan data ilegal, baik tertulis
(dokumen) maupun lisan, yang menyatakan hal tersebut.
Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi kedaerahan (Jong
Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Bond Ambon) dan tidak ada upaya berkonsolidasi.
Hanya atas bantuan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) maka organisasiorganisasi tersebut dilebur menjadi Indonesia Moeda (IM) tahun 1930. Dalam tindakan
konsolidasi, pelajar-pelajar mengambil inisiatif, juga dalam hal merubah konsep pelajarnya
menjadi pemuda, yang secara teoretis lebih memungkinkan mewadahi massa yang lebih luas.
Perjuangan IM pada umumnya lunak, kecuali cabang Surabaya, Radikalisasi IM Surabaya
berhasil memprovokasi kepala sekolah-kepala sekolah menengah untuk mengeluarkan
Schoolverbood (pemecatan bagi pelajar-pelajar sekolah menengah yang memasuki IM). Dengan
adanya peraturan tersebut dan intel-intel bangsa sendiri yang menyusup ke IM untuk
mengadakan provokasi, maka IM menjadi lemah: menjadi organisasi dekaden/bejad, tempat
foya-foya.
Hanya anggota IM yang sadarlah yang bisa keluar dari IM dan kemudian membentuk Soeloeh
Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda Revolusioner (PERPIRI). Namun, dan
memang wajar dalam masyarakat kolonial, dikeluarkanlah Vargader-verbod (pembubaran dan
larangan berkumpul) bagi SPI dan PERPIRI. Tapi anggota-anggota yang konsisten melakukan
gerakan bawah tanah. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan
pelajar untuk memiliki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada
organisasi Indonesia Moeda dan melepaskan diri dari organisasi sektarian pemuda dan
mahasiswa guna lebih mempertajam orientasi anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah
melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintah kolonial yang
semakin represif, setelah pemerintah kolonial di uji oleh pemogokan-pemogokan buruh di awal
tahun 1920-an dan pemberontakan PKI tahun 1926. Gerakan pemogokan buruh dan
pemberontakan PKI tersebut merupakan suatu pengorbanan yang berharga positif; memberikan
atmosfir pendidikan politik bagi kelanjutan pergerakan nasional. Banyak sejarawan Indonesia
masih menolak menuliskan tinta emasnya bagi sejarah Indonesia kurun itu.
Didalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti ini, muncullah alternatif kelompok
study (studieclub) yang politis dilihat dari orentasi dan tindakan politiknya, terbentuknya
Indonesia Studieclub (IS) dan Algemeene Studieclub (AS). Makna politis dari kelompok study
pada waktu itu adalah:
1) Mempelajari kondisi dan problem-problem konkrit yang berhubungan dengan negeri dan
rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang
berhubungan dengan buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal
kondisi organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan anggota
Gementeraad (dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional, parlemen, statistik
perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan non-kooperasi, kerjasama diantara organisasiorganisasi politik dal lain-lain,

2) Membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat koloni terutama Hindia
Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah,
seperti Soeloeh Ra'jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia,
3) Mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian
dilakukan tindakan nyata,
4) forumnya ditujukan pada sasaran masyarakat luas, pertemuannya terbuka di gedung-gedung
pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas,
5) Mendukung pemogokan buruh bengkel dan elektrik di Surabaya bulan nopember 1925.
Namun tidak dapat di pungkiri ada juga kelompok studi yang apolitis dan hanya berkubang di
masalah-masalah teoritis, yaitu apa yang dinamakan Debating Club (Sukarno keluar dari
organisasi ini dan masuk ke Algemeene Studieclub)
Dalam merespons perubahan politik yang lebih liberal akibat penggantian gubernur Jendral de
Fock oleh de Graeff (pendukung van Limburg Stirum, liberalis), dan dalam kondisi ekonomi
Belanda serta Hindia Belanda yang berada pada posisi merambat ke arah ekses penawaran
(posisi demikian merupakan masa positif sebelum mencapai puncak konjunktur ekses penawaran
dalam masa depresi kapitalisme pada tahun 1929-1930 maka IS dan AS berubah menjadi Partai
Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Kelompok studi berhasil
bertranformasi menjadi partai, ia merupakan cikal-bakal partai yang banyak menyumbang bagi
tercapainya "kemerdekaan" Republik Indonesia. Tanda kutip pada kata kemerdekaan bermakna:
Setelah Indonesia merdeka partai-partai tersebut,ternyata tidak berhasil memenangkan
pertempuran untuk merubah hubungan sosial rakyat Indonesia menjadi lebih adil, unsur-unsur
reaksioner juga turut dihidupkan dan menjadi kuat oleh momen sejarah Indonesia.
Namun demikian Studieclub telah memperlihatkan keunggulannya ketimbang kelompok studi
tahun 1980-an. Kelompok studi tahun 80-an lebih menyerupai debating club dalam tindakannya,
apolitis:
1) berkubang di masalah-masalah teoritis,
2) tidak bisa berdialektika sebagai unsur subyektif yang merespons dan menstimulasi kondisi
obyektif dalam kondisi ekonomi-politik Orde Baru, ia bukannya bertransformasi menjadi politis
tapi malahan membusuk. Lebih gegabah lagi bila kelompok studi tahun 80-an disimpulkan
menjadi bertransformasi menjadi pelopor, dominan atau bahkan mengambil peranan kecil
sekalipun sebagai koordinator dalam gerakan mahasiswa tahun 80-an. Kesimpulan ini bukan
berarti kami tidak menghargai nilai lebih diskusi. Jangan samakan antara tindakan diskusi
dengan tindakan kelompok studi secara keseluruhan.
Analisa terhadap sejarah studieclub jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif
ekonomi-politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah
menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda bisa direspon dan
distimulasi oleh kondisi obyektif Studieclub yang bertransformasi menjadi partai. Jadi, sungguh
suatu kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa mandulnya gerakan mahasiswa dari basis

kampus pada masa Orde Baru dan larinya mahasiswa dari basis kampus untuk membentuk
kelompok studi adalah akibat oleh NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif,
seolah-olah bila tidak ada NKK/BKK maka akan semarak dan menjadi kuatlah gerakan
mahasiswa. Apakah hal ini terbukti pada gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 60-an dan
70-an dimana pada waktu itu belum ada NKK/BKK? Tidak, sejarah membuktikan bahwa kondisi
subyektif gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an tidak bisa merespons dan
menstimulus ekonomi politik Orde Baru pada tahun 60-an dan 70-an. Perdebatan mengenai
kondisi ekonomi-politik Orde Baru tahun 60-an dan 70-an memerlukan ruang tersendiri. Namun
yang jelas, sebagai gejala, gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an benar-benar
telah dilumpuhkan, terutama tahun 60-an benar-benar merupakan borok sejarah. Justru dalam
skala tertentu, gerakan mahasiswa tahun 80-an dapat menembus NKK/BKK. Namun akumulasi
dan kulminasi tindakan politik, maka yang lebih dapat di hargai adalah gerakan mahasiswa masa
Orde Baru tahun 70-an. Penghargaan itu tentunya adalah hanya sebatas bahwa gerakan tersebut
telah memberikan atmosfir pendidikan politik dan tapak-tapak kabur pedoman menuju
demokratisasi.
Masa setelah bertransformasinya Studieclub menjadi PBI dan PNI pada kurun sejarah inilah
dapat di tebar pupuk momentum bagi konsolidasi, penyaringan dan semaraknya wadah-wadah
massa pemuda dan pelajar. Hal ini terbukti dengan di selenggarakannya kongres Pemoeda
Indonesia pada tahun 1928, yang berhasil menggabungkan pergerakan-pergerakan pemuda yang
berorentasi luhur, memprioritaskan terwujudnya cita-cita nasionalisme, menjunjung harkat nusa
bangsa: mengolah tercapainya kemerdekaan. Nama organisasi gabungan tersebut, dilihat secara
semantik saja, sungguh mengejutkan dan menggembirakan: Pemoesatan Pergerakan Pemoeda
Indonesia (PERPINDO) di pusat dan Pergaboengan Pemoeda (PERDA) di daerah. Dan, anggotaanggotanya adalah IM, Pemoeda Muhaammadijah, Persatoean Pemoeda Taman Siswa, Pemoeda
Muslimin Indonesia, Persatoean Pemoeda Kristen Djawi, Barisan Pemoeda GERINDO dan
PRRI.
MASA PENJAJAHAN JEPANG
Tentu saja ruang ini tidak cukup tersedia untuk membahas gerakan mahasiswa pada masa ini,
yang cukup menggairahkan untuk di analisa namun harus memperhitungkan spektrum
perdebatan yang cukup luas.
Yang pasti, semua organisasi pemuda yang ada di bubarkan, dan pemuda di masukkan kedalam,
yang utama Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA) untuk
dididik politik dan kegiatan-kegiatan menunjang fasisme: latihan militer untuk membela
kepentingan ekonomi-politik Asia Timur Raya.
Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah: gerakan bawah tanah (Underground-legal). Ramainya
pamflet-pamflet gelap, dan rapat-rapat gelap yang mengakibatkan adanya penangkapanpenangkapan oleh penguasa fasis Dai Nippon Jepang. Momentum gerakan bawah tanah, yang
juga "katanya" dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno, merupakan jalan keluar yang
lebih mencekam dan belum memassa, tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini
belum mencapai tingkat yang revolusioner. Dan harus dilacak mengapa Fron Anti Fasis tidak
menampakkan sosok yang jelas.

MASA KEMERDEKAAN
1945-1950
Suatu momentum yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar: selain mereka
melucuti senjata Jepang, juga memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka, misalnya
Angkatan Pemoeda Indonesia (API), Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan Pemoeda
Repoeblik Indonesia (GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda Poetri Indonesia (PPI
dan lain-lainnya.
Pada saat belum ada pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi, diselenggarakanlah kongres
Pemoeda Seloeroeh Indonesia I (1945) dan ke-II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting
artinya karena:
1) Dapat melahirkan organisasi gabungan Pemoeda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang
merupakan hasil peleburan API, PRI, GERPRI, AMRI dan sebagainya,
2) Terbentuknya badan Kongres ke-I berada dalam suasana semangat perjuangan bersenjata
(pemuda turut berpartisipasi dalam pertempuran Nopember di Surabaya),
3) Kongres ke-II menghasilkan keputusan antara lain: Berpegang teguh pada Undang-Undang
Dasar, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan
mematuhi pimpinan yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi seperti Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpoenan
Mahasiswa Katholik Jogja (PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpoenan
Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpoenan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan
Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang
(PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus berada di daerah
pendudukan Belanda. Dalam perjalanannya, keberadaan

Dinamika Gerakan Mahasiswa dalam Bingkai Sejarah: Atas Nama Rakyat


Indonesia

Dinamika Gerakan Mahasiswa dalam Bingkai Sejarah:


Atas Nama Rakyat Indonesia

Mahasiswa hidup di tengah-tengah masyarakat. Itulah sebabnya mereka mengerti dan memahami betul apa yang
dirasakan dan dialami masyarakat... Jika ada yang mengatakan tidak boleh atau melarang aksi mahasiswa,
mungkin ada yang tidak senang dengan aksi mahasiswa.

(Dr. A. H. Nasution)

Pendahuluan
Agaknya sepenggal kalimat yang diungkapkan oleh Dr. A. H. Nasution di atas dapat
memberikan kita gambaran nyata tentang sosok mahasiswa dalam panggung pergerakan. Apa
pun kondisi yang sedang berlangsung saat ini, dan dari sudut pandang mana pun akan kita tilik
kondisi tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa adalah the most important society.
Mahasiswa adalah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan, politik maupun budaya. Unik
karena mahasiswa memiliki status, latar belakang, dan ideologi yang boleh jadi membuat mereka
bangga.
Dibalik itu semua, patut kita sadari bahwa mahasiswa adalah manusia biasa. Anggota asli dari
sebuah tatanan kemasyarakatan di mana mereka hidup dan berjibaku di dalamnya. Dalam
konteks ini, mahasiswa adalah figur lemah yang senantiasa dijadikan objek (padahal mereka
hakikinya adalah subjek). Namun, dalam segala keterbatasan dan sangat biasanya mahasiswa,
mereka bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan luar biasa yang tidak bisa dibendung dengan
senjata apa pun juga. Lebih lanjut, mahasiswa boleh jadi bangga atas intelektualitas yang mereka
miliki karena mereka termasuk orang-orang yang beruntung yang dapat mengenyam pendidikan
hingga jenjang yang tertinggi. Maka tidak salah memang, jika mereka-mereka ini menyandang
sebutan mahasiswa, status superior bagi pelajar di Indonesia.
Status yang disandang ini memberikan konsekuensi logis adanya hubungan timbal-balik antara
status dan peran mahasiswa. Sebagai bagian dari masyarakat, mahasiswa harus peka terhadap
apa yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat. Mengutip Ali Syariati, seorang intelektual
bagaikan direktur film. Ia harus mengetahui, memahami, dan mengenal baik masyarakatnya. Apa
yang ia katakan ada sangkut-pautnya dengan masyarakat..dengan demikian tanggung jawab
pokok cendikiawan adalah membangkitkan dan membangun masyarakat Pentingnya peran
mahasiswa ini layak kita garis-bawahi. Tidak hanya terletak pada posisi mahasiswa yang
cenderung 'elitis' karena stigma positif yang melekat atas kedudukan mereka yang istimewa di
mata masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan aktivitas mahasiswa atas tanggung jawab moralsosial kemasyarakatan yang digantungkan oleh masyarakat kepada mereka. Mahasiswa menjadi
representatif bagi masyarakat dalam mengaspirasikan tuntutan. Oleh karena itulah, tuntutan
mahasiswa adalah tuntutan rakyat, tuntutan yang atas nama Rakyat Indonesia.
Perjalanan Gerakan Mahasiswa
Tidak dapat dipungkiri peran mahasiswa menjadi begitu penting dalam sejarah perjuangan
bangsanya dari masa ke masa. Gerakan mahasiswa telah membuktikan bahwa mereka mampu
untuk menumbangkan keotoritarian kaum elite atas rakyatnya. Gerakan mahasiswa untuk
kemudian menjadi bentuk perjuangan dan kontribusi nyata kaum intelektual atas tanggung jawab
moral-sosial mereka kepada rakyat.
Gerakan mahasiswa tampaknya memang sudah menjadi tuntutan zaman. Keberadaannya timbul
dan tenggelam dalam pergolakan bangsa-bangsa yang ingin menata kehidupan demokrasinya
menuju ke arah yang lebih baik. Pengalaman historis perjuangan bangsa telah membuktikan
bahwa mahasiswa selalu memainkan peranan penting dalam setiap perjuangan. Mahasiswa telah
menjadi kekuatan yang ada pada setiap perubahan yang tertoreh dalam sejarah bangsanya.

Istilah gerakan mahasiswa menjadi sangat populer setelah terjadi sebuah fenomena monumental
di tahun 1998. Meskipun pada masa sebelumnya, gerakan mahasiswa juga pernah secara aktif
memelopori perubahan. Dalam konteks transisi politik di Indonesia, gerakan mahasiswa telah
memainkan peranan yang penting sebagai kekuatan yang secara nyata mampu mendobrak rezim
otoritarian.
Kalau kita melihat sejenak peran gerakan mahasiswa dalam konteks semangat zamannya, kita
bisa menengok kembali kepada peran mahasiswa dalam kurun waktu yang amat menentukan
dalam sejarah bangsa kita. Munculnya angkatan-angkatan 1908, 1928, 1945, 1966, 1974, 1978,
dan 1998 di pentas politik baik yang berhasil ataupun yang gagal total kiranya senantiasa
dilandasi semangat untuk melakukan kritik terhadap status quo dan mengharapkan kehidupan
baru yang lebih baik dan dengan impian dan harapan yang lebih baik pula.
Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari gerakan pemuda yang tidak dapat dipisahkan
dengan proses perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan pemuda 1908. Pada masa
kebangkitan nasional ini, kaum intelektual muda adalah bagian pendobrak cara pandang yang
kolot dengan mengadopsi cara pikir yang cerdas. Posisi kaum intelektual (mahasiswa) pasca
1908 adalah munculnya generasi gerakan di tahun 1966 yang diyakini berhasil menumbangkan
rezim Orde Lama dan menggantikannya dengan rezim Orde Baru. Kemudian, gerakan
mahasiswa angkatan 1978 muncul sebagai kekuatan yang menolak usaha-usaha depolitisasi
terhadap mahasiswa. Sementara itu, angkatan 1980-an muncul sebagai generasi gerakan kritis
yang tidak memunculkan gerakan yang masif, tetapi intensif terjun lagsung dalam masyarakat
dalam kelompok-kelompok diskusi dan LSM-LSM yang bekerja secara langsung dalam basis
masyarakat. Puncak dari gerakan mahasiswa terjadi pada angkatan 1998 yang diyakini berhasil
menumbangkan rezim Orde Baru. Gerakan yang dipelopori mahasiswa ini bersifat masif dan
berhasil meruntuhkan hegemoni dan kekuasaan riil negara. Bahkan, militer pun berhasil
diredupkan posisinya berkat kekuataan massa di bawah kepeloporan mahasiswa-mahasiswa.
Gerakan mahasiswa dari masa ke masa selalu memberikan nafas baru yang kemudian melahirkan
aktivis-aktivis mahasiswa yang cerdas dan berani. Pada umumnya, gerakan yang dibangun oleh
para aktivis mahasiswa ini berangkat dari sebuah kesadaran tentang posisi masyarakat yang
berhadapan dengan negara (konsep patron-client). Kesadaran tersebut kemudian membawa
aktivitas gerakan pada sebuah tujuan yang hendak dicapai. Dengan melibatkan berbagai wacana
yang mampu mendukung terwujudnya tujuan gerakan, para aktivis akan mengembangkan sebuah
metode, strategi, atau taktik gerakan sebagai hasil dan tindak lanjut dari tingkat kesadaran yang
mereka miliki tentang ketegangan antara negara dengan masyarakat. Dalam perjalanan sejarah
Bangsa Indonesia sendiri, aktivitas gerakan mahasiswa selalu mengalami pasang surut, tercapai
atau tidaknya tujuan gerakan sangat tergantung pada metode dan strategi gerakan yang
digunakan. Beda zaman beda tantangan, begitulah gambaran dinamika gerakan mahasiswa dalam
torehan sejarah.
Gerakan Mahasiswa dari Masa ke Masa
1. Munculnya Pergerakan Kaum Terpelajar (1908)
Kaum terpelajar Indonesia muncul seiring dibangunnya sekolah-sekolah oleh Belanda pada

abad-18. Dari pembangunan tersebut hingga tahun 1906 di Hindia sudah terdapat beberapa orang
terpelajar pribumi yang kebanyakan berasal dari keluarga para raja atau bangsawan tinggi
mendapatkan pendidikan menengah dan tinggi. Munculnya perguruan tinggi di Hindia Belanda
merupakan politik etis (politik balas jasa) yang diterapkan Belanda yang meliputi aspek edukasi,
emigrasi, dan imigrasi. Sayangnya, politik etis tersebut hanyalah merupakan taktik dari kolonial
untuk mendapatkan tenaga terdidik yang murah untuk membuka lahan perkebunan, dan
membuat irigasi yang tentunya hanya menguntungkan pihak Belanda. Walaupun demikian, peran
politik etis ini menjadi besar bagi kemunculan kaum terpelajar yang pada awalnya masih
didominasi oleh putra-putra priyayi, yang dari perkenalannya dengan Eropa mereka menyadari
kekurangan bangsanya: tingkat pendidikan, pengetahuan dan ilmu, terutama teknologi, dan
peradaban pada umumnya.
Munculnya kaum terpelajar turut mendorong berkembangnya organisasi-organisasi soSial.
Organisasi soSial yang pertama kali muncul adalah Sarikat Priyayi pada tahun 1906. Organisasi
ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo, termasuk Thamrin Mohamad Thabrie dan R.A.A.
Prawiradiredja. Sarikat Priyayi kemudian tidak berkembang karena tidak mampu menggerakkan
para priyayi yang sudah mapan, dan tidak mau bergerak tanpa restu dari pemerintah. Kemudian
pada tahun 1908 berdirilah Boedi Oetomo dengan tokoh-tokohnya antara lain E. Douwes Dekker
dan Wahidin Soediro Hoesodo. Boedi Oetomo didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemudapelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, sebuah sekolah kedokteran di Jakarta.
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur
pengorganisasian modern. Tujuan didirikannya organisasi ini adalah menghendaki adanya
kemajuan bagi Hindia. Wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual
terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya. Awalnya Boedi Oetomo bergerak secara
terbatas di Jawa dan Madura, tetapi kemudian meluas ke seluruh Hindia. Bidang kegiatan yang
dipilih oleh Boedi Oetomo adalah bidang pendidikan dan budaya, dengan tidak melibatkan diri
dalam kegiatan politik.
Pada kongres pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan:
Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran,
pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan. Keterlibatan golongan
tua moderat dan priyayi yang mengutamakan jabatan, membuat Boedi Oetomo justru semakin
melemah dan terjerembab masuk dalam kerangka politik etis. Kondisi ini menjadikan Boedi
Oetomo cenderung memajukan pendidikan bagi priyayi dengan meluaskan pendidikan Barat.
Pada tahun 1911, di Solo berdiri sebuah perkumpulan bernama Sarekat Islam (SI). Organisasi ini
didirikan bukan semata-mata sebagai perlawanan terehadap para pedagang-pedagang Cina, tetapi
juga digunakan sebagai front untuk melawan semua bentuk penghinaan terhadap rakyat
bumiputera. Organisasi merupakan reaksi terhadap rencana krestenings-politiek (politik
pengkristenan) dari kaum zending, perlawanan terhadap penindasan dari pihak kolonial. Berbeda
dengan Boedi Oetomo yang elitis karena hanya berada di lingkungan priyayi, SI mampu
menjamah lapisan masyarakat bawah untuk melawan segala bentuk penindasan dan
kesombongan rasial.
Tujuan didirikannya SI antara lain: mengembangkan jiwa berdagang; memberi bantuan kepada

anggota-anggotanya yang menderita kesukaran; memajukan pengajaran dan semua yang dapat
mempercepat naiknya derajat bumiputera; dan menentang pendapat-pendapat yang keliru tentang
islam. Tujuan SI secara tidak langsung menghubungkan organisasi ini dengan dunia politik.
Disamping itu, pada tahun 1908, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda,
salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di
Rotterdam mendirikan organisasi bernama Indische Vereeniging yang kemudian berubah nama
menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat
kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih
mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, pada tahun 1925 organisasi ini berganti
nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan Indonesia menyerukan kesatuan di
antara organisasi-organisasi yang ada. Dari persatuan tersebut diharapkan terbentuk front tunggal
yang dapat menarik dukungan massa atas dasar nasionalisme. Metode yang digunakan untuk
mendapatkan pengaruh adalah melalui boycott terhadap dewan tuan tanah kolonial, mengikuti
contoh India dengan gerakan non-cooperation, dan secara umum bergantung pada kekuatan dan
kemampuan bangsa sendiri.
Berdirinya Indische Vereeniging dan organisasi-organisasi lain, seperti: Indische Partij yang
merupakan partai politik pertama di Hindia yang berdiri pada tanggal 25 Desember 1912 dengan
Douwes Dekker sebagai ketua dan Tjipto Mangunkusomo sebagai wakilnya yang senantiasa
melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia; Sarekat Islam; Muhammadiyah yang beraliran
nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV)
yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal
tersebut di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan
Boedi Oetomo karena banyak orang kemudian memandang Boedi Oetomo terlalu lembek oleh
karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu elitis serta sempit keanggotaannya
(yaitu hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa).
Kehadiran Boedi Oetomo, Indische Vereeniging, dan lain-lain pada masa itu merupakan suatu
episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar
dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya. Generasi 1908 dengan tujuan utamanya
menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia
untuk memperoleh kemerdekaan kian mendorong semangat rakyat melalui peneranganpenerangan pendidikan yang mereka berikan untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan
kolonialisme.
2. 1928
Pada tahun 1922, sekumpulan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeniging yang
kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan
perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang
dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang mempraktekkan ide-ide mereka dan dikenal
amat berpengaruh karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah
Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal
29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie Club) yang
kemudian menjadi Perserikatan Nasional Indonesia, direalisasikan oleh para nasionalis dan

mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli
1925. Tujuan PNI sendiri adalah bekerja untuk kemerdekaan Indonesia dengan dua metode yang
digunakan, yaitu pertama, ke dalam: dengan mengadakan kursus-kursus, mendirikan sekolahsekolah, bank-bank, dan sebagainya; kedua, keluar: dengan memperkuat opini publik di rapatrapat umum (vergadering) dan menerbitkan surat-surat kabar.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian
Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh
elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St.
Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV)
bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada
tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, generasi
baru pemuda Indonesia muncul dan tercetus Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 2628 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI. Pada tahun 1930 hampir semua perkumpulan pemuda
Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda.
3. 1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan
kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi
Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan
memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa
Indonesia (PBI) sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia
(PNI).
Secara umum, kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang
jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, Ketika Jepang masuk ke Indonesia
tahun 1942 terjadi pelarangan semua kegiatan yang berbau politik, dan hal ini ditindak lanjuti
dengan membubarkan semua organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik. Praktis,
akibat kondisi yang sangat represif itu, mahasiswa dan pemuda memilih melakukan kegiatan
berkumpul dan berdiskusi di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah
kemerdekaan dan berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh adalah Asrama Angkatan
Baru Indonesia (Menteng 31), Asrama Fakultas Kedokteran (Cikini), dan Asrama Indonesia
Merdeka (Kebon Sirih).
Asrama Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31) didirikan dengan tujuan menciptakan inti
aktivis yang setelah menyelesaikan pendidikannya akan disebar ke daerah-daerah. Tema
pendidikan dalam asrama ini berpusat pada masalah nasionalisme dan Semangat Asia Timur
Raya. Siswa-siswa dalam asrama ini antara lain Chairul Saleh dan Sukarni, mereka merupakan
angkatan muda 1945 yang bersejarah, yang pada saat itu terpaksa menculik dan mendesak
Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini yang
kemudian dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok.
Berbeda dengan Asrama Angkatan Baru Indonesia, Asrama Fakultas Kedokteran dihuni oleh

mahasiswa dari latar belakang menengah ke atas yang kesehariannya menggunakan bahasa
Belanda dengan pandangan sosial demokratnya, juga bukan kelompok pemuda yang aktif dalam
kegiatan politik. Sedangkan Asrama Indonesia Merdeka didirikan dengan tujuan untuk
mengimbangi Angkatan Darat dalam menarik pemuda. Dan pada akhir tahun 1944, berdiri
organisasi bernama Angkatan Muda yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa
resolusi antara lain: Pertama, seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah
satu pimpinan tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat mungkin.
4. 1966
Pasca proklamasi kemerdekaan, muncul berbagai organisasi mahasiswa dengan dasar ideologi
yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 Februari 1947 diresmikan terebentuknya Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), kemudian diikuti berdirinya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
(GMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan berdirinya Perhimpunan
Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI). Organisasi-organisasi mahasiswa ini
menggunakan ideologi agama seperti Islam, Kristen, dan Katholik. Kemunculan organisasiorganisasi mahasiswa ini mengikuti lahirnya partai-partai politik yang juga menggunakan basis
ideologi agama seperti Masyumi yang berdiri tanggal 7 November 1945 dan Partai Katholik
yang berdiri tanggal 8 Desember 1945.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem
kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan
organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik
Indonesia (PMKRI) dengan Partai Katholik; sementara partai besar lainnya yaitu partai Nasional
Indonesia (PNI) juga memiliki organisasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang
berdiri tanggal 23 maret 1954; Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI;
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berafiliasi dengan Partai NU; Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi; dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI) yang dibentuk pada tahun 1956 sebagai hasil penggabungan tiga organisasi kecil
mahasiswa di Bandung, Bogor, dan Yogyakarta. Pada Kongres CGMI ke IV tahun 1964 di
Jakarta dinyatakan CGMI akan mendekati partai yang berpihak kepada rakyat. Dalam
perkembangannya, CGMI memiliki kedekatan dengan PKI. Program yang dibawa oleh CGMI
waktu itu adalah Tritunggal, yaitu: pertama, studi; kedua, menjadi nomer satu dalam studi;
ketiga, bergerak di bawah. Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol
setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955.
Di permulaan tahun 60an dan pada periode Demokrasi Terpimpin, para mahasiswa berhadapan
dengan dua kekuatan besar yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan Manifesto
Kebudayaan (Manikebu). Lekra mempunyai pengaruh yang besar dalam kehidupan intelektual
Indonesia waktu itu. Organisasi ini memasukkan pandangan-pandangan mereka dalam bidang
kesenian, kesusastraan, dan gagasan-gagasan dengan pendekatan realisme kritis atau
romantisme revolusioner. Lekra anti terhadap nilai-nilai kebudayaan yang non-Indonesia.
Sedangkan Manikebu bertujuan untuk membendung makin besarnya kekuatan Lekra dalam
kehidupan kesusastraan dan kesenian. Kelompok ini menolak politik kebudayaan nasional
sempit yang dicanangkan oleh Soekarno dengan dukungan kuat Lekra.

Organisasi gerakan mahasiswa yang meramaikan panggung perpolitikan dalam masa Demokrasi
Terpimpin adalah organisasi yang memiliki afiliasi pada partai politik. Mereka saling berlomba,
adu program untuk mendapatkan massa yang besar. Organisasi mahasiswa yang tersingkir dari
panggung politik mengorganisir diri melalui kesatuan-kesatuan aksi. Puncaknya ketika pecahnya
peristiwa G30S, mahasiswa berideologi liberal yang tersingkir kemudian bersatu dengan tentara.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1965
yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri
Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI,
HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasiorganisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa
(IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan
perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Sebelum
KAMI gerakan mahasiswa yang menyikapi peristiwa G30S masih bersifat local. Kemunculan
KAMI tersebut membuat isu yang dibawa semakin terfokus menjadi Trotura (Tri Tuntutan
Rakyat) yang berisi: Bubarkan PKI, retool Kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia (KASI), dan lain-lain. Titik puncak aksi mahasiswa terjadi pada saat diadakannya
pelantikan kabinet Dwikora tanggal 24 Februari 1966 oleh Soekarno di istana Presiden. Ketika
demonstrasi mencapai jalan Merdeka Utara, dua demonstran yaitu Arief Rahman Hakin
(mahasiswa Kedokteran UI) dan Zubaedah (pelajar sekolah menegah) tewas tertembak.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan
yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi
awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan
mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang
kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua
Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI, Akbar
Tanjung dari HMI, dan lain-lain. Angkatan '66 mengangkat isu komunis sebagai bahaya laten
negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa
menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama
berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi
DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. Di masa ini ada salah satu
tokoh yang sangat idealis, yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa
yang idealis setelah masanya, dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau
didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini, dia adalah Soe Hok
Gie
5. 1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika
generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang
dialami adalah konfrontasi dengan militer. Pasca peristiwa G 30S, gerakan mahasiswa cenderung
memakai konsep gerakan moral (moral force). Dalam konsepsi ini, mahasiswa bertindak sebagai
kekuatan moral daripada sebagai kekuatan politik, dalam arti bahwa mahasiswa muncul sebagai
aktor politik ketika situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kemudian kembalike
kampus belajar. Arief Budiman menyebut gerakan ini sebagai Gerakan Koreksi. Gerakan ini

sifatnya hanya melakukan kritik terhadap suatu permasalahan. Gerakan ini merasa tidak perlu
mengumpulkan massa yang besar dan melengkapi dirinya dengan ideologi alternatif.
Bangkitnya gerakan mahasiswa pada periode ini tidak dapat dilepaskan dari konstalasi politik
dan ekonomi nasional pada waktu itu. Jika pada tahun 1968 dan 1969 kondisi kampus tenangtenang saja, maka pada tahun 1970 terjadi berbagai aksi dan protes yangdilakukan oleh
mahasiswa. Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya aksi ini adalah faktor objektif seperti
jumlah mahasiswa bertambah terus tetapi anggaran pendidikan relatif kurang; jumlah mahasiswa
baru yang tidak sepadan dibandingkan dengan fasilitas yang tersedia, meningkatnya inflasi dan
bertambahnya kesulitan hidup sehari-hari; semua itu menimbulkan ketegangan. Ditambah lagi
dengan merajalelanya korupsi di tahun 1970 yang mengiringi pertumbuhan ekonomi di samping
munculnya tanda-tanda pertama dari boom minyak. Selain itu, pembangunan ternyata tidak
membuat sejahtera seluruh lapisan masyarakat, pembangunan hanya dinikmati oleh sekelompok
kecil masyarakat.
Pada tahun 1970 para aktivis yang dimotori oleh Arief Budiman membentuk gerakan bernama
Mahasiswa Menggugat. Gerakan ini memprotes kenaikan harga bensin yang mengakibatkan
harga-harga dan juga korupsi. Diikuti dengan gerakan-gerakan anti korupsi dalam skala yang
lebih luas, pada tahun 1970, pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan
membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya Komite Anti
Korupsi ini dapat dilihat sebagai reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang
disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai
Komisi Empat.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an,
sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek
kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
Golongan Putih (Golput) yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada
1972 karena Golkar dinilai curang.
Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada tahun 1973 yang
menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus
mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam
bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan
mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundangundangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan
MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun
mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi
rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi
Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan
Buyung Nasution, Asmara Nababan. Golongan putih (Golput) dimaksudkan untuk menghimpun
orang-orang yang tidak mengikuti pemilu
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan

anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak
dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Pada akhir 1973, suasana semakin menghangat dengan berbagai faktor
seperti lahirnya UU perkawinan dan isu modal asing yang masuk ke Indonesia seiring dengan
diangkatnya Asisten Pribadi (Aspri) Presiden. Memasuki tahun 1974, pada tanggal 14 Januari
mahasiswa berdemonstrasi di lapangan udara Halim Perdanakusuma memprotes kedatangan
Perdana Menteri Jepang Tanaka yang datang ke Indonesia dan sehari kemudian mahasiswa
meneriakkan kembali tritura yang berisi: 1. Bubarkan Asisten pribadi (Aspri); 2. Turunkan
harga; 3. Ganyang Korupsi. Demostrasi ini memuncak pada tanggal 15 Januari yang membuat
pusat kota Jakarta sempat terhenti aktivitasnya selama dua hari. Hampir 1000 mobil, kebanyakan
buatan Jepang, 144 gedung dibakar atau dirusak, 9 orang meninggal, seratus lebih cedera dan
820 orang ditangkap. Peristiwaq ni kemudian dikenal dengan peristiwa Malari atau
Malapetaka 15 Januari 1974. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi
Presiden.
6. 1978
Setelah peristiwa Malari, dikeluarkan SK Pemerintah No. 028/1974 yang memberi wewenang
yang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi untuk mengontrol aktivitas mahasiswa di
kampus, pers mahasiwa harus diawasi oleh Menteri Penerangan dan birokrat kampus, dan
peraturan yang mengharuskan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai untuk
bergabung menjadi satu organisasi yang diatur oleh rejim, ditambah dengan pencucian otak para
mahasiswa dengan pembentukan komisi yang merubah Pancasila menjadi alat kontrol politik.
Hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa
disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi
dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan
mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul
kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik
diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan
tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerahdaerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat
lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Pada gerakan mahasiswa tahun 1978, mahasiswa memfokuskan membangun aliansi antara
dewan mahasiswa ketimbang membangun aliansi dengan faksi-faksi elit yang tidak mendukung
Soeharto. Pada bulan Januari 1978, dewan mahasiswa ITB menerbitkan Buku Putih Perjuangan
Mahasiswa 1978 yang dinyatakan sebagai kritik Indonesia sistematis pertama terhadap
kebijakan rezim Orde Baru. Buku ini mencerca pemerintah untuk korupsi yang meluas,
kebijakan ekonomi yang memfasilitasi kepentingan memperkaya diri sendiri dengan biaya
kesejahteraan sosial, represi terhadap suara politik independen dan kehilangan hubungan dengan
rakyat.
Pada periode ini terjadi pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap

telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978
lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus dan tidak terpancing
keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974. Akibatnya, pada tanggal 21 Januari
1978 Pangkomkamtib Soedomo menerbitkan SK Komkamtib yang berisi tentang pembubaran
Dewan Mahasiswa semua universitas dan pendudukan atau pengambilalihan kampus oleh
militer. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan instruksi No.1/U/1978 dan SK
Menteri pendidikan dan kebudayaan No.037/U/1979 yang berisi pembubaran Dewan Mahasiswa
dan pembatasan aktivitas mahasiswa.
Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah,
yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat
bahkan menolak kepemimpinan nasional.
7. Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa
selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa. Upaya pemerintah
untuk mengeliminasi mahasiswa dari kegiatan politik semakin kuat ketika pada tanggal 19 April
1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang saat itu dijabat oleh Daoed Joesoef menerapkan
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berarti menata ulang dan redefinisi
kampus secara mendasar, fungsional, dan bertahap. Kebijakan ini membuat mahasiswa hanya
boleh melakukan kegiatan kampus dan dilarang berhhubungan dengan kehidupan politik praktis.
Kebijakan ini dituangkan dalam SK Menteri pendidikan dan Kebudayaan No.0156/V/1978 yang
menyatakan bahwa aktivitas dan ekspresi politik mahasiswa di dalam kampus adalah tidak sah
serta hanya mengijinkan adanya diskusi akademik tentang subjek politik. Selain SK
Mendikbud, dirjen DIKTI juga mengeluarkan instruksi No.002/DK/Inst/1978 yang
menempatkan semua aktivitas mahasiswa di bawah kontrol Pembantu Rektor III yang dibantu
oleh pembantu dekan III di tiap fakultas. Keputusan tersebut mengakibatkan adanya badan
koordinasi untuk urusan kemahasiswaan, sebuah institusi kampus yang memberikan otoritas
efektif pada rektor untuk menunjuk atau mengganti pemimpin organisasi mahasiswa dengan
segera.
Tanggal 24 Februari 1979, setelah melewati pembahasan intensif antara Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan dan para rektor, Mendikbud mengeluarkan SK No.37/U/1979 yang mengatur
Bentuk Susunan Lembaga atau organisasi Kemahasiswaan Lingkungan Perguruan Tinggi
Departemen P dan K. dengan begitu di tiap perguruan tinggi dibentuk Badan Koordinasi
Kemahasiswaan (BKK) sebagai badan nonstruktural yang berfungsi membantu rektor untuk
merencanakan kegiatan mahasiswa. Dengan begitu maka sejak peraturan-peraturan itu
dimunculkan, praktis semua kegiatan mahasiswa baik kurikuler maupun non kurikuler dikontrol
oleh pimpinan perguruan tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan
Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat
Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal
yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan

pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud
tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra
kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh.
Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik
praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat
pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang
apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal
tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh
kekuasaan refresif penguasa. Kelompok Studi (KS) merupakan arena untuk mengasah
kemampuan kritis mereka atas persoalan sosial dan politik. KS muncul sebagai alternatif akibat
ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyalurkan ide-ide kritis
mahasiswa mengenai perubahan sosial. Era KS dimulai sejak 1982-1983, kemunculannya yang
meskipun berjumlah kecil dan hanya terdapat di kota-kota tertentu mampu meramaikan kembali
gerakan mahasiswa. Pemikiran-pemikiran kritis yang dikaji dalam KS antara lai karya Karl
Marx, Paolo Freire, Ivan Illich, Jurgen Habermas, dan Michael Foucalt.
Dalam perkembangannya, eksistensi kelompok ini tidak hanya berfungsi sebagai arena untuk
diskusi melainkan juga mealkukan aksi-aksi advokasi. Advokasi tersebut berupa turun ke
bawah yakni bekerja sama dengan dan mendampingi kaum buruh dan petani. Kehadiran wadahwadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur menjadi alternatif gerakan
mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai
kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan
aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam),
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia), PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan
Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga
membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Selain kemunculan berbagai macam organisasi mahasiswa tersebut, gerakan mahasiswa pada
massa ini juga mengaplikasikan hasil diskusinya dengan cara melakukan pengorganisiran di
basis-basis massa rakyat. Demonstrasi-demonstrasi kampus pertama muncul kembali pada 1987
yang memuncak pada tahun 1989 dalam rangkaian protes mahasiswa mengenai isu tanah dan
kekerasan terhadap rakyat sipil. Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi
mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, Blengguan, Pandega, dan
lain-lain. Kasus Kedung Ombo patut diberi catatan tersendiri karena kasus ini yang membawa
para mahasiswa kembali keluar dari ruang kuliahnya dan terlibat ke dalam masalah sosial politik.
Bahkan leibh dari itu, kerjasama antara mahasiswa yang ada di berbagai kota di Jawa Tengah
dan Jakarta mulai dibina.
8. 1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut
dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui

PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas
(SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra menanggapi SK
tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun
dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa
yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hidden agenda untuk
menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan
di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena
kegagalan konsep ini. Konsep SMPT tidak banyak berbeda dengan NKK/BKK. Mahasiswa
menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk
birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di
UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai
landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis
serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa
untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa
ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987-1990 sehingga akhirnya demonstrasi
bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar
kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
Fenomena negara yang sangat kuat sehingga bisa mengontrol kebebasan berbicara dan berpikir
masyarakat khususnya mahasiswa, membangun kesadaran massif di antara kalangan mahasiswa,
sehingga ketika terjadi sikap-sikap otoriter dari negara, ingatan masyarakat semakin mengental
untuk menyatakan sikap ketidaksetujuan terhadap negara otoriter.
Gerakan menjadi bertambah besar sejak terjadinya peristiwa 27 Juli 1996 yang disertai dengan
hilangnya aktivis prodemokrasi. Dalam peristiwa 27 Juli 1996 ini sebenarnya masyarakat mulai
melihat bahwa proses politik mengalami kemandegan yang luar biasa serta semakin jelasnya
posisi negara Orde baru yang otoriter. Peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI telah memicu
pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan ideologi. Ideologi
dalam hal ini lebih dipahami sebagai kesamaan cita-cita dan tatanan nilai yang sama. Landasan
nilai yang sama tersebut memudahkan melakukan pengorganisasian yang kemudian diarahkan
untuk melakukan perlawanan wacana terhadap isu yang dikembangkan oleh negara dan aparat
militer.
9. 1998
Badai krisis ekonomi terjadi pada tahun 1997. Krisis ini bermula dari jatuhnya mata uang
Thailand (Bath) dan kemudian menyapu seluruh Asia Tenggara. Pada bulan Juli 1997 nilai tukar
rupiah menurun menjadi 2400, akibatnya terjadi lonjakan pengangguran, industri gulung tikar,

dan perdagangan macet. Untuk mengatasi hal tersebut, Soeharto memohon bantuan kepada
negara-negara imperialis melalui IMF dengan syarat Indonesia harus mencabut subsidi terhadap
barang-barang kebutuhan pokok. Akhirnya, Soeharto mengumumkan kenaikan tarif transportasi
umum, hanya beberapa jam setelah sebelumnya mengumumkan kenaikan listrik dan BBM
(bahan bakar minyak), sesuai dengan rekomendasi IMF untuk mengurangi subsidi bagi kedua
komoditas tersebut. Ketika rupiah jatuh pada nilai 10.000 terhadap dolar Amerika, Soeharto
kembali membuat konsensus dengan IMF dengan mencabut subsidi atas BBM dan listrik.
Akibatnya, harga bahan bakar naik sebesar 47% dan listrik rata-rata naik sebesar 60%.
Mahasiswa menemukan momentumnya seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi tersebut.
Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan
mahasiswa naik secara drastis, dari tuntutan yang sudah politis dan metode yang radikal. Pelaku
gerakan pada masa ini bukan hanya organisasi-organisasi gerakan yang sudah lama bergerak
sejak tahun 80an melainkan juga kalangan aktivis kampus dari organisasi-organisasi seperti
Senat Mahasiswa, BEM, dan senat-senat fakultas. Para aktor dari kalangan kmapus ini menyebut
gerakan mereka sebagai gerakan moral dengan format aksi keprihatinan di kampus. Mereka
juga banyak didukung oleh para staf pengajar dan pimpinan perguruan tinggi yan menjadikan
gerakan mahasiswa sebagai gerakan civitas academica.
Selama bulan Maret pasca terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden yang ketujuh kalinya
sampai bulan Mei, isu dan tuntutan mahasiswa semakin meningkat dan bertambah banyak.
Target politiknya juga jelas yaitu menuntut Soeharto untuk mundur. Puncaknya terjadi pada
tanggal 12 Mei 1998, ketika 6 mahasiswa Trisakti gugur diterjang peluru militer. Peristiwa ini
menyulut solidaritas dan perlawanan yang semakin massif dari mahasiswa dan masyarakat.
Tanggal 13 Mei, lebih dari 32 aksi di 16 kota di Indonesia serentak digelar untuk menyatakan
solidaritas. Selain aksi besar-besaran dengan ribuan massa yang terjadi diberbagai kota di
Indonesia, peristiwa lain yang mempercepat proses turunnya Soeharto adalah pendudukan
terhadap Gedung MPR/DPR yang dilakukan oleh puluhan ribu mahasiswa sejak tanggal 18 Mei
1998. Akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya.
peristiwa yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi nasonal dan swasta ini kemudian
disambut dengan gembira oleh mahasiwa dan masyarakat.
Gerakan mahasiswa 1998 lebih merupakan kebangkitan civil society yang dukungannya berasal
dari kekuatan civil society itu sendiri. Jika berbicara tentang proses radikalisasi yang terjadi
dalam gerakan mahasiswa pada periode Mei 1998, para aktivis mahasiswa sendiri menyadari
bahwa banyaknya mahasiswa yang turun dan begitu seringnya mendapatkan perlakuan buruk
dari pihak aparat dalah faktor yang cukup penting. Dari peristiwa-peristiwa berdarah yang tidak
jarang meminta korban jiwa itulah sebenarnya muncul satu bentuk semangat perlawanan
bersama yang terus menjalar di benak aktivis gerakan dan diikuti oleh semakin banyak kelompok
mahasiswa dan masyarakat lainnya. Jadi ikatan yang paling menonjol dari gerakan mahasiswa
angkatan 1998 bukan terletak pada kepentingan ideologi, tetapi pada semangat kebersamaan.
Hal lain yang juga menarik untuk diamati dari ciri khas gerakan mahasiwa Angkatan 1998 ini
adalah strategi gerakan yang dikembangkan adalah strategi untuk menyatukan diri dengan
kekuatan masyarakat secara umum. Selain naluri gerakan muncul dari kesadaran akan adanya
ketegangan antara negara dan masyarakat, tingkat kesadaran yang lebih tinggi adalah bahwa

mereka merasa bagian dari masyarakat.


10. Pasca Reformasi
Masa Habibie
Pasca reformasi, praktis gerakan mahasiswa mulai menemukan polanya masing-masing. Gerakan
mahasiswa yang tadinya seiring sejalan dalam menurunkan Soeharto kini mulai berguguran dan
terpecah ke dalam dua kelompok pada periode Habibie yaitu gerakan mahasiswa yang
mendukung Habibie dan gerakan mahasiswa yang tidak mendukung Habibie. Dengan dorongan
tuntutan reformasi rezim Habibie, pada bulan November diadakan Sidang istimewa. Sepanjang
dilakukannya Sidang Istimewa, mahasiswa melakukan demonstrasi. Demonstrasi tersebut tidak
dilakukan oleh mahasiswa sendiri tetapi terhitung hingga ratusan ribu rakyat menolak Sidang
Istimewa. Puncaknya pada Sidang Istimewa terakhir terjadi tragedi Semanggi di mana 18 orang
meninggal dunia, tujuh mahasiswa, satu siswa SMU, sembilan orang pejalan kaki, dan satu
polisi. 253 orang terluka sedang yang terluka oleh tembakan senjata api adalah 14 mahasiswa,
satu dosen, dua siswa SMU, dan 15 pejalan kaki.
Empat bulan sejak peristiwa Semanggi I, gerakan mahasiswa mengalami penurunan dalam
kuantitas peserta demonstrasi yang sangat drastik. Dalam menghadapi Pemilu 1999, gerakan
mahasiswa kembali terpecah dalan tiga sikap. Pertama, mendukung pelaksanaan pemilu. Kedua,
gerakan mahasiswa yang mendukung pemilu dengan syarat. Ketiga, gerakan mahasiswa
yangtetap meneruskan isu-isu utama sebelumnya antara lain: pengadilan Soeharto beserta kronikroninya, penghapusan KKN, pencabutan Dwi Fungsi ABRI, dan pembentukan pemerintahan
transisi.
Pasca pemilu, rezim Habibie ingin mensahkan RUU-PKB yang dibuat oleh DPR. Dan kebijakan
ini pun ditolak oleh mahasiswa dan massa rakyat dengan melakukan perlawanan. Hal ini karena
isi pasalnya memberikan kewenangan besar dalam tugas-tugas polisional kepada militer, dalam
situasi negara dinilai darurat atau dalam keadaan berbahaya. Puncak aksi penolakan ini berujung
pada Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 23-24 September dimana korban dari mahasiswa
dan masyarakat kembali berjatuhan.
Masa Gus Dur
Kemenangan PDI-P dalam Pemilu tidak serta merta mengantarkan Megawati Soekarno Putri
menjadi presiden. Berdasarkan hasil voting anggota MPR, Gus Dur mengungguli Mega yang
berarti membawa Gus Dur menjadi presiden. Dalam pemerintahan Gus Dur, terjadi
perkembangan baru dalam dunia kampus, gerakan mahasiswa menyebutnya privatisai kampus,
sementara rezim menyebutnya otonomi kampus. Pemberian status Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) kepada empat Perguruan Tinggi Negeri yaitu UI, ITB, UGM, dan IPB pada tahun 2004
berimplikasi pada penghentian subsidi pendidikan dan mengharuskan perguruan tinggi mencari
dana sendiri. Isu-isu mengenai pendidikan kemudian marak diusung oleh gerakan mahasiswa
pada masa ini. Tuntutan mereka antara lain:pendidikan murah, perombakan kurikulum
pendidikan, dan peningkatan kesejahteraan guru.

Kesimpulan
Dalam bingkai sejarah, gerakan mahasiswa pernah menjadi bagian dari sebuah gerakan pemuda
Indonesia. Mahasiswa pernah menjadi salah satu bagian dari gerakan pemuda sebagaimana
dilukiskan sebagai sosok yang dinamis ini, posisi pemuda yang didalamnya termasuk
mahasiswa, tidak bisa dipisahkan dengan proses perjuangan bangsa, sejak terjadinya kebangkitan
pemuda 1908. Pemuda adalah pelopor pada zamannya. Pada masa kebangkitan nasional, pemuda
adalah bagian pendobrak cara pandang kegelapan dengan cara mengadopsi cara pikei yang
aukflaris dalam gegap gempita modernisasi.
Pemuda memiliki posisi mitologis sebagai kekuatan selalu tampil untuk menyuarakan dan
memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan menentang segala bentuk ketidakadilan pada
zamannya. Dan dari perjalanan sejarah sejak pembentukan bangsa modern sampai dengan
reformasi ini, pemuda (mahasiswa) terbukti selalu memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
bangsa dan rakyat Indonesia. Kesan herois ini di satu sisi memang tidak bisa ditolak, meskipun
di sisi lain perlu dikritisi secara mendalam.
Keragaman latar belakang, motivasi, visi politik serta orientasi masing-masing kesatuan aksi
telah menjadikan gerakan mahasiswa tidak dapat dilihat sebagai entitas yang homogen. Apalagi
jika dilihat dari perjalanan gerarakan mahasiswa, sangat sulit menempatkan unsur mahasiswa
sebagai satu barisan monolitik dari civil society. Terlalu banyak varian dan afiliasi terhadap
kelompok-kelompok lain yang kemudian muncul sebagai variasi gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa tidak terbatas pada sebuah gerakan yang lahir dari mahasiswa yang
menginginkan perubahan dan sekedar mendobrak status quo, tetapi juga gerakan yang berusaha
untuk mempertahankan nilai-nilai yang diperjuangkan. Disadari atau tidak, gerakan mahasiswa
akan selalu identik dengan perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Saul Alinsky, seorang aktivis
Amerika bahwa Change means movement. Movement means friction. Only in the frictionless
vacuum of a nonexistent abstract world can movement or change occur without that abrasive
friction of conflict. Sejauh mana kita kaji perjalanan gerakan mahasiswa, berhasil atau tidaknya
tujuan yang hendak dicapai tidak hanya bergantung dari strategi atau taktik yang diterapkan oleh
mahasiswa dalam penyelesaian konflik atau ketegangan antara negara dan rakyat. Tetapi juga,
sejauh mana mahasiswa mampu berafiliasi dan membangun jaringan ke tingkat elite, turun ke
bawah mengadvokasi akar rumput, bergelut dengan friksi demi tercapainya sebuah perubahan
yang nyata, serta menjadi penghubung lidah rakyat dengan tuntutan yang atas nama rakyat
Indonesia kepada negaranya.

Two roads diverged in a yellow wood,


And sorry I could not travel both
And be one traveler, long I stood
And looked down one as far as I could
To where it bent in the undergrowth

(The Road Not Taken by Robert Frost)

DAFTAR PUSTAKA

Disarikan dari Buku Bergerak Bersama Rakyat. Yogyakarta: Resist Book. 2007 dan A.
Prasetyantoko & Ign Wahyu. Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. 2001. Jakarta:
P.T. Alumni. 2001
Eko Prasetyo. Jadilah Intelektual Progresif!. 2007. Yogyakarta: Resist Book.
Gejolak Reformasi Menolak Anarki. Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia. 1998
Pramoedya Ananta Toer. Sang Pemula. Jakarta: Hasta Mitra. 1985. Halaman 106
http://www.brainyquotes.com
http://www.wikipedia.com

eran mahasiswa sebagai agen of change, sosial control, dan iron stock
oleh indah novitasari | Selasa, 24 Juli 2012
Penulis sebagai mahasiswa dapat memetakan setidaknya ada empat peranan mahasiswa yang menjadi
tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul. Peranan ini diturunkan apa yang seharusnya dan paling
idealnya.

Creator of Change

Selama ini kita mendengar bahwa peranan mahasiswa hanya sebagai agen perubahan. Penulis
mengatakan itu tidaklah benar, mengapa? Karena dalam defininya kata agen hanya merujuk bahwa
mahasiswa hanyalah sebagai pembantu atau bahkan hanya menjadi objek perubahan, bukan sebagai
pencetus perubahan. Inilah alasan mengapa saat ini peranan mahasiswa banyak yang diboncengi
pencetus perubahan lain seperti partai politik, ormas, dan lainnya. Melihat dari kata pencetus,
mahasiswa seharusnya dapat bergerak independen, sesuai dengan idealisme mereka.

Hal ini dapat lihat, ketika kondisi bangsa ini sekarang tidaklah ideal, banyak sekali permasalahan bangsa
yang ada, mulai dari korupsi, penggusuran, ketidakadilan, dan lain sebagainya. Mahasiswa yang
mempunyai idealisme sudah seharusnya berpikir dan bertindak bagaimana mengembalikan kondisi
negara menjadi ideal. Lalu, apa yang menjadi alasan untuk berubah? Secara substansial, perubahan
merupakan harga mutlak, setiap kebudayaan dan kondisi pasti mengalami perubahan walaupun
keadaanya tetap diam sudah menjadi hukum alam. Sejarah telah membuktikan, bahwa perubahan
besar terjadi di tangan generasi muda mulai dari zaman nabi, kolonialisme, reformasi, dan lain
sebagainya. Maka dari itu, mahasiswa dituntut bukan hanya menjadi agen perubahan saja, melainkan
pencetus perubahan itu sendiri yang tentunya ke arah yang lebih baik.

Iron Stock

Peranan mahasiswa yang tak kalah penting adalah iron stock atau mahasiswa dengan ketangguhan
idealismenya akan menjadi pengganti generasi-generasi sebelumny, tentu dengan kemampuan dan
akhlak mulia. Dapat dikatakan, bahwa mahasiswa adalah aset, cadangan, dan harapan bangsa masa
depan. Peran organisasi kampus tentu mempengaruhi kualitas mahasiswa, kaderasasi yang baik dan
penanaman nilai yang baik tentu akan meningkatkan kualitas mahasiswa yang menjadi calon pemimpin
masa depan. Pasti timbul pertanyaan, bagaimana cara mempersiapkan mahasiswa agar menjadi calon
pemimpin yang siap pakai? Tentu jawabannya adalah dengan memperkaya pengetahuan yang ada
terhadap masyarakatnya. Selain itu, mempelajari berbagai kesalahan yang ada pada generasi
sebelumnya juga diperlukan sehingga menjadi bahan evaluasi dalam pengembangan diri.

Ada satu pertanyaan yang menggelitik bagi saya, mengapa bernama iron stock? Bukan golden atau silver
stock? Hal ini masuk akal, karena sifat besi itu sendiri yang berkarat dalam jangka waktu lama, sehingga
diperlukan pengganti besi-besi sebelumnya. Iron Stock
Filosofi ini dapat dibenarkan, karena manusia yang disimbolkan sebagai besi tentu akan mati dan
kehilangan tenaganya, maka dari itu dibutuhkan generasi manusia baru sebagai pengganti yang lebih
baik.

Social Control

Peran mahasiswa sebagai kontrol sosial terjadi ketika ada yang tidak beres atau ganjil dalam masyarakat
dan pemerintah. Mahasiswa dengan gagasan dan ilmu yang dimilikinya memiliki peranan menjaga dan
memperbaiki nilai dan norma sosial dalam masyarakat. Mengapa harus menjadi social control? Kita
semua tahu, bahwa mahasiswa itu sendiri lahir dari rahim rakyat, dan sudah seyogyanya mahasiswa
memiliki peran sosial, peran yang menjaga dan memperbaiki apa yang salah dalam masyarakat.

Saat ini di Indonesia, masyarakat merasakan bahwa pemerintah hanya memikirkan dirinya sendiri dalam
bertindak. Usut punya usut, pemerintah tidak menepati janji yang telah diumbar-umbar dalam
kampanye mereka. Kasus hukum, korupsi, dan pendidikan merajalela dalam kehidupan berbangsa
bernegara. Inilah potret mengapa mahasiswa yang notabene sebagai anak rakyat harus bertindak
dengan ilmu dan kelebihan yang dimilikinya. Lalu bagaimana cara agar mahasiswa dapat berperan
sebagai kontrol sosial? Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa sosial yang peduli pada keadaan rakyat

yang mengalami penderitaan, ketidakadilan, dan ketertindasan. Kontrol sosial dapat dilakukan ketika
pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan yang merugikan rakyat, maka dari itu mahasiswa bergerak
sebagai perwujudan kepedulian terhadap rakyat.

Pergerakan mahasiswa bukan hanya sekedar turun ke jalan saja, melainkan harus lebih substansial lagi
yaitu diskusi, kajian dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, sifat peduli terhadap rakyat juga dapat
ditunjukkan ketika mahasiswa dapat memberikan bantuan baik secara moril dan materil bagi siapa saja
yang membutuhkannya.

FUNGSI DAN TANGGUNG JAWAB MAHASISWA SEBAGAI GENERASI MUDA


DALAM MENINGKATKAN RASA PERSATUAN DAN KESATUAN
Ditulis pada Mei 23, 2012
Mahasiswa dapat dikatakan sebuah komunitas unik yang berada di masyarakat, dengan kesempatan
dan kelebihan yang dimilikinya, mahasiswa mampu berada sedikit di atas masyarakat. Mahasiswa juga
belum tercekcoki oleh kepentingan-kepentingan suatu golongan, ormas, parpol, dsb. Sehingga
mahasiswa dapat dikatakan (seharusnya) memiliki idealisme. Idealisme adalah suatu kebenaran yang
diyakini murni dari pribadi seseorang dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat
menggeser makna kebenaran tersebut.
Berdasarkan berbagai potensi dan kesempatan yang dimiliki oleh mahasiswa, tidak sepantasnyalah bila
mahasiswa hanya mementingkan kebutuhan dirinya sendiri tanpa memberikan kontribusi terhadap
bangsa dan negaranya. Mahasiswa itu sudah bukan siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula
rakyat, bukan pula pemerintah. Mahasiswa memiliki tempat tersendiri di lingkungan masyarakat, namun
bukan berarti memisahkan diri dari masyarakat. Oleh karena itu perlu dirumuskan perihal peran, fungsi,
dan posisi mahasiswa untuk menentukan arah perjuangan dan kontribusi mahasiswa tersebut.

1. Peran Mahasiswa
1.1 Mahasiswa Sebagai Iron Stock
Mahasiswa dapat menjadi Iron Stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia-manusia tangguh
yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang nantinya dapat menggantikan generasi-generasi
sebelumnya. Intinya mahasiswa itu merupakan aset, cadangan, harapan bangsa untuk masa depan. Tak
dapat dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan bersifat mengalir, yaitu ditandai dengan
pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, oleh karena itu kaderisasi harus dilakukan
terus-menerus. Dunia kampus dan kemahasiswaannya merupakan momentum kaderisasi yang sangat
sayang bila tidak dimanfaatkan bagi mereka yang memiliki kesempatan.

Dalam konsep Islam sendiri, peran pemuda sebagai generasi pengganti tersirat dalam Al-Maidah:54,
yaitu pemuda sebagai pengganti generasi yang sudah rusak dan memiliki karakter mencintai dan
dicintai, lemah lembut kepada orang yang beriman, dan bersikap keras terhadap kaum kafir.




54. Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah,
dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Sejarah telah membuktikan bahwa di tangan generasi mudalah perubahan-perubahan besar terjadi, dari
zaman nabi, kolonialisme, hingga reformasi, pemudalah yang menjadi garda depan perubah kondisi
bangsa.
Lantas sekarang apa yang kita bisa lakukan dalam memenuhi peran Iron Stock tersebut ? Jawabannya
tak lain adalah dengan memperkaya diri kita dengan berbagai pengetahuan baik itu dari segi keprofesian
maupun kemasyarakatan, dan tak lupa untuk mempelajari berbagai kesalahan yang pernah terjadi di
generasi-generasi sebelumnya.
Lalu kenapa harus Iron Stock ?? Bukan Golden Stock saja, kan lebih bagus dan mahal ?? Mungkin
didasarkan atas sifat besi itu sendiri yang akan berkarat dalam jangka waktu lama, sehingga
diperlukanlah penggantian dengan besi-besi baru yang lebih bagus dan kokoh. Hal itu sesuai dengan
kodrat manusia yang memiliki keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran.
1.2 Mahasiswa Sebagai Guardian of Value
Mahasiswa sebagai Guardian of Value berarti mahasiswa berperan sebagai penjaga nilai-nilai di
masyarakat. Lalu sekarang pertanyaannya adalah, Nilai seperti apa yang harus dijaga ?? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut kita harus melihat mahasiswa sebagai insan akademis yang selalu
berpikir ilmiah dalam mencari kebenaran. Kita harus memulainya dari hal tersebut karena bila kita

renungkan kembali sifat nilai yang harus dijaga tersebut haruslah mutlak kebenarannya sehingga
mahasiswa diwajibkan menjaganya.
Sedikit sudah jelas, bahwa nilai yang harus dijaga adalah sesuatu yang bersifat benar mutlak, dan tidak
ada keraguan lagi di dalamnya. Nilai itu jelaslah bukan hasil dari pragmatisme, nilai itu haruslah
bersumber dari suatu dzat yang Maha Benar dan Maha Mengetahui.
Selain nilai yang di atas, masih ada satu nilai lagi yang memenuhi kriteria sebagai nilai yang wajib dijaga
oleh mahasiswa, nilai tersebut adalah nilai-nilai dari kebenaran ilmiah. Walaupun memang kebenaran
ilmiah tersebut merupakan representasi dari kebesaran dan keeksisan Allah, sebagai dzat yang Maha
Mengetahui. Kita sebagai mahasiswa harus mampu mencari berbagai kebenaran berlandaskan watak
ilmiah yang bersumber dari ilmu-ilmu yang kita dapatkan dan selanjutnya harus kita terapkan dan jaga di
masyarakat.
Pemikiran Guardian of Value yang berkembang selama ini hanyalah sebagai penjaga nilai-nilai yang
sudah ada sebelumya, atau menjaga nilai-nilai kebaikan seperti kejujuran, kesigapan, dan lain
sebagainya. Hal itu tidaklah salah, namun apakah sesederhana itu nilai yang harus mahasiswa jaga ?
Lantas apa hubungannya nilai-nilai tersebut dengan watak ilmu yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa
? Oleh karena itu saya berpendapat bahwa Guardian of Value adalah penyampai, dan penjaga nilai-nilai
kebenaran mutlak dimana nilai-nilai tersebut diperoleh berdasarkan watak ilmu yang dimiliki mahasiswa
itu sendiri. Watak ilmu sendiri adalah selalu mencari kebanaran ilmiah.
Penjelasan Guardian of Value hanya sebagai penjaga nilai-nilai yang sudah ada juga memiliki kelemahan
yaitu bilamana terjadi sebuah pergeseran nilai, dan nilai yang telah bergeser tersebut sudah terlanjur
menjadi sebuah perimeter kebaikan di masyarakat, maka kita akan kesulitan dalam memandang arti
kebenaran nilai itu sendiri.
1.3 Mahasiswa Sebagai Agent of Change
Mahasiswa sebagai Agent of Change,,, hmm.. Artinya adalah mahasiswa sebagai agen dari suatu
perubahan. Lalu kini masalah kembali muncul, Kenapa harus ada perubahan ???. Untuk menjawab
pertanyaan itu mari kita pandang kondisi bangsa saat ini. Menurut saya kondisi bangsa saat ini jauh
sekali dari kondisi ideal, dimana banyak sekali penyakit-penyakit masyarakat yang menghinggapi hati
bangsa ini, mulai dari pejabat-pejabat atas hingga bawah, dan tentunya tertular pula kepada banyak
rakyatnya. Sudah seharusnyalah kita melakukan terhadap hal ini. Lalu alasan selanjutnya mengapa kita
harus melakukan perubahan adalah karena perubahan itu sendiri merupakan harga mutlak dan pasti
akan terjadi walaupun kita diam. Bila kita diam secara tidak sadar kita telah berkontribusi dalam
melakukan perubahan, namun tentunya perubahan yang terjadi akan berbeda dengan ideologi yang kita
anut dan kita anggap benar.
Perubahan merupakan sebuah perintah yang diberikan oleh Allah swt. Berdasarkan Quran surat Ar-Rad
: 11, dimana dijelaskan bahwa suatu kaum harus mau berubah bila mereka menginginkan sesuatu
keadaan yang lebih baik. Lalu berdasarkan hadis yang menyebutkan bahwa orang yang hari ini lebih baik
dari hari kemarin adalah orang yang beruntung, sedangkan orang yang hari ini tidak lebih baik dari

kemarin adalah orang yang merugi. Oleh karena itu betapa pentingnya arti sebuah perubahan yang
harus kita lakukan.



11. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka
menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

[767] bagi tiap-tiap manusia ada beberapa malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa
malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat Ini ialah malaikat yang menjaga
secara bergiliran itu, disebut malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

Mahasiswa adalah golongan yang harus menjadi garda terdepan dalam melakukan perubahan
dikarenakan mahasiswa merupakan kaum yang eksklusif, hanya 5% dari pemuda yang bisa
menyandang status mahasiswa, dan dari jumlah itu bisa dihitung pula berapa persen lagi yang mau
mengkaji tentang peran-peran mahasiswa di bangsa dan negaranya ini. Mahasiswa-mahasiswa yang
telah sadar tersebut sudah seharusnya tidak lepas tangan begitu saja. Mereka tidak boleh membiarkan
bangsa ini melakukan perubahan ke arah yang salah. Merekalah yang seharusnya melakukan
perubahan-perubahan tersebut.
Perubahan itu sendiri sebenarnya dapat dilihat dari dua pandangan. Pandangan pertama menyatakan
bahwa tatanan kehidupan bermasyarakat sangat dipengaruhi oleh hal-hal bersifat materialistik seperti
teknologi, misalnya kincir angin akan menciptakan masyarakat feodal, mesin industri akan menciptakan
mayarakat kapitalis, internet akan menciptakan menciptakan masyarakat yang informatif, dan lain
sebagainya. Pandangan selanjutnya menyatakan bahwa ideologi atau nilai sebagai faktor yang
mempengaruhi perubahan. Sebagai mahasiswa nampaknya kita harus bisa mengakomodasi kedua
pandangan tersebut demi terjadinya perubahan yang diharapkan. Itu semua karena kita berpotensi lebih
untuk mewujudkan hal-hal tersebut.

Sudah jelas kenapa perubahan itu perlu dilakukan dan kenapa pula mahasiswa harus menjadi garda
terdepan dalam perubahan tersebut, lantas dalam melakukan perubahan tersebut haruslah dibuat
metode yang tidak tergesa-gesa, dimulai dari ruang lingkup terkecil yaitu diri sendiri, lalu menyebar
terus hingga akhirnya sampai ke ruang lingkup yang kita harapkan, yaitu bangsa ini.
2. Fungsi Mahasiswa
Berdasarkan tugas perguruan tinggi yang diungkapkan M.Hatta yaitu membentuk manusisa susila dan
demokrat yang
1. Memiliki keinsafan tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat
2. Cakap dan mandiri dalam memelihara dan memajukan ilmu pengetahuan
3. Cakap memangku jabatan atau pekerjaan di masyarakat
Berdasarkan pemikiran M.Hatta tersebut, dapat kita sederhanakan bahwa tugas perguruan tinggi adalah
membentuk insan akademis, yang selanjutnya hal tersebut akan menjadi sebuah fungsi bagi mahasiswa
itu sendiri. Insan akademis itu sendiri memiliki dua ciri yaitu : memiliki sense of crisis, dan selalu
mengembangkan dirinya.
Insan akademis harus memiliki sense of crisis yaitu peka dan kritis terhadap masalah-masalah yang
terjadi di sekitarnya saat ini. Hal ini akan tumbuh dengan sendirinya bila mahasiswa itu mengikuti watak
ilmu, yaitu selalu mencari pembenaran-pembenaran ilmiah. Dengan mengikuti watak ilmu tersebut
maka mahasiswa diharapkan dapat memahami berbagai masalah yang terjadi dan terlebih lagi
menemukan solusi-solusi yang tepat untuk menyelesaikannya.
Insan akademis harus selalu mengembangkan dirinya sehingga mereka bisa menjadi generasi yang
tanggap dan mampu menghadapi tantangan masa depan.
Dalam hal insan akademis sebagai orang yang selalu mengikuti watak ilmu, ini juga berhubungan dengan
peran mahasiswa sebagai penjaga nilai, dimana mahasiswa harus mencari nilai-nilai kebenaran itu
sendiri, kemudian meneruskannya kepada masyarakat, dan yang terpenting adalah menjaga nilai
kebenaran tersebut.
3. Posisi Mahasiswa
Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat
dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih tergolong kaum idealis,
dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengarohi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya.
Sehingga mahasiswa menurut saya tepat bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat dan
pemerintah.
Mahasiswa dalam hal hubungan masyarakat ke pemerintah dapat berperan sebagai kontrol politik, yaitu
mengawasi dan membahas segala pengambilan keputusan beserta keputusan-keputusan yang telah
dihasilkan sebelumnya. Mahasiswa pun dapat berperan sebagai penyampai aspirasi rakyat, dengan
melakukan interaksi sosial dengan masyarakat dilanjutkan dengan analisis masalah yang tepat maka

diharapkan mahasiswa mampu menyampaikan realita yang terjadi di masyarakat beserta solusi ilmiah
dan bertanggung jawab dalam menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat.
Mahasiswa dalam hal hubungan pemerintah ke masyarakat dapat berperan sebagai penyambung lidah
pemerintah. Mahasiswa diharapkan mampu membantu menyosialisasikan berbagai kebijakan yang
diambil oleh pemerintah. Tak jarang kebijakan-kebijakan pemerintah mengandung banyak salah
pengertian dari masyarakat, oleh karena itu tugas mahasiswalah yang marus menerjemahkan maksud
dan tujuan berbagai kebijakan kontroversial tersebut agar mudah dimengerti masyarakat.
Posisi mahasiswa cukuplah rentan, sebab mahasiswa berdiri di antara idealisme dan realita. Tak jarang
kita berat sebelah, saat kita membela idealisme ternyata kita melihat realita masyarakat yang semakin
buruk. Saat kita berpihak pada realita, ternyata kita secara tak sadar sudah meninggalkan idealisme kita
dan juga kadang sudah meninggalkan watak ilmu yang seharusnya kita miliki. Contoh kasusnya yang
paling gampang adalah saat terjadi penaikkan harga BBM beberapa bulan yang lalu.
Mengenai posisi mahasiswa saat ini saya berpendapat bahwa mahasiswa terlalu menganggap dirinya
elit sehingga terciptalah jurang lebar dengan masyarakat. Perjuangan-perjuangan yang dilakukan
mahasiswa kini sudah kehilangan esensinya, sehingga masyarakat sudah tidak menganggapnya suatu
harapan pembaruan lagi. Sedangkan golongan-golongan atas seperti pengusaha, dokter, dsb. Merasa
sudah tidak ada lagi kesamaan gerakan. Perjuangan mahasiswa kini sudah berdiri sendiri dan tidak lagi
satu nafas bersama rakyat.
sumber : http://geowana.wordpress.com/2008/08/10/peran-fungsi-posisi-mahasiswa/
google.com
blogger.com

Anda mungkin juga menyukai