Anda di halaman 1dari 5

Materi Kemahasiswaan Ponorogo, 30 Oktober 2021

Disusun oleh:
Habib Asha Kurniawan
Ketua Umum PC IMM Ponorogo 20/21
Disampaikan dalam:
Masa Taaruf PK IMM Umar Bin Khatabb
Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Ponorogo

“Tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta


memperhalus perasaan” – Datuk Sutan Malaka (1987-1949)
“Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam
perbuatan” – Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)

Mahasiswa dalam Sejarah


1. Mahasiswa pada Era 1965-1966
Kita mengenal sosok Soe Hok Gie, seorang mahasiswa Sastra UI, penulis, kritikus, cum
demonstran. Pada masa itu, Indonesia berada dalam pemerintahan Orde Lama pimpinan
Presiden Soekarno. Dengan demokrasi terpimpinannya, wajah otoritarianisme
merajalela. Mahasiswa yang kemudian peka akan kondisi kebangsaan pada waktu itu
menyuarakan tiga tuntutan rakyat atau yang lebih sering dikenal dengan TRITURA. Isu
yang mencuat pada tahun itu adalah isu komunisme. Sebuah ideologi yang
direpresentasikan dengan kehadiran Partai Komunis Indonesia dianggap menjadi
bahaya laten negara. Dalam tiga tuntutan rakyat tersebut termuat: 1). Turunkan harga
sandang-pangan, 2). Rombak cabinet Dwikora, 3). Bubarkan PKI beserta ormas-
ormasnya. Aksi-aksi turun ke jalan mewarnai kehidupan mahasiswa pada medio tahun
65 hingga 66. Selain Soe Hok Gie, nama Arif Budiman juga menjadi salah satu motor
pergerakan pada saat itu. Namun, respon yang ditunjukkan oleh rezim Soekarno begitu
represif. Sosok Arif Rahman Hakim, yang kemudian menyandang predikat Pahlawan
Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) gugur dihujani peluru aparat. Insiden tersebut
semakin menguatkan gerakan mahasiswa dan rakyat. Kemudian mahasiswa
membangun aliansi dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
2. Mahasiswa pada Era 1974
Pada tahun ini gerakan mahasiswa ditandai dengan isu politik-ekonomi. Semakin
gencarnya pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, untuk
mengimpor dan menghegemoni produk-produk luar negeri, khususnya Jepang,
membahayakan kemandirian ekonomi bangsa. Alasan itulah yang kemudian
menyebabkan dan mendorong mahasiswa untuk bergerak. Kenaikan Soeharto menjadi
Presiden RI, dan naiknya kekuatan militer, menumbuhkan gerakan kontra-revolusi
karena pengekangan terjadi pada depolitisasi rakyat. Terlebih pada 1972, Ali Moertopo
menggagas penyederhanaan partai politik, dwifungsi ABRI, dan pembatasan sosial-
politik. Kebijakan ini membelenggu gerakan mahasiswa, sehingga yang ada hanya
pergerakan moral--tidak selantang gerakan progresif. Beberapa gerakan itu seperti
Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 yang dipelopori dewan mahasiswa UI.
Dalam Malari, protes mahasiswa meluas mempertanyakan kedekatan pemerintah
dengan pengusaha etnis Tionghoa saja dan menolak investasi Jepang. Tetapi
pergerakan itu diredam pada 19 Januari 1974, dengan tertangkapnya 18 aktivis.

3. Mahasiswa pada Era 1978


Pada medio 1978, kemelut yang terjadi pada kehidupan bangsa dan bernegara, yakni
diberlakukannya Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan membentuk Badan
Koordinasi Kampus (BKK). Kebijakan pemerintah Orde Baru tersebut Pemberlakuan
NKK/BKK mengubah format organisasi kemahsiswaan dengan melarang Mahasiswa
terjun ke dalam politik praktis, yaitu dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di
Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi
bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi). Organisasi kemahasiswaan seperti
ini menjadikan aktivis mahasiswa dalam posisi mandul, karena pihak rektorat yang
notabane perpanjangan pemerintah (penguasa) lebih leluasa dan dilegalkan untuk
mencekal aktivis mahasiswa yang berbuat “over”, bahkan tidak segan-segan untuk
men-DO-kan. Mahasiswa hanya dituntut kuliah dan kuliah saja. Di kampus intel-intel
berkeliaran, pergerakan mahasiswa dimata-matai. Maka tidak heran jika misalnya hari
ini menyusun strategi demo, besoknya aparat sudah siap siaga.
4. Angkatan 1998
Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan 1997 turut mengawali gejolak politik
nasional tahun 1998. Mahasiswa mulai gerah melihat kondisi bangsa pada saat itu.
Kepemimpinan Orde Baru yang begitu otoriatarianistik, militeristik, dan superioristik
dirasa menjadi dalang dari kegaduhan-kegaduhan yang terjadi di negara. Rencana
untuk menuntut mundurnya Soeharto kursi presiden turut menjadi agenda gerak
nasional pada waktu itu. Adalah agenda reformasi besar-besaran. Selain itu, gerakan
mahasiswa juga turut mendapat dukungan yang begitu kuat dari elemen-elemen
masyarakat. Gerakan mahasiswa pada saat itu seakan-akan menjadi tumpuan rakyat
untuk segara berdiri di ring terdepan untuk kemudian mengawal keadilan dan
kedaulatan rakyat Indonesia. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Peluru aparat mendarat
di kening para mahasiswa. Memo bersejarah dan berdarah.

Mahasiswa dan Fungsi Ideal

Secara pengertian, mahasiswa dapat dipahami sebagai seseorang yang menempuh pendidikan
di perguruan tinggi. Pengertian atau definisi Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30
tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu.
Sesempit itu makna mahasiswa. Pengertian teknis-administratif tersebut, kiranya tidak menjadi
acuan pokok. Memang betul, pengertian mahasiswa adalah seperti yang tertera pada penjelasan
di atas. Namun, lebih dari itu mahasiswa sebagai agent of change perlu membaca lebih dalam,
seperti apa mahasiswa itu.

Karena, menyandang gelar mahasiswa, memiliki predikat mahasiswa merupakan kebanggan


sekaligus PR bagi mahasiswa itu sendiri. Tanggung jawab moril sebagai mahasiswa tidak
hanya menjadi lulusan terbaik di kampus setempat, tidak hanya menjadi mahasiswa dengan
prestasi yang tinggi. Lebih dari itu, setidaknya, dan paling tidak mahasiswa harus memiliki
peran-peran yang bersifat tranformatif!

Bicara tentang fungsi ideal, setidaknya ada 3 aspek ideal yang ada pada identitas mahasiswa.

1. Aspek Akademis
Yang terjadi adalah, proses kehidupan pada mahasiwa berlangsung dalam bilik-bilik
kelas, laboratorium, ruang-ruang seminar dan prosiding. Menjadi mahasiswa
akademistis merupakan aspek penting. Mahasiswa perlu untuk kemudian hadir dan
menghadirkan diri dalam aspek ini. Mau tidak mau, stigma kaum intelektual akan
tersemat pada identitas kita sebagai mahasiswa. Namun, mahasiswa tidak boleh berada
pada posisi objek pendidikan. Atau dalam Bahasa Freire sebagai pendidikan gaya bank.
Yang mana hanya menjadi objek dalam ceramh-ceramah intelektual, tanpa ada pola-
gerak kritis terhadap situasi pendidikan itu.
2. Aspek Organisasional
Ruang-ruang pendidikan yang terjadi di dalam aspek akademis tersebut perlu untuk
dikembangkan ke dalam pendidikan di luar kelas. Pendidikan organisasi menjadi salah
satau cara paling konkrit, untuk kemudian dapat mengembangkan diri sebagai individu
maupun kelompok. Tidak semua persoalan dapat dipecahkan dalam ruang kelas dan
ruang laboratorium. Organisasi menjadi tempat untuk mengembangkan softskill yang
luar biasa, aspek-aspek yang meliputi: kepemimpinan, manajemen diri, manajemen
organisasi, membangun komunikasi, berjejaring dengan khalayak luas, dan masih
banyak lagi. Barangkali, ilmu yang didapatkan di dalam ruang kelas juga dapat
diaplikasikan ke dalam ruang-ruang belajar organisasi.
3. Aspek Sosial Politik
Pada bagian ini, saya sepakat dengan konsep intelektual menurut Antonio Gramsci.
Gramsci mengkategorikan sossok intelektual menjadi 2, yakni: intelektual tradisional
dan intelektual organik. Bagi Gramsci, intelektual tradisional merupakan sosok-sosok
yang kemudian memiliki peran untuk menghegemoni rakyat untuk ikut apa yang dia
ucapkan. Tanpa ada kritik mendasar dari rakyat itu pula. Boleh dibilang, intelektual
tradisonal adalah kepanjangan tangan dari pemerintah. Kita bisa sebut, semisal para
tenaga pendidik seperti dosen, guru, atau para pejabat-pejabat akademik di lingkungan
pemerintah. Kemudian, yang kedua, intelektual organik. Gramsci menggambarkan
bahwa intelektual organik adalah mereka yang dengan penuh rasa kesadaran untuk
mengambil langkah-langkah konkrit untuk membangkitkan kesadaran perlawanan
terhadap agenda-agenda penguasa yang tidak pro terhadap rakyat. Daya-daya kritisme
yang dilakukan oleh kaum intelektual organic ini, yang patut untuk dijadikan landasan
berfikir para mahasiswa. Maka inilah, yang kemudian mahasiswa sering disebut
sebagai Agent of Change, Social Control, dan Iron Stock.

*Informasi seputar materi ini dapat dibaca dalam buku bejudul:


Risalah Pergerakan Mahasiswa, ditulis oleh Indra Kusumah, terbitan INDYDEC PRESS,
Bandung, 2007.
Sumpah Mahasiswa Indonesia

"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu tanah air tanpa penindasan."

"Kami mahasiswa bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan."

"Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan."

Anda mungkin juga menyukai