Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat rasa
keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin bersemangat dalam
merealisasikannya,dan kesiapan untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya.
Sepertinya keempat rukun ini, yakni iman, ikhlas, semangat, dan amal merupakan karakter
yang melekat pada diri pemuda, karena sesungguhnya dasar keimanan itu adalah nurani yang
menyala, dasar keikhlasan adalah hati yang bertaqwa, dasar semangat adalah perasaan yang
menggelora, dan dasar amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada
diri para pemuda.
Oleh karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar kebangkitan.
Dalam setiap kebangkitan, pemuda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah,
pemuda adalah pengibar panji-panjinya. ( Hasan Al-Banna ).
”Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada tuhan
mereka dan kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” ( QS. Al-Kahfi : 13 )
Mahasiswa adalah gambaran paling dekat seperti pemuda yang dilukiskan di atas.
Dengan segala potensi yang dimilikinya, mahasiswa merupakan kekuatan yang sangat besar
yang dapat melakukan suatu perubahan. Tentunya bukan sembarang mahasiswa tetapi hanya
mahasiswa luar biasalah yang mampu melakukannya. Mahasiswa tersebut adalah mahasiswa
yang berani mengorbankan waktu, uang, tenaga, pikiran, bahkan jiwa raganya demi
terwujudnya kebenaran dan keadilan. Mahasiswa yang tidak akan takut setiap penentangnya
entah itu birokrasi ataupun yang lainnya. Mahasiswa yang bahkan berani untuk
mengorbankan kepentingan kuliahnya demi merealisasikan apa yang menjadi keyakinannya.
Sekilas Perjalanan Mahasiswa.
Setelah tumbangnya rezim orde lama dan berganti dengan rezim orde baru, banyak
gerakan mahasiswa yang mulai lemah selain dikarenakan konflik internal juga disebabkan
karena tekanan dari pemerintah yang berusaha untuk mengkooptasi dan merstrukturisasi
semua unsur kekuatan politik termasuk gerakan mahasiswa, misalnya dengan keharusan
menerapkan asas tunggal. Namun pada tahun 1974 terjadi peristiwa MALARI ( Malapetaka
Lima Belas Januari ) yang merupakan peristiwa demonstrasi besar pertama kali setelah era
penurunan rezim orde lama. Malari ini disebabkan karena penolakan mahasiswa terhadap
masuknya modal asing dengan momen kedatangan ketua IGGI, JP Pronk dan disusul dengan
kedatangan perdana mentri Jepang Kakuei Tanaka. Peristiwa ini menimbulkan kerusuhan
massal. Semenjak peristiwa tersebut pemerintah menerapkan kebijakan depolitisasi lewat
metode-metode korporasi terhadap organisasi kemahasiwaan dan birokratisasi kampus.
Untuk organisasi intra kampus, melalui menteri pendidikan dan kebudayaan, Dr.
Syarif Thayeh, menerapkan SK 028/U/1974 tentang NKK/BKK ( Normalisasi kehidupan
kampus aau badan koordinasi kemahasiswaan ). Semenjak itu aksi protes mahasiswa menjadi
sepi, yang ada hanya protes dalam skala kecil yang tidak terdengar gaungnya. Pada tahun
1976 mulai muncul kembali aksi aksi dari mahasiswa dengan isu utama penolakan terhadap
pencalonan Soeharto sebagai presiden. Reaksi rezim orde baru semakin represif dengan
dikeuarkannya SK Kopkamtib No. 02/kopkam/1978 tentang pembekuan terhadap Dewan
Mahasiswa ( DM ) yang sekian lama menjadi basis kekuatan perjuangan mahasiswa pada
level intra universitas. Kebijakan kebijakan yang represif tersebut menjadikan gerakan
mahasiswa semaki tidak terdengar. Pada era tahun1980-an mahasiswa membuat pola baru
dalam melakukan gerakan, yaitu dengan munculnya kelompok studi, LSM, Penerbitan Media,
dan Komite Aksi. Pada tahun 1990-an terjadi peningkatan kesadaran gerakan mahasiswa,
terutama dengan diberlakukannya Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi ( SMPT ) dan Unit
Kegiatan Mahasiswa ( UKM ). Sehingga pada era tahun 1990 ekskalasi politik mulai
meningkat dengan dibarengi dengan berbagai peristiwa yang semakin menguatkan kesadaran
mahasiswa. Selain itu peran organisasi Mahasiswa Ekstra Universitas pun tidak kalah besar
karena merekalah yang mempunyai akses ke dunia luar dikarenakan memiliki jaringan yang
sangat luas.
Krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi
krisis multi dimensional merupakan awal dari lahirnya peristiwa reformasi. Hal ini juga
merupakan momen yang sangat penting bagi gerakan mahasiswa untuk kembali
mengkonsolidasikan kekuatannya. Belajar dari “kegagalan” gerakan mahasiswa 1974 maupun
1978 gerakan mahasiswa 1998 menggandeng kekuatan lain yaitu rakyat dan beberapa
kalangan intelektual yang selama ini menjadi oposisi pemerintah. Puncak dari itu semua
adalah kerusuhan massal pada tanggal 13-14 Mei 1998 dan dengan didudukinya gedung
DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998. Akhirnya presiden Soeharto mengundurkan diri pada
tanggal 29 Mei 1998.
Momentum krisis tersebut juga merupakan salah satu alasan didirikannya KAMMI
(Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Dalam Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah
Kampus (FSLDK) X pada tanggal 25-29 Maret 1998 di Universitas Muhammadiyah Malang
mengemuka pandangan bahwa perlu adanya langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan
persoalan bangsa ini, oleh karena itulah perlu dibentuk suatu organisasi yang bisa
memfasilitasi itu semua karena ruang gerak LDK yang sangat terbatas. Oleh karena itu, di
luar forum FSLDK X dibentuk tim formatur dan akhirnya terbentuklah KAMMI yang
dideklarasikan di Universitas Muhammadiyah Malang pada 29 Maret 1998 setengah jam
setelah ditutupnya FSLDK secara resmi, deklarasi tersebut dinamakan Deklarasi Malang.
Sebagai ketua diangkatlah Fahri Hamzah dan Sekum Haryo Setyoko. 13 hari setelah
dideklarasikan, KAMMI mengadakan acara yang cukup fenomenal yaitu Rapat Akbar
Mahasiswa dan Rakyat Indonesia di lapangan Masjid Al-Azhar Jakarta yang dihadiri oleh
mahasiswa dan rakyat yang berjumlah sekitar 20 ribu orang. Semenjak itu KAMMI terus
berperan dalam transisi perubahan bangsa ini termasuk pada peristiwa Reformasi. Fase
setelah reformasi merupakan fase pembuktian apakah langkah yang diambil oleh mahasiswa
dan rakyat dengan menurunkan rezim yang telah berkuasa selama 32 tahun tersebut tepat.
Berbagai catatan sejarah telah tertoreh sesudah reformasi bergulir, sekali lagi pertanyaan
besar dinisbahkan kepada mahasiswa. Anggapan bahwa mahasiswa hanya “jago dalam
menurunkan rezim” diuji dalam fase pasca reformasi. Mahasiswa berhasil menurunkan
Soeharto tetapitidak bisa memberikan solusi siapa penggantinya yang pantas memimpin
bangsa ini, karena yang terjadi adalah tetap sajakaum elit birokrasi yang kemudian
menggantikan “Bapak Pembangunan”. Tetapi ada peran yang tetap bisa dijalankan yaitu
fungsi kontrol terhadap pemerintah. Fungsi kontrol tersebut dibuktikan dengan sikap kritis
mahasiswa terhadap presiden Habibie yang ternyata masih berbau Orde Baru. Demikian juga
dengan penggantinya yang katanya merupakan tokoh refornis yaitu Gus Dur dan Megawati
yang terbukti gagal menjalankan amanat reformasi. Berbagai aksi dilakukan untuk mengkritisi
dan menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak kepada rakyat. Walaupun
pada prakteknya gerakan mahasiswa terpecah ke dalam beberapa kubu, terutama ketika isu
tentang penurunan kembali presiden yang sedang berkuasa saat itu, sehingga walaupun dalam
beberapa kasus ada beberapa gerakan mahasiswa yang secara tegas menuntut pergantian
kepemimpinan namun tidak pernah bisa masif. Hal ini dikarenakan tidak semua gerakan
mahasiswa menyuarakan aspirasi yang sama kalaupun ada itu pun hanya setengah hati demi
menjaga “gengsi” organisasinya. Sampai dengan pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono, fungsi kontrol mahasiswa tetap terlihat meskipun tidak
sefrontal pendahulu-pendahulunya.