Namun peran ini tentunya tak mudah. Nyatanya tak semua mahasiswa mampu
mengemban peran-peran tersebut. Mahasiswa perlu terus belajar dan menambah
pengetahuan agar bisa menjalankan perannya.
Contoh nyata mahasiswa sebagai agen perubahan adalah saat reformasi tahun
1998. Pada masa itu gerakan mahasiswa berada di puncaknya karena berhasil
menumbangkan kepemimpinan Presiden Soeharto setelah puluhan tahun menjabat.
Mahasiswa tidak akan pergi dari gedung-gedung tersebut bila tuntutan tidak
dikabulkan. Akhirnya, dengan desakan yang kian kuat, Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pada September 2019 lalu, gerakan Reformasi Dikorupsi. Gerakan ini juga
digagas oleh mahasiswa. Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia
menyuarakan hal sama yakni menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) KPK
yang justru bertentangan amanat reformasi 1998.
Paling terbaru adalah gerakan menolah Omnibus Law (UU Cipta Kerja).
Gerakan ini diselenggarakan awal Oktober 2020. Mahasiswa kembali melakukan
aksi baik mahasiswa di ibukota maupun di daerah. Mereka menolak pengesahan
UU Cipta Kerja yang merugikan rakyat. Apalagi UU ini disahkan tanpa
mendengarkan keluhan rakyat yang sejak awal menolah undang-undang yang
berpotensi lebih banyak menguntungkan investor ketimbang para pekerja.
Perlu diingat, menjadi agen perubahan bukan berarti hanya berkutat dengan
gerakan seperti tiga peristiwa di atas. Ada banyak gerakan yang bisa dilakukan
mahasiswa untuk mendorong terjadinya perubahan. Contohnya mengadakan
kajian, mendirikan taman baca, perpustakaan jalanan, dan lainnya.
Aksi dan juga interaksi sosial dengan masyarakat merupakan bagian terpenting
yang bisa dilakukan mahasiswa untuk mengubah tatanan bangsa dan negara secara
konkrit. Maka dari itu mahasiswa perlu menjadikan contoh sebagai motivasi,
mengembangkan potensi sesuai dengan kemampuan diri dan berikanlah hak
sebebas-bebasnya untuk berinovasi demi membangun peradaban yang madani.