Anda di halaman 1dari 3

Eksistensi dalam Keterasingan

Oleh : Tiorivaldi

Setiap kata dan kalimat yang dengan bangganya mahasiswa menjelaskan dirinya sebagai
"agent of change", "social control", "iron stock", dll. Namun, apakah semua itu hanya
wacana dan pengakuan terhadap diri sendirinya saja ? Sejauh apakah kiprah mahasiswa
sehingga dengan bangganya bisa meng-inputkan dirinya kedalam gelar semacam itu. Lagi-
lagi kita mesti berbicara dengan jujur dan penuh hikmah dalam menjelaskan kebenaran dari
pengungkapan gelar tersebut.
Ketika berbicara tentang gelar-gelar tersebut tidak bisa dilupakan bahwasanya mahasiswa
selalu menengok ke belakang. Mengungkapkan kehebatan mahasiswa-mahasiswa Indonesia
pada tahun 1966 dan 1998. Memang, tak mengapa jika yang kita sebut mahasiswa pada
saat itu. Kita patut mengakui dengan kebenaran fakta terkait "agent of change" pada masa
itu. Pada tahun 1967, Soekarno mereka turunkan dari jabatan presidennya, sampai salah
satu tokohnya masih dikenal sampai saat ini yaitu Soe Hok Gie. Seorang tionghoa yang
tulisan-tulisan perlawanannya sampai dibukukan oleh beberapa orang, aktivitas yang giat ia
tekuni adalah semacam pecinta alam yang sering mendaki gunung-gunung. Pada masa inilah
mahasiswa semakin memiliki nilai tawar yang tinggi, sampai pada puncaknya di tahun 1978,
Soeharto yang pada saat itu menjadi presiden kedua setelah Soekarno harus melahirkan
kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Karena pemerintah semakin berpikir untuk
menormalkan keadaan kampus yang semakin lama semakin turut campur dalam
pembangunan negara (dalam arti terjun dalam politik praktis). Selang 2 tahun setelah
lahirnya NKK muncul kembali yang semakin mempersempit gerak mahasiswa dengan
dikeluarkannya Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK).
Saat ini saya tidak ingin berbicara sejarah dengan panjang lebar, karena mesti kita berpikir
"kita adalah kita" dan "mereka adalah mereka". Sejarah atau cerita masa lalu adalah untuk
dipelajari dan dicocokkan dengan keadaan saat ini, tidak bisa secara mentah kita terima dan
praktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan hal itu kita harus menengok kembali, seberapa
pantas diri kita untuk menyandang gelar "agent of change", "social control", "iron stock", dll.
Mereka yang dahulu memang benar dikatakan sebagai agen perubahan, lalu bagaimana
dengan kita saat ini ? Apakah perubahan yang setidaknya nampak dari adanya mahasiswa
saat ini ?
Itulah sejauh eksistensi yang dimiliki oleh mahasiswa yang dahulu. Yang menjadi kekurangan
mahasiswa Indonesia adalah tidak pernah tampil sebagai gelar yang lebih tinggi daripada
agent of change yaitu creator of change. Bukan hanya sebagai agen yang berarti mahasiswa
hanya menjadi salah satu komponen perubahan tetapi mahasiswa lah sebagai pembuat dari
perubahan itu. Dialah yang menjadi produsen dalam sebuah dramatikal kehidupan ini.
Contoh signifikannya adalah setelah jatuhnya Soekarno dan Soeharto masih tetap terjadi
tradisi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dimana-mana, gaya pemerintahan masih
semacam otoritas. Sehingga setelah jatuhnya seorang pemimpin negara. Masih banyak
berlaku protes pada pemimpin negara yang berikutnya
Mahasiswa old berpikir dengan permasalahan dahulu, mahasiswa now mestilah berpikir
dengan yang ada pada saat ini. Kita harus berubah dari pola gerak mahasiswa Indonesia
yang dahulu dengan pola gerak mahasiswa Indonesia yang kekinian. Jika dahulu mahasiswa
lebih sering berkomunikasi dengan sektor terdekatnya, mahasiswa saat ini bahkan bisa
berkomunikasi dengan orang lain yang berada di belahan dunia lainnya. Jika dahulu
mahasiswa tidak begitu banyak model dalam beraksi, maka kita saat ini begitu terlampau
banyaknya sesuatu yang bisa kita lakukan bahkan dalam keadaan kita sedang dirumah.
Mahasiswa dahulu sering menjalankan aksi demonstrasi dalam sikap protesnya terhadap
pemerintah, maka sekarang kita harus gunakan sarana-sarana yang melimpah ruah
tersebut. Bisa dengan aksi pada sosial media, memberikan sikap dan pernyataan lewat
media berita online atau offline, mengeluarkan petisi yang diharapkan mahasiswa pun akan
ikut turut serta di dalam nya. Jika dahulu bahkan dalam aksi sosial kita mesti meminta
dijalanan, sekarang kita bisa melakukannya hanya dengan menyebarkannya di media sosial
dengan memberi nomor atm atau bisa lewat media online. Itulah sebuah gerakan yang
melimpah ruah tetapi malah semakin minim yang berhasrat untuk ikut turut serta di dalam
nya. Itulah yang disebut dengan perubahan perilaku sosial atau bisa kita sebut juga dengan
revolusi sosial. Mahasiswa old dengan mahasiswa now yang tergolong dalam generasi x, y,
dan z. Merupakan generasi yang dekat dengan media sosial sehingga dampaknya rasa
bersosial jadi semakin berkurang dan waktunya disibukkan dengan gadget yang dirasa
tertarik untuk dimainkannya. Maka, dari itu sebabnya mahasiswa yang masih komitmen
dalam jiwa perjuangannya mesti bergerak menyesuaikan dengan konteks zaman. Pada
zaman teknologi ini perlu kita imbangkan dengan gerakan yang bernuansa teknologi.
Sehingga sebuah permasalahan yang terjadi pada sebuah masyarakat masih tetap bisa
diketahui oleh mahasiswa lainnya. Walaupun begitu kerinduan terhadap aksi demonstrasi
memang tidak bisa dilupakan, karena aksi demonstrasi lah yang paling banyak mendapatkan
perhatian pada lingkungan pemerintah. Sistem dalam perkuliahan yang semakin padat
dalam aktivitas akademis ini merupakan suatu bentuk untuk menghilangkan keberadaan
aksi demonstrasi. Karena aksi demonstrasi memerlukan persiapan yang cukup matang dan
waktu yang tidak sedikit.
Mahasiswa juga mesti sadar bahwa gelar-gelar tadi bukanlah hanya dimiliki oleh para
mahasiswa saja. Seseorang yang berprofesi lain seperti dokter, guru, petani, pejabat negara,
pedagang adalah bagian dari agent of change. Seorang dokter menjadi agent of change
terhadap orang yang disembuhinya sehingga orang tersebut bisa beraktivitas kembali untuk
menciptakan perubahan-perubahan dalam lingkungannya. Seorang guru menjadi agent of
change bagi perubahan-perubahan muridnya menjadi seseorang yang bermanfaat
dikemudian harinya. Dari hal itu lah kita ketahui bahwa setiap manusia di dunia dengan
berbagai profesi yang dijalankannya didunia saling melengkapi satu sama lainnya. Coba
bayangkan jika di dunia ini tidak ada seorang guru atau ahli pengajar. Lalu, bagaimana
mungkin mahasiswa bisa terlahir yang berujung pada gaya agent of change nya. Maka, kita
perlu menyadari untuk melepaskan sikap eksklusif dan konservatif yang menutup diri
daripada yang lainnya. Mahasiswa dalam bergerak memerlukan sikap inklusif dan
kemoderatannya, sehingga bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Penjatuhan
Soeharto pun termasuk karena pelopor gerakan tersebut meninggkalkan rasa eksklusif-
konservatif nya. Disaat gerakan mahasiswa yang lainnya sangat menolak dan tidak mau
untuk mengajak tokoh negarawan dalam aksi protesnya, disitulah ada salah satu gerakan
yang mengajak salah satu tokoh Indonesia untuk bergabung membersamai sehingga dari
situ lah masyarakat merasa segan dan mau untuk bersama dengan mahasiswa. Sikap
eksklusif-konservatif yang sering memisahkan diri dari orang yang tidak berpaham atau
sevisi dengannya perlu untuk kita kurangkan juga. Mahasiswa jangan lagi merasa paling baik
dengan dirinya sebagai aktivis. Sehingga pemisahan dan perbedaan selalu terjadi di
kalangan aktivis dan non-aktivis.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan naungan penengah atau perangkul dari
setiap mahasiswa yang sangat diharapkan dalam sikapnya bisa menyatukan seluruh civitas
akademika yang berada di dalam kampus. Haruslah memahami apa yang menjadi
kebutuhan dari setiap kelompok mahasiswa, baik itu dari kalangan aktivis dan non-aktivis.
Dan itu yang ku lihat saat ini menghilang atau memang sudah menjadi kultur berkelindan
yang salah pada lembaga tertinggi di dalam kampus ini. Budaya literasi dan intelektual tak
selalu menjadi asupan gizi setiap harinya dalam membahas sebuah permasalahan, yang ada
hanya pembahasan apakah program kerja yang hendak kita laksanakan kali ini sudah siap
dalam persiapannya. Saya tak akan mencoba untuk mempertahankan apa yang terjadi pada
BEM KM, lalu menutup diri hanya karena diriku pun ada di dalamnya. Jika kita hendak
membela kebenaran tanpa sebuah kemunafikan, maka harus berani untuk menyatakan
salah walau akan menyakiti eksisten diri sendiri. Dari hal seperti inilah saya hendak
mengutip pernyataan Soe Hok Gie :
“Minggu-minggu ini adalah hari-hari yang berat untuk saya, karena saya memutuskan
bahwa saya akan bertahan dengan prinsip-prinsip saya. Lebih baik diasingkan daripada
menyerah terhadap kemunafikan.”
Atau juga seperti yang di sabdakan oleh tokoh paling berpengaruh nomor satu di dunia,
yaitu Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (dalam buku “The 100”, Michael H. Hart)
ketika seorang sahabatnya bertanya “Siapakah orang asing itu ?” Lalu beliau menjawab :
“Mereka ialah orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan di tengah kerusakan”

Anda mungkin juga menyukai