Anda di halaman 1dari 5

Memimpin Tanpa Uang

Oleh : Tiorivaldi

Kehidupan Mohammad Natsir

Di tengah balutan udara amat sejuk kota Alahan Panjang, di kampung


Jembatan Berukir, seorang wanita bernama Khadijah, istri Idris Sutan Saripado,
pada tanggal 17 Juli 1908, bertepatan dengan tahun kebangkitan nasional,
melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Mohammad Natsir, yang
setelah dewasa bergelar Datuk Sinarto Panjang. Gelar pusaka tersebut
disematkan setelah menikah yang digunakan turun temurun dalam masyarakat
Minangkabau, seperti halnya rumah gadang, rangkiang, dan balai adat.

Semenjak berumur delapan tahun, sekitar tahun 1916, Natsir berang-angan


ingin masuk sekolah dasar berbahasa Belanda, Hollands Inlandse School
(HIS). Ayah Natsir yang hanya seorang pekerja juru tulis di konteler di Maninjau
membuat harapan Natsir untuk sekolah di HIS pemerintah pun pupus. Pada
tanggal 23 Agustus 1915 munculah sekolah partikelir HIS Adabiyah padang
yang didirkan oleh H. Abdullah Ahmad bersama kawan-kawannya. HIS
Adabiyah merupakan salah satu sekolah bersejarah yang banyak melahirkan
orang-orang berjasa dan pemimpin Negara Republik Indonesia.

Allah pun memiliki takdir tersendiri untuk Natsir, setelah 3 bulan mengecap
sekolah HIS Adabiyah. Natsir mendapat kesempatan untuk mengenyam seklah
di HIS Pemerintah. Selama bersekolah di HIS, Natsir “menumpang hidup” di
saudagar kaya pasar solok yang bernama Haji Musa. Di situ Natsir pertama kali
belajar bahasa Arab dan mengaji fiqih.

Sebagai anak juru tulis, ia pernah ditolak masuk sekolah HIS. Di Maninjau ia
belajar di sekolah rakyat. “Saya belajar, tapi tak bayar uang sekolah dan tidak
terdaftar sebagai murid,” katanya. Ia sekolah sembunyi-sembunyi. Jika ada
inspektur sekolah datang, Natsir diminta bersembunyi dahulu.

Setelah lulus dari HIS, Natsir melanjutkan sekolah di MULO (Meer Uitegebried
Lager Onderwijs) Padang. Ketika sekolah di MULO Natsir mulai aktif di Jong
Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond, di sanalah Natsir bertemu
pertama kalinya dengan Nur Nahar, wanita yang kelak akan menjadi istri Natsir.
Empat tahun Natsir menempuh sekolah MULO dari tahun 1920-1927. Setelah
menyelesaikan sekolah MULO dengan nilai yang baik, Natsir mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan sekolah AMS (Alegmeene Middelbare School) di
Bandung.

Mohammad Natsir adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang


kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai
politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia
pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah
internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia
(World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Natsir mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia
politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi
Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia
kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951
karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal
menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya
dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus
mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga
membuatnya dicekal.

Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-


majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929;
hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis
lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya
Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan
Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar
doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada
tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya
bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak
diberi hadiah mobil mewah."

Beliau meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun dan


kemudian dimakamkan sehari kemudian

Refleksi Hidup Juang Natsir

Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh pahlawan Nasional Indonesia


yang ditetapkan pada tanggal 10 November 2018. Berbagai lika-liku kehidupan
telah dilewatinya hingga dapat menjadi tokoh negarawan di Indonesia. Lebih
dari itu, bahkan banyak penghargaan beliau dapatkan dari luar Indonesia yang
menunjukkan suatu prestasi hidup yang baik. Dengan terlahir dalam keluarga
yang tidak cukup bermateri, malah membuat kemandirian finansial dari sosok
Mohammad Natsir sendiri terbangun. Di atas tadi sudah disebutkan bahwa
beliau pernah mengatakan “Saya belajar, tapi tak bayar uang sekolah dan tidak
terdaftar sebagai murid,”. Bukan hanya sekedar ijazah yang ingin diperoleh
olehnya, perjuangan nya dalam menuntut ilmu bukan karena ingin sekedar
tuntutan orang tua. Tetapi karena keinginan pribadi, untuk menjadi seseorang
yang berjiwa besar. Pernah juga beliau mendirikan Sekolah Partikelir yang
bertahan selama 10 tahun yang diberi nama “Pendidikan Islam” yang disingkat
“Pendis”. Untuk mempertahankan sekolah tersebut, istrinya sampai beberapa
kali mencopot gelangnya untuk digadaikan demi eksistensi dari Pendisi.
Sekolah tersebut akhirnya ditutup karena paksaan dari pihak Jepang setelah
kedatangan mereka ke Nusantara pada saat itu.
Mungkin tidak berlebihan jika penulis menempatkan perjuangannya yang tidak
bermateri dengan sekelas perjuangan Rasul dan para sahabatnya. Beliau
menjabat sebagai Menteri Penerangan dan Perdana Menteri Indonesia tanpa
hidup dengan materi. Padahal jabatan sekelas itu sangat bisa untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam hal materi. Amien Rais bahkan
pernah mendengar cerita dari Khusni Muis (Ketua Muhammadiyah Kalimantan
Selatan). Ia menuturkan bahwa pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai
(saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika
hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir untuk meminjam
uang untuk ongkos pulang. Natsir lalu meminjang uang data kas majalah
Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, perdana menteri tidak memegang uang.
Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien Rais. Hal tersebut hampir sama
dengan keadaan-keadaan yang terjadi ketika Nabi Muhammad memimpin
kaum muslimin dan para sahabat. Kita sebut saja khalifah ke 2 yaitu Umar bin
Khattab yang bahkan untuk membeli pakaian anaknya tidak sanggup karena
tak punya materi. Padahal itu dalam keadaan beliau sebagai pemimpin tertinggi
umat Islam pada saat itu. Bayangkan berjuta-juta bisa ia kerahkan dibawah
komandonya tetapi untuk hal materi beliau kesulitan

Mohammad Natsir dalam Aksiologis

Itu adalah suatu pelajaran berharga yang bisa kita ambil dari jalan hidup juang
Mohammad Natsir dari sekolah yang bersembunyi-sembunyi (non-formal)
hingga sampai menjadi tokoh negarawan. Bukanlah sebuah materi berlimpah
yang bisa membuat seseorang menjadi besar, tetapi perjuangan keras dan
ketekunan dalam belajar yang bisa menjadikan seseorang itu besar. Bukanlah
ijazah SD, SMP, SMA, nilai tinggi, prestasi juara bahkan predikat cumlaude di
perguruan tinggi yang membuat seseorang bisa hidup sejahtera nan estetik.
Tetapi bagaimana cara ia memperoleh ilmu tersebut, dan apa yang dilakukan
selama hidupnya yang menjadikan seseorang menjadi besar. Pada akhirnya
apa yang menjadi paling penting dalam kehidupan ini adalah “Apakah anda
telah memberikan manfaat dalam kehidupan anda ?”, “Apakah kematian anda
menyisakan banyak kesedihan pada orang lain ?” dan pada akhirnya
pertanyaan yang paling terpenting dalam hidup ini adalah “Kenapa anda
diciptakan ?” . Dalam hidup ini hanya ada dua bentuk, yaitu benar atau salah;
positif atau negatif; kanan atau kiri; baik atau buruk. Tidak ada yang namanya
kehidupan tengah melainkan itu hanya dipakai dalam sikap sosial anda
terhadap suatu lingkungan masyarakat.

Sumber Referensi dan Tulisan :

 Wikipedia
 Seri Buku Diskusi Online Indonesia. 2017. Jalan Hidup Para Pejuang.
Surabaya: Pustaka Saga
 Basri, Agus. 2008. Mohammad Natsir Politik Melalui Jalur Dakwah. Panitia
Peringatan Refleksi Seabad Mohammad Natsir Pemikiran dan
Perjuangannya & Penerbit Media Dakwah
 Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir. 1978. Mohammad Natsir 70
Tahun: Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Jakarta: Pustaka
Antara
 Tim Buku Tempo. 2011. Natsir: Politik Santun di Antara Dua Rezim. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia

Anda mungkin juga menyukai