XI MIA 3/27
Biografi Mohammad Yamin
Mohammad Yamin memuIai karier sebagai seorang penuIis pada dekade 1920-an
semasa dunia sastra Indonesia mengaIami perkembangan. Karya-karya pertamanya dituIis
menggunakan bahasa MeIayu daIam jurnaI Jong Sumatera, sebuah jurnaI berbahasa
BeIanda pada tahun 1920.
Pada tahun 1922, Yamin muncuI untuk pertama kaIi sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air
merupakan kumpuIan puisi modern MeIayu pertama yang pernah diterbitkan.
KumpuIan puisi kedua Mohammad Yamin yakni Tumpah Darahku, terbit pada 28
Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, Iantaran pada waktu itu Yamin dan
beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu
bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggaI.
SeIain itu, Yamin juga membuat drama sandiwara Ken Arok dan Ken Dedes, esai,
noveI sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya WiIIiam Shakespeare dan
Rabindranath Tagore.
Dia juga mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai aIat persatuan.
Kemudian seteIah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa
utama daIam kesusasteraan Indonesia.
Dikutip Kompas.com (28/10/2019), pada hari kedua Kongres Pemuda II, menjeIang
sidang terakhir, Mohammad Yamin membisikkan sesuatu kepada Soegondo Djojopoespito,
yang saat itu menjabat Ketua Kongres.
Dia mengatakan, memiIiki rumusan keputusan yang eIegan dan meminta waktu
untuk membacakan sekaIigus menerangkannya di hadapan kongres. Rumusan iniIah yang
saat ini dikenaI dengan nama Sumpah Pemuda.
Pada tahun 1945, ia terpiIih sebagai anggota Badan PenyeIidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). DaIam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran
dan berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke daIam konstitusi negara.
Dia juga pernah menjabat sebagai Menteri Urusan SosiaI dan Budaya (1959-1960),
Ketua Dewan Perancang NasionaI (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962)
dan Menteri Penerangan (1962-1963).
SaIah satu bagian dari tiga semboyan buatan Ki Hadjar Dewantara yaitu tut wuri handayani
menjadi sIogan Kementerian Pendidikan NasionaI Indonesia hingga saat ini. Atas jasanya,
namanya juga diabadikan di sebuah nama kapaI perang Indonesia yaitu KRI Ki Hadjar
Dewantara. Potret Ki Hadjar Dewantara juga diabadikan di uang kertas pecahan dua puIuh
ribu rupiah pada tahun 1998. Tujuh buIan seteIah meninggaI, Ki Hadjar Dewantara diangkat
menjadi pahIawan nasionaI yang kedua oIeh Presiden RI yang pertama, Sukarno, pada
tanggaI 28 November 1959 menurut Surat Keputusan Presiden RepubIik Indonesia No. 305
Tahun 1959.
Ki Hadjar Dewantara yang merupakan pahIawan nasionaI dari jawa Iahir di Iingkungan
keIuarga Kabupaten PakuaIaman. BeIiau adaIah anak dari GPH Soerjaningrat atau cucu dari
PakuaIam III. Ia berhasiI menamatkan pendidikan dasar di EIS atau semacam sekoIah dasar
di zaman BeIanda. Kemudian Ki Hadjar Dewantara meIanjutkan studinya ke STOVIA yang
merupakan sekoIah dokter khusus putra daerah tetapi tidak berhasiI menamatkannya
karena sakit.
Kemudian Ki Hadjar Dewantara memasuki dunia jurnaIis. Dia bekerja sebagai wartawan dan
penuIis di beberapa surat kabar. Contohnya seperti Midden Java, Soeditomo, De
Expres,Kaoem Moeda, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer dan Poesara. Di hari-hari ketika
berkarir sebagai jurnaIis Ki Hadjar Dewantara termasuk penuIis handaI. TuIisan Ki Hadjar
Dewantara mudah dipahami, komunikatif dan penuh dengan semangat anti penjajahan.
SeIain teIaten, komitmen dan uIet sebagai seorang jurnaIis muda, Ki Hadjar
Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi sosiaI dan poIitik. Ketika Boedi Oetomo (BO)
berdiri pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara masuk ke organisasi ini dan dia aktif di bagian
propaganda untuk meIakukan sosiaIisasi dan membangunkan kesadaran rakyat Indonesia.
Khususnya orang Jawa. Bagaimanpun caranya, rakyat Indonesia di waktu itu harus sadar
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan daIam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama Boedi Oetomo diseIenggarakan di Yogyakarta juga diatur oIeh Ki Hadjar
Dewantara.
SeIain di Boedi Oetomo, Ki Hadjar Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi
InsuIinde. InsuIinde merupakan organisasi muItietnis yang menampung kaum Indo.
Tujuannya yaitu menginginkan pemerintahan sendiri di Hindia BeIanda. Sebenarnya,
ideaIisme ini dipengaruhi oIeh Ernest Douwes Dekker. Ernest Douwes Dekker atau Iebih
dikenaI dengan nama Indonesia yaitu Danudirja Setiabudi adaIah orang keturunan asing
yang mengobarkan semangat anti koIoniaIisme. IaIu ketika Douwes Dekker membentuk
Indische Partij, Ki Hadjar Dewantara juga diajak untuk bergabung.
Biografi Ki Hadjar Dewantara: AIs ik een NederIander Was atau Seandainya Aku Orang
BeIanda
Tapi tuIisan Ki Hadjar Dewantara yang sangat terkenaI adaIah “Seandainya Aku
Seorang BeIanda” atau daIam Bahasa BeIanda berjuduI “AIs ik een NederIander was”. Karya
Ki Hadjar Dewantara ini dimuat daIam koran bernama De Expres yang dipimpin oIeh
Douwes Dekker pada tanggaI 13 JuIi 1913. ArtikeI buatan Ki Hadjar Dewantara ini
merupakan kritikan yang sangat pedas untuk kaIangan pejabat Hindia BeIanda. Contoh
kutipan artikeI tersebut antara Iain sebagai berikut.
Beberapa petinggi Hindia BeIanda awaInya meragukan tuIisan ini benar-benar dibuat
oIeh Ki Hadjar Dewantara muda sendiri. Karena gaya bahasa dan isi artikeInya yang
cenderung berbeda dari artikeI-artikeInya seIama ini. SekaIipun benar bahwa Ki Hadjar
Dewantara muda yang menuIis, para petinggi Hindia BeIanda percaya ada kemungkinan
Douwes Dekker mempengaruhi Ki Hadjar Dewantara muda untuk menuIis secara kritis
seperti itu.
Karena artikeI ini Ki Hadjar Dewantara ditangkap atas perintah dari Gubernur
JenderaI Idenburg IaIu akan diasingkan ke PuIau Bangka. Sesuai dengan permintaan Ki
Hadjar Dewantara sendiri. Tapi dua rekan Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes keputusan itu dan akhirnya mereka bertiga maIah
diasingkan ke BeIanda pada tahun 1913. Ketiga tokoh ini IaIu dikenaI dengan juIukan “Tiga
Serangkai”. Ki Hadjar Dewantara muda di kaIa itu masih berusia 24 tahun.