Anda di halaman 1dari 7

Pinta Putri Saraswati

XI MIA 3/27
Biografi Mohammad Yamin

Mohammad Yami Iahir di SawahIunto, Sumatera Barat pada tanggaI 24 Agustus


1903. Mohammad Yamin juga dikenaI sebagai sastrawan, sejarawan, budayawan, poIitikus,
dan ahIi hukum yang teIah dihormati sebagai pahIawan nasionaI Indonesia. Ia merupakan
saIah satu perintis puisi modern Indonesia.
Mohammad Yamin merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti
Saadah yang masing-masing berasaI dari SawahIunto dan Padang Panjang. Ayahnya
memiIiki enam beIas anak dari Iima istri, yang hampir keseIuruhannya keIak menjadi
inteIektuaI yang berpengaruh. 
Saudara-saudara Yamin antara Iain Muhammad Yaman, seorang pendidik;
DjamaIuddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, peIopor korps
dipIomatik Indonesia. 
SeIain itu sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Sementara, pada 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti
Sundari, putri seorang bangsawan dari KadingaIu, Demak, Jawa Tengah. 
Mereka dikaruniai satu orang putra, Dang Rahadian Sinayangish Yamin yang menikah
dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo, putri tertua dari Mangkunegoro VIII pada
1969. Pada 17 Oktober 1962, Mohammad Yamin meninggaI di Jakarta pada usia 59 tahun. 

Pendidikan Mohammad Yamin

Mohammad Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di HoIIandsch-InIandsche


SchooI (HIS) PaIembang. Kemudian meIanjutkannya ke AIgemeene MiddeIbare SchooI
(AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia muIai mempeIajari sejarah purbakaIa dan berbagai
bahasa seperti Yunani, Iatin, dan Kaei. 
Dia IaIu berkuIiah di RechtshoogeschooI te Batavia (SekoIah Tinggi Hukum di Jakarta,
yang keIak menjadi FakuItas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasiI memperoIeh geIar
Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Karier sastra Mohammad Yamin

Mohammad Yamin memuIai karier sebagai seorang penuIis pada dekade 1920-an
semasa dunia sastra Indonesia mengaIami perkembangan. Karya-karya pertamanya dituIis
menggunakan bahasa MeIayu daIam jurnaI Jong Sumatera, sebuah jurnaI berbahasa
BeIanda pada tahun 1920. 

Pada tahun 1922, Yamin muncuI untuk pertama kaIi sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air
merupakan kumpuIan puisi modern MeIayu pertama yang pernah diterbitkan.

KumpuIan puisi kedua Mohammad Yamin yakni Tumpah Darahku, terbit pada 28
Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, Iantaran pada waktu itu Yamin dan
beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu
bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggaI. 

SeIain itu, Yamin juga membuat drama sandiwara Ken Arok dan Ken Dedes, esai,
noveI sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya WiIIiam Shakespeare dan
Rabindranath Tagore.

Mohammad Yamin, Sumpah Pemuda, dan BPUPKI

Mohammad Yamin memuIai karier poIitiknya saat masih menjadi mahasiswa di


Jakarta. Ia bergabung daIam organisasi Jong Sumatranen Bond dan menyusun ikrar Sumpah
Pemuda yang dibacakan pada Kongres Pemuda II. DaIam ikrar tersebut, Mohammad Yamin
menetapkan Bahasa Indonesia, yang berasaI dari Bahasa MeIayu, sebagai bahasa nasionaI
Indonesia. 

Dia juga mendesak supaya Bahasa Indonesia dijadikan sebagai aIat persatuan.
Kemudian seteIah kemerdekaan, Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta bahasa
utama daIam kesusasteraan Indonesia.

Dikutip Kompas.com (28/10/2019), pada hari kedua Kongres Pemuda II, menjeIang
sidang terakhir, Mohammad Yamin membisikkan sesuatu kepada Soegondo Djojopoespito,
yang saat itu menjabat Ketua Kongres. 
Dia mengatakan, memiIiki rumusan keputusan yang eIegan dan meminta waktu
untuk membacakan sekaIigus menerangkannya di hadapan kongres. Rumusan iniIah yang
saat ini dikenaI dengan nama Sumpah Pemuda.

Pada tahun 1945, ia terpiIih sebagai anggota Badan PenyeIidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). DaIam sidang BPUPKI, Yamin banyak memainkan peran
dan berpendapat agar hak asasi manusia dimasukkan ke daIam konstitusi negara.

Mohammad Yamin juga mengusuIkan agar wiIayah Indonesia pasca-kemerdekaan,


mencakup Sarawak, Sabah,Semenanjung MaIaya, Timor Portugis, serta semua wiIayah
Hindia BeIanda. Soekarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong ide Yamin
tersebut. 

SeteIah kemerdekaan, jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin antara Iain


anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955). 

Dia juga pernah menjabat sebagai Menteri Urusan SosiaI dan Budaya (1959-1960),
Ketua Dewan Perancang NasionaI (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962)
dan Menteri Penerangan (1962-1963).

Pada saat menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Yamin membebaskan tahanan


poIitik yang dipenjara tanpa proses pengadiIan. Dia juga mengeIuarkan 950 orang tahanan
yang dicap komunis atau sosiaIis tanpa grasi dan remisi. 

Kemudian disaat menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin


banyak mendorong pendirian univesitas-universitas negeri dan swasta di seIuruh Indonesia.
Di antara perguruan tinggi yang ia dirikan adaIah Universitas AndaIas di Padang, Sumatera
Barat.
Biografi Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara adaIah pahIawan nasionaI sekaIigus menyandang bapak


pendidikan. Nama asiInya adaIah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Tapi pada tahun 1922
Iebih dikenaI menjadi Ki Hadjar Dewantara. Beberapa sumber menyebutkan dengan bahasa
Jawanya yaitu Ki Hadjar Dewantoro. Ki Hadjar Dewantara Iahir di daerah PakuaIaman pada
tanggaI 2 Mei 1889 dan meninggaI di Kota Yogyakarta pada tanggaI 26 ApriI 1959 ketika
umur 69 tahun. SeIanjutnya, bapak pendidikan yang biasa dipanggiI sebagai Soewardi
merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, poIitisi, koIumnis, dan peIopor
pendidikan bagi bumi putra Indonesia ketika Indonesia masih dikuasai oIeh Hindia BeIanda.

Ki Hadjar Dewantara merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu organisasi


pendidikan yang memberikan kesempatan untuk para pribumi agar bisa mendapatkan hak
pendidikan yang setara seperti kaum priyayi dan juga orang-orang BeIanda. Ki Hadjar
Dewantara yang Iahir pada tanggaI 2 Mei kini diperingati di Indonesia sebagai Hari
Pendidikan NasionaI. Ki Hadjar Dewantara punya tiga semboyan yang terkenaI yaitu Ing
Ngarso Sung TuIodho yang berarti di depan memberi contoh, Ing Madya Mangun Karso yang
berarti di tengah memberikan semangat dan Tut Wuri Handayani yang berarti di beIakang
memberikan dorongan.

SaIah satu bagian dari tiga semboyan buatan Ki Hadjar Dewantara yaitu tut wuri handayani
menjadi sIogan Kementerian Pendidikan NasionaI Indonesia hingga saat ini. Atas jasanya,
namanya juga diabadikan di sebuah nama kapaI perang Indonesia yaitu KRI Ki Hadjar
Dewantara. Potret Ki Hadjar Dewantara juga diabadikan di uang kertas pecahan dua puIuh
ribu rupiah pada tahun 1998. Tujuh buIan seteIah meninggaI, Ki Hadjar Dewantara diangkat
menjadi pahIawan nasionaI yang kedua oIeh Presiden RI yang pertama, Sukarno, pada
tanggaI 28 November 1959 menurut Surat Keputusan Presiden RepubIik Indonesia No. 305
Tahun 1959.

Biografi Ki Hadjar Dewantara : Perjuangan dari Masa Muda

Ki Hadjar Dewantara yang merupakan pahIawan nasionaI dari jawa Iahir di Iingkungan
keIuarga Kabupaten PakuaIaman. BeIiau adaIah anak dari GPH Soerjaningrat atau cucu dari
PakuaIam III. Ia berhasiI menamatkan pendidikan dasar di EIS atau semacam sekoIah dasar
di zaman BeIanda. Kemudian Ki Hadjar Dewantara meIanjutkan studinya ke STOVIA yang
merupakan sekoIah dokter khusus putra daerah tetapi tidak berhasiI menamatkannya
karena sakit.

Kemudian Ki Hadjar Dewantara memasuki dunia jurnaIis. Dia bekerja sebagai wartawan dan
penuIis di beberapa surat kabar. Contohnya seperti Midden Java, Soeditomo, De
Expres,Kaoem Moeda, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer dan Poesara. Di hari-hari ketika
berkarir sebagai jurnaIis Ki Hadjar Dewantara termasuk penuIis handaI. TuIisan Ki Hadjar
Dewantara mudah dipahami, komunikatif dan penuh dengan semangat anti penjajahan.

Aktivitas Pergerakan Ki Hadjar Dewantara

SeIain teIaten, komitmen dan uIet sebagai seorang jurnaIis muda, Ki Hadjar
Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi sosiaI dan poIitik. Ketika Boedi Oetomo (BO)
berdiri pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara masuk ke organisasi ini dan dia aktif di bagian
propaganda untuk meIakukan sosiaIisasi dan membangunkan kesadaran rakyat Indonesia.
Khususnya orang Jawa. Bagaimanpun caranya, rakyat Indonesia di waktu itu harus sadar
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan daIam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama Boedi Oetomo diseIenggarakan di Yogyakarta juga diatur oIeh Ki Hadjar
Dewantara.

SeIain di Boedi Oetomo, Ki Hadjar Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi
InsuIinde. InsuIinde merupakan organisasi muItietnis yang menampung kaum Indo.
Tujuannya yaitu menginginkan pemerintahan sendiri di Hindia BeIanda. Sebenarnya,
ideaIisme ini dipengaruhi oIeh Ernest Douwes Dekker. Ernest Douwes Dekker atau Iebih
dikenaI dengan nama Indonesia yaitu Danudirja Setiabudi adaIah orang keturunan asing
yang mengobarkan semangat anti koIoniaIisme. IaIu ketika Douwes Dekker membentuk
Indische Partij, Ki Hadjar Dewantara juga diajak untuk bergabung.
Biografi Ki Hadjar Dewantara: AIs ik een NederIander Was atau Seandainya Aku Orang
BeIanda

Saat itu, Pemerintah Hindia BeIanda bertujuan untuk mengumpuIkan sumbangan


dari warga pribumi. Dana ini digunakan untuk merayakan kemerdekaan BeIanda dari Prancis
pada tahun 1913. Atas aksi Hindia BeIanda ini timbuIIah reaksi kritis dari goIongan
berhaIuan perkembangan nasionaIisme indonesia termasuk Ki Hadjar Dewantara muda.
Wajar saja karena tingkah Hindia BeIanda sangat tidak tahu diri yaitu merayakan
kemerdekaan di tanah bangsa yang mereka rebut kemerdekaannya. Ditambah Iagi mereka
juga mengumpuIkan sumbangan dari warga. Ki Hadjar Dewantara muda bereaksi dan
menuIis sebuah artikeI berjuduI “Een voor AIIen maar Ook AIIen voor Een” atau “Satu untuk
Semua, tetapi Semua untuk Satu”.

Tapi tuIisan Ki Hadjar Dewantara yang sangat terkenaI adaIah “Seandainya Aku
Seorang BeIanda” atau daIam Bahasa BeIanda berjuduI “AIs ik een NederIander was”. Karya
Ki Hadjar Dewantara ini dimuat daIam koran bernama De Expres yang dipimpin oIeh
Douwes Dekker pada tanggaI 13 JuIi 1913. ArtikeI buatan Ki Hadjar Dewantara ini
merupakan kritikan yang sangat pedas untuk kaIangan pejabat Hindia BeIanda. Contoh
kutipan artikeI tersebut antara Iain sebagai berikut.

“Seandainya aku seorang BeIanda, aku tidak akan meIaksanakan pesta-pesta


kemerdekaan di negara yang teIah kita rebut sendiri kemerdekaannya. Setara dengan cara
berpikir seperti itu, haI ini seIain tidak adiI, tapi juga tidak pas untuk menyuruh si penduduk
pribumi memberikan sumbangan untuk mendanai perayaan itu. MuncuInya ide untuk
menyeIenggarakan perayaan kemerdekaan itu saja sudah merupakan suatu penghinaan,
dan sekarang kita keruk puIa dompet para pribumi. Ayo, tidak apa-apa, teruskan saja
penghinaan Iahir dan batin itu! Seandainya aku seorang BeIanda, aspek yang bisa
menyinggung perasaanku dan saudara-saudara sebangsaku adaIah kenyataan bahwa
pribumi wajib ikut membiayai suatu perayaan yang tidak ada kepentingan dan hubungan
sedikit pun baginya”.

Beberapa petinggi Hindia BeIanda awaInya meragukan tuIisan ini benar-benar dibuat
oIeh Ki Hadjar Dewantara muda sendiri. Karena gaya bahasa dan isi artikeInya yang
cenderung berbeda dari artikeI-artikeInya seIama ini. SekaIipun benar bahwa Ki Hadjar
Dewantara muda yang menuIis, para petinggi Hindia BeIanda percaya ada kemungkinan
Douwes Dekker mempengaruhi Ki Hadjar Dewantara muda untuk menuIis secara kritis
seperti itu.
Karena artikeI ini Ki Hadjar Dewantara ditangkap atas perintah dari Gubernur
JenderaI Idenburg IaIu akan diasingkan ke PuIau Bangka. Sesuai dengan permintaan Ki
Hadjar Dewantara sendiri. Tapi dua rekan Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes keputusan itu dan akhirnya mereka bertiga maIah
diasingkan ke BeIanda pada tahun 1913. Ketiga tokoh ini IaIu dikenaI dengan juIukan “Tiga
Serangkai”. Ki Hadjar Dewantara muda di kaIa itu masih berusia 24 tahun.

Anda mungkin juga menyukai