Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Jong Sumatranen Bond, Pencetak Jago Pergerakan Nasional

Para pemuda yang membentuk Jong Sumatranen Bond.


Tak ingin ketinggalan oleh saudara Jawa mereka, para pemuda Sumatra bikin Jong
Sumatranen Bond.
Tahun-tahun awal masa pergerakan nasional tak hanya diramaikan organisasi macam
Budi Utomo, Indische Partij, atau Sarekat Islam. Sejarah mencatat, para pelajar
sekolah-sekolah menengah di Hindia Belanda juga tak ketinggalan. Salah satu
organisasi kepemudaan yang terawal adalah Tri Koro Dharmo yang berdiri pada 1915.

Organisasi yang pada 1918 berubah nama jadi Jong Java ini memantik pemuda-pemuda
daerah lain untuk membikin organisasi sejenis. Dan, salah satu yang terpantik adalah
beberapa pelajar sekolah menengah asal Sumatra di Batavia. Di antara mereka itu ada
Tengku Mansur, Muhammad Anas, Alinudin, Nazief, dan Amir.

Di kelompok ini Muhammad Anas adalah motornya. Ia mengajak beberapa kawan


sekampung halamannya membentuk suatu perkumpulan pemuda Sumatra. Segera
setelah itu, suatu surat edaran dibuat dan diedarkan ke sekolah-sekolah menengah di
seantero Batavia.

Surat edaran itu berisi ajakan berapat bagi pemuda asal Sumatra pada suatu hari dan
tanggal yang telah ditentukan. Tempatnya di Gedung Volkslectuur di daerah
Weltevreden (saat ini Gambir). Tak ketinggalan pula kelompok Muhammad Anas

1
mengundang tokoh-tokoh Sumatra yang telah punya nama seperti Abdul Muis, Sutan
Temenggung, dan Haji Agus Salim.

Gayung bersambut, ajakan kelompok Muhammad Anas berhasil menarik sekira 90-an
pelajar asal Sumatra untuk datang ke Gedung Volkslectuur. Mereka datang dari
STOVIA, Rechtschool, Kweekschool, dan MULO.

Dibuka pada 10.00 pagi, beberapa penggagasnya bergantian pidato. Di antaranya


adalah Tengku Mansur dan Muhammad Anas. Bergantian mereka bicara tentang
gagasan membentuk organisasi kepemudaan Sumatra dan tujuan-tujuan rincinya.
Rangkaian itu lalu ditutup oleh Amir yang membacakan suatu anggaran dasar dari
organisasi yang nantinya akan dibentuk.

Edy Suwardi dalam tesisnya di Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Jong
Sumatranen Bond: Dari Nasionalisme Etnik Menuju Nasionalisme Indonesia (2007:
37), menyebut rapat pembentukan organisasi itu agak lain dari biasa.

“Biasanya di dalam sebuah organisasi, yang pertama kali ditentukan adalah nama
organisasi tersebut, tetapi di dalam membentuk organisasi pemuda Sumatra ini,
penguruslah yang dipilih terlebih dulu baru kemudian pemberian nama terhadap
organisasi itu,” tulis Edy Suwardi.

Usai seharian pidato dan dilanjutkan sidang, terpilihlah Tengku Mansur dan Abdul
Munir Nasution sebagai ketua dan wakil. Jabatan sekretaris diisi dua orang,
Muhammad Anas dan Amir. Sementara jabatan bendahara diisi Marzuki. Semuanya
adalah pelajar STOVIA.

Sebagai puncak acara, para peserta yang hadir menyepakati satu nama untuk organisasi
mereka. Maka hari itu, Minggu, 9 Desember 1917, tepat hari ini 101 tahun silam, Jong
Sumatranen Bond (JSB) resmi terbentuk.

2
Solidaritas Pemuda Sumatra
Pengurus Besar JSB berkedudukan di Batavia. Pengurus dan anggotanya adalah para
pelajar sekolah-sekolah menengah asal Sumatra. Pemuda yang telah lulus sekolah
menengah bisa juga ikut bergabung sebagai anggota luar biasa.

Dalam tahun pertama pendirian, pengurus JSB berusaha membentuk cabang-cabang


organisasi di berbagai kota. Untuk urusan ini, JSB meminta para anggotanya berperan
aktif.

“Para anggota yang kembali ke daerah masing-masing diharuskan untuk membawa


kabar atau melakukan propaganda ke daerah asalnya tersebut dengan sasaran untuk
dapat mengembangkan dapat mengembangkan organisasi ini melalui pembukaan
cabang-cabang,” tulis Edy Suwardy (hlm. 38).

Salah satu tokoh JSB yang berjasa dalam propaganda JSB di Sumatra—khususnya
daerah Minangkabau—adalah Nazir Datuk Pamuntjak. Pada Januari 1918 Nazir yang
tengah menunggu keberangkatan ke Belanda untuk sekolah pulang dulu ke Padang.

Esoknya Hatta dan beberapa kawannya tanpa ragu ikut terlibat dalam rapat pendirian
JSB Cabang Padang. Hatta sendiri dipercaya memegang jabatan bendahara.

Edy Suwardi mencatat bahwa dalam tahun pertamanya JSB telah merekrut 419 anggota
dari sembilan cabang. Selain di Batavia, JSB juga berdiri di Sukabumi, Buitenzorg,
Serang, Bandung, Purworejo. Sementara di Sumatra JSB punya cabang di Padang,
Bukittinggi, dan Medan (hlm. 39).

Kegiatan-kegiatan JSB, selain propaganda, umumnya diisi kursus dan diskusi. JSB
sering mengundang tokoh-tokoh yang kompeten untuk memberi penerangan soal
budaya, sejarah, seni, bahasa, dan politik. Agar pidato dan hasil diskusi itu bisa
menjangkau kalangan luas, JSB juga menerbitkan sebuah majalah yang diberi
nama Jong Sumatra.

3
Berubah Nama Lalu Lebur
Hatta tak memungkiri bahwa JSB adalah ruang pertama yang memberinya pengalaman
organisasi dan belajar politik. Selain Hatta banyak juga jago-jago pergerakan yang
merupakan alumni JSB. Di antara mereka ada Bahder Djohan, Mohammad Amir, dan
Muhammad Yamin.

Bahder Djohan adalah kawan dekat Hatta semasa bersekolah di Padang dan Batavia.
Dengan Bahder Djohan lah Hatta sering kali menghabiskan waktu berdiskusi tentang
banyak hal (hlm. 96). Ia masuk JSB bersamaan dengan Hatta. Di pengurus pusat JSB ia
dipercaya memegang jabatan sekretaris. Ia ikut pula terlibat dalam Kongres Pemuda
pertama 1926. Di Masa kemerdekaan Bahder Djohan pernah menjadi Rektor
Universitas Indonesia.

Baca juga: Dari Bekas Kampus Kolonial, Lahirlah Universitas Indonesia

Muhammad Amir adalah kader JBS Cabang Bukittinggi. Pada periode 1920-1921 ia
adalah ketua cabangnya. Aktivitas politiknya berlanjut hingga menjelang kemerdekaan.
Saat itu ia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Di masa
kemerdekaan ia pernah menjabat wakil gubernur Sumatra.

Sementara Muhammad Yamin adalah ketua terakhir Pengurus Besar JSB. Ia mulai
terlibat dalam JSB sekira 1920-an selama bersekolah di Algemeene Middelbare School
Surakarta. Ia adalah salah satu kader yang getol menggelorakan gagasan-gagasan
keindonesiaan di JSB.

“Dalam pidatonya yang berjudul De maleische taal in het verleden, heden en


toekomst (Bahasa Melayu di Masa Lampau, Sekarang, dan Masa Datang), ia
mengemukakan idenya mengenai penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
kebangsaan Indonesia—meskipun pidatonya sendiri masih dibawakan dalam bahasa
Belanda,” tulis majalah Tempo edisi 18-24 Agustus 2014.

4
Yamin dipercaya menjadi ketua JSB untuk periode 1926-1928. Di masa inilah
pengaruh Yamin begitu menonjol di kalangan pergerakan nasional. Ia tak hanya giat di
JSB, tetapi juga ikut ambil peran dalam Kongres Pemuda pertama dan kedua.

Usai Kongres Pemuda kedua pada 1928, Jong Sumatranen Bond berganti nama jadi
Pemuda Sumatra. Tapi itu tak lama, karena Yamin kemudian mendorong Pemuda
Sumatra untuk berfusi dengan organisasi pemuda daerah lainnya. Ia melibatkan
Pemuda Sumatra bersama Jong Java, Jong Minahasa, Jong Islamieten Bond, Jong
Bataks Bond, Jong Celebes, dan Sekar Rukun membentuk organisasi Indonesia Muda.

“Menyusul pembentukan Indonesia Muda, Yamin membubarkan Pemuda Sumatera


dalam suatu acara di Gedung Pertemuan, Gang Kenari, Jakarta, pada 23 Maret 1930,”

Anda mungkin juga menyukai