Anda di halaman 1dari 4

Organisasi Pemuda

Tri Koro Dharmo


Sejak Boedi Oetomo beralih tangan dari golongan muda ke golongan tua pada kongres pertamanya pada
5 Oktober 1908, timbul rasa ketidakpuasan di kalangan generasi muda. Ketidakpuasan itu didasarkan
pada gerak-langkah Boedi Oetomo yang cenderung konservatif dan kurang menampung aspirasi para
pemuda. Atas dasar itu, para pemuda membentuk suatu perkumpulan sendiri yang dapat dijadikan
tempat para pemuda dapat dididik untuk memenuhi kewajibannya di kelak kemudian hari. (SNI V, hal
190)
7 Maret 1915, bertempat di Gedung Boedi Oetomo Stovia Jakarta, para pemuda sepakat untuk
mendirikan organisasi pemuda yang berfungsi sebagai tempat latihan bagi calon-calon pemimpin bangsa
atas dasar kecintaan kepada tanah airnya. Perkumpulan para pemuda itu diberi nama Tri Koro Dharmo,
yang mengandung arti tiga tujuan yang mulia. Jabatan ketua diemban oleh oleh Satiman Wirjosandjojo,
wakil ketuan Soenardi (Mr.Wongsonegoro), dan sekertaris Soetomo. Pengurus lain diantaranya adalah
Muslich, Musodo, dan Abdul Rachman.
Sesuai dengan namanya, Tri Koro Dharmo memiliki tujuan, yaitu: Menjalin pertalian antara murid-murid
bumi putera pada sekolah menengah, kursus perguruan kejuruan dan sekolah vak, menambah
pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya, membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala
bahasa dan kebudayaan Hindia (Indonesia). Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan
berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa, menyelenggarakan
berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri Koro Dharmo.
Pada 12 Juni 1918, Tri Koro Dharmo yang sejak 1917 diketuai oleh Sutardiaryodirejo melakukan kongres
di Solo. Kongres itu menghasilkan dua keputusan, yaitu tentang ruang lingkup keanggotaan dan nama
organisasi, serta mengenai kepengurusannya. Nama Tri Koro Dharmo yang sangat jawasentris diganti
dengan nama Jong Java. Dengan begitu diharapkan pemuda-pemuda Sunda, Madura, Bali, dan Lombok
diharapkan bisa ikut memasuki organisasi tersebut. Tujuan pengubahan organisasi adalah untuk
membangun persatuan Jawa Raya, yang dapat dicapai dengan jalan mengadakan suatu ikatan yang baik
di antara murid-murid sekolah menengah, berusaha meningkatkan kepandaian anggotanya, dan
menimbulkan rasa cinta terhadap budaya sendiri. Dalam kongres itu, dipilihlah Sukiman Wirjosandjojo
sebagai ketua. Beliau inilah yang di kemudian hari terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia di
Belanda.
Sampai kongres terakhirnya pada 23 Desember 1929, Jong Java telah sepuluh kali melakukan kongres,
dan menghasilkan keputusan-keputusan penting yang sangat berpengaruh terhadap perjuangan para
pemuda di masa selanjutnya. Keputusan-keputusan tersebut diantaranya adalah :
Disetujuinya seorang wanita untuk duduk dalam pengurus besar dan anggota redaksi majalah Jong Java,
serta usaha untuk menterjemahkan surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Ini berarti pengakuan hak
wanita disamakan dengan pria sebagai kelanjutan usaha emansipasi Kartini.
Pada kongres ketiganya, bahasa-bahasa daerah seperti Jawa, Bali, Sunda, Makasar, dan Lombok boleh
dipergunakan, asalkan dengan diterjemahkan dalam bahasa Belanda.
Adanya cita-cita untuk membangun Jawa Raya dengan jalan membina persatuan diantara golongan-
golongan di Jawa dan Madura untuk mencapai kemakmuran bersama. Walaupun masih sebatas Jawa
dan Madura, hal tersebut menjadi bibit awal bagi terbentuknya integrasi bangsa.
Pada kongres Mei 1922 dan kongres luar biasa Desember 1922, dipertegas bahwa Jong Java tidak akan
mencampuri aksi atau propaganda di bidang politik. Jong Java tetap hanya akan bergerak di masalah
sosial, budaya, dan pendidikan saja. Jong Java hanya akan mengadakan hubungan antara murid-murid
sekolah menengah, mempertinggi perasaan terhadap budaya sendiri, menambah pengetahuan umum
anggotanya, dan menggiatkan olahraga. Raden Samsurijal, ketua Jong Java pada Kongres VI di
Yogyakarta, mengusulkan agar Jong Java ikut bergerak di bidang politik dan lebih mengutamakan
program memajukan Islam. Namun kedua usulan tersebut ditolak, sehingga ia mengundurkan diri dari
Jong Java dan membentuk Jong Islamieten Bond.
Setelah kongres pemuda I pada tahun 1926, faham persatuan dan kebangsaan Indonesia semakin
meningkat di kalangan anggota Jong Java. Pada kongres VII 27-31 Desember 1926 di Surakarta, Jong Java
yang diketuai Sunardi Djaksodipuro (Mr.Wongsonegoro) membuat putusan untuk merubah tujuan dan
ruang gerak organisasi tersebut. Tujuan tidak hanya membangun Jawa Raya saja, tetapi pada saatnya
nanti, Jong Java juga harus bercita-cita membangun persatuan dan membangun Indonesia Merdeka.
Ruang lingkup yang dirambah organisasi tersebut juga mulai memasuki dunia Politik, setelah adanya
putusan bahwa anggota yang berusia lebih dari 18 tahun boleh mengikuti rapat-raapat politik,
sedangkan yang di bawah 18 tahun hanya boleh mengikuti kegiatan-kegiatan dalam seni, olah raga, dan
kepanduan. (Cahyo, B.U, hal 119)
Pada tahun 1928, organisasi ini siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R.
Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java, semata-mata
demi tanah air. Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27 Desember 1929, Jong Javapun
bergabung dengan Indonesia Moeda
Trikoro Dharmo / Tri Koro Dharmo
Trikoro Dharmo adalah sebuah perkumpulan pemuda yang berasal dari Jawa pada
tahun 1915 di gedung kebangkitan nasional,yang didirikan oleh Dr.Satiman
Wirjosandjojo Organisasi ini kemudian mengubah nama menjadi Jong Jawa pada
kongres di Solo yang bertujuan untuk mengajak para pemuda Sunda, Madura dan
Bali. Arti definisi / pengertian dari tri koro dharmo adalah Tiga Tujuan Mulia.
Pada tanggal 27 Desember 1929, Jong Java dibubarkan untuk bergabung menjadi
Indonesia Moeda

10. Gerakan dan Organisasi Pemuda

Organisasi pemuda yang didirikan pada awal abad ke-20 meliputi organisasi-organisasi yang didukung
oleh para pemuda di daerah. Salah satu di antaranya adalah Perkumpulan Pasundan. Perkumpulan ini
didirikan pada 1914 dengan tujuan mempertinggi derajat kesopanan, kecerdasan, memperluas
kesempatan kerja, dan penghidupan kegiatan masyarakat. Pemimpinnya adalah R. Kosasih
Surakusumah, R.Otto Kusuma, dan R.A.A. Jatiningrat. Organisasi Pasundan merupakan organisasi
semacam Budi Utomo bagi orang Sunda.

Pada masa sesudah sekitar 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi baru
di kalangan elite terpelajar yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Misalnya
Sarekat Ambon (1920), bertujuan untuk melindungi kepentingan orangorang Ambon. Organisasi ini
bersifat radikal, ingin berparlemen dan meminta pemerintahan sendiri. Perkumpulan yang lain adalah
Jong Java (1918) yang keanggotaannya khusus untuk orang-orang Jawa.

Organisasi lainnya yang berusaha menampung para pemuda dan mahasiswa adalah Sarekat Sumatera
(Sumatranen Bond, 1918) yang merupakan kelompok mahasiswa Sumatra, Jong Minahasa (Pemuda
Minahasa, 1918), yaitu organisasi untuk orang-orang Minahasa, dan Timorsch Verbond atau Persekutuan
orang-orang Timor (1921) yang didirikan oleh orang-orang Timor dari Pulau Roti dan Sawu untuk
melindungi kepentingan-kepentingan rakyat Timor.
Pada 1923 dibentuk pula Kaum Betawi di bawah pimpinan M.Husni Thamrin yang berusaha memajukan
hak-hak warga Betawi. Organisasi ini bertujuan memajukan perdagangan, pertukaran pengajar. MH.
Thamrin kemudian menjadi anggota Volksraad dan Ketua Fraksi Nasional. Pendirian organisasi
kepemudaan di atas tidak hanya mencerminkan adanya kegairahan baru untuk berorganisasi pada
zaman pergerakan nasional, namun juga mencerminkan kuatnya identitas-identitas kesukuan dan
kemasyarakatan yang terus berlangsung.

Unsur-unsur etnosentrismenya juga masih ada dengan mengisolasi diri, tetapi regionalisme itu juga
perlahan dapat menciptakan nasionalisme. Regionalisme itu selalu dimanfaatkan oleh pemerintah
kolonial untuk memecah belah dengan melakukan infiltrasi. Perkumpulan pemuda didirikan untuk
mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Perkumpulan pemuda pertama adalah Tri Koro Dharmo (Tiga
Tujuan Mulia) yang berdiri pada 7 Maret 1915 di gedung perkumpulan Budi Utomo.

Tri Koro Dharmo bertujuan untuk mengadakan suatu tempat latihan untuk calon-calon pemuda nasional.
Cinta tanah air menjadi dorongan bagi berdirinya organisasi ini. Organisasi ini kemudian diganti namanya
menjadi Jong Java yang orientasinya lebih luas dari sekedar organisasi daerah, serta berorientasi pada
pergerakan rakyat. Setelah berkembangnya rasa nasionalisme pada akhir Perang Dunia I, kegiatan Jong
Java beralih ke politik.

Dalam kongresnya pada 1926 di Solo, organisasi ini memiliki anggaran dasar yang menyebutkan ingin
menghidupkan rasa persatuan dengan seluruh bangsa Indonesia dan bekerja sama dengan semua
organisasi pemuda yang ada guna membentuk  kesatuan Indonesia. Organisasi Jong Java dan yang
lainnya dibubarkan dan diganti dengan Indonesia Muda yang bertujuan Indonesia merdeka.

Di Sumatra, lahir Jong Sumatra Bond pada 9 Desember 1927 dengan tujuan memperkokoh ikatan
sesama murid Sumatera dan mengembangkan kebudayaan Sumatra. Organisasi ini dipimpin oleh M.
Yamin. Kehadiran organisasi ini segera diikuti dengan berdirinya Jong Minahasa dan Jong Celebes. Pada
Kongres Pemuda I, Mei 1926, untuk pertama kalinya beberapa organisasi pemuda berhasil dikumpulkan
dalam sebuah kongres. Kongres yang dipimpin oleh M. Tabrani ini dihadiri Jong Java, Jong Sumatra,
Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan Perkumpulan Pemuda Theosofi.

Walaupun tidak berhasil membuat fusi, mereka telah sepakat tentang paham persatuan. Baru pada 28
Oktober 1928 pada Kongres Pemuda II di gedung Indonesische Club Kramat No. 106 Jakarta, dapat
dipadukan semua organisasi pemuda menjadi satu kekuatan nasional. Kesepakatan tersebut diikuti
dengan ikrar satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa yang terkenal dengan Sumpah Pemuda, yang
isinya:
1.   Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu tanah air Indonesia.

2.   Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia.

3.   Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Kongres berhasil menetapkan Sumpah Pemuda yang nantinya dijadikan landasan perjuangan Indonesia
merdeka. Pada malam penutupan, untuk pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya oleh WR.
Supratman. Selanjutnya, PNI, PPPI, Indonesia Muda, dan seluruh perkumpulan pemuda mengaku
Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Anda mungkin juga menyukai