Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MOHAMMAD NATSIR

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Biografi Tokoh Islam Indonesia

Disusun Oleh:

Avianty Kusumah Ning Putri (A92219079)

Binti Yanuru Rosida (A92219080)

Revita Halimatus Sa’diyah (A79919064)

Dosen Pengampu :

Dr. Wasid, SS. M. Fil.I

PROGRAM STUDI SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Mohammad Natsir” dengan
tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap kita curahkan kepada baginda tercinta
kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di hari kiamat nanti.

Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Biograi Tokoh
Islam Indonesia Bapak Dr. Wasid, SS. M.Fil.I, karena telah memberi kesempatan pada kami
untuk membahas tentang Mohammad Natsir.Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini, kami selaku penulis makalah memohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Nganjuk, 09 Desember 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejarah Indonesia mencatat bahwa Mohammad Natsir merupakan bagian dari
sebagian banyak tokoh penting Indonesia umumnya dan Islam khususnya. Sikapnya yang
istiqamah telah menyatu dalam keteladanannya, ia menempuh perjuangan panjang yang
disebutnya dengan jejak risalah. Jejak risalah yang ia maksud adalah semua amanah
dakwah yang diembankan kepada manusia terbaik sepanjang zaman, Nabi Muhammad
SAW., dalam rangka memperjuangkan Islam, Mohammad Natsir ini mendedikasikan
hidupnya untuk membela dan memperjungkan eksistensi Islam.
Dalam membela dan memperjungkan eksistensi Islam, Mohammad Natsir ini terjun
ke dunia politik. Bahkan ia berani mengadakan konflik terbuka dengan Bung Karno yang
kala itu menjabat menjadi Presiden Republik Indonesia. Ia menganggap bahwa apa yang
dilakukannya tersebut sebagai dakwah melalui politik, meskipun kenyataanya dakwah
melalui poitik itu bisa dibilang gagal. Mohammad Natsir pun beralih berpolitik lewat
dakwah dengan mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Makalah ini akan
mengupas tentang Mohammad Natsir, semoga bermanfaat.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana biografi Mohammad Natsir?
1.2.2 Bagaimana perjuangan Mohammad Natsir dalam bidang politik?
1.2.3 Bagaimana peran Mohammad Natsir dalam berdakwah melalui Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui biografi Mohammad Natsir.
1.3.2 Untuk mengetahui perjuangan Mohammad Natsir dalam bidang politik.
1.3.3 Untuk mengetahui peran Mohammad Natsir dalam berdakwah melalui Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi Mohammad Natsir

2.1.1 Riwayat Hidup

Mohammad Natsir dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H.
yang bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 M. di kampung Jembatan, Berukir Alahan
Panjang yang termasuk wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok,
Provinsi Sumatra Barat. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado sebagai seorang juru
tulis kontrolir di Maninjau yang kemudian menjadi sipir atau penjaga tahanan di Bekeru
Sulawesi Selatan. Sedangkan Ibunya bernama Khadijah sebagai keturunan Chaniago.1

Mohammad Natsir lahir dari rahim Ibunya seorang muslimah yang taat, begitu pula,
Ayahnya seorang muslim yang taat terhadap aturan agama. Sebagaimana masyarakat
Minang lainnya, maka wajar. M. Natsir terlihat masa kanak-kanak yang gemar mengaji
dan menuntut ilmu agama, baik pada waktu pagi, siang, maupun sore harinya. M. Natsir
mempunyai tiga saudara, yaitu Yukiman, Rubiah, dan Yohanusun. Di tempat
kelahiranya itu, ia hidup bersama saudaranya dan kedua orang tuanya. Bahkan sebagai
sosialisasi keagamaan dan intelektualnyaselama sebelas tahun, sejak tahun 1916 hingga
1927, baik di Alahan Panjang maupun di Padang. Kemudian pada tahun 1927 hijrah ke
Bandung untuk mengembangkan keagaman dan keintelektualnya, sehingga pada tahun
1934 bertemu judoh dengan seorang wanita yang bernama Nurnahar yang akhirnya
menjadi istrinya sebagai pendamping hidup M. Natsir pada tanggal 20 Oktober 1934 di
Bandung. Dengan pernikahan ini, M. Natsir mendapat gelar Datuk Sinaro Panjang
sebagai adat Minangkabau bahwa gelar tersebut, diberikan setelah menikah. Dari
pernikahan ini, mereka memperoleh enam orang anak, yaitu Siti Mukhlisah [20 Maret
1936], Abu Hanifah [20 April 1937], Asma Farida [17 Maret 1939], Dra. Hasanah
Faizah [5 Mei 1941], Drs. Asyatul asrah [20 Mei 1942], dan Ir. Ahmad Fauzi [26 April
1944]. Keenam anak M. Natsir tersebut, tidak ada yang meneruskan titah perjuangan
Ayahnya. Walaupun Ayahnya seorang caliber dunia hingga wafatnya.

1
M. Dzulfikriddin, Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, {Bandung: Mizan, 2010}, cet. 1, hlm. 19,

4
Maka ternyata banyak orang menyebut Nurcholis Madjid, pembaharu pemikiran
Islam pada akhir abad 20 ini sebagai M. Natsir muda.M. Natsir meninggal dunia pada
tanggal 14 Sya’ban 1413 H. yang bertepatan dengan tanggal 6 Februari 1993 M. di
Rumah Sakit Cipto Mangun kusumo, Jakarta dalam usia 85 tahun.

2.1.2 Riwayat Pendidikan

Mohammad Natsir mendapatkan pendidikan yang pertama dari kedua orang tua
yang telah mendidik dasar agama dan akhlak yang mulia. Dengan pendidikan orang tua
ini bisa membekas dalam kehidupannya. Di samping itu, didukung oleh kondisi yang
baik dalam lingkungan tempat tinggal M. Natsir karena di tempat tinggalnya itu ia
mengikuti pengajian dan belajar Al-Qur’an di malam harinya bersama sauadaranya dan
teman-temannya. Di pagi harinya, M. Natsir belajar di sekolah dasar Hollandsch
Inlandsch [HIS] Adabiyah Padang yang didirikan oleh H. Abdullah Ahmad. Karena M.
Natsir tidak diterima di sekolah pemerintah yang dikhususkan untuk anak-anak pegawai
pemerintah, seperti demang dan wedana. Di Padang ini, M. Natsir tinggal bersama
makciknya yang bernama Rahim. Hanya beberapa bulan M. Natsir bersekolah di HIS
Adabiyah Pandang itu, karena ia dipindahkan oleh ayahnya ke HIS pemerintah di Solok
yang baru di buka.

Di tempat itu, M. Natsir belajar di HIS Pemerintah yang dulu dicita-citakan baru
terlaksana dan di sana M. Natsir tinggal bersama keluarga Haji Musa seorang saudagar
yang dermawan. Ketika di Solok itulah, dasar agama Natsir dibentuk dan dibina. Pagi
hari dia belajar di HIS, lalu belajar di Madrasah Diniyah pada sore hari. Kemudian
belajar mengaji Al-Qur’an dan ilmu agama Islam lainnya pada malam hari. Di Solok itu
pun, M. Natsir dapat menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1923 di HIS.

Pada tahun itu pula, M. Natsir meneruskan pendidikannya Ke Meer Uitgebreid


Lager Onderwijs [MULO] setingkat dengan SLTP sekarang. Ketika di MULO, M. Natsir
belajar main biola, masuk pandu Nasinonal Islamische Pandivindrij [NATIPI], masuk
perkumpulan Jong Islamieten Bond [JIB} cabang Padang. Belajar di MULO itu, M.
Natasir mendapatkan biasiswa sebesar dua puluh rupiah setiap bulannya dari pemerintah
Belanda karena prestasinya yang sangat baik. Bahkan beasiswa yang diterimanya
sampai tamat di MULO pada tahun 1927.

5
Setelah tamat dari MULO, M. Natsir meneruskan pendidikannya ke Algemeene
Middelbare School [AMS] di Bandung. Ketika sekolah di AMS ini ini, M. Natsir banyak
mendapat pengalaman yang berharga karena ia dapat menyembrangi lautan untuk
meninggalkan tempat tanah tinggalnya sendiri dan hidup mandiri karena jauh dengan
orang tuannya. Bahkan M. Natsir mendapatkan kesan yang tidak bisa dilupakan ketika ia
diejek oleh teman-temannya karena Bahasa Belandanya tidak fasih dan tidak lancar.
Disebabkan oleh Bahasa pengantar yang dipakai sewaktu sekolah di Padang dahulu
bahasa Indonesia. Namun M. Natsir tidak kecil hati bahwa ejekan itu sebagai motivasi
untuk giat belajar sehingga ia memperoleh nilai yang baik. Di samping itu, M. Natsir
aktif di organisasi JIB cabang Bandung dan terpilih menjadi ketuanya sejak tahun 1928
sampai tahun 1932. Di JIB inilah M. Natis bertemu dengan tokoh-tokoh Islam seperti
Haji Agus Salim, H.O.S. Tjokrominoto, Syaikh Ahmad Syurkati, dan lain sebagainya.
Bahkan M. Natsir dapat menamatkan di AMS pada tahun 1930 karena kesungguhannya
dan didukung dengan beasiswa dari pemerintah Belanda sebesar tiga puluh rupiah atas
prestasinya yang baik.

Pada tahun 1930 M. Natsir dapat menyelesaikan studinya di AMS Bandung.


Bahkan banyak kesempatan bagi M. Natsir untuk meneruskan studinya keperguruan
tinggi seperti ke Rechts Hogeschool [Sekolah Hukum] di Jakarta atau ke Handels
Hogeschool [Sekolah Tinggi Hukum] di Rottesdam dengan beasiswa dari pemerintah
Belanda. Akan tetapi. M. Natsir tidak mengambil kesempatan emas itu. Dia lebih
memilih menjadi guru agama dan jurnalis, serta meneruskan kegiatan di JIB yang
dipimpinnya.

Pada tahun 1931, M. Natsir mengikuti kursus guru diploma selama satu tahun
sehingga berhasil ditamatkannya dengan mendapatkan ijazah Lager Onderwijs [LO].
Dari hasil kursus guru tersebut, M. Natsir berhasil merancang “Pendidikan Islam” untuk
sekolah rendah atau taman kanak-kanak [Frobelschool], sekolah menengah atau HIS,
MULO, dan sekolah guru [Kweekschool]. Sekolah itu terus berkembang dan M. Natsir
sebagai direkturnya sampai Jepang datang dan menutup semua sekolah partikeler dan
Pendis. Keberhasilan pendidikan M. Natsir tidak terlepas dari bantuan teman-temannya
yang membantu mengajar, seperti Ir. Ibrahim, Ir. Indracahaya, Fachruddin AlKahiri, dan
termasuk seorang yang kaya Haji Muhammad Yunus yang banyak memberikan bantuan,
serta Noer Nahar yang selalu mendukung dan siap mengangajar yang akhirnya menjadi
istri tercinta M. Natsir.

6
Kemudian pada tahun 1942- 1945, M. Natsir diangkap sebagai kepala Biro
pendidikan Kota Madya Bandung [Bandung Syiakusyo] karena pengalamannya dalam
membina sekolah “Pendidikan Islam”. Salah satu yang diurus oleh Biro Pendidikan yang
dipimpin M. Natsir adalah urusan pemuda. Oraganisasi pemuda yang bernama Seinendan
yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution. Barisan pemuda itu mengadakan latihan
militer bagi para pelajar sekolah dan termasuk melayih militer bagi ulama dan pemuda
muslim. Bahkan M. Natsir dengan biro pendidikannya membentuk Majelis Islam yang
dipimpinnya sendiri. Majelis itu merupakan badan kontak dengan guru-guru, khotib-
khotib, dan ulama di wilayah Kota Praja Bandung. Dengan wadah itu, M. Natsir dapat
mengoordinasi mereka untuk menyampaikan informasi dari mereka tentang hal-hal yang
terjadi di masyarakat.Kegiatan M. Natsir dalam pendidikan tidak berhenti sampai pada
pendidikan guru untuk anak bangsa, melainkan ia menggagas supaya berdirinya Sekolah
Tingga Islam [STI] yang dipanitiai oleh Mohammad Hatta dan M. Natsir diminta untuk
mengurus STI pada tahun 1945. Walaupun STI tidak lama bertahan karena pada waktu
itu Jepang menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945. Bahkan M. Natsir terlibat aktif dalam perjuangan dan mempertahankan
kemerdekaan.2

Dalam kaitan ini, A. Mukti Ali menegaskan bahwa jasa M. Natsir dalam dunia
pendidikan, khususnya Islam sangat besar, seperti menyangkut pendirian Sekolah Tinggi
Islam [STI] di Jakarta sebelum Indonesia merdeka. Di mana M. Natsir menjadi sekertaris
Yayasan, Mohammad Hatta sebagai ketua Yayasan, dan Kahar Muzakkir sebagai
Rektornya. Dengan berdirinya sekolah Tinggi Islam itu yang telah digagas oleh M.
Natsir, maka lahirlah berbagai Perguruan Tinggi Islam, baik negeri maupun swasta
hingga kini.

2.2 Perjuangan Mohammad Natsir Dalam Bidang Politik

Natsir dikenal sebagai seorang negarawan muslim, ulama, intelektual, tokoh


pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad ke 20 ini. Pada masa
perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki jabatan–jabatan penting di
republik Indonesia seperti Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP),Menteri Penerangan (1946–1948), anggota DPRS dan Perdanamenteri (1950-

2
Herry Mohammad, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, {Jakarta: Gema Insani Press, 2008}, cet. 2,
hlm.49

7
1951), Ketua umum Partai Besar Masyumi (1949 -1958). Kepercayaan itu disebabkan
karena kejujurannya dalam perjuangan.

Natsir seringkali memiliki pandangan politik yang sangat berlawanan dengan


pandangan Sukarno. Meski demikian,ketika revolusi fisik terjadi (Agustus 1945-
desember 1949), Natsir berdiri dibelakang dwi tunggal Sukarno Hata. Natsir adalah
seorang partisipan yang aktif dalam barisan pimpinan tertinggi revolusi bersama dwi
tunggal. Peranan Natsir menjadi sangat penting terutama menyelamatkan Republik
Indonesia yang baru diproklamasikan, dengan menyerukan persatuan bangsa dan
kesatuan negara tanpa memandang suku, agama, dan ras. Hal ini dijalani Natsir dengan
mosi integralnya yang selanjutnya membawanya kejenjang kedudukan sebagai perdana
mentri pertama NKRI pada tahun 1950.3

Mosi Integral Natsir merupakan jalan keluar dari Negara RIS menuju NKRI yang
ditempuh dengan mengajak semua pihak agar tidak menyinggung masalah federalisme
atau unitarisme demi kepentingan nasional yang jangkauannya lebih jauh. Natsir
menyerukan agar tidak memaksa negara-negara bagian membubarkan diri, mengingat
kedudukannya yang setara dengan Republik berdasarkan Konstitusi RIS. Solusinya
adalah mengajak negara-negara bagian meleburkan diri ke dalam Republik (Mahfud,
2008:192).4

Natsir ditunjuk menjadi perdana menteri pada September 1950, sebagai bentuk
penghargaan atas mosinya yang elegan, Natsir tidak sungkan membentuk kabinet koalisi,
melibatkan unsur-unsur non-Muslim dan nasionalis—Partai Katolik, Partai Kristen
Indonesia, PSI, dan PIR. Sebagai perdana menteri, Natsir menentang keras
pemberontakan Darul Islam. Dia percaya konsep negara Islam merupakan suatu yang
ideal, yang tidak bisa diraih melalui kekerasan. Saat yang sama, dia menegaskan, kaum
Muslim harus memperjuangkan tata politik yang demokratis. ”Sejauh terkait(pilihan)
kaum Muslim, demokrasi yang diutamakan karena Islamhanya bisa berkembang dalam
sistem yang demokratis. Pada fase ini menurut Djoko Suryo (2008: 311), Natsir telah
menorehkan jasa perjuangan politiknya dalam keikutsertaannya membangun sistem
politik pemerintahan demokrasi konstitusional. Dia layak disebut sebagai kampiun
demokrasi dan pejuang hak asasi manusia. Ketika hak asasi manusia menjadi momok

3
Emi Setyaningsih, “Perjuangan dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir (1907-1993)”, Jurnal TAPIs Vol. 12
No. 2 Juli-Desember 2016. hlm 75-76.
4
Ibid. hlm 76

8
bagi sebagian anggota Dewan Konstituante, Natsir justru ikut memperjuangkannya
menjadi pasal-pasal penting dalam Undang-Undang Dasar-yang sayangnya tak jadi
disahkan itu. Gagasannya mengenai pemerintah yang demokratis danyang menghormati
hak asasi manusia adalah interpretasi modern Natsir atas Islam. Menurut Djoko Suryo,
Natsir patut dikenang sebagai salah satu figur peletak dasar pembangunan politik di
Indonesia.5

Peran Natsir sebagai ketua Masyumi (1949-1958) dapat memberikan berbagai


perubahan pola pikir kemasyarakatan dan kenegaraan bagi kader-kader pemimpin
bangsa dalam konsekuensi antara perilaku dan keyakinan yang menjadi terlihat dari
tulisan M. Natsir dalam enam pokok pemikiran M. Natsir, yaitu:

1. Islam bukan semata-mata agama dengan arti ibadah kepada Allah SWT saja, Islam
ialah satu cara hidup di atas dunia ini, sehingga orang perorangan dapat
bermasyarakat dan bernegara.
2. Islam menentang penjajahan manusia, jadi umat Islam wajib berjuang untuk
kemerdekaannya.
3. Islam memberi dasar-dasarnya tertentu untuk satu negara yang merdeka, itulah
ideologinya.
4. Umat Islam wajib mengatur negara yang merdeka itu dasar bernegara yang ditetapkan
oleh Islam.
5. Tujuan ini tidak akan tercapai oleh umat Islam apabila mereka turut berjuang
mencapai kemerdekaan dalam partai kebangsaan semata-mata. apabila yang sudah
membenci Islam.
6. Oleh karena itu umat Islam harus masuk dan memperkuat perjuangan mencapai
kemerdekaan yang berdasarkan cita-cita Islam dari semula.6

2.3 Peran Mohammad Natsir Dalam Berdakwah


Setelah berkecimpung di dunia politik yang dirasa tidak mungkin dilakukannya lagi,
Natsir pindah ke bidang dakwah. Ia memusatkan perhatiannya kepada soal-soal dakwah
dan pembangunan umat.7 Bersama teman-teman seperjuangannya di bekas partai
Masyumi, Mohammad Natsir mendirikan Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
5
Ibid, hlm 76-77
6
Yusafrida, “Kiprah Politik Mohammad Natsir”, Jurnal TAPIs Vol.8 No.2 Juli-Desember 2012.hlm 61-62
7
Amran Halim, Tesis “Peranan Mohammad Natsir Dalam Dakwah Melalui Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia” (Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang, 2011), hal. 44.

9
(DDII) atau biasa disebut Dewan Dakwah, di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1967.
Mohammad Natsir memilih dakwah sebagai wadah perjuangannya bukan merupakan
suatu kebetulan belaka, melainkan sebagai alternatif lain sesudah perjuangannya melalui
politik dibubarkan oleh pemerintah Soekarno. Natsir memang sosok pemimpin yang
pantang menyerah pada penguasa. Sungguhpun Masyumi telah dibubarkan oleh
kekuasaan Soekarno, ia masih berusaha dan berharap di era Orde Baru, Masyumi bisa
bangkit dan dapat berkiprah kembali dalam dunia politik. Perjuangan memunculkan
kembali Masyumi adalah sebagai wadah untuk menampung aspirasi umat Islam.

Usaha untuk menghidupkan kembali Masyumi pada masa pemerintahan Soeharto


memang dilakukan secara sungguh-sungguh. Beberapa lobi tingkat tinggi digalang untuk
mewujudkan keinginan itu, tetapi nyatanya keinginan itu sulit terwujud. Kalangan ABRI
keberatan atas rencana tampilnya para mantan tokoh Masyumi ini. Rasa berkebaratan ini
bisa “dipahami” bila dikaitkan dengan ikut sertanya para tokoh Masyumi, bahkan M.
Natsir sendiri dalam pemberontakan PRRI. Akhirnya M. Natsir mencari jalan alternatif
untuk memperjuangkan Islam, M. Natsir pun memutuskan untuk terjun kedunia dakwah.
Bersama para tokoh Masyumi lainya,mereka mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia.

Dalam Dewan Dakwah, Mohammad Natsir ditunjuk menjadi Ketua umum hingga
wafatnya.8 Pertumbuhan dan perkembangan DDII tidak dapat dipisahkan dari peran M.
Natsir didalamnya. Sasaran dari dakwahnya bukan hanya masyarakat kota, tetapi juga
masyarakat pedesaan. Adapun perkembangan program dakwah Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia diantaranya:
1. Pembangunan Masjid
M. Natsir mengatakan bahwa masjid merupakan salah satu pilar kepemimpinan umat.
Dengan demikian, masjid dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa
masyarakat. M. Natsir melihat adanya gairah remaja masjid dalam berbagai kegiatan
keagamaan dan sosial kemayarakatan. Oleh karenanya, beliau menganggap penting
memberi perhatian khusus terhadap pembangunan masjid dan pembinaan masjid, baik
di kota maupun di pedesaan.Perhatian M. Natsir terhadap pembinaan umat Islam
melalui masjid, terutama masjid- masjid di pedesaan, merupakan sesuatu yang mulia.
Karena dengan masjid tersebut, umat Islam dapat mengonsolidasi dirinya terhadap

8
Thohir Luth, “M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya” (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hal. 55.

10
nilai-nilai ajaran Islam yang dianutya. Wujud dari konsolidasi tersebut akan
melahirkan umat Islam yang memiliki kepribadian sebagaimana yang dikehendaki
Islam. Disamping itu, ikut sertanya DDII secara nyata di masyarakat membuktikan
bahwa DDII yang dimotori oleh M. Natsir bukan sekedar organisasi teoritis, tetapi
juga praktis.Salah satu masjid yang didirikan oleh DDII adalah masjid Al-Hilal yang
sekarang dijadikan kesekretariatan DDII Jawa Timur.
2. pengiriman Dai
Dalam rangka membina umat Islam terutama di daerah pedesaan, dan juga
membentengi umat dari berbagai pengaruh terhadap pendangkalan aqidah,
pemurtadan, dan sebagainya, DDII mengirimkan dai ke tempat-tempat tersebut.
Dakwah yang dilaksanakan oleh M. Natsir, mendidik dan melatih para dai, dengan
dibekali berbagai ilmu dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksakan tugas
dilapangan. Melalui pengiriman dai ini diharapkan dapat membina keimanan umat
Islam dan membentengi umat Islam dari pengaruh buruk. Contoh beberapa da’i yang
dikirimkan ke berbagai daerah diantaranya; H. Sudarno Hadi, S.Ag yang ditugaskan
ke daerah Gresik Kota Baru, H. M. Anas Adnan, Lc. M.Ag yang ditugaskan ke daerah
Kendangsari Surabaya, dan H. Zainuddin AR, Lc yang ditugaskan ke daerah
Lumajang.
3. Penerbitan
M. Natsir tampaknya belum begitu puas atas dakwah bi al-hal seperti tersebut. Ia
merancang dakwah bi al-kitabah, yaitu melalui tulisan-tulisan yang diorganisasi oleh
DDII. Mulai dari brosur berupa lembaran sampai pada majalah ataupun buku-buku
yang ditulisnya sendiri maupun orang lain. Majalah dan buku-buku tersebut
menjangkau semua pihak, mulai dari golongan awam, menengah maupun terpelajar.
Tujuannya adalah memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada
masyarakat secara luas, supaya mereka dapat memahami agama dan persoalan-
persoalan sosial secara tepat. Paling tidak ada lima penerbitan dakwah yang dikelola
secara tertib. Pertama majalah Serial Media Dakwah, yang dititikberatkan sebagai
konsumsi golongan terpelajar dan menengah. Kedua, majalah suara masjid yang
isinya lebih difokuskan untuk konsumsi awam, berisi uraian-uraian tentang tafsir,
hadits,dll. Ketiga , serial Khutbah Jum’at, khusus memuat bahan-bahan khutbah
Jum’at untuk para dai dan masyarakat luas. Keempat, majalah sahabat, bacaan agama
dan bimbingan untuk anak-anak dalam mambentuk anak yang shaleh. Dan yang

11
kelima, Buletin Dakwah, terbit setiap hari jum’at yang terdiri atas empat halaman,
isisnya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dipahami semua pihak.
Menurut Abdur Rozak dalam A.W. Pratiknya karier Mohammad Natsir, sejak
menjadi guru, aktif di bidang politik dan terakhir di bidang dakwah.
1927 (Juli) :Tamat dari MULO, Natsir melanjutkan pendidikan ke
AMS di Bandung
1931-1932 : Mengikuti kursus gur diploma L.O.
1928-1932 : Ketua Jong Islamieten Bond Bandung
1932-1942 : Direktur pendidikan Islam Bandung
1940-1942 : Anggota Dewan Kabupaten Bandung
1942-1945 : Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung
1945-1946 : Anggota Badan Kerja KNIP
1946-1949 : Menteri Penerangan RI
1950-1951 : Perdana Menteri RI
1949-1958 : Ketua Umum Partai Masyumi
1967-meninggal : Vice President World Muslim Congress (Karachi)
1967-meninggal : Ketua Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
1969-meninggal : Anggota World Muslim League (Makkah)
1980-meninggal : Anggota Majlis A’la al-Alamy lil Masajid (Makkah)

12
BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Mohammad Natsir dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H.
yang bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 M. di kampung Jembatan, Berukir Alahan
Panjang yang termasuk wilayah Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok,
Provinsi Sumatra Barat. Mohammad Natsir lahir dari rahim Ibunya seorang muslimah
yang taat, begitu pula, Ayahnya seorang muslim yang taat terhadap aturan agama. M.
Natsir mempunyai tiga saudara, yaitu Yukiman, Rubiah, dan Yohanusun. M. Natsir
menikh dengan Nurnahar pada tanggal 20 Oktober 1934. M. Natsir mendapatkan
pendidikan yang pertama dari kedua orang tua yang telah mendidik dasar agama dan
akhlak yang mulia. Ia belajar di sekolah dasar Hollandsch Inlandsch [HIS] Adabiyah
Padang, meneruskan pendidikannya Ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs [MULO] dan
mendapatkan biasiswa sebesar dua puluh rupiah prestasinya yang sangat baik, kemudian
meneruskan pendidikannya ke Algemeene Middelbare School [AMS] di Bandung.

Natsir dikenal sebagai seorang negarawan muslim, ulama, intelektual, tokoh


pembaharu dan politisi kenamaan dunia Islam pada abad ke 20 ini. Pada masa
perjuangan kemerdekaan ia dipercaya untuk menduduki jabatan–jabatan penting di
republik Indonesia seperti Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP),Menteri Penerangan (1946–1948), anggota DPRS dan Perdanamenteri (1950-
1951), Ketua umum Partai Besar Masyumi (1949 -1958). Kepercayaan itu disebabkan
karena kejujurannya dalam perjuangan.

Bersama teman-teman seperjuangannya di bekas partai Masyumi, Mohammad


Natsir mendirikan Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) atau Dewan
Dakwah, di Jakarta pada tanggal 26 Februari 1967. Adapun perkembangan program
dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yaitu Pembangunan Masjid, karena masjid
dipandang sebagai lembaga pembinaan pribadi dan jiwa masyarakat; pengiriman Dai,
melalui pengiriman dai ini diharapkan dapat membina keimanan umat Islam dan
membentengi umat Islam dari pengaruh buruk; Penerbitan, tujuannya adalah
memberikan informasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan pada masyarakat secara
luas, supaya mereka dapat memahami agama dan persoalan-persoalan sosial secara tepat.

13
DAFTAR PUTAKA

Dzulfikriddin, M. 2010.Mohammad Natsir Dalam Sejarah Politik Indonesia, {Bandung:


Mizan}, cet. 1
Halim, Amran. 2011. Tesis “Peranan Mohammad Natsir Dalam Dakwah Melalui Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia” (Palembang: IAIN Raden Fatah Palembang)
Luth, Thohir. 1999. “M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya” (Jakarta: Gema Insani Press)
Mohammad, Herry. 2008. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, {Jakarta: Gema
Insani Press}, cet. 2
Setyaningsih, Emi. 2016. “Perjuangan dan Pemikiran Politik Mohammad Natsir (1907-
1993)”, Jurnal TAPIs Vol. 12 No. 2
Yusafrida. 2012.Jurnal “Kiprah Politik Mohammad Natsir”. Jurnal TAPIs Vol.8 No.2.
Lampung : IAIN Raden Intan Lampung

14

Anda mungkin juga menyukai