A. PENDAHULUAN
Diskursus tentang pendidikan Islam, seakan tidak ada hentinya untuk
selalu di perbincangkan berbagai kalangan, baik dalam ruang akademis, media
masa, maupun kajian penilitian yang kadang kala, dari sebagian perbincangan
dan penelitian tersebut bertujuan untuk mengembangkan pendidikan Islam
maupun hanya terbatas pada kegiatan mengkaji. Pendidikan Islam dirasakan
sudah mengalami pembaharuan, tetapi dalam kenyataanya masih terkesan
stagnan, dan lamban untuk bersaing dengan pendidikan-pendidikan yang lain
(pendidikan umum). Hal ini yang selalu menarik minat kalangan pembelajar
untuk mengkajinya lebih serius, karena sebagai sebuah bidang studi yang masih
baru, tampaknya disiplin ilmu ini belumlah pesat perkembangannya
dibandingkan dengan sejumlah bidang studi Islam lainnya.1
Perkembangan pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia
tentunya tidak pernah lepas dari peran para tokoh/ulama. Sekian banyak tokoh
yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak, tentunya banyak
pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu, para
tokoh yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan ajaran
mereka dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, sebagai
generasi muda tak sepatutnya melupakan jasa-jasa para tokoh tersebut terutama
di dalam bidang pendidikan. Bahkan perlu dilakukan kajian serta meneruskan
visi dan misi mereka. untuk itu, perlu rasanya untuk merenung kembali sejarah
perjalanan bangsa ini melalui salah satu tokoh yang sangat monumental
perjalanan hidupnya dalam hal memperjuangkan pendidikan Islam yaitunya M.
Natsir .
1 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005). h. vi
1
2
2 Thohir Luth, M. Natsir , Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Inasani Press, 1999), h. 9
3 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan....., h. 72.
3
B. PEMBAHASAN
1. Biografi M. Natsir
a. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan.
M. Natsir merupakan salah seorang putra terbaik asal minangkabau. M.
Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat pada hari jumat 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli
1908 Masehi. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana, ibunya bernama
Khadijah sedangkan ayahnya Mohammad Idris Tuan Saripado, seorang
pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di
Minanjau dan sipir penjara di Sulawesi Selatan.4 Ia memiliki tiga saudara
kandung, yaitu Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Di desa kelahiranynya itu, M.
Natsir Kecil meleawti masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelelektualnya.
M. Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Sepanjang hidupnya ia
perjuangkan untuk agama Islam dan bangsa Indonesia. Kiprah Muhammad
Natsir sebagai seorang intelektual, politikus, pendidik, pemimpin negara
maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai
menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal usul dan fisiknya, M. Natsir
hanyalah orang biasa. Sifatnya yang lemah lembut, bicara dengan penuh sopan
4Pekerjaan ayahnya bermula bermula sebagai juru tulis kontroler di Alahan Panjang, kemudian
sebagai Asisten Demang di Bonjol. Setelah itu ia pindah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di
Minanjau. Pada tahun 1918 ia dipindahkan ke Bekeru Ujung Panjang, Sulawesi Selatan sebagai sipir
Penjara. Setelah itu ia kembali lagi ke Alahan Panjang. Tidak dijelaskan jabatan apa yang dipegang
oleh ayahnya. Hanya setelah pensiun ayah dan ibunya memilih menetap di Batusangkar. Lihat
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 73. Lihat juga Ajip Rosidi, M. Natsir , Sebuah
Biografi, Cet. I, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990), h. 150.
4
santun dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi
teman bicaranya. Dibalik itu semua M. Natsir adalah ibarat karang yang kokoh.
Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan
dengan orang-orang lain.
Saat kecil Muhammad Natsir terlahir dilingkungan agamis, ayahnya
seorang Ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat
mempengaruhi pertumbuhan sang putra. Waktu kecil M. Natsir menghabiskan
waktu di surau, mengaji dan bersenda gurau. Pendidikan di surau tidaklah
cukup. Natsir kecil sangat ingin belajar di sekolah modern. Riwayat pendidikan
M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat5 (SR) di Minanjau Sumatera Barat
hingga kelas dua. Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang mempergunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ketika ayahnya dipindah-tugaskan
ke Bekeru, Natsir mendapatkan tawaran untuk pindah ke Padang dan menjadi
siswa di Holland Inlandse School (HIS) Padang. Tawaran tersebut diterima
oleh Natsir dengan antusias. Namun HIS Padang menolaknya dengan
pertimbangan bahwa Natsir adalah seorang anak pegawai rendahan. Untungnya
pada saat itu di Padang sudah ada HIS Adabiyah 6. Natsir diterima sebagai
murid di HIS Adabiyah itu.7
M. Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat.
Pada usianya yang sangat muda, M. Natsir sudah mulai berpisah dengan orang
tuanya dan menempuh hidup sebagai orang dewasa.8 M. Natsir dipindahkan
oleh orang tuanya ke HIS Negari di Solok dan dititipkan pada Haji Musa
sorang saudagar yang cukup terkenal di daerah solok. Di tempat ini M. Natsir
tidak hanya belajar di lembaga pendidikan formal tetapi pada sore hari ia
mendalami pengetahuan agama di Madrasah Diniyah dan pada malam harinya
5 Sekolah Raknyat di Maninjau merupakan sekolah swasta yang mempergunakan bahasa melayu
sebagai bahasa pengantarnya. Lihat Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 75
6HIS (Hollandsch Inlandschs School) Adabiyah merupakan suatu sekolah swasta yang dikelola Haji
Abdullah Ahmad dengan sistem pendidikan mengacu pada sekolah Belanda yang dilengkapi dengan
pelajaran agama Islam. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam:
Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Cet. I, ( Ciputat: Quantum Teaching,
2005), h. 289.
7Ajip Rosidi, M. Natsir , Sebuah Biografi,..., h. 145.
8Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 74.
5
14 100 Tahun Muhammad Natsir, Berdamai dengan Sejarah, (Jakarta Selatan : Republikan, 2008) h.
39
8
setelah dikepung secara piskologis oleh PNI, PKI dan Soekarno, kabinet M.
Natsir pun jatuh dalam waktu 7 (tujuh) bulan.
M. Natsir dan Soekarno semakin sering bersilang pendapat. Sementara
Soekarno semakin di puncak kekuasaan dan akrab dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), M. Natsir kemudian menjaga jarak dengan Soekarno dan kian
menyisih sambil tetap memimpin fraksi Masyumi di Parlemen 1950-1958.
Perselisihan kian memuncak ketika Soekarno secara sepihak menguburkan
semua partai di bawah timbunan demokrasi terpimpin. Di bawah rongrongan
PKI, M. Natsir dan keluarganya menyingkir ke Sungai Dare, Padang bergabung
bersama para serdadu yang membelot. Di Sumatra Barat, M. Natsir dan
Sjafruddin Prawiranegara ingin menekan Soekarno agar kembali ke
Konstitusional. Demokrasi harus dipulihkan. Negara dan bangsa harus
diselamatkan. Akan tetapi Soekarno salah paham ke M. Natsir. Pada 17
Agustus 1959 Soekarno secara sepihak membubarkan Masyumi, kemudian M.
Natsir ditangkap atas tuduhan terlibat Pemberontakan Rakyat Republik
Indonesia (PPRI) Permesta. M. Natsir diasingkan dengan menjalani karantina
politik di Batu, Malang 1960-1962. selanjutnya M. Natsir tidak lantas bebas,
namun harus mengalami tahanan Politik di Rumah Tahanan Militer (RTM)
Keagungan Jakarta 1962-1966. hingga akhirnya M. Natsir dibebaskan pada
tahun 1966 tanpa proses pengadilan.15 Keterlibatannya ini mengakhiri karir
politiknya di zaman orde lama.
Tumbangnya orde lama yang digantikan oleh orde baru tidak
menyebabkan posisi M. Natsir membaik di pemerintahan. Selama
pemerintahan Orde Baru, M. Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang
disegani dan sekaligus juga dikhawatirkan pengaruhnya oleh Pemerintah Orde
Baru. Namun berbagai keterbatasan yang beliau hadapi. apalagi setelah ia ikut
menandatangani Petisi 50 ia dilarang ke luar negeri. kegiatan dakwah M. Natsir
tak pernah berhenti. Walaupun M. Natsir dizaman orde baru merasa
disingkirkan akan M. Natsir tetap setia terhadap bangsa. Ia tidak mau hanya
15 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 12
9
Maret 1936), Abu Hanifah ( 29 April 1937), Asma Farida (17 Mei 1941).
Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Aisyatul Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi
(26 April 1944). Berbagai ungkapan belasungkawa muncul baik dari kawan
seperjuangan maupun lawan politiknya.21
d. Jabatan dan Penghargaan Diperoleh M. Natsir
Banyak gelar dan panggilan yang diberikan oleh masyarakat
kepadanya. Diantaranya Pendidik dan pemandu ummat, negarawan serta
pembaharu. Jasanya dalam membangun dan memajukan ummat Islam di dunia
amat dirasakan sekali. Oleh sebab itu, hingga akhir hayatnya banyak jabatan
penting yang diamanahkan kepadanya baik pemerintahan, maupun dalam
organisasi politik dan keagamaan, diantaranya:
1) Sejak tahun 1928-1932, M. Natsir diangkat mejadi ketua Jong
Islamieten Bond Bandung.
2) Sejak tahun 1932-1942, M. Natsir diangkat sebagai direktur
Pendidikan Islam Bandung;
3) tahun 1942 sampai 1945, M. Natsir diangkat sebagai kepala Biro
Pendidikan Kotamadia Bandung;
4) Tahun 1945 sampai 1946, M. Natsir diangkat sebagai anggota badan
pekerja KNIP dan kemudian menjadi wakil ketua di badan ini.
5) Pada tahun 1946, M. Natsir masuk anggota kabinet Sjahrir ke-2 dan
ke-3
6) Tahun 1949, M. Natsir masuk Kabinet Hatta Ke-1, menjadi Perdana
Mentri Penerangan RI;
7) Tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua umum Partai
Masyumi.
8) Sejak tahun 1950 sampai 1951 ia menjadi Perdana mentri Negara
kesatuan Republik Indonesia.
9) Dalam pemilu tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari
tahun 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota konstituante RI,
21 Mantan perdana menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita wafatnya Natsir
ini dengan ungkapan: Berita wafatnya Pak M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom
Hirosima. Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan...., h. 81.
12
10) Sejak tahun 1958 menjadi deputi perdana mentri PRRI, sampai
akhirnya pada tahun 1960 ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan ikut
terlibat dalam pemberontakan PRRI.
11) Sejak tahun 1962 sampai dengan tahun1966 ia ditahan dirumah
tahanan militer Keagungan Jakarta. Sejak dibebaskan dari tahanan,dia aktif
dalam organisasi-organisasi islam ,seperti pada Kongres Muslim Sedunia
12) Semenjak 1967 hingga akhir hayatnya Ia memimpin sebuah organisasi
Islam yang bercorak dakwah, pendidikan dan sosial yaitu Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII).22
13) Pada tahun 1967 sampai 1993, M. Natsir diangakat menjadi timbalan
Presiden Muktamar Alam Islami yang berpusat di Karachi, Pakistan.
14) Pada tahun 1969 sampai 1993, menjadi anggota Majlis Tasisi
Rabithah Alam Islami yang berpusat di Makkah al- Mukarramah, Arab
Saudi.
15) Pada tahun 1972 sampai 1993, menjadi anggota Majlis Ala al Alami
li al-Masajid yang berpusat di Makkah al- Mukarramah, Arab Saudi.
16) Pada tahun 1985 sampai 1993, menjadi anggota pengasas The
Internatioanal Islamic Charitable Foundation, Kuwait.
17) Pada tahun 1986 sampai 1993, menjadi anggota Pengasas The Oxford
Center for Islamic Studies, London.
18) Pada tahun 1986 sampai 1993, menjadi anggota Majlis Umana
International Islamic University, Islamabad, Pakistan (1986-1993)
Sedangkan Gelar Kehormatan atau penghargaan yang pernah
dinobatkan kepada M. Natsir adalah sebagai berikut:
1) Januari 1957: Sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap
pengabdianya yang demikian besar terhadap dunia Islam, M. Natsir
menerima penghargaan Internasional berupa bintang Nichan Istikhar
(Grand Gordon) dari Presiden Tunisia Lamine Bey atas jasa-jasanya dalam
membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.
24 Sampul Luar Fiqh Dawah , Tulisan Muhammad Natsir, Penerbit Capita Selecta dan Media Dawah
karta, 2008
25 Lukman Hakiem, M.Natsir Di Panggung Sejarah Republik, Jakarta: Republika, 2008), h 147
15
memiliki syariat tentang jihad. Islam harus dilihat secara konfrehensif dimana
ia juga merupakan agama yang mengajarkan tentang pendidikan dan hal-hal
yang berkaitan dengannya secara kuat.
Selanjutnya makna pendidikan dijelaskan oleh M. Natsir dengan bahasa
sederhana namun memukau; Yang dinamakan didikan ialah suatu pimpinan
jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-
sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini
sekurangnya antara lain perlu kepada dua perkara: pertama, Satu tujuan yang
tertentu tempat mengarahkan didikan, dan kedua, Satu asas tempat
mendasarkannya.28 Disini terlihat jelas bahwasanya Natsir melihat pendidikan
sebagai usaha untuk mengisi nilai-nilai positif baik bagi jasmani maupun
rohani yang menuju kepada terwujudnya manusia yang ideal (insan kamil)
dengan kesempurnaan sifat-sifatnya.
M. Natsir memahami bahwa pendidikan adalah modal utama untuk
bangkit dan berubah kearah yang lebih baik. Dengan demikian pendidikan
adalah sesuatu yang sangat-sangat urgen. Dalam salah satu tulisannya Natsir
menegaskan; "Masalah pendidikan ini adalah masalah masyarakat, masalah
kemajuan yang sangat penting sekali, lebih penting dari masalah yang
lainnya".29 Urgensi pendidikan tersebut akan semakin jelas terlihat ketika
Natsir mengaitkannya dengan kemunduran dan kemajuan suatu bangsa. Hal itu
sebagaimana yang diungkapkannya; Maju atau mundurnya salah satu kaum,
bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku
dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi
maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak
dan pemuda-pemuda mereka.30 Sebuah contoh yang kemudian disebutkan
Natsir saat itu adalah perbandingan antara Negara Jepang dengan Negara
Spanyol. Lebih jelasnya Natsir mengatakan; Bangsa Jepang, satu bangsa di
Timur yang sekarang jadi buah mulut orang seluruh dunia lantaran majunya,
masih akan tinggal terus dalam kegelapan sekiranya mereka tidak mengatur
pendidikan bangsa mereka (sementara) Spanyol, satu negeri di benua Barat,
yang selama ini masuk golongan bangsa kelas satu, jatuh merosot ke kelas
bawah, sesudah enak dalam kesenangan mereka dan tidak mempedulikan
pendidikan pemuda-pemuda yang akan mengganti pujangga-pujangga bangsa
di hari kelak.31
Urgensi pendidikan juga didasarkan pada analisa Natsir bahwa Islam
memerlukan sekelompok orang yang memang menerjunkan dirinya secara
serius dibidang tersebut. Kelompok tersebut disebutkan dalam al Quran
sebagai ummat yang bertafaqquh fid din berdasarkan firman Allah dalam surah
At Taubah: 122.
Artinya: tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
33 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Islam dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), ,h. 365
34 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan...,h. 365
20
bahkan lebih hina dari hewan. Sebagai ciptaan Allah yang suci, maka fitrah
setiap individu pada hakikatnya adalah suci, tidak ada dosa warisan terhadap
fitrah manusia tersebut, meskipun seorang individu terlahir dari kalangan
keluarga non Muslim. Baik atau buruknya seseorang baru dapat dinilai setelah
terjadi proses interaksi antara fitrah yang dimiliki dengan situasi lingkungan
yang mempengaruhinya.
3) Tanggungjawab Pendidikan Anak
Pendidikan anak dalam Islam, sesuai yang dipahami M. Natsir, pada
dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya
fadlu ain. Karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya
yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak
mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
Menurut M. Natsir, maksud ayat ini adalah: harus kita berikan kepada
anak dan istri kita didikan yang memeliharanya dari dari kesesatan dan
memberi keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat. 35 Sabda Rasulullah
SAW: Tiada seorang bayipun yang lahir melainkan dilahirkan di atas fitrah.
Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau
Nashrani. (HR. Bukhari)
Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi
fardlu ain bagi orang tuanya, tapi juga menjadi fadlu kifayah bagi tiap-tiap
anggota dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali
Imran: 104
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
35 M. NatsirCapita Selecta..., h. 55
21
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Ayat di atas, dijadikan M. Natsir sebagai argumentasi tentang petingnya
manusia memeliki ideologi sebagai persayaratan menjadi hamba Allah yang
sesungguhnya, dengan begitu, manusia akan menjadi hamba Allah SWT yang
menikmati keselamatan hidup di dunia dan kebhagian hidup di akhirat kelak.
Sebagaimana dikatakan M. Natsir:
seorang Islam di atas dunia dengan cita-cita kehidupan supaya
menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, yakni
hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenagan akhirat.
Dunia dan kahirat ini sama sekali bagi kaum muslimin tidak mungkin
dipisahkan dari ideologi mereka.38
38 M. Natsir, Agama Dan Negara, dalam Muhammada Isa Anshary, Falsafah Perjuangan Islam,
(Medan, t.p., 1951), h. 261.
39 Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam..., h. 83
25
40 Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, (Jakarta: AMP Press, 2014), h. 21-22
41 Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan ........, h. 21-22
26
dalam rangka menghambakan diri kepada Allah SWT, simpulnya terletak pada
syahadah, dan syahadah dari sisi pendidikan tidak lain adalah sutu pernyataan
pembebasan dari segala macam belenggu yang diciptakan oleh manusia
sendiri. Pendidikan dalam Islam adalah usaha berproses yang dilakukan oleh
manusia secara sadar dalam membimbing manusia menuju kesempurnaan
berdasarkan Islam.42
Menurut M. Natsir, sisi pertama dari Tauhid adalah memperkokoh
kesadaran batin manusia, menumbuhkan spritualitas yang mendalam dan juga
menjadi basis etika pribadi. Sedangkan sisi kedua dari tauhid adalah penekanan
pada kesatuan universal umat manusia pada umat yang satu,berdasarkan
persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran. Jadi dalam konteks
kemanusiaan, Tauhid menegaskan konsep humanisme universal yang tanpa
batas, serta sumber dan rujukan didalam penyajian materi pendidikan kepada
anggota keluarga dan masyarakat yaitu ayat-ayat Al-quran dan hadis Rasul.43
Lebih lanjut M. Natsir mengibaratkan tauhid sebagai sebuah pisau yang
bermata dua.pada satu sisi dia menegaskan ke-Esaan Allah satu-satunya Zat
yang dipertuhankan oleh manusia, dan menjadi titik tolak bagi seorang muslim
dalam memandang hidupnya sebagai sesuatu dari Tuhan dan akan kembali
pada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu adalah hamba-hambanya
yang menjalani kehidupan yang sementara di dunia ini, maka tauhid membawa
implikasi-implikasi besar dalam kehidupan manusia.
Dalam kaitan ini M. Natsir menjelaskan satu peristiwa tragis yang
terjadi pada seorang professor yang bernama Profesor Paul Ehrenfest yang
membunuh diri setelah terlebih dahulu membunuh anaknya karena kecewa
anaknya tidak memiliki potensi intelektualnya yang sama dengan dirinya
walaupun sudah diupayakan pendidikannya. Sebelum ia bunuh diri dan
membunuh anaknya ia membuat surat kepada koleganya Profesor Kohnstamm
yang isinya adalah bahwa yang tidak ada pada nya hanyalah kepercayaan pada
Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa agama itu perlu. Tetapi apabila tidak
42 Heri Nur Ali, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), h. 65
43 Zakiah Derajat, Pembinaan Aklak Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.182
27
memiliki agama, ia mungkin akan binasa karena itu, yakni bila ia tidak bisa
beragama.44 Kisah ini, menjelaskan bahwa pemujaan terhadap ilmu
pengetahuan semata-mata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah dan
menyelamatkannya, bahkan membinasakannya karena tidak ada tempat
bergantung yang bersifat rohani. Oleh sebab itu perlu adanya keseimbangan
antara intelektual dengan spiritual dan antara jasmani dan rohani.45
Lebih lanjut M. Natsir menegaskan bahwa seseorang yang telah
tertanam nilai kebenaran tauhid akan berani hidup ditengah-tengah dunia,tapi
iapun berani mati untuk memberikan darmanya bagi kehakiman ilahi di akhirat.
Karena hidup dan matinya telah diperuntukkan bagi Allah Rabbul alamin.
Sebab konsep pendidikan yang mengandung tata nilai Islam merupakan
pondasi structural pendidikan Islam.46 Menurut M. Natsir pendidikan dengan
tauhid sebagai prinsip utama akan memberikan nilai tambah kepada manusia
dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup
yang benar. Bagi orang yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan
dalam arti ia tidak memiliki pegangan hidup yang benar semakin lama ia
memperdalam ilmu, semakin hilang rasa tempat berpijak baginya.47
7) Pendidikan Integral
Pada masa M. Natsir telah berkembang sistem pendidikan di pesantren-
pesantren dan madrasah yang hanya dapat menghasilkan pelajar-pelajar yang
beriman dan berakhlak baik, tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Selain
itu wujud juga pendidikan ala barat yang dibawa oleh kaum penjajah. Sistem
ini hanya bertujuan untuk mengisi otak saja dengan mengosongkan jiwa. M.
Natsir , melihat bahwa pada satu pihak ada sekolah-sekolah agama tradisional
seperti pesantren dan surau-surau yang mengajarkan ilmu agama dan akhlak
utama, tetapi kurang memperhatikan pelajaran untuk hidup praktis di dunia.
Sebaliknya sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah
mengajarkan ilmu-ilmu untuk menguasai hidup di dunia dengan baik, tetapi
48 Ajip Rosidi Kabudayaan Islam dalam perspektif Sejarah (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988), h.
xix.
49 Abdurrahman, M. Natsir dan Sejarah Pemikiran Pendidikan di Indonesia, Tulisan dimuat pada
harian Haluan, Padang. Sabtu 21 Juli 2012.
29
M. Natsir , Capita Selecta ( Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, 1954), h. 57.
50 Ramayulis, Pemikiran M. Natsir tentang Pendidikan: Jurnal Keislaman dan Peradaban (Padang:
Hadharah, 2005), vol. 1 no. 1. h. 67
51 M. Natsir , Capita ..... h. 87.
52 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h.116
30
53 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Islam dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009). h. 380.
54 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan....,h.120-121
31
55 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h.11
56 H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 169.
57 Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam dalam
Pemikiran Soekarno, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2009), h. 21.
58 H. A. R. Tilaar, pardigma Baru.....,, h. 169-170.
32
yang sesuai dengan visi tersebut, yaitu kurikulum yang selain berisi ilmu-ilmu
fiqih, ushul fiqih, dan tafsir, juga berisi ilmu pengetahuan yang mencakup ilmu
bumi, ilmu falak, ilmu hitung, ilmu sejarah, ilmu jiwa, kedokteran, pertanian,
biologi, sosiologi, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan
manusia dalam rangka mempertinggi derajatnya. Semua ilmu duniawi dan
ukhrawi disatukan menjadi ilmu pengetahuan yang bulat, karena semua ilmu
pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Allah SWT.59
Penguasaan terhadap bahasa asing, terutama Inggris, Belanda dan Arab
sangat ditekankan oleh M. Natsir. Dalam salah satu artikelnya M. Natsir
memberikan judul Bahasa Asing Sebagai Alat Pencerdasan dengan sub judul
Pembuluh Kebudayaan Bagi Indonesia. Tetapi ia tetap menjunjung tinggi
bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.60 M. Natsir memberikan ilustrasi
bagaimana kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh anak didik setidaknya
pada tingkat Perguruan Tinggi. Di samping membaca Hadhirul Alamil Islamy
karya Syakib Arsalan, ia menganjurkan juga buku yang sepadan dengannya
yaitu The New World of Islam karya Lothrop Stoddard, di samping membaca
Mukaddimah Ibn Khaldun juga membaca History of Civilisation karya
Buckles.
9) Metode Pendidikan Islam
Menurut M. Natsir pendidikan dilakukan dengan metode yang tepat dan
efektif dengan kata-kata yang menyejukkan dan menimbulkan kesan yang
mendalam serta senantiasa diingat oleh anak-anak.61 Dengan menggunakan
kurikulum pendidikan yang integral maka proses transformasi ilmu pada
peserta didik dapat ditempuh melalui tiga tingkatan yaitu: metode hikmah,
mauidzah dan mujadalah. Ketiga metode tersebut bersifat landasan normatif
dan diterapkan dalam tataran praktis yang dapat dikembangkan dalam berbagai
model sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi peserta didik. Dari ketiga
64 Saeful Rokhman, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir, diunduh tanggal 7
Januari 2016. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-terhadap-buku-fiqhud-dawah.html.
35
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dimulai dari riwayat hidup, pemikiran beserta
karya-karya M. Natsir, sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. M. Natsir merupakan tokoh nasional dan internasional yang memiliki
integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan
negara dengan menjadi Islam sebagai landasan motivasi perjuangannya. Hal
terlihat dari berbagai profesi yang dilakoninya, baik sebagai pejabat
pemerintahan, pendidik, juru dakwah, pimpinan organisasi, anggota DPR
selalu mengedapankan nilai-nilai yang terkandung dalam al-quran dan hadis.
2. M. Natsir sebagai seorang negarawan atau politikus yang handal, ia
memiliki kesadaran bahwa maju mundurnya suatu bangsa tergandung kualitas
pendidikan bangsa itu sendiri. Pendidikan merupakan sarana strategis dalam
66M. Natsir, Capita Selekta, ......, h. 132.
37
DAFTAR PUSTAKA
Ajip Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, Cet. I, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990).
Heri Nur Ali, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
-----------, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah,
2001.
-----------, Tulisannya dalam kolom Pesan Mimbar pada Suara Masjid, Edisi Maret
1993.
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh
Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Cet. I, Ciputat: Quantum Teaching,
2005.
Saeful Rokhman, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir, diunduh
tanggal 7 Januari 2016. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-
terhadap-buku-fiqhud-dawah.html.
Sampul Luar Fiqh Dawah , Tulisan Muhammad Natsir, Penerbit Capita Selecta dan
Media Dawah karta, 2008.
Serial Media Dawah, No. 21, Tugas dan Peran Ulama, Dewan Dawah Islamiyah
Indonesia Pusat.
Thohir Luth, M. Natsir , Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Inasani Press,
1999).