Anda di halaman 1dari 39

1

M. NATSIR (1908-1993) DAN PEMIKIRANNYA


TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Afrizal

A. PENDAHULUAN
Diskursus tentang pendidikan Islam, seakan tidak ada hentinya untuk
selalu di perbincangkan berbagai kalangan, baik dalam ruang akademis, media
masa, maupun kajian penilitian yang kadang kala, dari sebagian perbincangan
dan penelitian tersebut bertujuan untuk mengembangkan pendidikan Islam
maupun hanya terbatas pada kegiatan mengkaji. Pendidikan Islam dirasakan
sudah mengalami pembaharuan, tetapi dalam kenyataanya masih terkesan
stagnan, dan lamban untuk bersaing dengan pendidikan-pendidikan yang lain
(pendidikan umum). Hal ini yang selalu menarik minat kalangan pembelajar
untuk mengkajinya lebih serius, karena sebagai sebuah bidang studi yang masih
baru, tampaknya disiplin ilmu ini belumlah pesat perkembangannya
dibandingkan dengan sejumlah bidang studi Islam lainnya.1
Perkembangan pendidikan khususnya pendidikan Islam di Indonesia
tentunya tidak pernah lepas dari peran para tokoh/ulama. Sekian banyak tokoh
yang ada di Indonesia baik yang dikenal maupun yang tidak, tentunya banyak
pelajaran dan hikmah yang dapat kita ambil. Seiring berjalannya waktu, para
tokoh yang telah berjasa di Indonesia banyak yang terlupakan, bahkan ajaran
mereka dan peran sertanya banyak yang diabaikan. Oleh karena itu, sebagai
generasi muda tak sepatutnya melupakan jasa-jasa para tokoh tersebut terutama
di dalam bidang pendidikan. Bahkan perlu dilakukan kajian serta meneruskan
visi dan misi mereka. untuk itu, perlu rasanya untuk merenung kembali sejarah
perjalanan bangsa ini melalui salah satu tokoh yang sangat monumental
perjalanan hidupnya dalam hal memperjuangkan pendidikan Islam yaitunya M.
Natsir .

1 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005). h. vi

1
2

M. Natsir adalah salah seorang tokoh yang dikenal sebagai birokrat,


politisi, dan juga sebagai dai ternama. M. Natsir pernah menduduki jabatan
sebagai wakil Rabithoh Alam Islam, serta menjadi ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia sejak tahun 1967 sampai wafatnya beliau tahun 1993. Dalam
organisasi inilah beliau mulai berkiprah dalam bidang pendidikan, polotik dan
dakwah. Perjuangan beliau dan kawan-kawannya adalah ingin menghidupkan dan
membangkitkan kembali ajaran Islam, khususnya di Indonesia dari keterpurukan,
sehingga tidak ketinggalan dalam peradaban. Diantara jalan yang ditempuh
Muhammad Natsir dan kawan-kawannya adalah dengan mengajarkan pendidikan
agama dan pendidikan umum tanpa memisahkan keduanya.
Muhammad Natsir adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Indonesia,
yang pernah menduduki dua jabatan penting, yaitu sebagai menteri penerangan
dalam Kabinet Syahrir dan perdana menteri pertama pada masa pemerintahan
Soekarno. Sebagai politisi, beliau juga pernah menduduki jabatan puncak partai
Islam terbesar, yaitu Masyumi, dan menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia.2
M. Natsir adalah salah satu tokoh yang menggagas pembaharuan
pendidikan Islam yang berlandaskan Al-Quran dan Sunnah, pendidikan yang
bersifat integral, harmonis dan universal, mengembangkan segenap potensi
manusia agar menjadi manusia yang bebas, mandiri, sehingga mampu
melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dimuka bumi.3 Sebagai suatu refleksi
untuk terus berperan aktif dalam hal pembaharuan pendidikan Islam. M. Natsir
tidak hanya berjasa terhadap perjalanan negeri ini, tetapi juga merupakan seorang
yang sangat perduli terhadap perjalanan pendidikan Islam. Dalam usaha
pembaharuan pemikiran dan pengamalan Islam di Indonesia, M. Natsir
mempraktikkan dengan cara dakwah dan pendidikan, serta senantiasa tulus dan
berfikiran terbuka terhadap kritikan dan saran yang datang dari kawan dan lawan,
walaupun membawa kepada polemik dan diskusi yang panjang terhadap setiap
pemikiran yang dikemukakannya.

2 Thohir Luth, M. Natsir , Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Inasani Press, 1999), h. 9
3 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan....., h. 72.
3

Melihat begitu luasnya cakupan pengalaman M. Natsir dan beliau


temasuk salah satu pemikir pendidikan Islam di Indonesia yang tidak memilah-
milah antara pendidikan Islam dan pendidikan umum. Beliau beranggapan bahwa
semua ilmu penting, karena pada hakikatnya semua ilmu itu dari Allah, oleh
karena, kajian tentang pemikiran M. Natsir tentang pendidikan merupakan sebuah
keniscayaan dalam upaya perbaikan sistem pendidikan Islam di Indonesia, maka
dalam makalah ini akan dipaparkan tentang biografi M. Natsir dan pemikirannya
tentang pendidikan.

B. PEMBAHASAN
1. Biografi M. Natsir
a. Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan.
M. Natsir merupakan salah seorang putra terbaik asal minangkabau. M.
Natsir lahir di Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera
Barat pada hari jumat 17 Jumadil Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli
1908 Masehi. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana, ibunya bernama
Khadijah sedangkan ayahnya Mohammad Idris Tuan Saripado, seorang
pegawai rendah yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di
Minanjau dan sipir penjara di Sulawesi Selatan.4 Ia memiliki tiga saudara
kandung, yaitu Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Di desa kelahiranynya itu, M.
Natsir Kecil meleawti masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelelektualnya.
M. Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Sepanjang hidupnya ia
perjuangkan untuk agama Islam dan bangsa Indonesia. Kiprah Muhammad
Natsir sebagai seorang intelektual, politikus, pendidik, pemimpin negara
maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai
menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal usul dan fisiknya, M. Natsir
hanyalah orang biasa. Sifatnya yang lemah lembut, bicara dengan penuh sopan
4Pekerjaan ayahnya bermula bermula sebagai juru tulis kontroler di Alahan Panjang, kemudian
sebagai Asisten Demang di Bonjol. Setelah itu ia pindah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di
Minanjau. Pada tahun 1918 ia dipindahkan ke Bekeru Ujung Panjang, Sulawesi Selatan sebagai sipir
Penjara. Setelah itu ia kembali lagi ke Alahan Panjang. Tidak dijelaskan jabatan apa yang dipegang
oleh ayahnya. Hanya setelah pensiun ayah dan ibunya memilih menetap di Batusangkar. Lihat
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 73. Lihat juga Ajip Rosidi, M. Natsir , Sebuah
Biografi, Cet. I, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990), h. 150.
4

santun dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi
teman bicaranya. Dibalik itu semua M. Natsir adalah ibarat karang yang kokoh.
Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan
dengan orang-orang lain.
Saat kecil Muhammad Natsir terlahir dilingkungan agamis, ayahnya
seorang Ulama terkenal di Indonesia. Lingkungan seperti ini sangat
mempengaruhi pertumbuhan sang putra. Waktu kecil M. Natsir menghabiskan
waktu di surau, mengaji dan bersenda gurau. Pendidikan di surau tidaklah
cukup. Natsir kecil sangat ingin belajar di sekolah modern. Riwayat pendidikan
M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat5 (SR) di Minanjau Sumatera Barat
hingga kelas dua. Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang mempergunakan
bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Ketika ayahnya dipindah-tugaskan
ke Bekeru, Natsir mendapatkan tawaran untuk pindah ke Padang dan menjadi
siswa di Holland Inlandse School (HIS) Padang. Tawaran tersebut diterima
oleh Natsir dengan antusias. Namun HIS Padang menolaknya dengan
pertimbangan bahwa Natsir adalah seorang anak pegawai rendahan. Untungnya
pada saat itu di Padang sudah ada HIS Adabiyah 6. Natsir diterima sebagai
murid di HIS Adabiyah itu.7
M. Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat.
Pada usianya yang sangat muda, M. Natsir sudah mulai berpisah dengan orang
tuanya dan menempuh hidup sebagai orang dewasa.8 M. Natsir dipindahkan
oleh orang tuanya ke HIS Negari di Solok dan dititipkan pada Haji Musa
sorang saudagar yang cukup terkenal di daerah solok. Di tempat ini M. Natsir
tidak hanya belajar di lembaga pendidikan formal tetapi pada sore hari ia
mendalami pengetahuan agama di Madrasah Diniyah dan pada malam harinya

5 Sekolah Raknyat di Maninjau merupakan sekolah swasta yang mempergunakan bahasa melayu
sebagai bahasa pengantarnya. Lihat Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 75
6HIS (Hollandsch Inlandschs School) Adabiyah merupakan suatu sekolah swasta yang dikelola Haji
Abdullah Ahmad dengan sistem pendidikan mengacu pada sekolah Belanda yang dilengkapi dengan
pelajaran agama Islam. Lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam:
Mengenal Tokoh Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Cet. I, ( Ciputat: Quantum Teaching,
2005), h. 289.
7Ajip Rosidi, M. Natsir , Sebuah Biografi,..., h. 145.
8Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 74.
5

belajar mengaji al-Quran di Surau sekaligus mempelajari bahasa Arab.9


Setelah itu dia duduk di kelas tiga sekolah Diniyah dia diminta membantu
mengajar di kelas satu, mengingat pada masa itu masih kekurangan guru.
Setelah lulus dari HIS M. Natsir mengajukan permohonan untuk
mendapat beasiswa dari MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs), dan
ternyata lamarannya itu diterima. Di MULO Padang inilah Natsir mulai aktif
dalam organisasi. Mula-mula ia masuk Jong Sumatranen Bond (Sarikat
Pemuda Sumatera) yang diketuai oleh Sanusi Pane. Kemudian ia bergabung
dengan Jong Islamieten Bond (Sarikat Pemuda Islam), dan di situ pun Sanusi
Pane aktif sebagai ketua, dan menjadi anggota Pandu Nationale Islamietische
Pavinderij (Natipij), sejenis Pramuka sekarang. Menurut Natsir organisasi
merupakan pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah dan memiliki andil
cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah
mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada M. Natsir .10
Aktivitas Natsir semakin berkembang ketika ia menjadi siswa di
Algeme Midelbare School (AMS) di Bandung. Di kota inilah ia mempelajari
agama secara mendalam serta berkecimpung politik, dakwah, dan pendidikan.
Di tempat ini pula Natsir berjumpa dengan Ahmad Hasan (1887-1958), seorang
tokoh pemikir radikal dan pendiri Persatuan Islam (Persis). Natsir mengakui
bahwa Ahmad Hasan lah yang mempengaruhi alam pemikirannya.11
Minat dan perhatian Natsir terhadap persoalan keislaman dan
kemasyarakatan menyebabkan Natsir menolak tiga kesempatan yang
ditawarkan kepadanya, yaitu melanjutkan studi ke Fakultas Ekonomi atau
Fakultas Hukum di Rotterdam, menjadi pegawai negeri dengan gaji besar
sebagai hadiah atas keberhasilannya menyelesaikan studi di AMS dengan nilai
tinggi. Minat tersebut direalisasikan dengan aktif dalam bidang pendidikan
secara luas yang dirintisnya dengan melibatkan diri secara langsung dalam
kegiatan studi Islam yang dilaksanakan oleh Persis di Bandung.

9Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh-Tokoh....., h. 289.


10Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 75.
11Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 75
6

M. Natsir tidak memperoleh pemikiran pendidikan keislamannya


secara formal, melainkan melalui hubungan langsung dengan tokoh-tokoh
pemikir Islam pada masa itu, khususnya Ahmad Hasan dan Agus Salim, serta
melalui karya-karya tokoh pembaharu di Dunia Islam, seperti Muhammad
Abduh, Rasyid Ridho, Haji Syekh Muhammad Amin Al-Husaini, Imam Asy
Syahid Hasan Al-Banna, dan Imam Hasan Al-Hudhaibi. Dari situlah
Muhammad Natsir mulai memperdalam keilmuan Islam sejak kecil, serta
perhatiaannya yang besar terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan
mendorongnya aktif dalam berbagai organisasi kepemudaan dan politik Islam.12
Sebagai seorang yang pernah hidup dalam suasana tradisi religius dan
memahami pengetahuan agama yang memadai, ia menilai bahwa pola
pendidikan yang diterapkan penjajah Belanda tidak sesuai dengan hapannya
sebagai pribadi muslim karena tidak hanya akan mendangkalkan kesadaran
keberagaman siswa. Lebih dari itu akan membuat antipati terhadap ajaran
agama yang dianutnya.13
Perhatian M. Natsir terhadap kondisi pendidikan pada masa itu
mendorongnya untuk mengikuti kursus guru diploma (Lager Orderwijs) selama
setahun (1931-1932). Pada bulan Maret 1932 Persis menyelenggarakan
pertemuan kaum Muslimin di Bandung dengan mengangkat persoalan
pendidikan bagi generasi muda Islam sebagai tema sentralnya. Pertemuan
tersebut melahirkan suatu perkumpulan yang diberi nama Pendidikan Islam
(Pendis) dengan program utamanya menigkatkan mutu pendidikan melalui
pembaharuan kurikulum, menanamkan roh Islam pada setiap mata pelajaran
yang diajarkan kepada para siswa serta mengelola sistem pendidikan yang
dapat melahirkan lulusan yang memiliki kepribadian yang mandiri dan
terampil.
Selanjutnya tahun 1938, M. Natsir mulai aktif dibidang politik dengan
melibatkan diri sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang
Bandung. Pada tahun 1940-1942 Natsir menjabat ketua PII dan pada tahun
12Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaharuan..., h. 74
13Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh..., h.
289.
7

1942-1945 ia merangkap jabatan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kota Jakarta


yang merupakan Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri pasca
kemerdekaan.
b. Kiprah M. Natsir di Bidang Politik
Karir politik M. Natsir pasca kemerdekaan diawali sebagai anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945-1946. pada cabinet
Syahrir dan kabinet Hatta, M. Natsir menjadi Menteri Penerangan Republik
Indonesia. Kemudian pada tahun 1949-1958 ia diangkat menjadi ketua
Masyumi, hingga partai ini dibubarkan. Puncak karir M. Natsir dalam politik
ketika waktu ia diangkat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (1950-
1951). Pemilu pertama 1955 M. Natsir terpilih menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
Tampilnya M. Natsir di puncak pemerintahan tidak terlepas dari
langkah strategisnya dalam mengemukakan mosi pada sidang palemen republik
Indonesia serikat (RIS) pada tanggal 3 april 1950 yang lebih dikenal dengan
Mosi Integral Natsir. M. Natsir saat duduk di pemerintahan era Soekarno, ia
bermaksud untuk menjadikan Islam sebagai dasar Negara. Hal inilah yang
menyebabkan konflik dengan Soekarno. Polemik antara M. Natsir dengan
Soekarno, khusus mengenai soal-soal kebangsaan dan kenegaraan. Dengan
argumentasi jujur, tegas dan cerdas, kedua tokoh tersebut bertarung serta
mengasah ketajaman pena dan pemikiran, berikut saling merumuskan
penjelasan sekitar posisi dan sikap masing-masing. Tentu saja, mereka
berangkat serta berada dalam titik tolak berbeda. Akan tetapi dengan perbedaan
diantara keduanya tidak dibuktikan dengan kekuatan, namun dengan otak.14
Perbedaan pendapat diantara keduanya dalam melaksanakan
kebijaksanaan negara inilah, Soekarno tidak memberi kesempatan kepada M.
Natsir untuk membuktikan kepemimpinannya. Agaknya kondisi waktu itu tidak
memungkinkan untuk kita mengenal hidup bernegara secara demokratis. Dan

14 100 Tahun Muhammad Natsir, Berdamai dengan Sejarah, (Jakarta Selatan : Republikan, 2008) h.
39
8

setelah dikepung secara piskologis oleh PNI, PKI dan Soekarno, kabinet M.
Natsir pun jatuh dalam waktu 7 (tujuh) bulan.
M. Natsir dan Soekarno semakin sering bersilang pendapat. Sementara
Soekarno semakin di puncak kekuasaan dan akrab dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI), M. Natsir kemudian menjaga jarak dengan Soekarno dan kian
menyisih sambil tetap memimpin fraksi Masyumi di Parlemen 1950-1958.
Perselisihan kian memuncak ketika Soekarno secara sepihak menguburkan
semua partai di bawah timbunan demokrasi terpimpin. Di bawah rongrongan
PKI, M. Natsir dan keluarganya menyingkir ke Sungai Dare, Padang bergabung
bersama para serdadu yang membelot. Di Sumatra Barat, M. Natsir dan
Sjafruddin Prawiranegara ingin menekan Soekarno agar kembali ke
Konstitusional. Demokrasi harus dipulihkan. Negara dan bangsa harus
diselamatkan. Akan tetapi Soekarno salah paham ke M. Natsir. Pada 17
Agustus 1959 Soekarno secara sepihak membubarkan Masyumi, kemudian M.
Natsir ditangkap atas tuduhan terlibat Pemberontakan Rakyat Republik
Indonesia (PPRI) Permesta. M. Natsir diasingkan dengan menjalani karantina
politik di Batu, Malang 1960-1962. selanjutnya M. Natsir tidak lantas bebas,
namun harus mengalami tahanan Politik di Rumah Tahanan Militer (RTM)
Keagungan Jakarta 1962-1966. hingga akhirnya M. Natsir dibebaskan pada
tahun 1966 tanpa proses pengadilan.15 Keterlibatannya ini mengakhiri karir
politiknya di zaman orde lama.
Tumbangnya orde lama yang digantikan oleh orde baru tidak
menyebabkan posisi M. Natsir membaik di pemerintahan. Selama
pemerintahan Orde Baru, M. Natsir tetap dianggap sebagai pemimpin yang
disegani dan sekaligus juga dikhawatirkan pengaruhnya oleh Pemerintah Orde
Baru. Namun berbagai keterbatasan yang beliau hadapi. apalagi setelah ia ikut
menandatangani Petisi 50 ia dilarang ke luar negeri. kegiatan dakwah M. Natsir
tak pernah berhenti. Walaupun M. Natsir dizaman orde baru merasa
disingkirkan akan M. Natsir tetap setia terhadap bangsa. Ia tidak mau hanya

15 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 12
9

mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri dengan


mengorbankan kepentingan bangsa secara keseluruhan. Hal ini diwujudkan
ketika Orde Baru mulai berdiri dan siap melancarkan program pembangunan.
Dalam konteks ini, peranan M. Natsir sangat besar. Semisal, dalam upaya
menciptakan kerukunan dan stabilitas politik di kawasan Asia Tenggara
memulai upaya penghapusan konfrontasi dengan Malaysia.16
M. Natsir juga menulis dan memberikan masukan sekaligus kritik
terhadap berbagai kebijakan Pemerintah. Namun, gaya M. Natsir menulis dan
berpidato tetaplah halus, tenang dan tidak berapi-api sebagaimana kebanyakan
pemimpin yang menghadapi banyak tekanan dan hambatan. Namun dibalik
ketenangan dan kehalusaannya itu, terdapat kekuatan semangat dan keteguhan
pendirian.
c. Kiprah M. Natsir Di Bidang Pendidikan
Jejak M. Natsir dalam bidang pendidikan sudah ada sebelum negeri ini
merdeka. Ketika Indonesia berada di bawah jajahan Jepang (1942-1945)
seluruh partai Islam dibubarkan kecuali empat organisasi Islam yang tergabung
dalam MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) yaitu; NU, Muhammadiyah, PUI
yang berpusat di Majalengka, dan PUII yang berpusat di Sukabumi. Empat
generasi tersebut kemudian tergabung dalam satu wadah, yaitu Masyumi,
penjelmaan baru MIAI. Pada 1945 Masyumi mengadakan rapat yang
menghasilkan dua putusan penting, pertama, membentuk barisan mujahidin
dengan nama Hizbullah untuk berjuang melawan sekutu. Kedua, mendirikan
perguruan tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), STI
kemudian hari menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Maksud
berdirinya STI adalah untuk memberikan pendidikan tinggi tentang agama
Islam, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat di kemudian hari. Dewan
Ketua Kurator STI dijabat Mohammad Hatta dan M. Natsir sebagai
sekretarisnya. Rektor Magnificus oleh KH. A. Kahar Muzakkir dan Natsir pula
sebagai sekretarisnya, dan Prawoto Mangkusasmito sebagai wakil sekretaris.

16 Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan ......, h. 36


10

Kiprah M. Natsir di bidang pendidikan ini terlihat dari berbagai


upaya yang dilakukannya, di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) dan berusaha
menggabungkan pengetahuan umum dengan agama. Pendis juga menjadi
cikal bakal lahirnya Universitas Islam Bandung (UNISBA), yang saat
ini menjadi universitas terpandang di kota kembang.17
2) Melakukan koordinasi dan penyelarasan program pendidikan
perguruan Islam yang bakal melahirkan institusi pendidikan Islam yang
memiliki keseragaman dasar dan cita-cita. Ia menyeru perguruan dan
institusi pendidikan Islam di Indonesia untuk membentuk wadah
bersama yang diberi nama Perikatan Perguruan-Perguruan Muslim
(PERMUSI). Dari gagasan M. Natsir lahirlah kampus-kampus Islam yang
memiliki nama besar, seperti Universitas Islam Indonesia (UII) di
Yogyakarta, Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) di Medan,
Universitas Islam Bandung (UNISBA) di Bandung, Universitas Muslim
Indonesia (UMI) di Makasar, Universitas Islam Sultan Agung
(UNISSULA) di Semarang, Universitas Islam Riau (UIR) di Riau,
Universitas Al-Azhar Indonesia dan LPDI Jakarta yang kini menjadi
Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir.18
3) Melengkapi perpustakaan-perpustakaan di berbagai universitas,
lembaga-lembaga dakwah dan mendirikan Pesantren Husnayain.19
4) Memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan TKIT, SDIT dan
SMPIT yang menggabungkan kurikulum pendidikan umum dan
pendidikan Islam yang berbasis pesantren.20
M. Natsir berpulang ke rahmatullah pada tanggal 6 pebruari 1993
Masehi bertepatan dengan 14 Syaban 1413 Hijriah di rumah sakit Cipto
Mangun Kusumo Jakarta dalam usia 85 tahun dengan meninggalkan enam
orang anak dari pernikahannya dengan Nurhanar, yaitu; Siti Muchlisoh (20

17Reihin, Kepemimpinan Mohammad Natsir Di Dewan DaWah Islamiyah Indonesia (1967-


1993), Jurnal al-Bayan Vol. 19, No. 28, juli-desember 2013., 59-80
18 Badru Tamam: Konsep Pendidikan M. Natsir, Diakses tanggal 17/12/2015 dari, (http://www.voa-
islam.com)
19 Reihin, Kepemimpinan Mohammad Natsir ......, 59-80
20 Reihin, Kepemimpinan Mohammad Natsir ......, 59-80
11

Maret 1936), Abu Hanifah ( 29 April 1937), Asma Farida (17 Mei 1941).
Hasnah Faizah (5 Mei 1941), Aisyatul Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi
(26 April 1944). Berbagai ungkapan belasungkawa muncul baik dari kawan
seperjuangan maupun lawan politiknya.21
d. Jabatan dan Penghargaan Diperoleh M. Natsir
Banyak gelar dan panggilan yang diberikan oleh masyarakat
kepadanya. Diantaranya Pendidik dan pemandu ummat, negarawan serta
pembaharu. Jasanya dalam membangun dan memajukan ummat Islam di dunia
amat dirasakan sekali. Oleh sebab itu, hingga akhir hayatnya banyak jabatan
penting yang diamanahkan kepadanya baik pemerintahan, maupun dalam
organisasi politik dan keagamaan, diantaranya:
1) Sejak tahun 1928-1932, M. Natsir diangkat mejadi ketua Jong
Islamieten Bond Bandung.
2) Sejak tahun 1932-1942, M. Natsir diangkat sebagai direktur
Pendidikan Islam Bandung;
3) tahun 1942 sampai 1945, M. Natsir diangkat sebagai kepala Biro
Pendidikan Kotamadia Bandung;
4) Tahun 1945 sampai 1946, M. Natsir diangkat sebagai anggota badan
pekerja KNIP dan kemudian menjadi wakil ketua di badan ini.
5) Pada tahun 1946, M. Natsir masuk anggota kabinet Sjahrir ke-2 dan
ke-3
6) Tahun 1949, M. Natsir masuk Kabinet Hatta Ke-1, menjadi Perdana
Mentri Penerangan RI;
7) Tahun 1949 sampai 1958 ia diangkat menjadi ketua umum Partai
Masyumi.
8) Sejak tahun 1950 sampai 1951 ia menjadi Perdana mentri Negara
kesatuan Republik Indonesia.
9) Dalam pemilu tahun 1955 ia terpilih menjadi anggota DPR. Dari
tahun 1956 hingga 1958 ia menjadi anggota konstituante RI,

21 Mantan perdana menteri Jepang yang diwakili Nakajima mengungkapkan berita wafatnya Natsir
ini dengan ungkapan: Berita wafatnya Pak M. Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom
Hirosima. Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan...., h. 81.
12

10) Sejak tahun 1958 menjadi deputi perdana mentri PRRI, sampai
akhirnya pada tahun 1960 ditangkap oleh pemerintah dengan tuduhan ikut
terlibat dalam pemberontakan PRRI.
11) Sejak tahun 1962 sampai dengan tahun1966 ia ditahan dirumah
tahanan militer Keagungan Jakarta. Sejak dibebaskan dari tahanan,dia aktif
dalam organisasi-organisasi islam ,seperti pada Kongres Muslim Sedunia
12) Semenjak 1967 hingga akhir hayatnya Ia memimpin sebuah organisasi
Islam yang bercorak dakwah, pendidikan dan sosial yaitu Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII).22
13) Pada tahun 1967 sampai 1993, M. Natsir diangakat menjadi timbalan
Presiden Muktamar Alam Islami yang berpusat di Karachi, Pakistan.
14) Pada tahun 1969 sampai 1993, menjadi anggota Majlis Tasisi
Rabithah Alam Islami yang berpusat di Makkah al- Mukarramah, Arab
Saudi.
15) Pada tahun 1972 sampai 1993, menjadi anggota Majlis Ala al Alami
li al-Masajid yang berpusat di Makkah al- Mukarramah, Arab Saudi.
16) Pada tahun 1985 sampai 1993, menjadi anggota pengasas The
Internatioanal Islamic Charitable Foundation, Kuwait.
17) Pada tahun 1986 sampai 1993, menjadi anggota Pengasas The Oxford
Center for Islamic Studies, London.
18) Pada tahun 1986 sampai 1993, menjadi anggota Majlis Umana
International Islamic University, Islamabad, Pakistan (1986-1993)
Sedangkan Gelar Kehormatan atau penghargaan yang pernah
dinobatkan kepada M. Natsir adalah sebagai berikut:
1) Januari 1957: Sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap
pengabdianya yang demikian besar terhadap dunia Islam, M. Natsir
menerima penghargaan Internasional berupa bintang Nichan Istikhar
(Grand Gordon) dari Presiden Tunisia Lamine Bey atas jasa-jasanya dalam
membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.

22Anwar Haryono, Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir........ , h. 14.


13

2) Tahun 1967, Universitas Islam Libanon memberi gelar Doctor


Honoris Causa bidang politik Islam.
3) Maret 1977 : M. Natsir mendapata gelar Prince DIslam (Pangeran
Islam) dari Komunitas Muslim Dunia, atas kontribusinya dalam
memerangi kelaparan dan ketidak pedulian yang terjadi di dunia tanpa
membeda-bedakan kelas dan komunitas.
4) Pada tahun 1980, M. Natsir memperoleh penghargaan internasional
Jaizatul Malik Faisal al Alamiyah dari Lembaga hadiah Internasional
Malik Faisal di Saudi Arabia. atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan
kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah
diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan
juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul Ala al-Maududi. Karena
itulah, hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai
Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Tasisi Rabithah
Alam Islami.
5) Tahun 1991, gelar kehormatan yang sama dianugerahkan Doctor
Honoris Causa Universiti Kebangsaan Malaysia di bidang pemikiran
Islam.
6) 6 November 1998, M. Natsir menerima penghargaan berupa bintang
Republik Indonesia Adi Pradana dari pemerintah Republik Indonesia.
bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap pada masa
pemerintahan Presiden BJ. Habibie (1998-1999), sebagai pelopor Mosi
Integral yang akhirnya mengembalikan Indonesia ke bentuk Negara
kesatuan.23
7) 26 Mei 2005, walaupun beliau seudah meninggal beliau mendapatkan
penghargaan dari Dewan Masjid Award sebagai Tokoh Manajemen Masjid
Indonesia.
8) 23 Desesmber 2005, M. Natsir menerima penghargaan dari Presiden
Republik Demokratik Nasional Al Jazair PYM Abdu Azis Bouliqah, atas
jasanya membantu perjuangan pembebasan Al Jazair.

23 100 tahun Muhammad Natsir, ..h, 366


14

9) Mei 2007, M. Natsir menerima bintang keteladanan anak mulia tahun


2007 dari Komite Pusat Gerakan Masyarakat Peduli Akhlaq Mulia.
10) September 2007, M. Natsir menerima penghargaan atau apresiasi
setulus-tulusnya atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan dawah Islam di
Indonesia dan turut serta mendukung pendirian dan pembangunan Masjid
Salman ITB.24
11) Gelar pahlawan nasional diberikan kepada M. Natsir bertepatan pada
peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008 melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 041/TK/Tahun 2008 yang ditetapkan
pada tanggal 6 November 2008.25
e. Karya Tulis M. Natsir
Banyak karya tulis yang ditinggalkan oleh M. Natsir, baik yang terkait
dengan dakwah atau pemikiran. Sebagian telah diterbitkan dalam bahasa Arab
dengan jumlah lebih dari 52 buah buku, diantaranya:
1) Islam Sebagai Ideologi (Jakarta : Pustaka Aida, 1951), buku ini
membicarakan tentang ajaran Islam dalam hubungannya dengan pedoman
hidup manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Agama
Dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam (Medan,tp.p.1951). M. Natsir
menulis buku ini yang membahas hubungan posisi agama dan Negara.
2) Capita selekta I (Jakarta:Bulan Bintang, 1954). Buku ini memuat
tulisan- tulisan M. Natsir antara tahun 1936-1941, ditambah lagi dengan
tangkisan Muhammad Natsir atas seri Artikel Ir. Soekarno tentang soal
pemisahan agama dari Negara yang ditulis ketika masih sama-sama muda.
Di dalamnya membicarakan tentang sosial, ekonomi, pendidikan, politik
dan kebudayaan.
3) Capita Selekta II (Jakarta:Pustaka Pendis,1957). Buku ini berisikan
kumpulan tulisan, pidato dan interview persnya antara 1950-1955, yakni
semenjak terbentuknya Negara Kesatuan sampai dengan terbentuknya
kabinet Burhanuddin Harahap. Dengan demikian dapat dianggap

24 Sampul Luar Fiqh Dawah , Tulisan Muhammad Natsir, Penerbit Capita Selecta dan Media Dawah
karta, 2008
25 Lukman Hakiem, M.Natsir Di Panggung Sejarah Republik, Jakarta: Republika, 2008), h 147
15

merupakan sebagian dokumentasi dari perkembangan Negara selama 5


tahun itu.
4) Islam Sebagai Dasar Negara (Bandung, 1954)
5) Some Observation, Concerning the Rule of Islam in National and
Internasional Affair (Ithaca : Departemen of Estern Studies, Cornel
University, 1954). Sebuah buku yang memuat hasil pengamatan M. Natsir
terhadap perhatian dan kesungguhan umat Islam dalam menegakkan ajaran
Islam, baik dalam skala Nasional maupun Internasional.
6) Fiqhud Dawah (Fikih Dakwah) Jakarta, Yayasan Capita Selekta dan
Media Dawah, cetakan ke XIII, 2008. Buku ini menjadi penting bagi para
daI, lembaga dawah dan perguruan tinggi Islam sebagai panduan dalam
menyampaikan pesan dawah intisari dari jejak risalah yang dibawakan
Rasulullah, dengan kata perbuatan, dan dari khittah yang ditempuh oleh
para sahabat dalam menunaikan tugas dawah dibawah pimpinan
Rasulullah.
7) Ikhtaru Ahadas Sabilain, Addinu wa la al-Dinu, (Jeddah: Al-dar al-
Saudiyah,1392 H).
8) Normalisasi Konstitusional, (Jakarta: Yayasan Kesadaran
Berkonstitusi, 1990Bahaya Takut, (Jakarta, Media dakwah, 1991)
9) Agama dan Negara dalam Perspektif Islam (Jakarta, Media Dakwah,
2001).
10) World Of Islam Festival Dalam Persepektif Sejarah (Jakarta,Yayasan
Idayu, 1976).
11) Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang
Konstitusional, (Jakarta,1985).
12) Dengan nama samaran A. Moechlis, Dengan Islam ke Indonesia
Moelia, (Bandung, Persatuan Islam, Madlis Penjiaran, 1940).
13) Bersama H.A.M.K. Amarullah, Islam Sumber Bahagia, (Bandung,
Jajasan Djaja, 1953).
14) Pandai-pandailah Bersyukur Nikmat, (Jakarta, Bulan Bintang, 1980).
15) Dari Masa ke Masa, (Jakarta,Yayasan Fajar Shadiq, 1975).
16) Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung, Pelajar Bulan Sabit, 1969).
17) Di Bawah Naungan Risalah, (Jakarta, Sinar Hudaya, 1971).
18) Buku PMP dan Mutiara yang Hilang, (Jakarta, Panji Masyarakat,
1982).
16

19) Tolong Dengarkan Pula Suara Kami, (Jakarta, Panji Masyarakat,


1982).
20) Dakwah dan Pembangunan, (Bangil, Al-Muslimun, 1974).
21) Islam dan Akal Merdeka,(Tasikmalaya, Persatoen Islam Penjiaran,
1947).
22) Hendak ke mana Anak-anak Kita Dibawa oleh PMP, (Jakarta, Panji
Masyarakat, 1402 H).
23) Tauhid untuk Persaudaraan Universal, (Jakarta, Suara Masjid, 1991).
24) Gubahlah Dunia dengan Amalmu, Sinarilah Zaman dengan Imanmu,
(Jakarta, Hudaya, 1970).
25) Keragaman Hidup Antar Agama, (Djakarta, Hudaya, 1970).
26) Kom Tot Het Gebed (Marilah Shalat), (Jakarta, Media Dakwah, 1981).
27) Pendidikan, Pengorbanan Kepemimpinan, Primordialisme, dan
Nostalgia, (Jakarta, Media Dakwah, 1987).
28) Revolusi Indonesia, (Bandung: Pustaka Jihad)
29) Demokrasi di Bawah Hukum, (Jakarta: Media Dakwah, 1407/1987),
Cet. I
Dan masih banyak lagi karya-karya Muhammad Natsir, baik itu yang
berbentuk Puisi, Prosa, surat-surat atau jawaban dari kritik orang lain yang
tidak semuanya penulis cantumkan di makalah ini.

C. Pemikiran M. Natsir Dalam Bidang Pendidikan


1) Makna dan urgensi Pendidikan
Islam adalah agama pendidikan dan pencerdasan ummat. Demikian
pandangan Natsir. Pandangan ini terlihat dari tulisan Natsir ketika membantah
buku yang ditulis Dr. I.J. Brugmans yang berjudul Geschiedenis van het
Onderwijs in Ned Indie (Sejarah Pendidikan di Hindia Belanda) yang
mengatakan bahwa Islam adalah agama penaklukan yang disebarkan dengan
pedang.26. Untuk menangkis kesimpulan itu, Natsir membuat tulisan dengan
judul Hakikat Agama Islam: Tangkisan atas Kritik Tajam daro Dr. I.J
Brugmans dan dimuat dalam majalah Panji Islam bulan Oktober 1938.27
Dalam tulisan ini Natsir menjelaskan secara panjang lebar bahwa Islam tidak
dapat dikatakan sebagai agama yang tersebar dengan pedang lantaran ia
26 M. Natsir, Capita Selecta 1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 121.
27 M. Natsir, Capita Selecta 1....., h. 145-158.
17

memiliki syariat tentang jihad. Islam harus dilihat secara konfrehensif dimana
ia juga merupakan agama yang mengajarkan tentang pendidikan dan hal-hal
yang berkaitan dengannya secara kuat.
Selanjutnya makna pendidikan dijelaskan oleh M. Natsir dengan bahasa
sederhana namun memukau; Yang dinamakan didikan ialah suatu pimpinan
jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat-
sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya. Pimpinan semacam ini
sekurangnya antara lain perlu kepada dua perkara: pertama, Satu tujuan yang
tertentu tempat mengarahkan didikan, dan kedua, Satu asas tempat
mendasarkannya.28 Disini terlihat jelas bahwasanya Natsir melihat pendidikan
sebagai usaha untuk mengisi nilai-nilai positif baik bagi jasmani maupun
rohani yang menuju kepada terwujudnya manusia yang ideal (insan kamil)
dengan kesempurnaan sifat-sifatnya.
M. Natsir memahami bahwa pendidikan adalah modal utama untuk
bangkit dan berubah kearah yang lebih baik. Dengan demikian pendidikan
adalah sesuatu yang sangat-sangat urgen. Dalam salah satu tulisannya Natsir
menegaskan; "Masalah pendidikan ini adalah masalah masyarakat, masalah
kemajuan yang sangat penting sekali, lebih penting dari masalah yang
lainnya".29 Urgensi pendidikan tersebut akan semakin jelas terlihat ketika
Natsir mengaitkannya dengan kemunduran dan kemajuan suatu bangsa. Hal itu
sebagaimana yang diungkapkannya; Maju atau mundurnya salah satu kaum,
bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku
dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi
maju, melainkan sesudahnya mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak
dan pemuda-pemuda mereka.30 Sebuah contoh yang kemudian disebutkan
Natsir saat itu adalah perbandingan antara Negara Jepang dengan Negara
Spanyol. Lebih jelasnya Natsir mengatakan; Bangsa Jepang, satu bangsa di
Timur yang sekarang jadi buah mulut orang seluruh dunia lantaran majunya,

28 M. Natsir, Capita Selecta 1 ......, h. 57.


29 M. Natsir, Capita Selecta 3, hal. 77.
30 M. Natsir, Capita Selecta 3......, h. 77
18

masih akan tinggal terus dalam kegelapan sekiranya mereka tidak mengatur
pendidikan bangsa mereka (sementara) Spanyol, satu negeri di benua Barat,
yang selama ini masuk golongan bangsa kelas satu, jatuh merosot ke kelas
bawah, sesudah enak dalam kesenangan mereka dan tidak mempedulikan
pendidikan pemuda-pemuda yang akan mengganti pujangga-pujangga bangsa
di hari kelak.31
Urgensi pendidikan juga didasarkan pada analisa Natsir bahwa Islam
memerlukan sekelompok orang yang memang menerjunkan dirinya secara
serius dibidang tersebut. Kelompok tersebut disebutkan dalam al Quran
sebagai ummat yang bertafaqquh fid din berdasarkan firman Allah dalam surah
At Taubah: 122.

Artinya: tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Dalam ayat memahami ayat di atas, M. Natsir mengatakan Ummat


Islam harus mempunyai satu golongan, satu corps, memusatkan perhatian dan
kegiatannya kepada menggali kebenaran-kebenaran yang tersimpan didalam
ajaran agama Islam dan memperlengkapi tubuh umat Islam dengannya.32

2) Manusia Sebagai Subjek Pendidikan


Dalam pandangan M. Natsir, manusia merupakan makhluk Allah yang
paling istimewa jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik jasmani
maupun rohani. Pada aspek jasmaniah, keistimewaan manusia bukanlah
difokuskan pada bentuk fisik lahiriah karena fisik akan selalu berproses dan
kembali ke asalnya menjadi tanah. Keistimewaan fisik lebih dominan pada

31 M. Natsir, Capita Selecta 3......, h. 77


32 Serial Media Dawah, No. 21, Tugas dan Peran Ulama, Dewan Dawah Islamiyah Indonesia
Pusat, h.12. Disampaikan dihadapan pertemuan Majelis Ulim Ulama Cihideung, Kec. Cimanuk,
Kabupaten Pandeglang, pada hari Senin, 2 Oktober 1972.
19

kemampuannya memfungsikan pancaindera untuk dapat menghubungkan


dirinya dengan alam luar sekelilingnya. Dengan demikian manusia
memungkinkan untuk dapat melakukan rekayasa alam untuk kelangsungn
hidupnya kearah yang lebih baik. Sedangkan dari segi ruhani, manusisa
memiliki ruh, akal, hati, dhomir (hati nurani) dan nafsu.33
Adapun menurut M. Natsir, ruh merupakan tabiat Ilahi yang berasal
dari alam arwah dan selalu berada dalam kesucian. Karena ruh tersebut bersifat
ruhaniah dan suci, maka setelah ruh ditiupkan Allah ke dalam jasad manusia ia
tetap dalam keadaan suci. Fungsi ruh bagi manusia adalah sebagai sumber
kehidupan dan sumber kemuliaan. Dalam pandangannya, manusia hanya
mampu memperhatikan gejala yang ditimbulkan ruh. Pendapat ini
didasarkannya pada firman Allah dalam Q.S. al-Sajdah: 9 yang berbunyi:

Artinya: Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh


(ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan
hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.

Disisi lain, adapun akal sebagai komponen ruhani menurut Natsir


merupakan daya berfikir yang terdapat di otak, fungsi akal adalah untuk dapat
berfikir memahami sunnatullah sekaligus mampu memecahkan masalah yang
dihadapi dalam realitas kehidupan manusia. Sedangkan hati merupakan daya
berfikir yang terletak pada jiwa manusia yang dapat merasakan keindahan dan
kebaikan. Menurut M. Natsir ada dua sumber pengetahuan yang dimiliki
manusia, yakni pengetahuan akal yaitu mengetahui yang baik dan yang buruk.
Sedangkan pengetahuan hati yaitu manusia dapat merasakan mana yang baik
dan mana yang buruk.34
Semua komponen ruhaniah, sebagaimana disebut diatas merupakan
kebutuhan esensial bagi manusia secara integral untuk mencapai tujuan
hidupnya. Jika terjadi ketimpangan, sehingga terkadang nafsu tidak lagi dapat
dikendalikan oleh dhomir, maka manusia akan jatuh pada derajat yang hina,

33 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Islam dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), ,h. 365
34 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan...,h. 365
20

bahkan lebih hina dari hewan. Sebagai ciptaan Allah yang suci, maka fitrah
setiap individu pada hakikatnya adalah suci, tidak ada dosa warisan terhadap
fitrah manusia tersebut, meskipun seorang individu terlahir dari kalangan
keluarga non Muslim. Baik atau buruknya seseorang baru dapat dinilai setelah
terjadi proses interaksi antara fitrah yang dimiliki dengan situasi lingkungan
yang mempengaruhinya.
3) Tanggungjawab Pendidikan Anak
Pendidikan anak dalam Islam, sesuai yang dipahami M. Natsir, pada
dasarnya adalah menjadi tanggung jawab ibu-bapak (orang tua). Hukumnya
fadlu ain. Karena anak, dalam pandangan Islam, adalah amanat bagi keduanya
yang harus dididik dan dipimpin. Keduanya bertanggungjawab atas anak-anak
mereka. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6).

Menurut M. Natsir, maksud ayat ini adalah: harus kita berikan kepada
anak dan istri kita didikan yang memeliharanya dari dari kesesatan dan
memberi keselamatan kepadanya di dunia dan akhirat. 35 Sabda Rasulullah
SAW: Tiada seorang bayipun yang lahir melainkan dilahirkan di atas fitrah.
Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau
Nashrani. (HR. Bukhari)
Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi
fardlu ain bagi orang tuanya, tapi juga menjadi fadlu kifayah bagi tiap-tiap
anggota dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali
Imran: 104

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.
35 M. NatsirCapita Selecta..., h. 55
21

Kaum muslimin wajib mengadakan satu kelompok yang mengadakan


pendidikan untuk anak-anak orang Islam, supaya pendidikan mereka tidak
digarap oleh orang-orang yang tidak sehaluan, tidak sedasar, tidak seiman, dan
tidak seagama. hal ini sesuai dengan perintah Allah SWT.

Artinya: sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat


mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki
yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan
perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-
Baqarah: 109).

Berdasarkan pandangan M. Natsir tentang kewajiban pendidikan anak,


terlihat ada isyarat tentang pentingnya kerjasama oang tua dan sekolah serta
masyarakat dalam pendidikan anak untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan bersama. Tanpa adanya kerjasama, sangat sulit apa yang dicita-
citakan itu dicapai. Hal ini, memberikan gambaran pada pelaku dan pengamat
pendidikan bahwa kegagalan dan keberhasilan pendidikan bukan hanya
ditentukan oleh satu komponen saja, akan tetapi tergantung pada komitmen dan
kompetensi yang dimiliki masing-masing kompoenen menjalan tugas dan
fungsinya dalam sebuah sistem pendidikan.
4) Peran dan Fungsi Pendidikan
Menurut M. Natsir ada enam rumusan tentang peran dan fungsi
pendidikan yaitu: Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan
tersebut dapat mencapai pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohani secara
sempurna. Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik
memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak karimah yang
sempurna. Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
menghasilkan manusia yang jujur dan benar. Keempat, pendidikan agar
berperan membawa manusia agar dapat mencapai tujuan hidupnya yaitu
menjadi hamba Allah Swt. Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan
manusia yang dalam segala prilaku atau interaksi vertikal maupun
horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Keenam, pendidikan
22

harus benar-benar mendorong sifat-sifat kesempurnaannyadan bukan


sebaliknya yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat-sifat kemanusiaan.36
Sehubungan dengan peran yang harus dimainkan oleh pendidikan
tersebut M. Natsir mencoba mengkritik kebijakan pemerintah Belanda dalam
bidang pendidikan. M. Natsir berpendapat bahwa salah satu usaha pemerintah
kolonial Belanda yang juga merupakan tantangan adalah apa yang dikenal
sebagai asimilasi yaitu upaya untuk mengajak golongan elite Indonesia agar
merasa dan menganggap sebagai orang Belanda yang sama-sama berkiblat ke
Den Haag, sehingga terlepas dari pandangan hidupnya sebagai bangsa
Indonesia yang memiliki budaya asli Indonesia. Murid-murid sekolah yang
otaknya brilliant dititipkan kepada keluarga Belanda atau keluarga yang
beragama Kristen. Salah satu korbannya adalah adalah Amir Syarifuddin yang
lahir sebagai anak Islam, namun kemudian menjadi seorang Kristen Protestan.
Lebih lanjut M. Natsir menekankan bahwa pendidikan juga harus bisa
melahirkan lulusan yang melepaskan ketergantungan kemudian dapat
menumbuhkan sikap inisiatif untuk mandiri. M. Natsir lalu berkomentar
bahwa khusus dalam bidang pendidikan pada zaman kolonial Belanda, kita
melakukan pembaharuan sistem pendidikan dengan jalan menyatukan pelajaran
agama dengan pelajaran umum yang diajarkan di sekolah-sekolah Belanda.
Selain itu memberantas ketergantungan kepada pemerintah kolonial yaitu
dengan adanya pendidikan keterampilan maka kita berusaha menumbuhkan
sikap mandiri.
Pandangan Natsir terhadap peran pendidikan tampak dipengaruhi oleh
pengalaman hidupnya dan situasi pendidikan pada masa penjajahan Belanda
yang cenderung memperbudak rakyat jajahannya. Natsir ingin agar pendidikan
dapat membebaskan manusia dari belenggu, tekanan dan intimidasi.
Pendidikan harus membuat manusia merdeka, bebas dari perbudakan dan
memiliki rasa percaya diri.
5) Tujuan Pendidikan

36 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh dalam Pembaruan Pendidikan..., h. 81.


23

Tujuan pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting dalam sistem


pendidikan Islam, dengan menetapkan tujuan yang ingin dicapai, berarti
sekaligus memberikan arah terhadap langkah-langkah strategis yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, serta membeeikan isyarat terhadap
cara atau metode untuk sampai ke arah yang ditargetkan itu.
M. Natsir berpandangan bahwa pendidikan pada hakikatnya dalah
merealisasikan idealitas Islam, pada intinya adalah menghasilkan manusia yang
beriman dan bertaqwa pada Allah SWT sebagai kekuasaan yang mutlak yang
harus ditaati. Ketaatan pada Allah SWT yang mutlak itu mengandung makna
menyerahkan diri secara total kepada Allah SWT, menjadikan manusia
menghambakan diri hanya kepada Allah SWT. Selanjutnya Natsir mengatakan
bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah,
berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia
dan membahagiakan di akhirat.
Menurut M. Natsir dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam,
hendaknya mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang
terbaik dan sebagai khalifah di muka bumi.37 sebagaimana diungkapkan oleh
al-Quran dalam surat adz-Dzariyat ayat 56:

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.
Ayat di atas, dijadikan M. Natsir sebagai argumentasi tentang petingnya
manusia memeliki ideologi sebagai persayaratan menjadi hamba Allah yang
sesungguhnya, dengan begitu, manusia akan menjadi hamba Allah SWT yang
menikmati keselamatan hidup di dunia dan kebhagian hidup di akhirat kelak.
Sebagaimana dikatakan M. Natsir:
seorang Islam di atas dunia dengan cita-cita kehidupan supaya
menjadi seorang hamba Allah SWT dengan arti yang sepenuhnya, yakni
hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenagan akhirat.
Dunia dan kahirat ini sama sekali bagi kaum muslimin tidak mungkin
dipisahkan dari ideologi mereka.38

37 Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam..., h. 83


24

Lebih lanjut M. Natsir menjelaskan bahwa perkataan menyembah-Ku


sebagaimana terdapat dalam potongan surat adz-Dzariyat tersebut di atas
menurut Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas, lebih luas dan dalam
dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan gunakan setiap hari.
Menyembah Allah itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada
semua perintah Ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan
di akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi
tercapainya kemenangan di dunia dan di akhirat itu.39
Menjadi hamba Allah yang sebenarnya menurut M. Natsir,tidak mudah,
akan tetapi haruslah disertai rasa takut, dan juga rasa harap, hal itu hanya ada
pada manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, hal semacam ini dipahami dari
isyarat al-quran Q.S Al-Fathir: 28:

Artinya: dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata


dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan
jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-
Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.

Dengan demikian, tujuan pendidikan menetapkan tujuan hidup. Tujuan


hidup seorang muslim adalah berserah diri kepada Allah. Inilah tujuan yang
pantas dan wajib dicantumkan oleh siapapun dalam memberikan pendidikan
kepada anak-anak. Natsir menjelaskan bahwa hakikat penghambaan kepada
Allah sebagai tujuan hidup juga menjadi tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu
penghambaan yang memberikan keuntungan kepada yang disembah, tetapi
penghambaan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah,
penghambaan yang memberikan kekuatan kepada yang memperesembahkan
dirinya itu. Penghambaan inilah yang merupakan tujuan hidup sekaligus tujuan
pendidikan yaitu menjadi orang yang mempersembahkan segenap ruhani dan
jasmaninya kepada Allah untuk kemenangan dirinya dalam arti yang seluas-
luasnya yang dapat dicapai oleh manusia. Itulah tujuan hidup manusia di atas

38 M. Natsir, Agama Dan Negara, dalam Muhammada Isa Anshary, Falsafah Perjuangan Islam,
(Medan, t.p., 1951), h. 261.
39 Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam..., h. 83
25

dunia. Tujuan tersebut haruslah ditananmkan pada saat memberikan pendidikan


kepada anak-anak kaum muslimin.
6) Landasan Ideologi/Dasar Pendidikan
Pada masa M. Nastir landasan pendidikan yang ada dipengaruhi oleh
padangan (worldview) barat, padangan barat ini masuk ke Indonesia pada masa
penjajahan kolonial. Pendidikan yang berkiblat pada pandangan dunia barat ini,
terdapat dua hal yang prinsip idak sesuai dengan pandangan Islam ,
diantaranya: 1) kepercayaan terhadap keberadaan tuhan tidak terlalu
diperhatikan, kalaupun keberadaan tuhan disadari, tetap saja tidak dianggap
memiliki signifikasi terhadap kehidupan, lebih jauh keberadaan tuhan tuhan
dapat dianggap mitos; dan bagi mereka yang benar-benar wujud hanyalah
materi,40 2) manusia bisa mengetahui cukup dengan mengandalkan indera dan
mempercayai intelek dan inderanya saja, ketepatan dan keakuratan mengebai
dunia dapat diraih dengan melakukan postulasi dan penalaran secara rasional
serta melakukan observasi dan eksperimen melalui alat indera. Metode santifik
atau lebih tepatnya metode deduktif-hipotesis merupakan satusatunya cara
terpercaya untuk mendapatkan pengetahuan ayau mencapai mana yang benar
dan mana yang salah.41
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka M. Natsir menyarankan
bahwa landasan pendidikan bagi ummat Islam adalah Tauhid. Keyakinan akan
Keesaan Allah akan menempa ketangguhan pribadi seseorang dalam
melaksanakan tugas kemanusiaannya sebagai hamba Allah maupun yang
beribadah kepada-Nya sebagai makhluk sosial yang mampu melaksanakan
kewajiban dengan penuh tanggung jawab demi kepentingan masyarakat.
Tauhid pada hakikatnya adalah landasan seluruh aspek kehidupan manusia
dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.
Selanjutnya M. Natsir menjelaskan bahwa ajaran tauhid
menisfestasinya adalah pembentukan kepribadian dan sasaran serta tujuan dari
pendidikan Islam itu sendiri. Pendidikan yang didasarkan oleh prinsip tauhid

40 Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, (Jakarta: AMP Press, 2014), h. 21-22
41 Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan ........, h. 21-22
26

dalam rangka menghambakan diri kepada Allah SWT, simpulnya terletak pada
syahadah, dan syahadah dari sisi pendidikan tidak lain adalah sutu pernyataan
pembebasan dari segala macam belenggu yang diciptakan oleh manusia
sendiri. Pendidikan dalam Islam adalah usaha berproses yang dilakukan oleh
manusia secara sadar dalam membimbing manusia menuju kesempurnaan
berdasarkan Islam.42
Menurut M. Natsir, sisi pertama dari Tauhid adalah memperkokoh
kesadaran batin manusia, menumbuhkan spritualitas yang mendalam dan juga
menjadi basis etika pribadi. Sedangkan sisi kedua dari tauhid adalah penekanan
pada kesatuan universal umat manusia pada umat yang satu,berdasarkan
persamaan, keadilan, kasih sayang, toleransi dan kesabaran. Jadi dalam konteks
kemanusiaan, Tauhid menegaskan konsep humanisme universal yang tanpa
batas, serta sumber dan rujukan didalam penyajian materi pendidikan kepada
anggota keluarga dan masyarakat yaitu ayat-ayat Al-quran dan hadis Rasul.43
Lebih lanjut M. Natsir mengibaratkan tauhid sebagai sebuah pisau yang
bermata dua.pada satu sisi dia menegaskan ke-Esaan Allah satu-satunya Zat
yang dipertuhankan oleh manusia, dan menjadi titik tolak bagi seorang muslim
dalam memandang hidupnya sebagai sesuatu dari Tuhan dan akan kembali
pada Tuhan, serta pemahaman bahwa manusia itu adalah hamba-hambanya
yang menjalani kehidupan yang sementara di dunia ini, maka tauhid membawa
implikasi-implikasi besar dalam kehidupan manusia.
Dalam kaitan ini M. Natsir menjelaskan satu peristiwa tragis yang
terjadi pada seorang professor yang bernama Profesor Paul Ehrenfest yang
membunuh diri setelah terlebih dahulu membunuh anaknya karena kecewa
anaknya tidak memiliki potensi intelektualnya yang sama dengan dirinya
walaupun sudah diupayakan pendidikannya. Sebelum ia bunuh diri dan
membunuh anaknya ia membuat surat kepada koleganya Profesor Kohnstamm
yang isinya adalah bahwa yang tidak ada pada nya hanyalah kepercayaan pada
Tuhan. Ia juga mengatakan bahwa agama itu perlu. Tetapi apabila tidak

42 Heri Nur Ali, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999), h. 65
43 Zakiah Derajat, Pembinaan Aklak Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h.182
27

memiliki agama, ia mungkin akan binasa karena itu, yakni bila ia tidak bisa
beragama.44 Kisah ini, menjelaskan bahwa pemujaan terhadap ilmu
pengetahuan semata-mata ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah dan
menyelamatkannya, bahkan membinasakannya karena tidak ada tempat
bergantung yang bersifat rohani. Oleh sebab itu perlu adanya keseimbangan
antara intelektual dengan spiritual dan antara jasmani dan rohani.45
Lebih lanjut M. Natsir menegaskan bahwa seseorang yang telah
tertanam nilai kebenaran tauhid akan berani hidup ditengah-tengah dunia,tapi
iapun berani mati untuk memberikan darmanya bagi kehakiman ilahi di akhirat.
Karena hidup dan matinya telah diperuntukkan bagi Allah Rabbul alamin.
Sebab konsep pendidikan yang mengandung tata nilai Islam merupakan
pondasi structural pendidikan Islam.46 Menurut M. Natsir pendidikan dengan
tauhid sebagai prinsip utama akan memberikan nilai tambah kepada manusia
dan menumbuhkan kepercayaan pada dirinya serta mempunyai pegangan hidup
yang benar. Bagi orang yang tidak menjadikan tauhid sebagai dasar pendidikan
dalam arti ia tidak memiliki pegangan hidup yang benar semakin lama ia
memperdalam ilmu, semakin hilang rasa tempat berpijak baginya.47
7) Pendidikan Integral
Pada masa M. Natsir telah berkembang sistem pendidikan di pesantren-
pesantren dan madrasah yang hanya dapat menghasilkan pelajar-pelajar yang
beriman dan berakhlak baik, tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Selain
itu wujud juga pendidikan ala barat yang dibawa oleh kaum penjajah. Sistem
ini hanya bertujuan untuk mengisi otak saja dengan mengosongkan jiwa. M.
Natsir , melihat bahwa pada satu pihak ada sekolah-sekolah agama tradisional
seperti pesantren dan surau-surau yang mengajarkan ilmu agama dan akhlak
utama, tetapi kurang memperhatikan pelajaran untuk hidup praktis di dunia.
Sebaliknya sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah
mengajarkan ilmu-ilmu untuk menguasai hidup di dunia dengan baik, tetapi

44Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan..., h, 86.


45 Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan, h. 78.
46 Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1993), h. 30.
47 Thohir Luth, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya...., h. 97.
28

tanpa disertai dengan pendidikan agama (Islam) yang memadai, sehingga


banyak lulusannya yang kemudian mengambil sikap netral agama. Juga
sekolah-sekolah swasta yang banyak didirikan pada waktu itu, umumnya tidak
atau kurang menganggap penting pendidikan agama Islam. Termasuk juga
sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi-organisasi Islam sendiri, karena
terlalu berpola kepada sekolah pemerintah.48
Melihat kenyataan yang demikian, M. Natsir mengadakan perbincangan
dengan gurunya yaitu ustadz A. Hassan dan temannya. M. Natsir lalu
mempersiapan sebuah sekolah yang bercorak baru, yang memiliki kurikulum
integral (terpadu) antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Beliau
berpandangan bahwa melalui pendidikan yang terpadu itu akan dapat merintis
jalan baru bagi pelajar-pelajar Islam yang bukan saja memahami dan dapat
menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan keduniaan, akan tetapi
mempunyai kebolehan menjadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Melalui sistem pendidikan yang terpadu itu beliau ingin menjadikan anak
didiknya sebagai intelek yang ulama dan ulama yang intelek. Menurut K.H
Rusyad Nurdin, salah seorang murid pendis angkatan pertama, tujuan
pendidikan pendis yang didirikan oleh M. Natsir ialah mencari alternatif dari
sistem pendidikan kolonial yaitu sistem pendidikan yang menitikberatkan
kepada pembentukan pribadi yang berdaya fikir berkesinambungan dengan
hati nuraninya, seimbang daya cipta dan taat tawakalnya kepada Allah
subhanahu wataala.49
Menurut M. Natsir, Pendidikan bukanlah bersifat parsial, pendidikan
adalah universal, ada keseimbangan (balance) antara aspek intelektual dan
spiritual, antara sifat jasmani dan rohani, tidak ada dikotomis antar cabang-
cabang ilmu. Itu lah yang dikatakan Natsir dalam bukunya Ulim Amri Syafri,
dengan tegas Natsir menolak teori dikotomi ilmu yang memisahkan antara ilmu
agama dan ilmu umum. dan menampik pandangan yang memisahkan antara

48 Ajip Rosidi Kabudayaan Islam dalam perspektif Sejarah (Jakarta: Girimukti Pusaka, 1988), h.
xix.
49 Abdurrahman, M. Natsir dan Sejarah Pemikiran Pendidikan di Indonesia, Tulisan dimuat pada
harian Haluan, Padang. Sabtu 21 Juli 2012.
29

pendidikan agama dan pendidikan umum. Karena menurutnya Dikotomi ilmu


agama dan ilmu umum adalah teori yang lahir dari rahim sekularisme. Maka
jika berbicara pendidikan Islam, didalamnya semua cabang ilmu pengetahuan,
tidak ada ilmu umum dan agama, baik apapun corak pendidikan tersebut.
M. Natsir memandang, yang terpenting dalam kehidupan seseorang
adalah terjaminnya suata hak berpendidikan, karena pendidikan menjadi
prasyarat kemajuan sebuah bangsa. Maju atau mundurnya suatu bangsa, salah
satu faktor utamanya adalah dilatar belakangi pendidikan.50 Dalam ijtihadnya
terhadap ilmu-ilmu keislaman, Natsir menginginkan suatu pendidikan yang
universal, integral dan harmonis yang terjadi di indonesia. Karena menurutnya,
integrasi ilmu pengetahuan yang kemudian di internalisasikan pada pendidikan
sudah merupakan ajaran langsung dari Al-Quran dan Hadith.51
Konsep pendidikan tersebut juga merupakan reaksi serta refleksi Natsir
terhadap kenyataan sosio historis yang ditemukan dalam masyarakat. Konsep
tersebut menurut Natsir ternyata tidak atau belum ditemukan dalam masyarakat
Islam dimanapun. Natsir menilai bahwa pendidikan yang dilaksanakan oleh
masyarakat Islam tidak sesuai dengan konsep pendidikan ideal yang dicita-
citakan Natsir. Konsep pendidikan yang ada adalah konsep pendidikan yang
bersifaat parokhial, diferensial, dikotomis, dan disharmonis. Bukan konsep
yang universal, integral, dan harmonis. Kondisi tersebut menurutnya
diakibatkan dunia Islam sekian lama berada dalam alam kegelapan didominasi
oleh pemikiran tasawuf dan berada dalam penjajahan Barat selama berabad-
abad.52
Konsep pendidikan integral sudah dicanangkan M. Nastsir sejak masih
menjadi pimpinan Yayasan Pedidikan Islam di Bandung yang programnya
dapat dicermati sebagai berikut:

M. Natsir , Capita Selecta ( Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, 1954), h. 57.
50 Ramayulis, Pemikiran M. Natsir tentang Pendidikan: Jurnal Keislaman dan Peradaban (Padang:
Hadharah, 2005), vol. 1 no. 1. h. 67
51 M. Natsir , Capita ..... h. 87.
52 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h.116
30

(1) Menyediakan kekurangan lembaga pendidikan bagi anak-anak


muslim, mengingat akan kehausan masyarakat terhadap pengajaran
semakin tinggi.
(2) Menagtur pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta didik
agar berdasarkan dan ber-ruh kepada Islam, baik secara teoritis
maupun dalam bentuk praktis.
(3) Mengatur segala proses pendidikan yang diberikan agar
menjaga peserta didik jangan sampai tergantung pada makan gaji
atau perbutuhan ketika menamatkan pendidikannya. Untuk itu,
ikhtiar yang harus dilakukan adalah membekalinya untuk dapat
bekerja dengan kemampuan sendiri.53

Konsepsi pendidikan yang diungkapkan M. Natsir tidak dapat


dilepaskan dari misinya untuk menyebarkan agama Islam, sebagai agama yang
universal. Islam bukan sekadar ajaran tentang tata hubungan antara manusia
dengan tuhan, melainkan suatu pandangan hidup dan sekaligus pegangan
hidup. Bersifat universal ini dapat dipahami bahwa Islam tidak mengenal batas-
batas negeri, negara, dan benua. Dengan demikian, kebenaran tidak mengenal
Barat dan Timur. Dengan demikian, tidak perlu ada pertentangan dalam ilmu,
apakah datangnya dari Barat ataupun dari Timur. Itulah sebabnya Rasulullah
tidak membatasi wilayah-wilayah tertentu bagi umatnya untuk mendapatkan
ilmu.
Menurut M. Natsir , pendidikan Timur dan Barat tidak dipertentangkan.
Sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia sendiri dan bersifat baru. Kedua
sistem pendidikan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu,
pendidikan yang islami adalah pendidikan yang mengambil yang baik dari
manapun datangnya dan menyingkirkan yang buruk dari manapun datangnya.
Pendapat ini memperkuat prinsip Natsir yang menyatakan bahwa pendidikan
Islam bersifat universal dan sekaligus integral dan harmonis. Menurut M.
Natsir , kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur
dengan penguasaan duniawi saja, akan tetapi sampai dimana kehidupan
duniawi memberikan aset kehidupan diakhirat kelak.54

53 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Telaah Sistem Pendidikan Islam dan
Pemikiran Para Tokohnya, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009). h. 380.
54 A. Susanto, Pemikiran Pendidikan....,h.120-121
31

Pemikiran M. Natsir di atas, merupakan kritikannya terhadap


pendidikan pada masa kolonial, yang menganaktirikan pendidikan Islam, Pada
permulaan abad ke-19, kemajuan sains dan teknologi modern memasuki dunia
Islam. Kontak dengan dunia Barat yang selanjutnya membawa ide-ide baru ke
dunia Islam pada akhirnya menimbulkan persoalan-persoalan baru. 55 Sistem
pendidikan Islam telah bercampur dengan sistem pendidikan Barat. Pada masa
penjajahan, sekolah-sekolah Islam dikategorikan sebagai sekolah liar.
Pemerintah kolonial memproduksi peraturan-peraturan yang membatasi dan
mematikan sekolah-sekolah partikelir, termasuk pesantren, seperti peraturan
Wilde Schoolen Ordonantie pada tahun 1933.56 Hooker dalam Syamsul
Kurniawan menulis bahwa pemerintah kolonial juga mengeluarkan peraturan
yang bernama ordonansi guru(ordonoansi 1905-1925) yang menyebutkan
bahwa izin tertulis untuk mengajar harus diberlakukan kepada Islam; bahwa
daftar mata pelajaran dan peserta didik harus diketahui; dan bahwa metode
pengawasan pemerintah juga harus dibuat.57
Ordonansi itu secara khusus dimaksudkan untuk membatasi gerakan
pendidik agama dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan
Islam. Dengan kata lain, pemerintah kolonial bersikeras, melalui berbagai
kebijakannya menolak peranan Islam dalam kehidupan publik. Akibat
kebijakan diskriminatif tersebut, pendidikan Islam menghadapi kesulitan-
kesulitan dan bahkan terisolasi dari arus modernisasi.58
8) Kurikulum Pendidikan
Konsep dasar dari kurikulum yang dijalankan oleh M. Natsir adalah
konsep pendidikan yang integral, universal dan harmonis. Konsep pendidikan
yang integral ini maksudnya adalah pendidikan yang tidak mengenal dikotomi
antara pendidikan umum dan agama, antara urusan dunia dan akhirat, dan
antara badan dan roh. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan kurikulum

55 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan., (Jakarta: Bulan
Bintang, 1992), h.11
56 H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 169.
57 Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam dalam
Pemikiran Soekarno, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2009), h. 21.
58 H. A. R. Tilaar, pardigma Baru.....,, h. 169-170.
32

yang sesuai dengan visi tersebut, yaitu kurikulum yang selain berisi ilmu-ilmu
fiqih, ushul fiqih, dan tafsir, juga berisi ilmu pengetahuan yang mencakup ilmu
bumi, ilmu falak, ilmu hitung, ilmu sejarah, ilmu jiwa, kedokteran, pertanian,
biologi, sosiologi, dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan
manusia dalam rangka mempertinggi derajatnya. Semua ilmu duniawi dan
ukhrawi disatukan menjadi ilmu pengetahuan yang bulat, karena semua ilmu
pengetahuan pada hakikatnya berasal dari Allah SWT.59
Penguasaan terhadap bahasa asing, terutama Inggris, Belanda dan Arab
sangat ditekankan oleh M. Natsir. Dalam salah satu artikelnya M. Natsir
memberikan judul Bahasa Asing Sebagai Alat Pencerdasan dengan sub judul
Pembuluh Kebudayaan Bagi Indonesia. Tetapi ia tetap menjunjung tinggi
bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu.60 M. Natsir memberikan ilustrasi
bagaimana kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh anak didik setidaknya
pada tingkat Perguruan Tinggi. Di samping membaca Hadhirul Alamil Islamy
karya Syakib Arsalan, ia menganjurkan juga buku yang sepadan dengannya
yaitu The New World of Islam karya Lothrop Stoddard, di samping membaca
Mukaddimah Ibn Khaldun juga membaca History of Civilisation karya
Buckles.
9) Metode Pendidikan Islam
Menurut M. Natsir pendidikan dilakukan dengan metode yang tepat dan
efektif dengan kata-kata yang menyejukkan dan menimbulkan kesan yang
mendalam serta senantiasa diingat oleh anak-anak.61 Dengan menggunakan
kurikulum pendidikan yang integral maka proses transformasi ilmu pada
peserta didik dapat ditempuh melalui tiga tingkatan yaitu: metode hikmah,
mauidzah dan mujadalah. Ketiga metode tersebut bersifat landasan normatif
dan diterapkan dalam tataran praktis yang dapat dikembangkan dalam berbagai
model sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi peserta didik. Dari ketiga

59 Abuddin Nata, pemikiran Tokoh........., h. 88.


60 M. Natsir , Capita Selecta ......., h. 105-106.
61Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan..., h. 88.
33

metode tersebut Natsir menukil pendapat Syaikh Muhammad Abduh yang


membagi dalam tiga golongan yaitu:
a) Terhadap golongan cendikiawan yang cinta kebenaran, sudah
dapat berfikir secara kritis dan cepat serta dapat pula menangkap
makna sebuah persoalan. Terhadap mereka tersebut semestinya
dipergunakan metode hikmah yaitu memberikan argumentasi
dengan dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh akal.
b) Terhadap golongan awam yakni orang kebanyakan yang belum
mampu berpikir kritis dan mendalam belum dapat menangkap
pengertian yang tinggi. Mereka tersebut harus didekati dengan
metode mauizatun hasanah, yaitu dengan anjuran dan didikan
yang baik-baik dan mudah dipahami.
c) Terhadap golongan menengah yang tingkat kecerdasannya
antara ke dua tingkat sebagaimana disebutkan di atas, ia belum
dapat dicapai dengan metode hikmah dan tidak sesuai pula
dengan mauizah tetapi dihampiri dengan metode mujadalah
billati hiya ahsan, yaitu dengan bertukar pikiran secara diologis
guna mendorongnya supaya bisa berpikir sehat. 62

Dalam pandangan Natsir, dari beberapa metode yang diungkapkan di


atas, terlihat metode hikmah lebih berorientasi pada kecerdasan dan
keunggulan. Metode ini memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi
kemampuan memilih saat yang tepat untuk melangkah, mencari kontak dalam
alam pemikiran guna dijadikan titik bertolak, kemampuan memilih kata dan
cara yang tepat, sesuai dengan pokok persoalan, sepadan dengan suasana
serta keadaan orang yang dihadapi. Natsir menambahkan bahwa implikasi
metode hikmah ini akan menjelma dalam sikap dan tindakan.63
Metode-metode tersebut di atas sesuai dengan firman Allah Taala
dalam surat an Nahl ayat: 125:

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. An Nahl:125).

62Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam....., h. 379.


63 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam..., h. 379.
34

Tafsiran ayat di atas menurut M. Natsir memiliki beberapa kategori.


Pertama, hikmah dalam arti mengenal golongan, yaitu bagaimana seorang
dai dalam hal ini pendidik menyikapi corak manusia (peserta didik) yang
akan dijumpainya. Masing-masing golongan manusia harus dihadapi oleh
yang sepadan dengan tingkat kecerdasan, sepadan dengan alam fikiran dan
perasaan serta tabiat masing-masing. Ayat di atas mengandung petunjuk
pokok bagi Rasul dan para muballighin tentang bagaimana cara
menyampaikan dawah kepada manusia yang berbagai jenis itu. Kedua,
mauidzah al-hasanah dan mujadalah bi al-lati hiya ahsn, menurut M. Natsir
lebih banyak mengenai bentuk dawah, yang juga dapat dipakai dalam
menghadapi semua golongan menurut keadaan, ruang dan waktu. Bentuk
mujadalah, bertukar fikiran berupa debat, bisa dan tepat juga dipakai dalam
menghadapi golongan cerdik pandai; bertukar fikiran berupa soal jawab yang
mudah dapat dipakai juga dalam menghadapi golongan awam. Semua
golongan ini memiliki unsur akal dan unsur rasa. Yang berbeda-beda ialah
saat, keadaan dan suasana.64
10) Keteladanan Guru.
Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu
bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk
kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat
itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun.
Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat
pembuka: Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya
tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan kalimat tersebut
merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang
pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari
ungkapan itu M. Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar
pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai
pos.

64 Saeful Rokhman, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir, diunduh tanggal 7
Januari 2016. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-terhadap-buku-fiqhud-dawah.html.
35

Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal


pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh
zaman, tapi sayang jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki
landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan
madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia,
tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan
keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.
11) Fungsi Bahasa Asing
Menurut M. Natsir, dengan berbahasa Indonesia berarti telah
mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaan sendiri. dikarenakan bahasa bagi
seluruh bangsa adalah sebuah tulang punggung dari sebuah kebudayaan suatu
bangsa. Sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa, bahasa Ibunya
sendiri. Bahasa yang bersangkut paut dan tak dapat diceraikan dari aliran
berfikir. Untuk itu Natsir mengutip L. Weisgeber dalam kitabnya
Mutterspacha and Geisterbildung (1920): Kultur salah satu bangsa berdiri
atau jatuh dengan bahasa bangsa itu sendiri. Ini semua tidak berarti bahwa
untuk kemajuan dan kecerdasan bangsa kita, yakni kecerdasan yang lebih
luas, kita sudah memadakan saja dengan bahasa kita itu sendiri. Kemajuan
berfikir, bergantung sangat kepada keluasan medan yang mungkin dikuasai
oleh bahasa yang dipakai. Dan apabila suatu bahasa seperti bahasa Indonesia,
masih berada pada tingkat seperti sekarang, dan belum pula cukup
kekayaannya untuk mengutarakan bermacam-macam pengertian yang
manawi, maka bahasa itu sendiri akan menjadi kurungan yang membatasi
ruang-gerak kita dalam menuju kecerdasan umum yang lebih luas. Yaitu
sekiranya kita puaskan diri dengan sekedar mengetahui bahasa kita sendiri itu
saja. Bentuk dan bangunan fikiran suatu bangsa berjalin rapat dan boleh
dikatakan terpaksa menurut bentuk dan bangun yang diizinkan oleh kekayaan
bahasa bangsa itu. Daerah kita untuk berfikir dibatasi oleh luas atau
sempitnya daerah bahasa itu pula.65

65 Ajib Rosyidi, M Natsir Sebuah Biografi......., h. 208-209.


36

Meskipun mempertahankan bahasa sendiri sangtlah penting, Natsir


juga mengatakan kalau bahasa asing juga sangat penting dipelajari untuk
menjerdaskan suatu bangsa dalam mengetahui istilah-istilah dan ilmu
pengetahuan yang masih belum diketahui oleh ilmuan-ilmuan dari lokal.
Dalam bukunya Capita Selekta, Natsir mengatakan: Kalau kita disini
mengatakan bahasa asing, galibnya kita ingat kepada bahasa Belanda,
Inggris, Prancis, Djerman atau lain-lain. Dan memang bahasa Belanda,
bahasa Inggris dan sebagainya itu banyak jasanya bagi kecerdasan kita
bangsa Indonesia. Ini tidak kita mungkiri ! Akan tetapi jangan kita lupakan
bahwa sebelum bahasa Belanda, menjadi penghubung dengan dunia luar
sebelumnya bahasa Inggris mulai dipelajari dikalangan bangsa kita, kita di
Indonesia sudah berpuluh tahun terlebih dahulu mempunyai satu bahasa
perhubungan, jembatan yang memperhubungkan kita dengan sumber
kebudayaan dunia luar, yaitu: bahasa Arab.66 M. Natsir sendiri diketahui
menguasai berbagai bahasa asing, seperti Inggris, Belanda, Prancis, Jerman,
Arab, dan Esparanto.

D. PENUTUP
Berdasarkan uraian diatas, dimulai dari riwayat hidup, pemikiran beserta
karya-karya M. Natsir, sebagaimana dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. M. Natsir merupakan tokoh nasional dan internasional yang memiliki
integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan
negara dengan menjadi Islam sebagai landasan motivasi perjuangannya. Hal
terlihat dari berbagai profesi yang dilakoninya, baik sebagai pejabat
pemerintahan, pendidik, juru dakwah, pimpinan organisasi, anggota DPR
selalu mengedapankan nilai-nilai yang terkandung dalam al-quran dan hadis.
2. M. Natsir sebagai seorang negarawan atau politikus yang handal, ia
memiliki kesadaran bahwa maju mundurnya suatu bangsa tergandung kualitas
pendidikan bangsa itu sendiri. Pendidikan merupakan sarana strategis dalam
66M. Natsir, Capita Selekta, ......, h. 132.
37

untuk memberdayakan anak bangsa, khususnya umat Islam, agar ia menjadi


hamba Allah, mampu menolong dirinya sendiri, dan pada saat yang sama ia
mampu memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.
3. M. Natsir sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, M. Natsir selain
menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang
pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan
pelaku pendidikan yang terbukti cukup berhasil.
4. Gagasan M. Natsir sebagai arsitek pendidikan, ia melihat bahwa
langkah-langkah strategis untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan,
diantaranya: pertama, mengubah sistem pendidikan dikotomis kepada sistem
pendidikan integrated antara ilmu-ilmu agama dan umum, kedua, kurikulum
yang dikembangkan adalah kurikulum integrated dan sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga,
mempersiapkan tenaga pengajar guru yang memiliki komitmen yang kuat,
memiliki pengetahuan yang luas dan tidak dikotomis, serta menguasai bahasa
asing.
5. Gagasan dan pemikiran M. Natsir tampak dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan faktor internal adalah
kecerdasan, karakter dan kepribadian yang sedemikian kuat, tabah dan rela
berkorban, serasi antara konsep dan perbuatannya. Dan yang dimaksud dengan
faktor eksternal adalah kondisi lingkungan keluarga, pendidikan dan keadaan
masyarakat. M. Natsir orang yang merasakan pendidikan Belanda yang dirasa
sekuler, lebih mementingkan kehidupan duniawi, dan ia juga menyaksikan dan
mengalami pendidikan agama yang terlalu berorientasi pada kehidupan
ukhrawi.
38

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta:


Raja grafindo Persada, 2005.

Abdurrahman, M. Natsir dan Sejarah Pemikiran Pendidikan di Indonesia, Tulisan


dimuat pada harian Haluan, Padang. Sabtu 21 Juli 2012.

A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009).

Ajip Rosidi, M. Natsir, Sebuah Biografi, Cet. I, (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1990).

--------------- Kabudayaan Islam dalam perspektif Sejarah (Jakarta: Girimukti


Pusaka, 1988).

Akhmad Alim, Tafsir Pendidikan Islam, (Jakarta: AMP Press, 2014).

Anwar Harjono, dkk, Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, (Jakarta:


Pustaka Firdaus, 2001),

Badru Tamam: Konsep Pendidikan M. Natsir , Diakses tanggal 17/12/2015 dari,


(http://www.voa-islam.com).

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,


(Jakarta: Bulan Bintang, 1992).

H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000).

Heri Nur Ali, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Lukman Hakiem, M. Natsir Di Panggung Sejarah Republik, Jakarta: Republika,


2008).

M. Natsir, Capita Selecta ( Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, 1954).

-----------, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Dakwah,
2001.

-----------, Tulisannya dalam kolom Pesan Mimbar pada Suara Masjid, Edisi Maret
1993.

Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1993).

Muhammada Isa Anshary, Falsafah Perjuangan Islam, (Medan, t.p., 1951),


39

Ramayulis, Pemikiran M. Natsir tentang Pendidikan: Jurnal Keislaman dan


Peradaban (Padang: Hadharah, 2005), vol. 1 no. 1.

Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh
Pendidikan di Dunia Islam dan Indonesia, Cet. I, Ciputat: Quantum Teaching,
2005.

--------------, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Reihin, Kepemimpinan Mohammad Natsir Di Dewan DaWah Islamiyah Indonesia


(1967-1993), Jurnal al-Bayan Vol. 19, No. 28, juli-desember 2013.

Saeful Rokhman, Analisa Terhadap Buku Fiqhud Dakwah Karya M. Natsir, diunduh
tanggal 7 Januari 2016. http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/analisa-
terhadap-buku-fiqhud-dawah.html.

Sampul Luar Fiqh Dawah , Tulisan Muhammad Natsir, Penerbit Capita Selecta dan
Media Dawah karta, 2008.

Serial Media Dawah, No. 21, Tugas dan Peran Ulama, Dewan Dawah Islamiyah
Indonesia Pusat.

Syamsul Kurniawan, Pendidikan di Mata Soekarno: Modernisasi Pendidikan Islam


dalam Pemikiran Soekarno, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Group, 2009).

Thohir Luth, M. Natsir , Dakwah dan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Inasani Press,
1999).

100 Tahun Muhammad Natsir, Berdamai dengan Sejarah (Jakarta Selatan:


Republikan, 2008).

Zakiah Derajat, Pembinaan Aklaq Remaja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975).

Anda mungkin juga menyukai