Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif


a. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif
Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan model
pembelajaran yang menggabungkan pandangan konstruktivisme dari Piaget &
Vygotsky dan pandangan metakognitif dari Flavel. Menurut Prayitno (2014),
penerapan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif secara parsial dinilai
tidak berpengaruh maksimal terhadap pemberdayaan kemampuan berpikir dan
kemandirian belajar perserta didik. Misalnya, pengembangan model pembelajaran
berbasis konstruktivis dengan menghilangkan karakter strategi metakognitif
menyebabkan kemandirian belajar perserta didik tidak terberdayakan dengan
maksimal. Sebaliknya, menghilangkan karakter konstruktivis menyebabkan
pemberdayaan kapasitas berpikir perserta didik kurang optimal.
Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan pembaharuan
dalam pembelajaran biologi. Model pembelajaran ini merupakan salah satu model
pembelajaran yang berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir kritis peserta
didik. Model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif berorientasi pada
pembelajaran yang memberdayakan kapasitas berpikir dan kemandirian belajar
peserta didik. Menurut Prayitno (2014), model pembelajaran berbasis
konstruktivis-metakognitif dapat melatih kemampuan berpikir peserta didik
karena model pembelajaran ini menuntut peserta didik belajar mengkonstruksi
konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan
eksperimen.
Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan gabungan
antara model pembelajaran yang berbasis konstruktivis dan berbasis metakognitif.
Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Menurut Prayitno (2014), model
pembelajaran berbasis konstruktivis memandang belajar adalah proses
mengkonstruksi pengetahuan dan bukan proses menghafal pengetahuan. Karakter
7
8

konstruktivis menuntut perserta didik mampu merumuskan hipotesis, menguji


hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan masalah, berdialog, meneliti,
mencari jawaban, mengekspresikan gagasan, mengungkap pertanyaan, dan
merefleksi diri. Sedangkan karakter metakognitif menuntut perserta didik terampil
mengendalikan aktivitas belajarnya, sehingga perserta didik mampu
merencanakan, memantau, dan mengevaluasi tujuan pembelajarannya secara
mandiri.

b. Karakteristik Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif


Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif memiliki karakteristik
khusus jika dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Model
pembelajaran konstruktivis-metakognitif memiliki karakteristik gabungan dari
karakter konstruktivis dan karakter metakognitif. Karakter konstruktivis mengarah
pada proses kemandirian peserta didik dalam pembentukan konsep belajarnya.
Sedangkan karakter metokognitif mengarah pada proses kapasitas berpikir peserta
didik sehingga mampu mengendalikan aktivitas belajarnya. Sehingga model
pembelajaran konstruktivis-metakognitif mengarah pada pemberdayaan kapasitas
berpikir dan kemandirian belajar peserta didik. Model pembelajaran konstruktivis-
metakognitif menghasilkan proses pembelajaran yang dapat menuntut peserta
didik untuk mengonstruksi sendiri konsep yang dipelajari dan mampu mengatur
proses belajarnya secara mandiri dalam kegiatan perencanaan, pengujian,
pemantauan dan evaluasi.

c. Landasan Teoritis Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif


1) Karakteristik Pembelajaran Konstruktivis
Pembelajaran konstruktivis tergolong dalam proses pembelajaran aktif
(active learning). Hal ini karena pembelajaran konstruktivis menuntut peserta
didik untuk ikut terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran
konstruktivis adalah pembelajaran yang berbasis pada paradigma konstruktivisme
(Mudjiman, 2006). Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran
yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang
9

dipelajari. Berbeda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar


sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme
lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan
pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan
pengalaman yang dilakukan.
Konstruktivisme sebagai teori belajar (learning theory) dikembangkan
oleh Piaget, Vygotsky dan Bruner. Pemikiran Piaget dan Vygotsky merupakan
aliran konstruktivisme. Piaget memiliki kecenderungan bahwa individu
membentuk makna (meaning) melalui proses di dalam diri. Sementara itu,
Vygotsky memiliki kecenderungan bahwa individu membentuk makna melalui
proses interaksi sosial.
Teori Piaget berasaskan pada premis, apabila individu bekerjasama atas
presekitarnya, konflik sosio-kognitif akan berlaku dan akan mewujudkan
ketidakseimbangan kognitif dan seterusnya mencetuskan perkembangan kognitif.
Teori Vygotsky berdasarkan pada premis bahwa pengetahuan terbina melalui
interaksi kumpulan dalam menyelesaikan masalah. Kedua teori di atas menjadi
titik tolak dalam memahami teori konstruktivisme dalam pembelajaran.
Menurut Dahar (1989) Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama
menegaskan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran.
Sebagaimana Suparno (2001) menjelaskan bahwa asimilasi dapat dipandang
sebagai suatu proses kognitif untuk mendapatkan dan mengklasifikasikan kejadian
atau rangsangan yang baru ke dalam skema yang telah ada. Proses asimiliasi tidak
menyebabkan perubahan skema awal yang telah dimiliki oleh peserta didik,
namun berupa perkembangan skema awal menjadi lebih luas. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi, 1988).
Pengertian tentang akomodasi yang lain menurut Suparno (2001) adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan
baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu. Ada saatnya ketika pengalaman baru yang diterima oleh peserta didik sama
10

sekali tidak cocok dengan skema yang telah ia miliki. Sehingga dalam kondisi ini,
peserta didik akan mengadakan proses akomodasi. Proses akomodasi dapat
dilakukan dengan cara membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan
baru atau dengan memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu. Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa
peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan
lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme
sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher &
Cooper, 1998).
Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat
membantu peserta didik dalam mencapai perkembangan potensialnya seperti yang
dikemukakan oleh Vygotsky. Berdasarkan teori Vygotsky, diperoleh tiga hal
utama yang berkaitan dengan pembelajaran yakni : (1) pembelajaran efektif
mengarah pada perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan berhasil
dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran efektif
berfokus pada upaya membantu peserta didik untuk mencapai potential
development mereka (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI, 2007). Ada dua
konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 2008), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial. Kemampuan pemecahan masalah ini dilakukan di bawah
bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan untuk belajar dan
memecahkan masalah oleh guru kepada peserta didik selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah peserta didik dapat
melakukan sendiri (Slavin, 2008).
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli
psikologi belajar kognitif. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia
11

sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Bruner menganggap, bahwa


belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru,
transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
Pandangan terhadap belajar yang disebutnya sebagai konseptualisme instrumental
itu, didasarkan pada dua prinsip, yaitu pengetahuan orang tentang alam didasarkan
pada model-model mengenai kenyataan yang dibangunnya, dan model-model itu
diadaptasikan pada kegunaan bagi orang itu.
Menurut Bruner dalam Suardi (2015), dalam proses belajar ada tiga
tahapan, yaitu:
a) Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau
pengalaman baru dimana dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi
yang berfungsi sebagai penambahan pengetahuan yang lama, memperluas dan
memperdalam dan kemungkinan informasi yang baru bertentangan dengan
informasi yang lama.
b) Tahap tansformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis
pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk yang baru yang
mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, yaitu informasi harus dianalisis
dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konsetual
agar dapat digunakan dalam hal lebih luas.
c) Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap
ke dua benar atau tidak. Evaluasi kemudian dinilai sehingga diketahui mana-
mana pengetahuan yang diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk
memahami gejala-gejala lain.

Keterkaitan antara teori belajar Piaget, Vygotsky dan Bruner dengan


model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif yaitu:
a) Teori Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran
anak melalui asimilasi dan akomodasi, sejalan dengan prinsip model
Konstruktivis-Metakognitif yaitu dalam salah satu tahapan sintaks yang
berupa proses aktivasi skemata awal, pembentukan konflik kognitif dan
pengkonstruksian konsep. Dalam tahapan aktivasi skemata awal ini peserta
12

didik menyampaikan pengetahuan awal yang telah ia miliki sebelumnya.


Selanjutnya dalam tahapan pembentukan konflik kognitif akan timbul
perbedaan pengetahuan awal peserta didik, baik berupa kurangnya
kemantapan pengetahuan awal peserta didik maupun adanya perbedaan
prinsip sehingga peserta didik mulai mengadakan proses asimilasi maupun
akomodasi. Dalam proses asimilasi dan akomodasi dapat dilakukan dengan
pelaksanaan tahapan sintaks pengkonstruksian konsep dalam bentuk
kegiatan diskusi dan eksperimen.
b) Teori Vygotsky yang menyatakan bahwa pembelajaran yang efektif harus
mengarah pada perkembangan peserta didik yang dikembangkan melalui
proses pemecahan masalah dalam upaya membantu peserta didik untuk
mencapai potential development mereka. Proses perkembangan ini dapat
dilakukan dengan proses scaffolding. Hal ini sejalan dengan prinsip model
Konstruktivis-Metakognitif yang dapat dilihat dalam tahapan sintaks
perencanaan pengkonstruksian konsep, pengkonstruksian, pemantauan dan
evaluasi konsep. Dalam tahapan ini, peserta didik melakukan kegiatan
diskusi dan eksperimen dalam rangka proses pemecahan masalah. Ketika
proses diskusi berlangsung, guru melakukan scaffolding kepada peserta
didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan
dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah peserta didik dapat melakukan sendiri.
c) Teori Bruner yang menyatakan bahwa belajar itu meliputi tiga proses
kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan
menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan prinsip
model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif yang dapat dilihat dari
seluruh tahapan sintaks pembelajaran. Tahapan sintak model pembelajaran
ini telah mencerminkan adanya pemerolehan informasi baru oleh peserta
didik yang muncul pada tahapan konflik kognitif. Selanjutnya transformasi
pengetahuan dan pengujian relevansi pengetahuan dapat terlaksana melalui
kegiatan diskusi dan eksperimen pembuktian dalam tahapan sintaks
13

perencanaan pengkonstruksian konsep, pengkonstruksian, pemantauan dan


evaluasi konsep.
Menurut Siregar (2011), ciri-ciri pembelajaran konstruktivis adalah
sebagai berikut:
a) Orientasi, yaitu perserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan
motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan
observasi.
b) Elisitasi, yaitu perserta didik mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi,
menulis, membuat poster dan lain-lain.
c) Restrukturisasi ide, yaitu klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun
ide baru mengevaluasi ide baru.
d) Penggunaan ide baru pada berbagai situasi, yaitu ide atau pengetahuan yang
telah terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.
e) Review, yaitu dalam mengaplikasikan pengetahuan dan gagasan yang ada
perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah penambahan
pengetahuan baru dilakukan oleh peserta didik sendiri.
Driver dan Bell sebagaimana dikutip oleh Isjoni (2009) mengemukakan
prinsip-prinsip konstruktivisme dalam pembelajaran, yaitu: (a) hasil pembelajaran
tidak hanya tergantung dari pengalaman pembelajaran di ruangan kelas, tetapi
tergantung pula pada pengetahuan belajar sebelumnya, (b) pembelajaran adalah
mengkonstruksi konsep-konsep, (c) mengkonstruksi konsep adalah proses aktif
dalam diri pelajar, (d) konsep-konsep yang telah dikonstruksi akan dievaluasi
untuk diterima atau ditolak, (e) yang paling bertanggung jawab terhadap cara dan
hasil pembelajaran adalah peserta didik , dan (f) adanya pola terhadap konsep-
konsep yang dikonstruksi peserta didik dalam struktur kognitifnya.

2) Karakteristik Metakognisi
Metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell di awal tahun
1970. Metakognitif merupakan pengetahuan tentang kognisi secara umum dan
kesadaran akan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri. Wellman (1985)
menyatakan bahwa metakognisi adalah suatu bentuk kognisi yang merupakan
14

proses berpikir urutan kedua atau lebih tinggi yang melibatkan pengendalian aktif
dari proses kognitif. Sehingga dapat didefinisikan sebagai berpikir tentang
berpikir atau kognisi seseorang tentang kognisi.
Flavell (1979), menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan
(knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif seseorang
dalam proses belajarnya. Menurut Stewart dan Landine dalam Ellis (2009),
metakognisi merupakan suatu konsep psikologi kognitif yang fokus pada
pastisipasi aktif peserta didik didalam proses berfikirnya. Sedangkan Moore
(2004) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada pemahaman peserta didik
tentang pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang
pengetahuannya akan mencerminkan penggunaannya yang efektif atau uraian
yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan-kognisi adalah kesadaran peserta didik tentang apa yang
sesungguhnya diketahuinya dan regulasi-kognisi adalah bagaimana peserta didik
mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif. Karena itu, pengetahuan-kognisi
memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedang regulasi-
kognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi, monitoring (pemantauan),
pengujian, perbaikan (revisi), pengecekan (pemeriksaan), dan evaluasi.
Berdasarkan beberapa pengertian metakognitif beberapa ahli tersebut
disimpulkan bahwa metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita
sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.
Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan
kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat
diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Pendapat Flavell (1979) yang diperkuat oleh Anderson dan Karthwohl
(2010), deskripsi metakognisi yang meliputi pengetahuan dari strategi,
pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, dan kognisi diri dari peserta didik.
Ketiga jenis komponen tersebut merupakan komponen penting dari proses
pembelajaran.
Desoete (2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen
pada penyelesaian masalah dalam pembelajaran, yaitu: pengetahuan metakognitif,
15

keterampilan metakognitif, dan kepercayaan metakognitif. Namun, komponen


metakognisi saat ini sering dibedakan menjadi pengetahuan metakognisi dan
keterampilan metakognisi. Pengetahuan metakognitif mengacu kepada
pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional
seseorang pada penyelesaian masalah. Sedangkan keterampilan metakognitif
mengacu kepada keterampilan perencanaan (planning skills), keterampilan
monitoring (monitoring skills), keterampilan evaluasi (evaluation skills) dan
keterampilan prediksi (prediction skills).
Kemampuan metakognisi dapat dilatihkan melalui pembelajaran berbasis
kognitif. Menurut Peters (2012), terdapat hubungan kuat antara metakognisi
dengan pembelajaran berbasis kognitif. Pembelajaran berbasis kognitif dapat
memberdayakan kemampuan metakognisi, karena pembelajaran berbasis kognitif
menuntut peserta didik menemukan dan mengkonstuksi sendiri pengetahuan.
Kegiatan menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan mengantarkan
peserta didik mengetahui posisi kognisinya dalam mengkonstruksi pengetahuan,
akibatnya kemampuan metakognisi peserta didik dapat terlatihkan melalui
kegiatan refleksi diri, merencanakan kembali, memantau ulang, dan mengevaluasi
kembali hasil belajarnya (Prayitno, 2014).

3) Kolaborasi Karakteristik Konstruktivis dan Metakognitif


Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif merupakan bentuk
kolaborasi dari pendekatan konstruktivis dan metakognitif yang menghasilkan
perpaduan prinsip dari kedua pendekatan tersebut. Teori konstruktivisme
merupakan pemahaman bahwa pengetahuan, ide, atau konsep yang baru dibina
secara aktif berdasarkan kepada pengalaman sendiri dan pengetahuan yang
sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Ide atau konsep yang diterima
diperoleh berdasarkan pengalaman sendiri (kontekstual), interaksi sosial dan
lingkungan yang diselaraskan melalui proses metakognitif peserta didik. Prinsip
yang paling penting dalam konstruktivisme adalah guru tidak boleh semata-mata
memberikan pengetahuan kepada peserta didik namun peserta didik harus
membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri.
16

Konsep metakognitif menuntut peserta didik dapat mengidentifikasi gaya


belajar yang sesuai untuk diri sendiri, serta memonitor dan meningkatkan
kemampuan belajar dengan cara merangkum, membaca, mendengarkan, diskusi
dan belajar kelompok. Selain itu, peserta didik dapat membuat keputusan,
memecahkan masalah serta memadukan hubungan-hubungan pengetahuan
sebelumnya dengan pengetahuan yang baru dipelajarinya.
Perpaduan kedua unsur konstruktivis dan metakognitif dalam model
pembelajaran konstruktif-metakognitif diharapkan dapat melatih kemandirian
peserta didik didalam mengonstruksi konsep belajar dan melatih kapasitas berpikir
peserta didik sehingga mampu mengendalikan aktivitas belajarnya.

d. Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif


Prayitno, (2014) menggabungkan kelebihan konsep belajar konstruktivis
dan metakognitif menjadi tahapan sintaks model pembelajaran konstruktivis-
metakognitif. Sintaks model pembelajaran konstruktivis-metakognitif terdiri dari
tujuh tahap. Tujuh tahap model pembelajaran tersebut yaitu:

1) Tahap 1: Pembentukan Kelompok Kolaboratif


Tahap pembentukan kelompok belajar kolaboratif mengelompokkan
peserta didik dalam tim-tim dengan anggota kurang lebih 5 orang dengan
kemampuan akademik yang heterogen. Heterogenitas kemampuan peserta didik
dalam kelompok ini dimaksudkan agar proses scaffolding melalui teman sebaya
terfasilitasi dengan baik. Pembentukan kelompok heterogen ini juga berfungsi
untuk menghindari peserta didik yang cenderung memilih peserta didik lain yang
setara dengan mereka sehingga membentuk strata kognitif yang tidak seimbang.
Selain itu, untuk meminimalisir adanya dominasi oleh peserta didik yang pandai
disusunlah sistem penilaian kelompok yang mempertimbangkan keikutsertaan
individu dalam memajukan kelompoknya yang dijelaskan pada tahap rekognisi
tim. Sehingga nuansa belajar kompetisi antar individu peserta didik dapat
diminimalisir.
17

Cara yang dapat dilakukan guru dalam pembentukan tim kolaboratif meliputi:
a) Menyusun urutan peringkat kelas peserta didik dari yang tertinggi sampai
terendah.
b) Menentukan jumlah tim peserta didik, tiap tim maksimal terdiri dari 5-6 orang.
c) Membagi peserta didik ke dalam secara seimbang agar; (1) tiap tim terdiri atas
level kinerjanya berkisar dari yang rendah, sedang, dan tinggi, (2) level kinerja
yang sedang dari semua tim hendaknya setara.
Pada tahap pembentukan kelompok kolaboratif juga dijelaskan tentang
adanya aturan rekognisi tim. Aturan-aturan tersebut meliputi tiga konsep penting,
yaitu: (1) penghargaan tim, yaitu tim dengan skor tertinggi dan dapat mencapai
kriteria yang ditentukan mendapatkan penghargaan; (2) kesuksesan yang sama,
yaitu semua peserta didik memberikan konstribusi kepada timnya dengan
meningkatkan kinerja mereka dari sebelumnya; dan (3) tanggung jawab individu,
yaitu kesuksesan tim tergantung pada kegiatan anggota tim yang saling membantu
satu sama lain.

2) Tahap 2: Aktivasi Skemata Awal


Menurut teori belajar konstruktivisme, pembentukan konsep perserta
didik dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi dan
akomodasi berperan penting dalam keberhasilan aktivasi konsepsi awal perserta
didik. Konsepsi awal yang disampaikan oleh peserta didik bisa benar bisa juga
salah, sehingga langkah terpenting dalam pembelajaran konstruktivisme yaitu
membuat peserta didik mampu menyadari gagasan mereka sendiri mengenai topik
atau peristiwa yang akan mereka pelajari.
Beberapa cara yang dapat dilakukan guru untuk mengaktivasi skemata
awal peserta didik pada tahap II sintaks model pembelajaran berbasis
konstruktivis-metakognitif sebagai berikut.
a) Menyajikan Fenomena
Penyajian fenomena bertujuan untuk mengaktivasi skemata awal tentang
konsep pembelajaran yang akan diajarkan. Guru meminta peserta didik menelaah
18

fenomena tersebut dengan harapan skemata awal peserta didik yang berkaitan
dengan fenomena dapat teraktivasi.
Fenomena yang disajikan dapat berupa fenomena yang sudah dikenal baik
oleh peserta didik maupun fenomena yang sama sekali belum dikenal peserta
didik. Fenomena yang sudah dikenal peserta didik, guru dapat meminta peserta
didik menjelaskan tentang fenomena tersebut. Sedangkan untuk fenomena yang
belum dikenal peserta didik, guru dapat meminta peserta didik meramalkan atau
memprediksi apa yang terjadi dengan fenomena itu, serta meminta peserta didik
menjelaskan dasar argumen dari prediksi mereka.
b) Meminta Peserta Didik Mendeskripsikan Konsepsi Awal Mereka
Guru meminta peserta didik mendiskripsikan skemata awal yang telah
dimiliki yang terkait dengan materi. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengaktivasi skemata awal peserta didik yaitu, membuat peta konsep, peta
pikiran, menggambarkan ilustrasi, menuliskannya dalam bentuk uraian,
menciptakan model, atau kombinasi diantaranya. Tujuan dari kegiatan tersebut
adalah membantu peserta didik mengenali dan memperjelas pemahaman dan
gagasan mereka sendiri.

3) Tahap 3: Menciptakan Konflik Kognitif


Tahap penciptaan konflik kognitif merupakan tahapan penting dalam
pembelajaran berbasis konstruktivis-metakognitif yang dapat menimbulkan
ketidakseimbangan kognitif. Konflik kognitif yang timbul akan membuat peserta
didik termotivasi untuk belajar. Ketidakseimbangan kognitif membuat peserta
didik merasa tidak puas dengan fenomena yang dihadapinya sampai mereka
berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk menyeimbangkan kognitif mereka.
Penciptaan konflik kognitif dapat difasilitasi oleh guru dengan berbagai
cara yaitu dengan mengajak peserta didik berdiskusi dalam kelompok kecil
maupun kelompok besar dan melakukan demonstrasi atau eksperimen yang
membantah skemata awal peserta didik atau memperluas skemata awal peserta
didik dengan konsepsi ilmiah. Peran guru pada tahap ini yaitu membantu peserta
didik mendeskripsikan ide-idenya kepada peserta didik lain yang terlibat dalam
19

diskusi, membimbing peserta didik melakukan demonstrasi atau melakukan


eksperimen, dan mengarahkan perhatian peserta didik terhadap pengamatan yang
telah mereka lakukan.

4) Tahap 4: Perencanaan Pengkonstruksian Konsep, Pengkonstruksian,


Pemantauan dan Evaluasi Konsep
Pada tahap ini peserta didik dilatihkan untuk terampil melakukan kegiatan
perencanaan terhadap pembentukan konsep berdasarkan konflik kognitif yang
dihadirkan pada sintaks sebelumnya.
Indikator empirik yang harus dilakukan peserta didik pada tahap ini yaitu:
a) Peserta didik menetapkan tujuan pembentukan konsep yang ingin dicapai
oleh kelompoknya.
b) Peserta didik merencanakan waktu yang akan digunakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
c) Peserta didik mempersiapkan pengetahuan awal yang harus mereka kuasai
untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan.
d) Peserta didik merencanakan dan memutuskan strategi kognitif yang dianggap
paling tepat untuk mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan.
Tahap pembentukan konsep diawali dengan pembentukan tim kolaboratif
yang telah disusun pada tahap pertama. Tim-tim harus mewakili semua variasi
peserta didik yang ada didalam kelas seperti, jenis kelamin, suku, agama,
kemampuan akademik, dan lain-lain. Tetapi yang terpenting harus mewakili
dalam tim adalah keterwakilan peserta didik berkemampuan akademik atas,
sedang dan bawah.
Tahap pembentukan konsep dilakukan secara kolaboratif bertujuan untuk
mendorong terjadinya proses asimilasi dan akomodasi dalam struktur kognitif
peserta didik sampai terbentuk keseimbangan kognitif peserta didik. Pembentukan
konsep pada tahap ini diorganisasi dalam kerja kelompok kolaboratif. Pengalaman
belajar yang dapat diberikan oleh guru pada tahap ini berupa kegiatan
demonstrasi, diskusi, atau eksperimen yang meyakini bahwa skemata awal peserta
didik kurang tepat atau skemata awal mereka dapat diperluas. Untuk sampai pada
20

taraf ini guru perlu menggunakan pertanyaan untuk menggali konsepsi awal yang
dibentuk oleh peserta didik.
Pada tahap ini, peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan
motivasi dalam mempelajari suatu topik secara kolaboratif. Guru dituntut mampu
memfasilitasi peserta didik dalam merekonstruksi ide-ide mereka. Beberapa hal
yang disarankan dapat dilakukan guru untuk membantu merekonstruksi ide-ide
peserta didik sebagai berikut:
a) Klasifikasi ide yang dikontranskan dengan ide-ide peserta didik lain melalui
diskusi atau kegiatan pengumpulan ide-ide.
b) Membangun ide yang baru, ide-ide baru dapat terbentuk bila dalam diskusi
idenya bertentangan dengan ide lain, atau idenya tidak dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya.
c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Bila memungkinkan gagasan
yang baru dibentuk oleh peserta didik diuji dengan eksperimen atau diuji
dengan cara memecahkan persoalan-persoalan baru.
d) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah
dibentuk peserta didik perlu diaplikasikan dalam berbagai situasi agar
pengetahuan peserta didik lebih lengkap dan rinci dengan segala macam
pengecualian.
Pada saat pembentukan konsep, peserta didik juga dilatihkan untuk
terampil memantau tujuan yang ingin dicapai, memantau waktu yang digunakan,
memantau kecukupan pengetahuan awal, dan memantau pelaksanaan strategi
kognitif yang mereka pilih. Selain itu, peserta didik juga dituntut untuk terampil
mengevaluasi yaitu mengevaluasi ketercapaian tujuan, mengevaluasi penggunaan
waktu, mengevaluasi relevansi pengetahuan awal, dan mengevaluasi efektivitas
strategi kognitif yang digunakan.

5) Tahap 5: Presentasi Kelas


Tahap presentasi kelas menuntut peserta didik mempresentasikan hasil
kerja kelompoknya di depan kelas. Presentasi kelas dapat dimanfaatkan oleh guru
untuk memantau perolehan konsep peserta didik, memperbaiki, serta menguatkan
21

konsep peserta didik yang telah dibangun selama diskusi kelompok. Presentasi
kelas dapat dipimpin oleh guru atau salah satu anggota kelompok peserta didik
yang sedang presentasi di depan kelas.

6) Tahap 6: Tes Individu


Setelah pembelajaran berlangsung satu KD, para peserta didik diminta
mengerjakan kuis individual. Para peserta didik tidak diperbolehkan untuk saling
membantu dalam mengerjakan kuis, sehingga setiap peserta didik
bertanggungjawab secara individual untuk memahami materinya.

7) Tahap 7: Rekognisi Tim


Kegiatan utama pada rekognisi tim adalah menghitung skor kemajuan
individual, skor tim, dan memberikan penghargaan tim. Gagasan dibalik skor
kemajuan individual, skor tim, dan pemberian penghargaan untuk menanamkan
pada diri peserta didik bahwa keberhasilan belajar akan dicapai apabila mereka
belajar lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari sebelumnya.
Dalam sistem skor ini, tiap peserta didik dapat memberikan kontribusi poin yang
maksimal kepada timnya, tetapi tidak ada peserta didik yang dapat melakukannya
tanpa memberikan usaha yang terbaik. Tiap peserta didik diberikan skor awal
yang diperoleh skor awal yang diperoleh dari rata-rata kinerja mereka sebelumnya
dalam mengerjakan kuis sebelumnya. Peserta didik selanjutnya akan
mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis
mereka dibandingkan dengan skor awal mereka.
Guru menghitung skor kemajuan individual dan skor tim setelah
melakukan kuis individual. Guru hendaknya mengumumkan skor tim pada
periode pertama setelah mengerjakan kuis agar membuat jelas hubungan antara
melakukan tugas dengan baik dan menerima rekognisi yang pada akhirnya akan
meningkatkan motivasi mereka untuk melakukan yang terbaik.
Berikut pedoman yang dapat digunakan oleh guru dalam memberikan poin
kemajuan individu dan skor tim.
22

a) Pedoman Pemberian Poin Kemajuan Individu


Poin kemajuan individu diukur berdasarkan tingkat dimana skor kuis
mereka melampaui skor awal. Tujuan dari adanya skor awal dan poin kemajuan
adalah untuk memungkinkan semua peserta didik memberikan poin maksimum
bagi kelompok mereka, berapapun tingkat kinerja mereka sebelumnya. Peserta
didik memahami cukup adil membandingkan tiap peserta didik dengan tingkat
kinerja mereka sendiri sebelumnya, karena semua peserta didik masuk ke dalam
kelas dengan perbedaan tingkat kemampuan dan pengalaman.

Tabel 2.1. Pedoman Pemberian Pedoman Kemajuan Individu

No Skor Kuis Poin


Kemajuan
1. Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 5
2. 10-1 poin di bawah skor awal 10
3. Skor awal sampai 10 poin di atas skor awal 20
4. Lebih dari 10 poin di atas skor awal atau nilai 30
sempurna
(Sumber: Prayitno, Suciati & Sugiharto, 2014)

b) Pedoman Penghitungan Skor Tim dan Pemberian Penghargaan


Untuk menghitung skor tim, guru tinggal membagi jumlah total poin
kemajuan seluruh anggota tim dengan jumlah anggota tim yang hadir, bulatkan
semua pecahan. Skor tim lebih tergantung pada skor kemajuan dari pada skor
awal. Skor tim merupakan dasar dari pemberian penghargaan tim.
Guru dapat membuat tiga tingkatan penghargaan yang didasarkan pada
rata-rata skor tim sebagai berikut.

Tabel 2.2. Pedoman Penghitungan Skor Tim dan Pemberian Penghargaan

No Kriteria (Rata-Rata Tim) Penghargaan


1. 15 Tim Baik
2. 16 Tim Sangat Baik
3. 17 Tim Super
(Sumber: Prayitno, Suciati & Sugiharto, 2014)

Kriteria ini merupakan satu rangkaian sehingga untuk menjadi tim sangat
baik sebagian besar anggota tim harus memiliki skor di atas skor awal mereka dan
untuk menjadi tim super sebagian besar anggota tim harus memiliki skor
setidaknya 10 poin di atas skor dasar mereka.
23

Setelah guru menghitung skor tim hendaknya memberikan rekognisi atau


penghargaan untuk pencapaian sampai pada tim sangat baik atau tim super.
Penghargaan dapat berupa pemberian sertifikat. Tim baik hanya mendapat ucapan
selamat di dalam kelas. Pemberian rekognisi tim ini selain untuk memberikan
penghargaan kepada peserta didik yang telah berhasil, juga memberikan motivasi
kepada tim baik agar menambah semangat belajarnya sehingga dapat
berkompetisi antar tim secara sehat.
Ringkasan sintak model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif sebagai
berikut:

Tabel 2.3. Ringkasan Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif

Tahapan Pembelajaran Kegiatan Guru


Tahap I. Pembentukan Kelompok  Guru membagi peserta didik menjadi kelompok
Kolaboratif heterogen dalam hal kemampuan akademik, latar
belakang budaya, dan hal-hal lain yang mungkin
ditemukan di dalam kelas.
 Guru menyepakati dengan peserta didik tentang aturan
pemberian rekognisi tim.
Tahap II Aktivasi Skemata Awal  Guru mengaktifkan pengetahuan lama peserta didik
yang terkait erat dengan pelajaran yang akan dipelajari.
Pengetahuan lama tersebut harus bisa memicu konflik
kognitif pada diri peserta didik. Beberapa cara yang
dapat dipertimbangkan oleh guru pada tahap ini adalah
menyajikan fenomena atau mendeskripsikan konsepsi
awal mereka
Tahap III Menciptakan Konflik  Penciptaan konflik kognitif dapat difasilitasi oleh guru
Kognitif dengan berbagai cara sebagai berikut. 1) Mengajak
peserta didik berdiskusi dalam kelompok kecil maupun
besar. 2) Melakukan demonstrasi atau eksperimen yang
membantah konsepsi awal peserta didik atau
memperluas konsepsi awal peserta didik dengan
konsepsi ilmiah.
Tahap IV Perencanaan  Pada tahap ini peserta didik dilatihkan untuk terampil
Pembentukan Konsep melakukan kegiatan perencanaan terhadap
pembentukan konsep berdasarkan konflik kognitif yang
di hadirkan pada sintaks sebelumnya. Indikator empirik
yang harus dilakukan peserta didik pada tahap ini yaitu,
1) peserta didik menetapkan tujuan pembentukan
konsep yang ingin dicapai oleh kelompoknya, (2)
peserta didik merencanakan waktu yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan, (3) peserta didik mempersiapkan
pengetahuan awal yang harus mereka kuasai untuk
mencapai tujuan yang telah mereka tetapkan, dan (4)
peserta didik merencanakan dan memutuskan strategi
kognitif yang dianggap paling tepat untuk mencapai
tujuan yang telah mereka tetapkan.
24

Lanjutan Tabel 2.3. Ringkasan Sintaks Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif

Tahapan Pembelajaran Kegiatan Guru


Tahap IV Pembentukan Konsep,  Tahap pembentukan konsep secara kolaboratif ini
Pemantauan, dan Evaluasi bertujuan mendorong terjadinya proses asimilasi dan
akomodasi dalam struktur kognitif peserta didik sampai
terbentuk keseimbangan kognitif peserta didik.
Pembentukan konsep pada tahap ini diorganisasi dalam
kerja kelompok kolaboratif. Pengalaman belajar yang
dapat diberikan oleh guru pada tahap ini berupa
kegiatan demonstrasi, diskusi, atau eksperimen yang
meyakinkan bahwa konsepsi awal peserta didik kurang
tepat atau konsepsi awal mereka dapat diperluas.
Tahap V Presentasi Kelas  Tahap presentasi kelas ini menuntut peserta didik
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan
kelas. Presentasi kelas dapat dimanfaatkan oleh guru
untuk memantau perolehan konsep peserta didik,
memperbaiki, serta menguatkan konsep peserta didik
yang telah dibangun
selama diskusi kelompok. Presentasi kelas dapat
dipimpin oleh guru atau salah satu anggota kelompok
peserta didik yang sedang presentasi di depan kelas
Tahap VI Tes Individu  Setelah pembelajaran berlangsung satu KD para peserta
didik diminta mengerjakan kuis individual. Para peserta
didik tidak diperbolehkan untuk saling membantu
dalam mengerjakan kuis, sehingga tiap peserta didik
bertanggungjawab secara individual untuk memahami
materinya.
Tahap VII Rekognisi Tim  Kegiatan utama pada tahap rekognisi tim adalah
menghitung skor kemajuan individual, skor tim, dan
memberikan penghargaan tim. Gagasan dibalik skor
kemajuan individual, skor tim, dan pemberian
penghargaan untuk menanamkan pada diri peserta didik
bahwa keberhasilan belajar akan dicapai apabila
mereka belajar lebih giat dan memberikan kinerja yang
lebih baik dari sebelumnya.
(Sumber: Prayitno, Suciati & Sugiharto, 2014)

e. Dampak Sosial Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif dalam


Proses Pembelajaran
Dampak sosial yang dikembangkan pada model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif adalah kerjasama dalam belajar sehingga semua
anggota dalam suatu tim akan bertanggungjawab atas teman satu tim dan mampu
belajar sama baiknya dengan anggota tim yang lain. Keberhasilan tim hanya akan
dicapai jika semua anggota tim mampu menguasai materi yang dipelajari.
Sehingga tugas-tugas yang diberikan bukan melakukan sesuatu sebagai sebuah
tim melainkan belajar sesuatu sebagai sebuah tim. Semua peserta didik akan
25

memberikan kontribusi bagi timnya dengan meningkatkan kinerja mereka dari


sebelumnya. Hal ini menyebabkan semua peserta didik baik yang berprestasi
tinggi, sedang maupun rendah ditantang untuk melakukan yang terbaik.

f. Peran dan Tugas Guru


Peran guru dalam model pembelajaran konstruktivis-metakognitif adalah
sebagai mediator dan fasilitator (Prayitno, 2014). Guru bertugas membantu proses
pembelajaran berjalan dengan baik. Dalam proses pembelajaran, guru menerapkan
proses scaffolding kepada peserta didik. Hal-hal yang dilakukan guru sebagai
mediator dan fasilitator yaitu:
1) Guru menyajikan kegiatan-kegiatan yang merangsang rasa ingin tahu perserta
didik, membantu perserta didik mengekspresikan gagasan - gagasannya,
mengkomuni-kasikan ide-ide mereka.
2) Guru menyediakan sarana yang dapat menantang perserta didik untuk
berpikir.
3) Guru menyediakan kesempatan dan pengalaman untuk mendukung proses
belajar perserta didik.
4) Guru memonitor, megevaluasi, dan menunjukkan apakah perserta didik
mampu berpikir dengan baik atau belum.
5) Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siawa dapat
digunakan untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Peran dan tugas guru akan dicapai secara optimal jika guru melakukan
kegiatan-kegiatan berikut :
1) Guru berinteraksi secara intensif dengan peserta didik untuk mengetahui
pikiran dan pengetahuan peserta didik.
2) Tujuan pembelajaran dibicarakan dengan peserta didik secara bersama-sama
agar peserta didik terlibat secara aktif.
3) Guru memilih secara selektif mengenai pengalaman belajar yang dibutuhkan
peserta didik.
4) Guru mempercayai peserta didik akan mampu belajar dengan baik melalui
pengkonstruksian konsep.
26

5) Guru mampu bersikap fleksibel dan terbuka dalam menghadapi gagasan atau
ide peserta didik.

g. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Konstruktivis-


Metakognitif
Pembelajaran dengan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif yaitu dapat membentuk peserta didik dengan
pemahaman konsep yang matang karena pengkonstruksian konsep dilakukan oleh
peserta didik bukan menerima secara langsung dari guru sehingga pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Pembelajaran yang bermakna akan menjadi pengalaman
yang berharga bagi peserta didik sehingga konsep yang dipelajari akan masuk
dalam memori jangka panjang peserta didik. Peserta didik menjadi aktif terlibat
dalam pembelajaran. Kesenjangan kognitif antarpeserta didik dapat diperkecil
dengan adanya proses scaffolding dari model konstrukstivis-metakognitif,
sehingga peserta didik dengan akademik rendah dapat memiliki kognitif yang
sama seperti peserta didik dengan akademik tinggi. Pembelajaran dengan model
tersebut juga berpotensi memberdayakan kemampuan berpikir peserta didik
terutama kemampuan berpikir kritis peserta didik terkait dengan tuntutan model
pembelajaran yang mengarahkan peserta didik agar mampu merencanakan,
memantau dan mengevaluasi proses belajar yang dilakukan. Selain itu, adanya
karakteristik metakognitif akan membantu peserta didik menjadi pebelajar yang
mandiri.
Kekurangan model pembelajaran model konstruktivis-metakognitif yaitu
proses pembelajaran yang dilakukan membutuhkan waktu yang lebih lama. Hal
ini dikarenakan adanya tahap pengkonstruksian konsep secara mandiri oleh
peserta didik, sehingga lama waktu yang dibutuhkan oleh peserta didik untuk
menemukan konsep tidak dapat ditentukan secara pasti. Selain itu, model
pembelajaran ini juga menuntut guru memiliki pengetahuan yang luas dan
terampil mengarahkan peserta didik menuju konsep yang benar tanpa
memberitahukan secara langsung.
27

2. Kemampuan Berpikir Kritis


a. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis
Berpikir merupakan salah satu aktivitas mental yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Secara sederhana, berpikir adalah memproses
informasi secara mental atau secara kognitif. Berpikir adalah penyusunan ulang
atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol
yang disimpan dalam long term memory (Khodijah, 2006). Sedangkan menurut
Drever dalam Khodijah (2006) berpikir adalah melatih ide-ide dengan cara yang
tepat dan seksama yang dimulai dengan adanya masalah. Menurut Solso (1998),
berpikir adalah sebuah proses dimana representasi mental baru dibentuk melalui
transformasi informasi dengan interaksi yang komplek atribut mental yang
meliputi penilaian, abstraksi, logika, imajinasi, dan pemecahan masalah. John
Dewey menganjurkan agar sekolah mengajarkan cara berpikir yang benar pada
peserta didiknya. Menurut Ruggeiro (Johnson, 2007), berpikir merupakan segala
aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah,
membuat keputusan, memenuhi keinginan untuk memahami, sebuah pencarian
jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pengertian berpikir merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa aktivitas
manipulasi kognitif yang timbul secara internal dalam pikiran tetapi dapat
diperkirakan dan diarahkan yang dapat menghasilkan perilaku untuk memecahkan
masalah.
Berpikir kritis merupakan bagian dari pola berpikir kompleks/ tingkat
tinggi yang bersifat konvergen. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir
untuk menganalisis argumen dan memunculkan gagasan terhadap tiap-tiap makna
dan interpretasi, untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis,
memahami asumsi dan bias yang mendasari tiap-tiap posisi, serta memberikan
model presentasi yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan (Ennis dalam
Liliasari, 2009). Facione dalam Liliasari (2009) menyatakan bahwa inti berpikir
kritis adalah deskripsi yang rinci dari sejumlah karakteristik yang berhubungan,
yang meliputi analisis, inferensi, eksplanasi, evaluasi, pengaturan diri, dan
interpretasi.
28

Menurut Costa (1985), kemampuan berpikir kritis termasuk salah satu


keterampilan berpikir tingkat tinggi yang secara esensial merupakan keterampilan
menyelesaikan masalah (problem solving). Osborne, Kriese, Tobey, dan Johnson
(2009) menyatakan bahwa berpikir kritis melibatkan kompetensi kognitif dan
menyadari cara untuk berpikir dalam proses penyelesaian masalah. Kemampuan
berpikir kritis berkaitan erat dengan tingkat kecerdasan dan daya penalaran
sehingga kemampuan seseorang untuk menciptakan keberagaman penyelesaian
masalah.
Menurut Ennis dalam Costa (1985), berpikir kritis adalah kemampuan
bernalar dan berpikir reflektif yang diarahkan untuk memutuskan hal-hal yang
meyakinkan untuk dilakukan. Dengan kata lain, pengambilan keputusan diambil
setelah dilakukan refleksi dan evaluasi pada apa yang dipercayai. Sedangkan
menurut Presseisen dalam Costa (1985) mengemukakan bahwa berpikir kritis
diartikan sebagai keterampilan berpikir yang menggunakan proses berpikir dasar
untuk menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap
makna dan interpretasi, mengembangkan pola penaaran yang kohesif dan logis,
memahami asumsi yang mendasari tiap-tiap posisi, memberikan model presentasi
yang dapat dipercaya, ringkas dan meyakinkan. Sejalan dengan itu Fachrurazi
(2011) mengemukakan bahwa berpikir kritis adalah proses sistematis yang
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk merumuskan dan
mengevaluasi keyakinan dan pendapat mereka sendiri. Sementara itu
Kusumaningsih (2011) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan proses
berpikir secara tepat, terarah, beralasan, dan reflektif dalam pengambilan
keputusan yang dapat dipercaya.
Secara umum ada berbagai makna berpikir kritis, di antaranya: 1) berpikir
reflektif dan beralasan yang berfokus penentuan apa yang dipercaya atau
dilakukan (Ennis dalam Liliasari, 2009); 2) mengandung unsur-unsur
mengestimasi, mengevaluasi, mempertimbangkan, mengklasifikasikan,
berhipotesis, menganalisis, bernalar (Fisher dalam Liliasari, 2009); 3) melibatkan
semua interpretasi (menghasilkan makna), dan translasi (perlindungan makna)
yang bertanggung jawab (Lipman dalam Liliasari, 2009). Jadi inti dari berpikir
29

kritis meliputi : a) mengidentifikasi unsur-unsur yang merupakan alasan dari


kasus, khususnya hubungan sebab-akibat; b) mengidentifikasi dan mengevaluasi
asumsi; c) menjelaskan dan menginterpretasikan pernyataan dan ide; d)
menimbang keterterimaan, khususnya kredibilitas klaim; e) mengevaluasi
berbagai jenis argumen; f) menganalisis, mengevaluasi dan membuat kesimpulan;
g) menarik kesimpulan; h) menghasilkan argumen (McGregor dalam Liliasari,
2009). Dari beberapa pendapat para ahli tentang kemampuan berpikir kritis di atas
dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental
untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa
didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi.
Berpikir kritis dapat membantu peserta didik memahami bagaimana ia
menandang dirinya sendiri, bagaimana ia memandang dunia, dan bagaimana ia
berhubungan dengan orang lain, membantu meneliti perilaku diri sendiri, dan
menilai diri sendiri. Berpikir kritis memungkinkan peserta didik menganalisis
pemikiran sendiri untuk memastikan bahwa ia telah menentukan pilihan dan
menarik kesimpulan cerdas. Sedangkan peserta didik yang memiliki kemampuan
berpikir kritis yang rendah tidak dapat memutuskan untuk dirinya sendiri apa yang
harus dipikirkan, apa yang harus dipercaya, dan bagaimana harus bertindak.
Karena gagal berpikir mandiri, maka ia akan meniru orang lain, mengadopsi
keyakinan dan menerima kesimpulan orang lain dengan pasif (Lambertus, 2009).

b. Aspek Kemampuan Berpikir Kritis


Kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis dapat dikenali dari tingkah
laku yang nampak selama proses berpikir. Untuk mengetahui kemampuan berpikir
kritis peserta didik dapat diketahui dari aspek atau indikator kemampuan berpikir
kritis. Menurut Facione (2013), ada enam kecakapan berpikir kritis utama yang
terlibat di dalam proses berpikir kritis. Kecakapan-kecakapan tersebut adalah
interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), inferensi
(inference), penjelasan (explanation) dan regulasi diri (self-regulation).
30

Menurut Muanisah (2010), berikut adalah deskripsi dari keenam kecakapan


berpikir kritis utama menurut Facione:
1) Interpretasi adalah memahami dan mengekspresikan makna atau signifikan
dari berbagai macam pengalaman, situasi, data, kejadian-kejadian, penilaian,
kebiasaan atau adat, kepercayaan-kepercayaan, aturan-aturan, prosedur atau
kriteria-kriteria.
2) Analisis adalah mengidentifikasi hubungan-hubungan inferensional yang
dimaksud dan aktual diantara pernyataan-pernyataan, pertanyaan-pertanyaan,
konsep-konsep, deskripsi-deskripsi.
3) Evaluasi adalah menaksir kredibilitas pernyataan-pernyataan atau
representasi-representasi yang merupakan laporan-laporan atau deskripsi-
deskripsi dari persepsi, pengalaman, penilaian, opini dan menaksir kekuatan
logis dari hubungan-hubungan inferensional atau dimaksud diantara
pernyataan-pernyataan, deskripsi-deskripsi, pertanyaan-pertanyaan atau
bentuk-bentuk representasi lainnya.
4) Inferensi adalah mengidentifikasi dan memperoleh unsur-unsur yang masuk
akal, membuat dugaan-dugaan dan hipotesis, dan menyimpulkan
konsekuensi-konsekuensi dari data.
5) Penjelasan mampu menyatakan hasil-hasil dari penjelasan seseorang,
mempresentasikan penalaran seseorang dalam bentuk argumen-argumen yang
kuat.
6) Regulasi diri berarti secara sadar diri memantau kegiatan-kegiatan kognitif
seseorang, unsur-unsur yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan
hasil-hasil yang diperoleh, terutama dengan menerapkan kecakapan-
kecakapan di dalam analisis dan evaluasi untuk penelitian penilaian
inferensial sendiri dengan memandang pada pertanyaan, konfirmasi, validitas
atau mengoreksi baik penalarannya atau hasil-hasilnya.

Menurut penelitian Kirmizi F.S., Ceren S., & Ibrahim H.Y. (2015),
berpikir kritis dan penyelesaian masalah merupakan dua hal penting yang saling
berkaitan karena berpikir kritis dapat dilatihkan melalui latihan penyelesaian
31

masalah. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan mulai
dari pendidikan dasar. Berpikir kritis sangat tepat dikembangkan di kelas karena
tahapan keterampilan berpikir kritis bersesuaian dengan keterampilan-
keterampilan proses IPA.

Tahapan keterampilan berpikir kritis meliputi:


1) Keterampilan menganalisis, yaitu keterampilan berpikir yang tujuan
pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan
atau merinici globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan
terperinci. Pertanyaan analisis menghendaki agar peserta didik
mengidentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses
berpikir hingga sampai pada saat kesimpulan (Harjasujana dalam Jahro,
2010). Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir
analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi,
menggambarkan, menghubungkan dan memerinci.
2) Keterampilan mensintesis, yaitu keterampilan yang berlawanan dengan
keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan
menggabungkan bagian-bagian menjadi suatu bentukan atau susunan yang
baru. Pertanyaan sintesis menuntut peserta didik untuk menyatu padukan
semua informasi yang diperoleh sehingga dapat menciptakan ide-ide baru.
Pernyataan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontrol
(Harjasujana dalam Jahro, 2010).
3) Keterampilan mengenal dan memacahkan masalah, yaitu keterampilan yang
menuntut peserta didik untuk memahami dengan kritis dan menangkap
beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep.
Keterampilan ini bertujuan agar peserta didik mampu memahami dan
menerapkan konsep-konsep ke dalam suatu permasalahan atau ruang lingkup
baru (Walker dalam Jahro, 2010).
4) Keterampilan menyimpulkan, yaitu kegiatan akal pikiran manusia
berdasarkan pengertian dan pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat
beranjak mencapai pengertian atau pengetahuan yang baru (Salam & Jahro,
32

2010). Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini


menuntut peserta didik untuk mampu menguaraikan dan memahami berbagai
aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah
simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara,
yaitu deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses
berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk
menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.
5) Keterampilan menilai, yaitu keterampilan yang menuntut pemikiran yang
matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada.
Keterampilan menilai menghendaki peserta didik agar memberikan penilaian
tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu (Harjasujana
dalam Jahro, 2010).

c. Upaya untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis


Cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
menurut hasil penelitian yang diadakan oleh Ian Wright dan C.L. Bar (1987),
L.M. Sartorelli (1989) dan R. Swartz (dalam Hassoubah, 2004) yaitu membaca
dengan kritis, meningkatkan daya analisis, mengembangkan kemampuan
observasi dan metakognisi. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kritis peserta didik dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan
kepada peserta didik. Pertanyaan yang diajukan berupa pertanyan yang mampu
mendorong peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi sehingga mampu mengasah
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Daftar Pertanyaan yang dapat memacu
kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat digolongkan menjadi
beberapa kriteria yang menunjukan kualitas kemampuan peserta didik. Kriteria
pengukuran tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik berdasarkan pada
besarnya nilai persentase ketercapaian pada masing-masing aspek kemampuan
berpikir kritis peserta didik. Kriteria pengukuran tingkat kemampuan berpikir
kritis peserta didik dapat dilihat di Tabel 2.5.
33

Tabel 2.4. Pertanyaan yang Dapat Memacu Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

Pertanyaan yang Dapat Memacu Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik


Interpretation Apa artinya? Apa yang terjadi? Bagaimana seharusnya kita memahami?
(Interpretasi) Apa cara terbaik untuk mencirikan/ mengelompokkan/ mengklasifikasikan?
Dalam konteks ini, apa yang dimaksudkan hal tersebut?
Analysis Kemukakan alasan anda dalam membuat suatu pernyataan itu!
(Analisis) Mengapa anda dapat berpikir seperti itu?
Apakah dasar anda mengatakan hal itu?
Inference Dengan apa yang kita ketahui selama ini, kesimpulan apa yang dapat kita
(Kesimpulan) gambarkan?
Dengan apa yang kita ketahui selami ini, apa yang dapat kita cegah?
Apa konsekuensi dari melakukan hal dengan cara itu?
Evaluation Seberapa terpercayakah pernyataan itu?
(Evaluasi) Mengapa kita dapat percaya dengan pernyataan orang itu?
Apakah kita memiliki fakta-fakta yang benar?
Seberapa percayakah kita pada kesimpulan kita, terhadap apa yang kita ketahui
sekarang?
Explanation Apakah temuan khusus dari penelitian ini?
(Penjelasan) Jelaskan kesimpulan anda dari analisis itu!
Bagaimana anda menginterpretasikan itu?
Jelaskan alasan anda mengenai hal itu!
Bagaimana anda dapat menjelaskan mengapa keputusan ini dibuat?
Self Pemahaman kita pada masalah ini masih tidak jelas, dapatkah kita bisa berlatih
Regulation lagi?
(Pengaturan Seberapa baikkah metodologi kita, dan bagaimana kita mengikutinya?
diri) Seberapa baikkah bukti yang kita miliki?
Baiklah, sebelum kita lakukan, apa yang kita lupakan?
Saya menemukan dari beberapa keputusan kita masih membingungkan,
dapatkah kita menjelaskannya kembali apa yang kita maksud mengenai hal-hal
tertentu sebelum membuat kesimpulan itu?
(Sumber: Facione, 2011)

Tabel 2.5 Kriteria Kemampuan Berpikir Kritis

Angka Keterangan
81% - 100%% Baik sekali
61% - 80% Baik
41% - 60% Cukup
21% - 40% Kurang
(Fauziah, 2014)

3. Penelitian yang Relevan


Penelitian tentang pembelajaran dengan model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif masih jarang ditemukan karena model pembelajaran
merupakan inovasi baru. Salah satu penelitian internasional yang relevan tentang
model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif yaitu penelitian Janjai (2012)
tentang peningkatan kemampuan peserta didik pada program pendidikan untuk
34

menyusun rencana kegiatan pembelajaran dengan menerapkan teori konstruktivis


dan metakognitif yang dilaksanakan di Thailand. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa model pembelajaran yang berdasarkan teori konstruktivis dan metakognitif
dapat meningkatkan kemampuan peserta didik dalam merancang dan menyusun
kegiatan pembelajaran secara signifikan. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud
berupa rancangan percobaan untuk mencari fakta dan konsep melalui
penyelidikan. Kualitas rancangan percobaan yang disusun oleh peserta didik
secara berkelompok meningkat setelah diberi perlakuan berdasarkan kolaborasi
antara teori konstruktivis dan metakognitif. Kegiatan yang dilakukan peserta didik
dalam merancang dan menyusun percobaan tergolong kemampuan berpikir kritis
karena memerlukan skill berpikir tingkat tinggi.
Penelitian yang relevan dilakukan oleh Dianti (2015) di SMA N 8
Surakarta. Penelitian tersebut menggunakan metode eksperimen dengan desain
pretest-postest non equivalent control group. Hasil analisis penelitian
menunjukkan adanya pengaruh model pembelajaran konstruktivis-metakognitif
terhadap kemampuan berpikir kritis peserta didik. Kegiatan pembelajaran yang
dilakukan di kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif lebih memberdayakan kemampuan berpikir kritis
peserta didik dibandingkan kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran
ceramah. Namun penelitian tersebut hanya terbatas pada pengaruh penerapan
model pembelajaran konstruktivis-metakognitif terhadap kemampuan berpikir
kritis peserta didik. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
besarnya peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan
menerapkan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif. Sehingga diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan
berpikir kritis peserta didik dengan menerapkan model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif
terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
35

4. Materi Pokok Sistem Koordinasi


Sistem koordinasi merupakan salah satu pokok bahasan pada pelajaran
Biologi SMA kelas XI yang mempunyai karakteristik materi yang abstrak dan
rumit. Hal ini karena materi sistem koordinasi mempelajari tentang mekanisme
fisika dan kimiawi yang komplek. Materi sistem koordinasi mempunyai empat
prinsip penting yaitu: mekanisme sebab akibat, hubungan antara struktur dan
fungsi, aliran informasi dan homeostatis. Sehingga dalam mempelajari materi ini
dibutuhkan kemampuan berpikir kritis peserta didik untuk lebih memahami
konsep-konsep yang abstrak tersebut.
Materi sistem koordinasi merupakan materi di semester genap kelas XI
program IPA. Materi sistem koordinasi merupakan kompetensi dasar 3.10 dan
3.11. KD 3.10 dalam silabus kelas XI program IPA, yaitu menganalisis hubungan
antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem koordinasi dan
mengaitkannya dengan proses koordinasi sehingga dapat menjelaskan peran saraf
dan hormon dalam mekanisme koordinasi dan regulasi serta gangguan fungsi
yang mungkin terjadi pada sistem koordinasi manusia melalui studi literatur,
pengamatan, percobaan, dan simulasi. Sedangkan KD 3.11 yaitu mengevaluasi
pemahaman diri tentang bahaya penggunaan senyawa psikotropika dan
dampaknya terhadap kesehatan diri, lingkungan, dan masyarakat. Berdasarkan KD
tersebut, pembahasan materi sistem koordinasi meliputi sistem saraf pada
manusia, sistem hormon (endokrin), perbedaan sistem saraf dengan sistem
endokrin, sistem indera dan pengaruh NAPZA terhadap sistem koordinasi. Materi
ini memiliki alokasi waktu 12 jam pelajaran atau 2 jam pelajaran selama 6 kali
pertemuan.

B. Kerangka Berpikir
Permasalahan yang dihadapi oleh manusia kini semakin kompleks seiring
dengan perkembangan jaman. Permasalahan tersebut muncul karena adanya
interaksi antara manusia dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang
semakin kompleks. Manusia dituntut untuk memiliki kecakapan hidup (life skill)
yang unggul untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Pendidikan memegang
36

peranan penting dalam menciptakan peserta didik yang memiliki kecakapan hidup
(life skill) yang unggul, berkualitas, dan dapat bersaing secara global. Agar dapat
bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan pribadi serta sosial, peserta didik harus
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah dan harus bisa berpikir secara
kritis. Hal ini dapat terwujud melalui pendidikan yang berkualitas. Pendidikan
yang berkualitas menuntut adanya perubahan paradigma dari mengajar ke belajar
(teaching to learning), dari pembelajaran teacher centered menjadi student
centered (Tan, 2013). Proses pembelajaran Biologi di kelas XI MIA 6 (Imersi)
SMAN 1 Karanganyar menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta
didik secara riil masih rendah.
Berdasarkan teori-teori pada penelitian yang sudah ada menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis sangat penting dilatihkan kepada peserta didik.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis dapat dilatihkan dengan pembelajaran
dengan konsep konstruktivisme. Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif
merupakan salah satu model pembelajaran yang berpotensi memberdayakan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Model pembelajaran konstruktivis-
metakognitif berorientasi pada pembelajaran yang memberdayakan kapasitas
berpikir dan kemandirian belajar peserta didik. Model pembelajaran berbasis
konstruktivis-metakognitif dapat melatih kemampuan berpikir peserta didik
karena model pembelajaran ini menuntut peserta didik belajar mengkonstruksi
konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan
eksperimen. Model pembelajaran ini dikembangakan secara terintegratif antara
model pembelajaran yang berbasis konstruktivis dan berbasis metakognitif.
Potensi tahapan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik, yaitu aspek interpretasi
(interpretation) dapat diasah melalui tahapan sintaks aktivasi skemata awal,
menciptakan konflik kognitif, dan pengkonstruksian konsep. Aspek analisis
(analysis) dapat diasah melalui tahapan sintaks aktivasi skemata awal, tahap
menciptakan konflik kognitif dan tahap pengkonstruksian konsep. Aspek evaluasi
(evaluation) dapat diasah melalui tahapan sintaks pembentukan konsep,
pemantauan, dan evaluasi. Aspek kesimpulan (inference) dapat diasah melalui
37

tahapan sintaks pengkonstruksian konsep, pemantauan dan evaluasi serta sintak


presentasi kelas. Aspek penjelasan (explanation) dapat diasah melalui seluruh
tahapan sintak pembelajaran namun yang paling jelas terlihat yaitu pada tahap
presentasi kelas. Aspek yang terakhir yaitu aspek regulasi diri (self-regulation)
dapat diasah melalui seluruh tahapan sintak pembelajaran karena disetiap tahapan
sintak mampu mengasah peserta didik dalam mengontrol kemajuan kognitifnya,
mulai dari pembentukan skemata awal, pembentukan konflik kognitif,
pengkonstruksian, pemantauan dan evaluasi konsep, presentasi kelas hingga tes
individu.
Berdasarkan uraian masalah dan kajian pustaka dilakukan penelitian
tindakan kelas untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas
XI MIA 6 (Imersi) SMA Negeri 1 Karanganyar melalui penerapan model
pembelajaran konstruktivis-metakognitif. Penelitian ini diharapkan dapat
bermanfaat sebagai salah satu sumber guru didalam melakukan peningkatan
kemampuan berpikir kritis peserta didik menggunakan model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif. Alur kerangka berpikir penelitian tersusun dalam
gambar 2.1
38

Tantangan Abad 21 Masalah dalam Pembelajaran


Perkembangan pesat ilmu Kemampuan berpikir kritis peserta didik
pengetahuan dan teknologi yang masih rendah
berdampak munculnya interaksi
antara manusia dengan lingkungan
semakin kompleks sehingga Faktor yang mempengaruhi rendahnya
permasalahan semakin kompleks Kemampuan Berpikir Kritis, antara lain:
- Peserta didik kurang terlibat dalam penemuan
konsep dan sumber belajar.
Perlu pembelajaran yang - Peserta didik kurang terlibat dalam diskusi,
mengharuskan peserta didik menganalisis permasalahan, dan
memiliki kompetensi penting menyimpulkan kegiatan belajar.
- Kurangnya pembelajaran yang
berupa kemampuan berpikir kritis, mengembangkan potensi peserta didik yaitu
pemecahan masalah, komunikasi berpikir kritis.
dan kolaborasi - Peserta didik kurang cermat terhadap
kesesuaian teori dan pendapat yang diberikan.
- Pembelajaran yang hanya menekankan
Solusi hafalan konsep
Model pembelajaran
konstruktivis-metakognitif Akar Masalah
memiliki tahap pembelajaran
Penerapan model pembelajaran yang masih
yang mampu melatihkan
kurang optimal dan tidak melatihkan
kemampuan berpikir kritis
kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Diperlukan model pembelajaran yang dapat


Model Konstruktivis-Metakognitif
melatih peserta didik dalam mengembangkan
Pembelajaran dapat memberdayakan
kemampuan berpikir kritis
kapasitas berpikir dan kemandirian
belajar peserta didik.
Tahapan Model Konstruktivis-Metakognitif
1. Pembentukan Kelompok Kolaboratif.
2. Aktivasi Konsepsi/skemata Awal
3. Menciptakan Konflik Kognitif
Kemampuan Berpikir kritis Meningkat 4. Perencanaan Pengkonstruksian Konsep
5. Pengkonstruksian, Pemantauan, dan
Evaluasi Konsep
6. Presentasi Kelas
7. Tes Individu
8. Rekognisi Tim (Prayitno, dkk., (2014)

Gambar 2.1 Alur Kerangka Berpikir Penelitan


39

C. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka pikir yang dihubungkan


dengan permasalahan yang ada pada proses pembelajaran Biologi, maka
dirumuskan hipotesis tindakan yaitu penerapan model pembelajaran konstruktivis-
metakognitif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik pada
materi pokok sistem koordinasi kelas XI MIA 6 (Imersi) SMA Negeri 1
Karanganyar Tahun Pelajaran 2015/2016.

Anda mungkin juga menyukai