A. Kajian Pustaka
sekali tidak cocok dengan skema yang telah ia miliki. Sehingga dalam kondisi ini,
peserta didik akan mengadakan proses akomodasi. Proses akomodasi dapat
dilakukan dengan cara membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan
baru atau dengan memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan
rangsangan itu. Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa
peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan
lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme
sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher &
Cooper, 1998).
Lingkungan belajar hendaknya diciptakan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dalam belajar. Terciptanya lingkungan belajar yang baik dapat
membantu peserta didik dalam mencapai perkembangan potensialnya seperti yang
dikemukakan oleh Vygotsky. Berdasarkan teori Vygotsky, diperoleh tiga hal
utama yang berkaitan dengan pembelajaran yakni : (1) pembelajaran efektif
mengarah pada perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan berhasil
dikembangkan melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran efektif
berfokus pada upaya membantu peserta didik untuk mencapai potential
development mereka (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan UPI, 2007). Ada dua
konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 2008), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD)
merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan
sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial. Kemampuan pemecahan masalah ini dilakukan di bawah
bimbingan guru atau melalui kerjasama dengan teman yang lebih mampu.
Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan untuk belajar dan
memecahkan masalah oleh guru kepada peserta didik selama tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk
mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah peserta didik dapat
melakukan sendiri (Slavin, 2008).
Jerome Bruner adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli
psikologi belajar kognitif. Dalam mempelajarai manusia, ia menganggap manusia
11
2) Karakteristik Metakognisi
Metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell di awal tahun
1970. Metakognitif merupakan pengetahuan tentang kognisi secara umum dan
kesadaran akan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri. Wellman (1985)
menyatakan bahwa metakognisi adalah suatu bentuk kognisi yang merupakan
14
proses berpikir urutan kedua atau lebih tinggi yang melibatkan pengendalian aktif
dari proses kognitif. Sehingga dapat didefinisikan sebagai berpikir tentang
berpikir atau kognisi seseorang tentang kognisi.
Flavell (1979), menyatakan bahwa metakognisi adalah pengetahuan
(knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif seseorang
dalam proses belajarnya. Menurut Stewart dan Landine dalam Ellis (2009),
metakognisi merupakan suatu konsep psikologi kognitif yang fokus pada
pastisipasi aktif peserta didik didalam proses berfikirnya. Sedangkan Moore
(2004) menyatakan bahwa metakognisi mengacu pada pemahaman peserta didik
tentang pengetahuannya, sehingga pemahaman yang mendalam tentang
pengetahuannya akan mencerminkan penggunaannya yang efektif atau uraian
yang jelas tentang pengetahuan yang dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan
bahwa pengetahuan-kognisi adalah kesadaran peserta didik tentang apa yang
sesungguhnya diketahuinya dan regulasi-kognisi adalah bagaimana peserta didik
mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif. Karena itu, pengetahuan-kognisi
memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan kondisional, sedang regulasi-
kognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi, monitoring (pemantauan),
pengujian, perbaikan (revisi), pengecekan (pemeriksaan), dan evaluasi.
Berdasarkan beberapa pengertian metakognitif beberapa ahli tersebut
disimpulkan bahwa metakognitif adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita
sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya.
Kemampuan ini sangat penting terutama untuk keperluan efisiensi penggunaan
kognitif kita dalam menyelesaikan masalah. Secara ringkas metakognitif dapat
diistilahkan sebagai “thinking about thingking”.
Pendapat Flavell (1979) yang diperkuat oleh Anderson dan Karthwohl
(2010), deskripsi metakognisi yang meliputi pengetahuan dari strategi,
pengetahuan tentang tugas-tugas kognitif, dan kognisi diri dari peserta didik.
Ketiga jenis komponen tersebut merupakan komponen penting dari proses
pembelajaran.
Desoete (2001) menyatakan bahwa metakognisi memiliki tiga komponen
pada penyelesaian masalah dalam pembelajaran, yaitu: pengetahuan metakognitif,
15
Cara yang dapat dilakukan guru dalam pembentukan tim kolaboratif meliputi:
a) Menyusun urutan peringkat kelas peserta didik dari yang tertinggi sampai
terendah.
b) Menentukan jumlah tim peserta didik, tiap tim maksimal terdiri dari 5-6 orang.
c) Membagi peserta didik ke dalam secara seimbang agar; (1) tiap tim terdiri atas
level kinerjanya berkisar dari yang rendah, sedang, dan tinggi, (2) level kinerja
yang sedang dari semua tim hendaknya setara.
Pada tahap pembentukan kelompok kolaboratif juga dijelaskan tentang
adanya aturan rekognisi tim. Aturan-aturan tersebut meliputi tiga konsep penting,
yaitu: (1) penghargaan tim, yaitu tim dengan skor tertinggi dan dapat mencapai
kriteria yang ditentukan mendapatkan penghargaan; (2) kesuksesan yang sama,
yaitu semua peserta didik memberikan konstribusi kepada timnya dengan
meningkatkan kinerja mereka dari sebelumnya; dan (3) tanggung jawab individu,
yaitu kesuksesan tim tergantung pada kegiatan anggota tim yang saling membantu
satu sama lain.
fenomena tersebut dengan harapan skemata awal peserta didik yang berkaitan
dengan fenomena dapat teraktivasi.
Fenomena yang disajikan dapat berupa fenomena yang sudah dikenal baik
oleh peserta didik maupun fenomena yang sama sekali belum dikenal peserta
didik. Fenomena yang sudah dikenal peserta didik, guru dapat meminta peserta
didik menjelaskan tentang fenomena tersebut. Sedangkan untuk fenomena yang
belum dikenal peserta didik, guru dapat meminta peserta didik meramalkan atau
memprediksi apa yang terjadi dengan fenomena itu, serta meminta peserta didik
menjelaskan dasar argumen dari prediksi mereka.
b) Meminta Peserta Didik Mendeskripsikan Konsepsi Awal Mereka
Guru meminta peserta didik mendiskripsikan skemata awal yang telah
dimiliki yang terkait dengan materi. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengaktivasi skemata awal peserta didik yaitu, membuat peta konsep, peta
pikiran, menggambarkan ilustrasi, menuliskannya dalam bentuk uraian,
menciptakan model, atau kombinasi diantaranya. Tujuan dari kegiatan tersebut
adalah membantu peserta didik mengenali dan memperjelas pemahaman dan
gagasan mereka sendiri.
taraf ini guru perlu menggunakan pertanyaan untuk menggali konsepsi awal yang
dibentuk oleh peserta didik.
Pada tahap ini, peserta didik diberi kesempatan untuk mengembangkan
motivasi dalam mempelajari suatu topik secara kolaboratif. Guru dituntut mampu
memfasilitasi peserta didik dalam merekonstruksi ide-ide mereka. Beberapa hal
yang disarankan dapat dilakukan guru untuk membantu merekonstruksi ide-ide
peserta didik sebagai berikut:
a) Klasifikasi ide yang dikontranskan dengan ide-ide peserta didik lain melalui
diskusi atau kegiatan pengumpulan ide-ide.
b) Membangun ide yang baru, ide-ide baru dapat terbentuk bila dalam diskusi
idenya bertentangan dengan ide lain, atau idenya tidak dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-temannya.
c) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Bila memungkinkan gagasan
yang baru dibentuk oleh peserta didik diuji dengan eksperimen atau diuji
dengan cara memecahkan persoalan-persoalan baru.
d) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah
dibentuk peserta didik perlu diaplikasikan dalam berbagai situasi agar
pengetahuan peserta didik lebih lengkap dan rinci dengan segala macam
pengecualian.
Pada saat pembentukan konsep, peserta didik juga dilatihkan untuk
terampil memantau tujuan yang ingin dicapai, memantau waktu yang digunakan,
memantau kecukupan pengetahuan awal, dan memantau pelaksanaan strategi
kognitif yang mereka pilih. Selain itu, peserta didik juga dituntut untuk terampil
mengevaluasi yaitu mengevaluasi ketercapaian tujuan, mengevaluasi penggunaan
waktu, mengevaluasi relevansi pengetahuan awal, dan mengevaluasi efektivitas
strategi kognitif yang digunakan.
konsep peserta didik yang telah dibangun selama diskusi kelompok. Presentasi
kelas dapat dipimpin oleh guru atau salah satu anggota kelompok peserta didik
yang sedang presentasi di depan kelas.
Kriteria ini merupakan satu rangkaian sehingga untuk menjadi tim sangat
baik sebagian besar anggota tim harus memiliki skor di atas skor awal mereka dan
untuk menjadi tim super sebagian besar anggota tim harus memiliki skor
setidaknya 10 poin di atas skor dasar mereka.
23
5) Guru mampu bersikap fleksibel dan terbuka dalam menghadapi gagasan atau
ide peserta didik.
Menurut penelitian Kirmizi F.S., Ceren S., & Ibrahim H.Y. (2015),
berpikir kritis dan penyelesaian masalah merupakan dua hal penting yang saling
berkaitan karena berpikir kritis dapat dilatihkan melalui latihan penyelesaian
31
masalah. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis harus dikembangkan mulai
dari pendidikan dasar. Berpikir kritis sangat tepat dikembangkan di kelas karena
tahapan keterampilan berpikir kritis bersesuaian dengan keterampilan-
keterampilan proses IPA.
Tabel 2.4. Pertanyaan yang Dapat Memacu Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik
Angka Keterangan
81% - 100%% Baik sekali
61% - 80% Baik
41% - 60% Cukup
21% - 40% Kurang
(Fauziah, 2014)
B. Kerangka Berpikir
Permasalahan yang dihadapi oleh manusia kini semakin kompleks seiring
dengan perkembangan jaman. Permasalahan tersebut muncul karena adanya
interaksi antara manusia dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang
semakin kompleks. Manusia dituntut untuk memiliki kecakapan hidup (life skill)
yang unggul untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Pendidikan memegang
36
peranan penting dalam menciptakan peserta didik yang memiliki kecakapan hidup
(life skill) yang unggul, berkualitas, dan dapat bersaing secara global. Agar dapat
bersaing dalam dunia kerja dan kehidupan pribadi serta sosial, peserta didik harus
memiliki kemampuan dalam memecahkan masalah dan harus bisa berpikir secara
kritis. Hal ini dapat terwujud melalui pendidikan yang berkualitas. Pendidikan
yang berkualitas menuntut adanya perubahan paradigma dari mengajar ke belajar
(teaching to learning), dari pembelajaran teacher centered menjadi student
centered (Tan, 2013). Proses pembelajaran Biologi di kelas XI MIA 6 (Imersi)
SMAN 1 Karanganyar menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta
didik secara riil masih rendah.
Berdasarkan teori-teori pada penelitian yang sudah ada menunjukkan
bahwa kemampuan berpikir kritis sangat penting dilatihkan kepada peserta didik.
Peningkatan kemampuan berpikir kritis dapat dilatihkan dengan pembelajaran
dengan konsep konstruktivisme. Model pembelajaran konstruktivis-metakognitif
merupakan salah satu model pembelajaran yang berpotensi memberdayakan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Model pembelajaran konstruktivis-
metakognitif berorientasi pada pembelajaran yang memberdayakan kapasitas
berpikir dan kemandirian belajar peserta didik. Model pembelajaran berbasis
konstruktivis-metakognitif dapat melatih kemampuan berpikir peserta didik
karena model pembelajaran ini menuntut peserta didik belajar mengkonstruksi
konsep melalui proses asimilasi dan akomodasi melalui kegiatan diskusi dan
eksperimen. Model pembelajaran ini dikembangakan secara terintegratif antara
model pembelajaran yang berbasis konstruktivis dan berbasis metakognitif.
Potensi tahapan model pembelajaran konstruktivis-metakognitif terhadap
peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik, yaitu aspek interpretasi
(interpretation) dapat diasah melalui tahapan sintaks aktivasi skemata awal,
menciptakan konflik kognitif, dan pengkonstruksian konsep. Aspek analisis
(analysis) dapat diasah melalui tahapan sintaks aktivasi skemata awal, tahap
menciptakan konflik kognitif dan tahap pengkonstruksian konsep. Aspek evaluasi
(evaluation) dapat diasah melalui tahapan sintaks pembentukan konsep,
pemantauan, dan evaluasi. Aspek kesimpulan (inference) dapat diasah melalui
37
C. Hipotesis Tindakan