Anda di halaman 1dari 3

Manusia Terbaik Ibadahnya juga Terbaik

Manusia yang berkualitas positif oleh Allah biasanya disimbolkan sebagai golongan kanan
yang akan menerima kitab (catatan amalnya) dari sebelah kanan.
Ibnu Miskawaih, dalam salah satu kitabnya yang terkenal, Tahdzib al-Akhlaq, secara sederhana
pernah membuat ukuran-ukuran untuk menentukan kualitas manusia. Uraiannya tentang ukuran
nilai itu, yang dikemas dengan menggunakan perumpamaan (analogi) dan bahasa yang juga
sederhana, tampaknya bisa menjawab pertanyaan tadi.
Analogi yang dikemukakannya berkisar pada kualitas nilai dari benda-benda di alam semesta
yang berlaku universal. Misalnya, ia bertanya secara retoris, "Tahukah Anda kuda yang baik itu?"
Filosof Islam yang hidup di abad ke-11 itu menjawab pertanyaannya sendiri. Katanya, "Kuda
yang baik adalah kuda yang memiliki ciri-ciri sesuai dengan maksud ia diciptakan."
 
Menurutnya, maksud dari diciptakannya kuda adalah untuk menolong manusia dalam
mengangkut manusia dan atau barang-barang kebutuhan mereka dengan lebih cepat dan kuat
(daya angkutnya). Dengan kata lain ia bisa mempermudah (efektif dan efisien) transportasi
manusia. Maksud lain dari diciptakannya kuda adalah untuk memenuhi sebagian kebutuhan
konsumsi manusia yakni susu. Menurutnya, jika kuda tidak lagi bisa mengangkut manusia dan
barang-barang kebutuhan mereka dengan cepat dan kuat, atau tidak lagi produktif memberikan
susunya, maka ia bukan lagi kuda yang baik. Keberadaannya menjadi tidak bernilai lagi. Ia sudah
menjadi seperti sampah.
 
Pakar ilmu fiqih ini juga mencontohkan analogi dengan benda-benda yang lain seperti rumah,
pakaian dan makanan. Prinsipnya, setiap benda (hidup atau mati) memiliki ukuran nilai yang
ideal selama ia masih memiliki nilai yang sesuai dengan maksud ia diciptakan. Untuk lebih
memudahkan pemahaman, beberapa contoh kontemporer ini tampaknya menarik juga untuk
disimak.
 
Jam yang baik, prinsipnya, adalah jam yang masih bisa digunakan untuk menunjukkan waktu,
karena ia diciptakan maksudnya memang sebagai penunjuk waktu. Karenanya, kalau sudah tidak
bisa berfungsi lagi (karena rusak atau habis baterai), maka ia menjadi barang yang tidak
berguna, dan dengan demikian juga menjadi tidak berharga lagi.
Begitu pula mobil yang baik adalah yang masih bisa mengangkut dengan kuat dan cepat; pulpen
yang baik adalah pulpen yang masih bisa digunakan untuk menulis; lampu yang baik adalah
yang masih bisa menerangi (menyala). Jika fungsi-fungsi dasar itu tidak ada pada benda-benda
tersebut, maka benda-benda itu sudah sama saja dengan sampah.
Kata Ibnu Miskawaih, "Demikian pula halnya dengan manusia." Menurutnya, manusia yang baik
(ideal) adalah yang memiliki fungsi sesuai dengan maksud ia diciptakan. Fungsi itu tercermin dari
kiprah mereka di dalam kehidupan ini. Lantas, apakah maksud dari penciptaan manusia?
 
Allah menegaskan dalam surat adz-Dzariyat ayat 56, bahwa maksud dasar dari diciptakannya
manusia (dan jin) oleh Allah adalah untuk beribadah, menyembah hanya kepada-Nya. "Dan tidak
aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku."
Desain penciptaan manusia dengan misi ibadah tersebut mengandung arti bahwa seluruh
dimensi kehidupan manusia seyogianya hanya berisi pengabdian-pengabdian kepada Allah.
Dengan demikian, seluruh jenak yang dilalui, segenap denyut yang berdetak, sepanjang nafas
yang berhembus, setiap detik yang berlalu, sejauh langkah yang melaju dari keberadaan
manusia, semata-mata dalam rangka penghambaan kepada Allah.
Sudah barang tentu wujudnya tidak cuma aktivitas ritual khusus yang sudah diatur (ibadah
mahdhah) seperti shalat, zakat, puasa dan sebagainya. Melainkan meliputi seluruh aktivitas yang
secara kasat mata tidak tampak sebagai aktivitas ibadah seperti ekonomi, politik, iptek, budaya
dan lain-lain.
 
Bagian ibadah yang disebut sebagai ibadah muamalah ini justru merupakan ekspresi
penghambaan yang paling penting, karena manusia hidup di dunia bersama makhluk yang lain.
Memang, umumnya, aktivitas-aktivitas itu dianggap bercorak duniawi. Tapi justru di situlah
tantangannya, manusia yang baik adalah yang bisa memberi warna pengabdian kepada Allah
terhadap semua aktivitas tersebut.
Proses pewarnaan dunia itu tidak lain merupakan ekspresi ibadah yang oleh al-Quran disebut
dengan istilah Khalifah. Itu berarti, dalam konteks hubungannya dengan makhluk, ekspresi
penghambaan direalisasikan dalam bentuk kepemimpinan terhadap dunia. Tujuannya satu,
menebarkan rahmat bagi semesta alam, rahmatan lil 'aalamiin.
Semua proses dari manifestasi ibadah itu (mahdhah dan muamalah) dalam Al-Quran disebut
sebagai penegakan hukum Allah di muka bumi, yang meliputi aqidah, syariah dan akhlak. Ketiga
nilai inilah yang kemudian dirangkai dalam satu paket ad-Dien (Agama, undang-undang hidup)
bernama Islam.
Dengan demikian, sebetulnya misi ibadah yang diemban manusia itu tidak lain adalah
penegakkan Islam itu sendiri. Caranya, sebagaimana diatur juga oleh Allah sendiri, adalah
dengan membumikan risalah da'wah melalui amaliah jihad dan tarbiyah. Tidak cukup sampai di
situ, proyek berskala raksasa yang berorientasi peradaban itu juga harus dilakukan secara ber-
Jama'ah. Jadi rumusnya adalah, Ibadah sama dengan ber-Islam melalui da'wah, jihad, tarbiyah
dan secara berjama'ah.
Dengan formulasi tersebut, maka jika manusia tidak menjalani fungsi ibadah sesuai dengan
rincian rumus di atas, ia bukan merupakan manusia yang baik. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu
Miskawaih, "Kualitas nilai manusia berbanding lurus dengan kiprah ibadahnya."
 
Meskipun begitu, ibadah dalam formulasi itu, masih membutuhkan bingkai lagi. Sebuah bingkai
berupa kriteria untuk menilai apakah sesuatu itu masuk atau tidak ke dalam kategori ibadah.
Dalam kaitan itu, dikenal istilah niyat (motivasi dasar dalam beramaliah), kaifiyat (proses dan
mekanisme beramaliah) dan ghayat (orientasi, tujuan dan arah amaliah).
 
Ketiga unsur itulah yang merupakan bingkai ibadah. Dengan bingkai itu, semua ekspresi integral
dari ibadah dalam berbagai bentuk dan manifestasinya di atas, secara konseptual maupun
praktis, harus selalu merujuk kepada Allah. Artinya, sesuatu baru bisa disebut ibadah bila
berangkat 'karena, 'dengan' dan 'untuk' Allah. Dalam bahasa al-Quran ketiganya biasa disebut
lillah, billah dan ilallah.
'Karena Allah' (niyat lillah), artinya yang menjadi landasan bagi semua manifestasi ibadah itu
adalah Allah. Di situ, Allah menjadi sebab dan pendorong utama yang memotivasi dilakukannya
suatu aktivitas tersebut.
 
'Dengan Allah' (kaifiyat billah), artinya seluruh rangkaian dari proses aktivitas itu dilakukan
dengan mengikuti cara dan aturan yang sudah diberikan oleh Allah sendiri. Tidak boleh mengikuti
cara-cara yang di luar ketentuan dan petunjuk Allah. Dan 'Untuk Allah' (ghayat ilallah) artinya
seluruh aktivitas ibadah itu hanya dalam rangka mengagungkan Allah serta bertujuan untuk
meraih keridhaannya. 
 
Seringkali terjadi suatu amal, niat dan ghayatnya sudah benar, tapi caranya ditempuh secara
tidak Islami. Atau begitu juga sebaliknya. Karena itu, kalau ingin suatu perbuatan dinilai sebagai
ibadah, maka segala macam kepentingan selain Allah, yakni dunia dan nafsu, harus disingkirkan.
Jika tidak, berarti perbuatan itu termasuk kategori maksiat.
Manusia yang berkualitas positif akan dibalas dengan ganjaran kebaikan dan kenikmatan. Di
dunia berupa kehidupan yang berkah dan bahagia, di akhirat berupa pahala dan surga.
Sebaliknya, manusia yang berkualitas negatif, di dunia akan disiksa dengan kehidupan yang
penuh penderitaan dan di akhirat akan dibuat sengsara dengan azab neraka.
 
Manusia yang berkualitas positif oleh Allah biasanya disimbolkan sebagai golongan kanan yang
akan menerima kitab (catatan amalnya) dari sebelah kanan. Sebaliknya manusia yang kualitas
nilainya negatif, Allah menyebutnya sebagai golongan kiri yang akan menerima kitab dari kiri dan
belakang. Allah menetapkan hukum penilaian dan pembalasan tersebut dalam banyak ayat-Nya.
Misalnya dalam surat Al-Insyiqaq ayat 6-12: "Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pastilah kamu akan menemui-Nya (untuk
menerima pembalasan). Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya,
maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah. Dan dia akan kembali kepada
kaumnya (yang sama-sama beriman)dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya
dari belakang, maka dia akan berteriak, 'Celakalah aku'. Dan dia akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)."

Anda mungkin juga menyukai