Anda di halaman 1dari 5

Critical review

STUDI GERAKAN ISLAM


Latar belakang
Pendahuluan ini mencakup gagasan bahwa manusia dalam Islam dianggap sebagai
makhluk puncak ciptaan Allah SWT. Al-Qur'an diutus untuk memberikan pedoman hidup,
sementara fitrah memberikan dasar moral dan nalar untuk menguasai makhluk lain demi
menciptakan kehidupan yang makmur. Dalam konteks ini, manusia dipandang sebagai 'abdun
(hamba) dan khalifah, dilengkapi dengan potensi akal, budi, moral, dan nalar.
Konsep manusia dalam Al-Qur'an mencakup tiga istilah kunci: al-basyar, al-insan, dan
an-nass, merujuk pada dimensi biologis, psikologis, spiritual, dan sosial. Melalui tahapan
penciptaannya, manusia dibentuk dari tanah, diberikan kehidupan, dihembuskan ruh, dan
memiliki nafs sebagai identitas pribadi.
Tantangan utama manusia adalah memahami dan menjalankan peran ganda sebagai
hamba Allah yang beribadah dan khalifah yang bertanggung jawab menjaga keharmonisan
dengan sesama manusia dan alam. Keselarasan antara fungsi kehambaan dan kekhalifahan
menjadi kunci bagi manusia untuk mencapai falah, yakni kesuksesan dan kebahagiaan sejati.
Dengan pemahaman ini, manusia diharapkan mampu menjalani kehidupan sesuai fitrahnya,
menyatu dalam peran sebagai hamba dan khalifah yang seimbang.

Dasar teori
Dasar teorinya mencakup konsep manusia dalam Islam, di mana manusia dipandang
sebagai khalifah di bumi, bertanggung jawab menjaga keseimbangan dan keadilan sesuai
dengan ajaran Al-Qur'an (Al-Baqarah: 30). Fitrah, sebagai kodrat alami manusia, menuntun
cenderung kepada kebenaran dan kebaikan, yang jika diikuti, membawa kehidupan yang
sesuai dengan rencana Allah (Ar-Rum: 30).

Konsep kehambaan dan kekhalifahan menjadi dasar bagi manusia dalam memahami
peran ganda mereka. Sebagai 'abdun (hamba), mereka memiliki kewajiban beribadah kepada
Allah, sementara sebagai khalifah, mereka memiliki tugas untuk memakmurkan bumi dan
menjaga keseimbangan dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam (Al-Baqarah:
205).

Pemahaman tentang fitrah manusia menjelaskan bahwa manusia memiliki


kecenderungan alami menuju kebenaran, dijelaskan sebagai agama Allah yang lurus (hanif)
dalam tafsir Ibn Katsir (Katsir, 2015).Tahapan penciptaan manusia dari jasad, hayat, ruh,
hingga nafs menggambarkan proses kompleks yang membentuk identitas pribadi manusia,
mencerminkan kedalaman konsep penciptaan dalam perspektif Islam (Al-Mukminun: 12-14).

Dengan pemahaman ini, manusia diharapkan dapat menjalani kehidupan sesuai


fitrahnya, menyatu dalam peran ganda sebagai hamba dan khalifah yang seimbang,
mencapai falah, yaitu kesuksesan dan kebahagiaan sejati dalam kehidupan.

PEMBAHASAN

Manusia, sebagai puncak ciptaan Allah SWT, memiliki posisi mulia sebagai 'abdun (hamba)
dan khalifah. Fitrahnya, yang mencakup potensi akal, budi, moral, dan nalar, mendorong
manusia untuk menguasai makhluk lain demi kehidupan yang makmur dan bermanfaat.
Dalam fitrahnya, manusia cenderung kepada kebenaran, yang Allah tegaskan dalam QS. Ar-
Rum: 30.

Fitrah, seperti dijelaskan oleh Ibnu Katsir, merujuk pada agama Allah yang hanif (lurus). Hadits
Nabi SAW, juga menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan di atas fitrah Islam, tetapi
lingkungan dan tindakan dapat menyimpangkannya. Ketika manusia hidup sesuai dengan
fitrahnya, melakukan kebaikan, kebenaran, dan kesucian, ia mengikuti desain awal
penciptaannya. Sebaliknya, menentang fitrah berarti menyimpang dari tujuan kebahagiaan.
Manusia adalah tema sentral dalam Al-Qur'an, menjadi tujuan, objek, dan subjek, mengajak
menuju kebenaran dan kebaikan.
Dasar teorinya mencakup konsep manusia dalam Islam, di mana manusia dipandang sebagai
khalifah di bumi, bertanggung jawab menjaga keseimbangan dan keadilan sesuai dengan
ajaran Al-Qur'an (Al-Baqarah: 30). Fitrah, sebagai kodrat alami manusia, menuntun
cenderung kepada kebenaran dan kebaikan, yang jika diikuti, membawa kehidupan yang
sesuai dengan rencana Allah (Ar-Rum: 30).

Konsep kehambaan dan kekhalifahan menjadi dasar bagi manusia dalam memahami peran
ganda mereka. Sebagai 'abdun (hamba), mereka memiliki kewajiban beribadah kepada Allah,
sementara sebagai khalifah, mereka memiliki tugas untuk memakmurkan bumi dan menjaga
keseimbangan dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam (Al-Baqarah: 205).

Pemahaman tentang fitrah manusia menjelaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan


alami menuju kebenaran, dijelaskan sebagai agama Allah yang lurus (hanif) dalam tafsir Ibn
Katsir (Katsir, 2015).

Tahapan penciptaan manusia dari jasad, hayat, ruh, hingga nafs menggambarkan proses
kompleks yang membentuk identitas pribadi manusia, mencerminkan kedalaman konsep
penciptaan dalam perspektif Islam (Al-Mukminun: 12-14).

Dengan pemahaman ini, manusia diharapkan dapat menjalani kehidupan sesuai fitrahnya,
menyatu dalam peran ganda sebagai hamba dan khalifah yang seimbang, mencapai falah,
yaitu kesuksesan dan kebahagiaan sejati dalam kehidupan.

Manusia, dilihat dari perspektif bagaimana mereka melakukan kegiatan yang disadari oleh
akal dan terealisasi dalam kehidupan nyata, melibatkan perencanaan, tindakan, dan akibat
yang timbul. Al-Insan, dalam konteks ini, terus berkaitan dengan unsur rohani.

An-Nass, sebagai konsep kunci ketiga, merujuk pada manusia sebagai makhluk sosial. Dalam
Al-Qur'an, an-nass disebut sebanyak 240 kali, menekankan sifat manusia sebagai makhluk
sosial yang membutuhkan interaksi dan keharmonisan dalam bermasyarakat. Pemahaman
ini menggarisbawahi pentingnya hidup bersaudara dan menghindari saling menjatuhkan.

Ketiga makna tersebut—basyar (biologis), insan (psikologis, spiritual, dan intelektual), dan
nass (sosial)—harus terintegrasi dalam diri manusia. Multidimensi manusia, seperti yang
digambarkan dalam Al-Qur'an, menunjukkan kebutuhan bermacam-macam, mulai dari aspek
biologis hingga sosial. Salah satu tanda kebesaran Allah adalah menciptakan manusia dari
setetes air mani, berkembang menjadi makhluk sempurna.

Tahapan penciptaan manusia mencakup jasad, hayat (kehidupan), dan ruh. Jasad, terbuat
dari tanah, mengalami perubahan sesuai waktu. Kehidupan dimulai dari air yang hina,
membawa jutaan sel hidup dalam kandungan wanita, dan akhirnya, melalui proses
kesempurnaan, dilahirkan ke bumi. Ruh, yang berarti angin atau nafas, menandai kehidupan
manusia, menjadi sandaran bagi jasad, dan memberikan makna pada eksistensinya.

Manusia, dalam perspektif Al-Qur'an, memiliki empat tahapan penciptaan: jasad, hayat, ruh,
dan nafs. Kata "ar-ruh" terkait dengan "al-quds" dan "al-amin," serta berperan dalam perintah
Allah dan penyempurnaan manusia. Nafs, memiliki dua pengertian, berkaitan erat dengan
nafsu dan keakuan.
Fitrah manusia, sebagai puncak ciptaan Allah, memberikan potensi akal, budi, moral, dan
nalar. Dalam fitrah ini, manusia cenderung kepada kebenaran dan kebaikan. Kesucian fitrah
ini diakui dalam QS. Ar-Rum:30, mengajak manusia menghadap lurus kepada agama (Islam).

Dalam kehambaan (abdu), manusia menunjukkan relasinya secara personal dengan Tuhan.
Ia diwajibkan beribadah dan tunduk pada perintah Tuhan. Sebagai khalifah, manusia diberi
tanggung jawab untuk memakmurkan bumi dan berinteraksi dengan sesama manusia serta
alam.

Perlu adanya sinergi antara kehambaan dan kekhalifahan dalam kehidupan seimbang.
Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia adalah kehidupan yang sukses atau "falah,"
mencakup keberhasilan, kebahagiaan, dan kesuksesan. Karakteristik manusia sejati
melibatkan pemenuhan kebutuhan hidup serta pengembangan talenta dan potensi.

Dengan memahami fitrah dan menjalankan tugas sebagai abdun (hamba) dan khalifah,
manusia dapat mencapai kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah. Ini
menggambarkan keselarasan fungsi kehambaan dan kekhalifahan dalam menjalani
kehidupan ini secara seimbang.

Sejak awal HMI telah mencantumkan “Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama
Islam” sebagai salah satu tujuannya, di samping “Mempertahankan dan mempertinggi derajat
rakyat Indonesia”. Dengan demikian, Islam telah dijadikan sebagai landasan organisasi.
Dalam hal ini HMI tidak mendasarkan diri pada “mazhab” tertentu, walau kemudian dalam
pola pemikirannya HMI cenderung sebagai kelompok intelektual muslim pembaharu.

Dari situ HMI menuangkan pemahaman keislamannya yang tertampung dalam sebuah buku
pedoman yang diberi nama Nilai Dasar Perjuangan (NDP). NDP merupakan gambaran
bagaimana seorang HMI memahami Islam sebagaimana tercantum dalam al-Quran. Secara
doktrin, yang terkandung dalam NDP bukanlah ajaran yang bertentangan dengan Islam,
melainkan merupakan formulasi kembali atas al-Quran sehingga tertuang menjadi suatu
kepribadian bagi kader HMI dalam mewujudkan amanat Tuhan sebagai khalifah fil-ardhi.

NDP adalah landasan ideologis perjuangan HMI, sebagai ruh yang mendorong moral
pergerakan kader. Pemahaman terhadap NDP diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan
diri kader akan keyakinan ilahiahnya, membangun semangat humanisme dalam interaksi
dengan sesama manusia, dan sebagai sumber nilai moral yang mengiringi ilmu pengetahuan
untuk diabdikan bagi kemanusiaan. Dengan demikian nilai-nilai NDP bisa menjadi identitas
yang khas bagi kader-kader HMI.

Sejarah Perumusan

Rumusan NDP seperti yang kita lihat sekarang bukanlah hasil yang sekali jadi, melainkan
hasil perkembangan pemikiran dan penghayatan mendalam atas sejarah perjuangan HMI
secara keseluruhan. Bahkan kalau kita hitung jarak antara berdirinya HMI dengan perumusan
NDP, tercatat waktu lebih 20 tahun.

Secara sosiologis, NDP dirumuskan dalam kancah pertarungan ideologiideologi besar yag
ada pada saat itu. Nasionalisme Bung Karno, Komunisme PKI, dan Sosialisme PSI adalah
ideologi-ideologi yang secara umum berebut pengaruh. Di samping itu yang juga mendorong
perumusan NDP adalah perlawatan Nurcholish Madjid ke Amerika (Oktober 1968) atas
beasiswa sebagai pemimpin mahasiswa dari Council for Leaders and Specialist, Washington.
Namun menurutnya yang banyak memberikan terhadap sikap dan gagasannya bukan itu,
melainkan kunjungannya ke beberapa negara di Timur Tengah (Turki, Libanon, Syiria, Irak,
Kuwait, Saudi, Sudan dan Mesir) selama empat bulan setelah lawatannya ke Amerika.
Faktor-faktor berikut dikemukakan Cak Nur sebagai hal yang menginspirasikan perumusan
NDP: pertama, tidak adanya bacaan yang komprehensif dan sistematis tentang ideologi
Islam. Kedua, kecemburuan terhadap anak-anak muda komunis yang oleh partainya
disediakan buku pedoman kecil berjudul Pustaka Kecil Marxis (PKM). Ketiga, ketertarikan
terhadap buku kecil yang ditulis oleh Willy Eihleir, Fundamental Values and Basic Demand of
Democratic Socialis. Tulisan ini merupakan upaya reformasi ideologis bagi partai sosialis
demokrat Jerman di Jerman Barat.

Karena itu jelas bahwa dari latar belakang perumusannya Nurcholish Madjid ingin
menempatkan NDP sebagai idelogi bagi HMI, yang diharapkan dapat menandingi ideologi-
ideologi lain yang berkembang pada saat itu.

Iman Ilmu Amal


Secara garis besar, ada tujuh persoalan yang dibahas dalam NDP. 1) Dasardasar
Kepercayaan; 2) Pengertian-pengertian Dasar tentang Kemanusiaan; 3) Kemerdekaan
Manusia (ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir); 4) Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Perikemanusiaan; 5) Individu dan Masyarakat; 6) Keadilan Sosial dan Ekonomi; 7)
Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan. Ketujuh persoalan itu secara sederhana dapat
diintisarikan dalam tiga kata: iman, ilmu, amal.

Iman, adalah bentuk kepercayaan yang paling mendasar dalam diri manusia. Hidup yang
benar dimulai dengan iman yang benar. Iman yang benar adalah percaya kepada Allah, Tuhan
Yang Maha Esa, disertai takwa, yaitu keinginan

mendekat serta kecintaan kepadaNya. Manusia berhubungan dengan Tuhan dalam bentuk
penghambaan atau penyerahan diri (islam), berupa ibadah (pengabdian formil/ritual). Ibadah
mendidik individu agar tetap ingat kepada Tuhan dan berpegang teguh pada kebenaran
sebagaimana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Dengan ibadat, manusia dididik untuk
memiliki kemerdekaannya, kemanusiaannya, dan dirinya sendiri; sebab ia telah berbuat
ikhlas, yaitu memurnikan pengabdian hanya kepada kebenaran (Tuhan) semata-mata. Inilah
yang disebut tauhid. Lawannya adalah syirik, yaitu memperhambakan diri kepada sesuatu
selain Tuhan. Syirik merupakan kejahatan terbesar bagi kemanusiaan karena sifatnya yang
meniadakan kemerdekaan asasi.

Tuhan adalah mutlak. Kebenaran Tuhan dengan demikian bersifat mutlak. Yang selain Tuhan
(baca: manusia) adalah relatif. Namun sudah merupakan tugas sejarah bagi yang relatif ini
untuk terus-menerus berupaya mencapai Yang Mutlak, karena dari sanalah manusia berasal
dan kepada-Nyalah manusia kembali. Kembali kepadaNya berarti menuju kepada Kebenaran.
Namun Kebenaran yang sifatnya mutlak tidak mungkin dicapai oleh manusia. Manusia hanya
dapat mencapai kebenaran-(kebenaran) yang relatif. Untuk itu manusia memerlukan ilmu,
yang merupakan alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran itu.
Sekalipun relatif, kebenarankebenaran itu merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui
manusia dalam perjalanan menuju Kebenaran Mutlak.

Ilmu adalah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang alam dan dirinya
sendiri. Hubungan manusia dengan alam bersifat penguasaan dan pengarahan. Alam
tersedia bagi manusia untuk kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Penguasaan dan
pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumNya
yang tetap (sunnatullah). Pengetahuan itu dapat dicapai dengan mendayagunakan
intelektualitas rasionalitas secara maksimal.

Manusia adalah makluk sosial, hidup di antara dan bersama manusiamanusia lain dalam
hubungan tertentu. Oleh karena itu manusia tidak mungkin dapat memenuhi kemanusiaannya
dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya. Iman dan ilmu saja tidaklah berarti apa-apa
jika tidak diterapkan dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan. Inilah yang disebut amal.
Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yang
sungguh-sungguh secara esensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan,
yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri
dan martabat sebagai manusia. Usaha ini disebut amar ma’ruf. Lawannya disebut nahi

munkar, yaitu mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam bentuk yang lebih konkrit, usaha ini diwujudkan misalnya melalui pembelaan terhadap
kaum lemah dan tertindas, serta usaha ke arah peningkatan nasib dan taraf hidup mereka
yang wajar dan layak sebagai manusia.

Dengan integrasi iman, ilmu, dan amal itulah manusia akan mampu memenuhi kodratnya,
yaitu sebagai hamba di hadapan Tuhan dan sebagai khalifah di hadapan alam. Cita-cita ideal
HMI kiranya tertuang dalam NDP tersebut. menjadi manusia kreatif yang mampu berinovasi
dalam kerja-kerja nyata demi mempertinggi harkat kemanusiaan (amal saleh); disertai ilmu
sebagai alat untuk melakukan itu; dan tentu saja dilandasi oleh iman yang benar.

Status NDP

Selama ini HMI dikenal dengan tradisi pembaharuannya. Dalam pembaharuan akan selalu
ada kritik dan otokritik terhadap segala sesuatu yang ada. Hal ini memungkinkan adanya
perbaikan dan pengembangan ke arah yang lebih baik.

Meskipun NDP berpretensi ideologis, NDP tidak boleh diperlakukan sebagai dogma yang
taken for granted oleh kader-kader HMI. NDP bagi HMI tidaklah sama dengan al-Quran bagi
umat Islam. Bagaimana pun NDP adalah buatan manusia. Karena itu meskipun
perumusannya didasarkan pada wahyu yang bersifat mutlak, NDP tak lebih dari sekadar hasil
interpretasi manusia yang nilai kebenarannya relatif. NDP bolehlah dikatakan sebagai satu
usaha berupa landasan filosofis untuk mencapai Yang Mutlak, Kebenaran, yaitu Tuhan itu
sendiri. Keberadaan NDP harus disikapi secara kritis. Cak Nur sendiri, selaku salah seorang
perumus NDP, ketika ditanya apakah NDP masih relevan dengan kondisi sekarang ataukah
perlu diganti, mengatakan bisa saja, asal tingkat intelektualitasnya tidak lebih rendah dari yang
ada sekarang.

Referensi

Modul Perkaderan HMI terbitan HMI Cabang Ciputat 1993-1994.

Kumpulan makalah Pusdiklat Regional Pemahaman Nilai Identitas Kader, HMI Badko Jawa
Bagian Tengah, Juli 1999.

Hasil-hasil Kongres 22 di Jambi.

Catatan

Tulisan ini awalnya ditulis sebagai syarat mengikuti Senior Course (SC) di HMI Cabang
Jakarta bulan Februari tahun 2003.

Anda mungkin juga menyukai