Anda di halaman 1dari 3

Dakwah Nafsiyah: Membangun Keshalehan Diri Sendiri

Oleh: Drs. AHMAD GOJIN, M.Ag


(Penulis: Dosen UIN Bandung dan STID Sirnarasa Ciamis)

Hai Orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telahnya untuk hari esok (akhirat….(QS. Al-Hasyr (59): 18).
Islam adalah agama dakwah, yaitu dalam ajarannya memerintahkan umatnya untuk mengajak
keberbagai lini kehidupan manusia, supaya mereka beriman, bertaqwa, serta beramal sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Artinya dakwah ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab semua
umat Islam yang sudah mukallaf, laki-laki dan perempuan, sendiri dan kelompok, ulama dan
intelek, aktivis dan politisi hartawan dan dermawan, dimanapun dan kapanpun sesuai dengan
kapasitas, kemampuan dan kompetensinya masing-masing. Ulama dan intelek berdakwah
dengan ilmu dan pemikirannya. Aktivis, politisi, dan pemerintah berdakwah dengan jabatanya.
Hartawan dan dermawan berdakwah dengan hartanya. Karena dakwah dilakukan untuk
membangun manusia, baik dirinya sendiri, kelompok dan jamaah agar menjadi hamba Allah
yang Shaleh dan bertaqwa kepadanya.
Konsep Dakwah Nafsiyah
Dakwah Nafsiyah (dakwah intrapersonal) adalah dakwah yang da’i (subjek) dan mad’u (objek)
dakwah ialah dirinya sendiri. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah adalah prosesperubahan pada
dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya tetap berada dijalan yang diridha Allah. Tujuan
dari dakwah nafsiyah adalah mewujudkan pribadi seseorang senantiasa menjadi hamba yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dan keimanan dan ketaqwannya itu diaktualisasikan
dalam segenap aspek kehidupannya. Dakwah nafsiyah ini pada implementasinya dilakukan
melalui ibadah vertikal dan ibadah horizontal.
Konsep Nafsiyah (pribadi) Sebagai Manusia
Sebelum menjelaskan tentang metode dakwah nafsiyah, penulis mencoba menyinggung
terlebih dahulu tentang manusia menurut pandangan Islam.
Dalam pandangan Islam, manusia, baik sebagai pribadi (dirinya sendiri) maupun sosial adalah
makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di muka bumi ini. Oleh karenanya manusia
dijadikan khalifah Tuhan di bumi  karena manusia mempunyai kecenderungan dengan Tuhan.
Dan kitab Suci al-Qur’an ada beberapa kata untuk merujuk kepada arti manusia
yaituinsan, basyar dan bani Adam.
Hakekat penciptaan manusia dalam perspektif Islam dengan merujuk pada nash Alquran, selalu
bertitik tolak pada term khalaqa (menciptakan) dan atau ja’ala (menjadikan). Dimana Allah lah
sebagai maha pencipta dan yang menjadikan manusia ada di muka bumi ini. Kedua term ini,
mengimformasikan bahwa manusia itu tercipta atas dua unsur yakni materi dan immateri.
Kedua unsur yang disebutkan di atas, dapat tumbuh dan berkembang melalui proses
pendidikan. Dengan demikian, manusia dapat disebut sebagai homo educandum (makhluk yang
dapat didik) dan homo education (makhluk pendidik). Dari paradigma ini, menyebabkan ke-
eksistensian manusia secara fitrawi disebut sebagai makhluk pedagogik, yakni makhluk Tuhan
yang sejak diciptakannya telah membawa potensi untuk dapat didik dan dapat mendidik. Hal ini
jelas, manusia sejak kecil dirawat oleh orangtuanya, sebagai manusia yang lemah. Ia diajarkan
berbagai macam hal yang ia butuhkan untuk bertahan hidup, bertahap (step by step) bayi yg
semula hanya bisa melakukan aktivitas dalam gendongan ibu akhirnya mampu melaksanakan
kegiatannya dengan tumpuan kakinya sendiri untuk berjalan.
          Sementara itu,  dalam menentukan struktur kepribadian diri manusia tidak dapat terlepas
dari masalah substansi manusia itu sendiri, sebab masalah substansi tersebut dapat diketahui
hakikat dan dinamika prosesnya. Pada umumnya para ahli membagi subtansi manusia yang
hidup terdiri atas dua bagian penting, yaitu jasmani (fisik) dan ruhani (psikis). Masing-masing
kedua aspek ini pada prinsipnya saling melengkapi dan saling membutuhkan. Jasmani tanpa
ruhani merupakan substansi yang mati, alias bangkai, sedang ruhani tanpa jasmani tidak dapat
teraktualisasi dan terwujudkan. Karena saling melengkapi dan membutuhkan keduanya maka
diperlukan perantara yang dapat menampung kedua naluri tersebut, yang dalam terminologi
psikologi Islam disebut dengan nafs. Dan nafs yang berwujud manusia secara pribadi
disebutnafsiyah (diri sendiri).

Metode Dakwah Nafsiyah


Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bahwa subtansi manusia yang hidup terdiri atas dua
bagian penting, yaitu jasmani (fisik) dan ruhani (psikis). Masing-masing kedua aspek ini pada
prinsipnya saling melengkapi dan saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, dalam dakwah nafsiyah ini, bagaimana cara (metode) manusia (sebagai
dirinya sendiri) untuk mengoptimalkan potensi jasmani dan ruhaninya tersebut secara baik dan
konsisten dalam rangka meraih kebahagian dan keselamatan di dunia dan akhirat. Adapun cara
(metode) dakwah nafsiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, unsur jasmani, yakni wujud dari komponen material atau fisikal diri seseorang.
Menurut Imam al-Ghazali bahwa komponen jasmani ini dapat bergerak, memiliki ras, berwatak
gelap dan kasar, dan tidak berbeda dengan benda-benda lain. Maka jasmani ini harus diisi
dengan hal-hal yang bersifat material, seperti mengkonsumsi makanan yang bergizi, minum
yang menyehatkan, olah raga, istirahat yang cukup, bekerja mencari nafkah dan lain-lain.
            Kedua, unsur ruhani, yakni jisim nurani yang tinggi, hidup dan bergerak menembusi
anggota-anggota tubuh dan menjalar di dalam diri manusia. Menurut Imam al-Ghazali
berpendapat bahwa roh itu mempunyai dua pengertian : roh jasmaniah dan roh rihaniah. Roh
jasmaniah ialah zat halus yang berpusat diruangan hati (jantung) serta menjalar pada semua
urat nadi (pembuluh darah) tersebut ke seluruh tubuh, karenanya manusia bisa bergerak
(hidup) dan dapat merasakan berbagai perasaan serta bisa berpikir, atau mempunyai kegiatan-
kegiatan hidup kejiwaan. Sedangkan roh rohaniah adalah bagian dari yang ghaib. Dengan roh ini
manusia dapat mengenal dirinya sendiri, dan mengenal Tuhannya serta menyadari keberadaan
orang lain (kepribadiam, ber-ketuhanan dan berperikemanusiaan), serta bertanggung jawab
atas segala tingkah lakunya. Maka ruhani ini harus diisi dengan hal-hal yang bersifat non
material, seperti shalat (wajib dan sunah), berzikir, berdoa, berpuasa (wajib dan sunah), zakat,
infaq dan sadaqah dan bentuk ibadah lainnya.
Dari uraian diatas, dapat diambil benang merahnya, bahwa dakwah nafsiyah adalah dakwah
yang da’i (subjek) dan mad’unya (objek) ialah dirinya sendiri. Dengan kata lain, dakwah nafsiyah
adalah proses perubahan pada dirinya sendiri (baik jasmani dan ruhani) supaya seluruh aspek
kehidupnya tetap berada dijalan yang diridha Allah, sehingga dirinya dapat mencapai
kebahagian dan keselamatan di dunia dan di akhirat nanti.
Adapun cara (metode) yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) unsur jasmani, misalnya
makan yang bergizi, olahraga dan lain-lain; 2) unsur ruhani, misalnya shalat, berzikir, berdoa
dan lain-lain. Wa-Allahu ‘Alam.  

Anda mungkin juga menyukai