Anda di halaman 1dari 16

BAB 5

MANUSIA MAHLUK SOSIAL

KOMPETENSI DASAR

 Mahasiswa bisa merumuskan pola hubungan vertikal mahluk-Khalik;


 Mahasiswa bisa menjelaskan perbedaan konsep ibadat mahdhah dan ghair mahdhah;
 Mahasiswa bisa merumuskan pola hubungan horizontal manusia-manusia;
 Mahasiswa bisa merumuskan pola hubungan horizontal manusia-alam;
 Mahasiswa bisa menguraikan secara lengkap konsep bisnis islami;
 Mahasiswa bisa menjelaskan batasan pengertian dan fungsi faraidh; dan
 Mahasiswa bisa menyimpulkan rambu-rambu manusia sebagai mahluk siasah

Materi Bab 5 ini terdiri atas: 1) Pola hubungan vertikal


makhluk-Khalik; 2) konsep ibadat mahdhah dan ghair
mahdhah; 3) pola hubungan horizontal manusia-manusia;
4) bisnis Islami, 5) Faraidh (Mawarits), 6) manusia mahluk
siasah, 7) hubungan horizontal manusia-alam; 8)
peringatan Allah tentang takaran dan timbangan dan 9)
konsep halalan-thayyiban.

Untuk mencapai sasaran belajar yang optimal, mahasiswa


diberi latihan berupa diskusi tentang hasil pengembangan
materi ajar melalui kegiatan unduhan dari berbagai sumber.

5.1 Pola Hubungan Vertikal Mahluk-Khalik

Dinul Islam membimbing manusia untuk tegak sebagai seorang pribadi. Setiap
individu memiliki kewajiban dan hak masing-masing langsung dengan Allah. Setiap
manusia berhubungan langsung dengan Khaliknya tanpa perlu perantara. Hubungan
manusia (makhluk) dengan Allah (Khalik) adalah hubungan vertikal langsung tak
memerlukan perantara. Setiap orang, tidak dibatasi ruang dan waktu, bisa
“menghadap” Allah. Untuk menghubungi Allah secara langsung, Dinul Islam telah
menetapkan bentuk hubungan tanpa-penghalang dengan Allah swt dalam bentuk doa.
Shalat adalah salah satu perilaku berdoa kepada Allah sebagai salah satu bagian ibadat
mahdhah. Berdo’a dalam bentuk yang lain adalah memohon langsung kepada Allah
dengan ucapan permohonan (dicontohkan oleh Nabi) atau pun ucapan lain sesuai
dengan bahasa dan kebutuhan manusia.

Kehidupan umat muslim harus dipenuhi oleh doa-doa. Sejalan dengan pernyataan
hadits Nabi bahwa “addu’aa mukhkhul ibadat”, doa itu adalah saripatinya ibadat. Pada
kenyataannya segala sisi kehidupan umat muslim tidak akan pernah lepas dari dzikir
kepada Allah, mengingat Allah, melalui doa pada setiap awal pekerjaan. Tak ada yang
kosong dari doa, semua jenis pekerjaan baik dicontohkan oleh Nabi saw lengkap
dengan doanya. Tak ada alasan, hubungan vertikal makhluk-Khalik terhalang oleh
waktu, kesibukan, dan sejenisnya. Siapapun manusia muslim, tanpa dibatasi profesi,
status sosial, ruang, maupun waktu, bisa berhubungan langsung dengan Khaliknya
unlimited. Semua kesempatan berisi tuntunan dzikir, yang bisa mengantar manusia
selalu menyadari adanya Yang Mahaada, yang selalu mengawasi, selalu memelihara,
selalu online, dan menjadi tujuan semua permohonan serta pengaduan. Tidak ada
tempat yang penting sebagai shelter jedanya semua usaha, kecuali mengingat Allah swt
melalui doa dan doa.

Konsep ibadat di dalam agama Islam bukan sekadar melaksanakan ibadat mahdhah.
Ibadat mahdhah adalah ibadat utama yang harus dilakukan terkait dengan banyak
aturan tentang waktu, jumlah, maupun ruang kegiatan (lihat penjelasan sebelumnya).
Jika ibadat mahdhah telah terselesaikan, ada ibadat lain (ibadat ghair mahdhah) yang
harus melengkapinya. Ibadat shalat wajib harus digandengkan dengan shalat sunnat.
Agar shalat wajib menjadi lokomotif (periksa bahasan sebelumnya), maka shalat wajib
harus dilengkapi dengan shalat sunnat. Shalat wajib yang --pada kenyataannya--
mungkin tidak bisa dilaksanakan secara sempurna, bisa “disempurnakan” dengan
melaksanakan shalat-shalat sunnat sebagai “penambal” kekurangan dalam shalat yang
utama. Banyak shalat sunnat yang menyertai pelaksanaan shalat wajib. Ada shalat
sunnat rawatib yang ditempatkan pada waktu sebelum (qabliyah) atau sesudah
(ba’diyah) shalat wajib. Dalam sejumlah keterangan para ulama, shalat sunnat rawatib
ini bisa dikategorikan sebagai aktivitas sunnat yang sangat penting, bahkan mendekati
wajib untuk dilaksanakan. Begitupun shalat sunnat lainnya yang bukan rawatib, seperti
shalat sunnat tahajjud, shalat dhuha, shalat tahiyyatul masjid, dan sejumlah shalat
sunnat yang kerap dilaksanakan oleh Rasulullah.

Khusus tentang istilah sunnat (sunnah), ada yang mendefinisikannya dengan “bila
dikerjakan akan mendapatkan pahala, jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan pahala”.
Pengertian ini adalah pengertian yang keliru. Istilah sunnat terkait erat dengan perilaku
Nabiyullah Muhammad saw, segala sesuatu yang biasa dilakukan (sekaligus menjadi
teladan) Rasulullah. Bukankah ada dua hal yang menjadi warisan dari Rasulullah untuk
ummatnya, yaitu Al-Quran dan sunnaturrasul? Jika pandangan tentang hal sunnat
seperti tadi, “jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tak akan ada
efek apa-apa”, berarti begitu banyak orang yang telah meninggalkan sunnaturrasul,
karena hanya merasa harus mengerjakan yang wajib semata. Untuk diakui menjadi
ummat Rasulullah Muhammad saw, berarti di anataranya harus memenuhi apa yang
pernah diteladankan Rasululah. Dan, ketika seseorang hanya memenuhi hal-hal yang
wajib semata, dapatan yang akan diterima hanya sekadar memenuhi tuntutan kewajiban
(: jika kewajiban itu dilaksanakan secara sempurna). Padahal, tak akan ada sesuatu
pekerjaan manusia yang bisa dilakukan secara sempurna. Oleh karena itu, yang
sunnatlah (ibadat sunnat) yang menambal kekurangsempurnaan pekerjaan (ibadat)
yang wajib!

Ibadat shaum dilengkapi ibadat shaum sunnat yang menyertainya. Misal, shaum sunnat
Senin-Kamis, shaum sunnat ayyaamul bidh (tiga hari setiap pertengahan bulan), shaum
sunnat Nabi Daud (dilaksanakan selang sehari), dan shaum sunnat lainnya. Zakat yang
wajib dilengkapi dengan zakat yang sunnat (periksa kembali bahasan tentang zakat,
shadaqah, dan infaq), bahkan ada zakat yang wajib aini (kewajiban masing-masing
pribadi, dengan persyaratan-persyaratan kondisi tertentu) yaitu zakat fitrah. Ibadat hajji
juga demikian. Hajji yang wajib (sekali selama hidup) didampingi dengan kegiatan
yang hampir sama dengannya yaitu umrah.

Dalam konsep Islam, semua kegiatan manusia muslim/muslimat bisa dihargai sebagai
bentuk ibadat. Dalam salah satu hadits, Nabi menyatakan bahwa “kullu ‘amalin la
yubdau fiihi bibismillaahirrahmaanirrahiim, fahuwa aqtha”, setiap amal yang tidak
didahului dengan bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim, maka terputus pahalanya.
Artinya, semua pekerjaan, apapun bentuknya yang sesuai dengan syariat, jika ingin
berterima di sisi Allah swt, harus diawali dengan membaca kalimat pernyataan yang
mengagungkan nama Allah, yaitu basmalah. Ibadat fardhu yang dilaksanakan tanpa
diawali membaca basamalah, terputus nilai amalnya. Sebaliknya, amal lainnya yang
terkategori pekerjaan biasa sehari-hari, asal tidak bertentangan dengan syari’at, jika
diawali dengan bacaan basmalah, maka nilainya di sisi Allah setara dengan pekerjaan
ibadat. Atau, dengan kata lain, semua amal shalih (misal membuang duri dari jalan,
berangkat ke kampus untuk kuliah, menyelamatkan binatang yang terjepit, dan
pekerjaan lainnya yang dianggap sebagai pekerjaan biasa) bisa bernilai ibadat
jika lengkap dengan basmalah di awal pekerjaan. Sementara itu, ibadat apapun
dalam tataran ibadat syar’i, yang tidak dilengkapi bacaan basmalah, tidak ada
nilai pahala di sisi Allah swt.

Ada satu hadits populer yang isinya menyatakan bahwa ibadat di dalam Islam terdiri
atas sejumlah aktivitas, dari yang paling utama berupa penyataan laa ilaaha illa-Allah
(pernyataan ikrar pengesaan Allah swt, syahadatain) hingga yang paling sederhana,
seperti membuang duri dari jalan. Kondisi ini akan sangat menguntungkan bagi
manusia. Allah swt telah menyediakan kesempatan yang sangat banyak buat manusia
untuk mendulang nilai-nilai amal dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk ibadat yang
umum. Semua kegiatan manusia yang baik secara syar’i, ketika diawali dengan
pernyataan basmalah maka nilai semua pekerjaan di sisi Allah swt menjadi ibadat. Jika
disadari secara benar, kondisi ini adalah lahan pengumpulan nilai-nilai amal yang akan
terhimpun dalam tabungan akhirat.

Dalam satu hadits populer lainnya, disebutkan bahwa ketika seseorang berniat
melakukan suatu pekerjaan baik, maka satu kebaikan telah dicatat sebagai nilai
simpanan kebaikan. Sekalipun niat tersebut tidak direalisasikan, nilai satu kebaikan
tetap utuh. Lain halnya jika kebaikan itu dilaksanakan, minimal orang yang berbuat
baik tersebut akan mendapatkan duna nilai kebaikan, bahkan bisa lebih. Periksa surat
Al-Baqarah, 02: 261. Kebaikan bisa dinilai secara berlipat oleh Allah swt, sebagaimana
diungkapkan dalam isi ayat tadi. Ada kebaikan yang setara dengan tujuh kebaikan lain,
bahkan 700 kebaikan. Dan, yang paling istimewa dan utama, bisa diperiksa isi surat
Al-Qadr, 97: 03.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus
biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah, 02: 261)

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (Q.S. Al-Qadr, 97: 03)
Seseorang yang melakukan kebaikan (menafkahkan hartanya di jalan Allah swt)
dijamin oleh Allah swt akan mendapatkan balasan seperti satu butir bunih yang bisa
tumbuh dan menghasilkan tujuh cabang, pada setiap cabang berisi seratus biji (benih)
yang baru. Kabikan lainnya, khusus yang dilakukan oleh seseorang yang beribadat
pada lailatul qadr (malam qadr, malam kepastian), nilai satu kegiatannya disetarakan
dengan nilai kegiatan seribu bulan, lebih dari 83 tahun melaksanakan kegiatan
kebaikan. Semua perbuatan baik, dalam perhitungan dan janji Allah swt, akan
menghasilkan nilai kebaikan yang berlipat-lipat.

Sebaliknya, ketika seseorang berniat melakukan keburukan, niat itu dicatat sebagai
calon satu keburukan. Ketika niat berbuat keburukan itu direalisaskan sebagai
perbuatan, maka catatan calon keburukan itu dinilai sebagai satu keburukan. Tetapi,
jika niat untuk melakukan perbuatan buruk itu tidak direalisasikan, catatan temporer
tentang calon keburukan itu akan dihapus oleh Allah swt. Begitu sangat bijaksana Allah
swt dalam menetapkan tatanan penilaian untuk manusia. Semua janji perhitungan Allah
swt tadi pada dasarnya akan sangat menguntungkan bagi semua manusia.

Bila semua perhitungan diberlakukan sama oleh Allah swt terhadap niat kebaikan dan
keburukan, niat dan pelaksanaannya bernilai dua bahkan berganda, betapa manusia
akan memiliki catatan keburukan yang amat banyak. Allah swt tidak pernah
menetapkan penilaian yang berlipat ganda untuk perbuatan keburukan. Tetapi, karena
keburukan boleh jadi selalu lebih banyak dilakukan orang, timbangan amal kebaikan
dalam hari perhitungan bisa dikurangi oleh banyaknya amal keburukan.

5.2 Ibadat Ghair Mahdhah


(Pola Hubungan Horizontal Antarmanusia)

Sebagian ibadat ghair mahdhah sangat erat terkait dengan kondisi lingkungan. Oleh
karena itu, Nabi Muhammad bersabda: “Antum a’lamu bi’umuuri dunyaakum”
(“Engkau lebih tahu tentang urusan keduniaanmu”). Sejumlah bentuk ibadat ghair
mahdhah memang telah diatur sedemikian rupa dalam bentuk teladan Nabi. Sebagian
yang lain, sesuai dengan hadits Nabi tadi, diserahkan penafsiran bentuk kegiatannya
kepada setiap muslim sesuai kebutuhan lingkungan masing-masing. Hadits tadi terkait
dengan peristiwa dialog antara Nabi dengan ahli menanam pohon kurma. Nabi yakin
dengan pendapatnya bahwa buah kurma tidak memerlukan perlakuan khusus agar
hasilnya bagus, sementara itu ahli menanam kurma tetap juga dengan keyakinan dan
hasil pengalamannya bahwa buah kurma yang bagus harus melalui proses bantuan
penyerbukan oleh manusia. Ketika bukti hasil dialog itu menunjukkan bahwa hasil
buah kurma yang baik seperti yang dikemukakan oleh ahli menanam kurma, maka Nabi
menyatakan “Engkau lebih tahu tentang segala urusan keduaniaanmu!

Hukum dasar semua ibadat ghair mahdhah telah diatur dalam Al-Quran. Sebagi contoh,
hukum ekonomi secara mendasar telah dimaktub dalam Al-Quran, tetapi bentuk
pelaksanaannya bisa disejalankan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebutuhan tantangan lingkungan. Sistem perbankan pada awal masa Islam belum
dikenal. Kini, searah dengan percepatan pengelolaan uang yang sejalan dengan
kebutuhan zaman, sistem tersebut telah diadopsi dan disejalankan dengan konsep
Dinul Islam, seperti yang terjadi dalam Bank Mu’amalat di Indonesia. Selama sistem
tersebut tidak bertentangan dengan konsep dasar Dinul Islam, penyelarasan,
penyesuaian, atau pun modifikasi berdasarkan hasil ijtihad para fuqoha, bisa dilakukan.

Rasul tidak mengatur penyeragaman cara tampilan urusan keduaniwian. Berpakaian,


dalam konsep dasar Islam, adalah menutup aurat. Bentuk, ragam, gaya, dan tampilan,
bisa disesuaikan dengan kebutuhan, selama konsep dasar tidak diubah. Begitupun
tentang mo-del bangunan tempat ibadat, mesjid, bisa kita temukan aneka gaya tampilan
bangunan mesjid: gaya jazirah Arab, gaya Indonesia (Melayu, yang sangat beragam),
gaya China, dan gaya selingkung lainnya.
Semua masalah yang terkait dengan ibadat ghair mahdhah pada kenyataannya bisa
tampil secara beragam. Keberagaman itu telah dilonggarkan keberadaannya oleh
Rasulullah. Lain halnya dengan segala yang terkait dengan urusan ibadat mahdhah,
Allah melalui nabiNya, telah menetapkan sesuatu yang seragam. Inilah kondisi yang
kemudian menjadi bahan perdebatan, terutama terkait dengan masalah tafsir
pelaksanaan, termasuk sejumlah pelaksanaan ibadat mahdhah yang (sesungguhnya)
telah tertata dalam pakem-pakem ibadat. Salah satu permintaan Rasulullah yang tidak
dikabulkan oleh Allah adalah tentang munculnya firqah-firqah (golongan-golongan)
yang mengatasnamakan kebenaran agama. Dalam salah satu hadits, Nabiyullah
menyebutkan akan muncul lebih dari 70 firqah (Periksa kembali bahasan sebelumnya).

5.3 Hablun Min-Annaas

Konsep Islam adalah konsep yang mengacu keseduniaan murni, karena diatur oleh
yang Mahapengatur, Tuhan pencipta seluruh isi alam. Sifat Rahman dan Rahim Allah
telah tetap berlaku untuk semua manusia sesuai dengan keseimbangan porsinya.
Sunnatullah adalah bentuk keseduniaan murni yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai
bentuk pengikat kondisi dasar kehidupan.

Hablun min-annaas banyak jenisnya. Di antaranya: munakahat (pernikahan), jinayat


(hukum pembunuhan), hudud (hukuman), jihad (perjuangan), dan masih banyak lagi.
Semua jenis perilaku mu’amalat tersebut sebagian diatur secara ketat dalam Dinul
Islam, sebagian lagi, seperti disebutkan terdahulu, Rasul menyerahkan pemutusannya
kepada ummat pada setiap generasi.

Masalah horizontal antarmanusia ini, mengandung pengertian manusia tanpa pilah-


pilih. Allah tidak menetapkan secara gamblang spesifikasi manusia yang “pantas”
menjadi partner dalam kegiatan kemasyarakatan yang umum. Seperti ketika Allah
melalui Nabi-Nya, menunjukkan bahwa “keimanan seseorang itu terkait dengan urusan
tetangga”, tetangga dalam hadits Nabi tersebut tidak mengacu kepada tetangga spesifik
yang muslim saja. Artinya, ketika hubungan antaramanusia harus dilakukan, di situ
mengacu kepada manusia secara umum, manusia bangsa mana saja, beragama apa saja,
kelas sosial yang mana saja. Inilah universalisme murni yang dibangun dalam konsep
ajaran agama Islam. Kecuali dalam hal-hal tertentu yang menyangkut urusan
keagamaan yang khusus, ada pembatasan tertentu yang terkait dengan kondisi manusia
khusus, manusia seagama.

Keterbukaan ibadat mu’amalat yang terkait dengan kata ‘dunyaakum’ bisa menjadi
daya tarik tampilan manusia muslim di manapun mereka bertempat tinggal. Tak akan
ada permasalahan berat terkait dengan interaksi sosial yang bisa dibangun oleh seorang
muslim yang betul-betul mengamalkan konsep aturan Dinul Islam. Sayangnya, seperti
dijelaskan di muka, Allah swt tidak mengabulkan satu permintaan Nabi --di antara dua
permintaan yang tidak dikabulkan oleh Allah swt-- yaitu adanya sejumlah perbedaan
yang muncul pada ummat Nabi Muhammad saw. Firqah-firqah yang dibangun di
lingkungan ummat Muslim, masing-masing merasa berbeda. Padahal, Islam adalah
satu konsep universal yang memungkinkan semua penganutnya berada dalam satu
ikatan persaudaraan dan kesepahaman dasar dalam pikiran dan perilaku. Tetapi, itulah
kehendak Allah swt, ketentuan yang sangat banyak berkaitan dengan hikmah yang
terhampar di balik kondisi tersebut.

Dasar-dasar mu’amalat di antaranya:

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan
kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan
(Q.S. Al-Baqarah, 02: 233)
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik. (Q.S. An-Nisaa, 04: 05)

[268] Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum balig atau orang dewasa yang tidak
dapat mengatur harta bendanya.

Hai anak Adam[530], sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa[531] Itulah yang paling baik.
Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah.
Mudah-mudahan mereka selalu ingat.
(Q.S. Al-A’raaf, 07: 26)

[530] Maksudnya Ialah: umat manusia


[531] Maksudnya Ialah: selalu bertakwa kepada Allah.

Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia
jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian
yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam
peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri
(kepada-Nya).
(Q.S. An-Nahl, 16: 81)

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki,
dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam
satu hari) yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di
tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu[1047]. Tidak ada dosa
atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu[1048]. Mereka melayani kamu,
sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan
ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nuur, 24: 58)

[1047] Maksudnya: tiga macam waktu yang biasanya di waktu-waktu itu badan banyak terbuka. oleh sebab itu
Allah melarang budak-budak dan anak-anak dibawah umur untuk masuk ke kamar tidur orang dewasa tanpa
idzin pada waktu-waktu tersebut.
[1048] Maksudnya: tidak berdosa kalau mereka tidak dicegah masuk tanpa izin, dan tidak pula mereka berdosa
kalau masuk tanpa meminta izin.

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada
ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian[1050] mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan
Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nuur, 24: 60)

[1050] Maksudnya: pakaian luar yang kalau dibuka tidak Menampakkan aurat.

Berpakaian, salah satu bentuk alat interaksi antarmanusia, bagi manusia muslim dan
muslimat harus memperhatikan tuntutan dasar berpakaian yaitu menutup aurat. Mode,
warna, bahan (kecuali dalam kondisi dan tuntutan khusus), diserahkan kepada ummat.
Begitupun dalam bertetangga (Q.S. An-Nisaa, 04: 36), Allah melalui Rasulullah telah
menjamin kenikmatan Surga bagi mereka yang bisa memuliakan dan memberi rasa
aman kepada tetangga (Alhadits).

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah
Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan
tidak ada lagi syafa'at[160], dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Baqarah,
02: 254)

[160] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu
mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.

Orang-orang yang makan (mengambil) riba[174] tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila[175]. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan), dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah, 02: 275)
[174] Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh
orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih
banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan
emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda
yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[175] Maksudnya: orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
[176] Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati
Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat, mereka takut kepada
suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Q.S. An-Nuur, 24: 37)

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475], yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah,
dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan
mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah lebih baik
daripada permainan dan perniagaan”. Dan, Allah swt sebaik-baik Pemberi Rezeki.
(Q.S. Al-Jumu’ah, 62: 09-11)
[1475] Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum'at, Maka kaum muslimin
wajib bersegera memenuhi panggilan muadzdzin itu dan meninggalakan semua pekerjaannya .

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa.
(Q.S. Al-Baqarah, 02: 177)

Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu
membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat.
(Q.S. An-Nahl, 16: 91)

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-‘Ashr, 103: 3)

Berjual beli (Q.S. Al-Baqarah, 02: 254, 275; An-Nuur, 29: 37, dan Al-Jumu’ah, 62:
09), berjanji (Q.S. Al-Baqarah, 02: 177 dan An-Nahl, 16: 91), dan memberi peringatan
(Q.S. Al-’Ashr, 103: 03), adalah di antara urusan mu’amalat yan lain yang diatur secara
tegas oleh Allah dalam Al-Quran. Hal-hal lain yang terkait dengan mu’amalat yang
tidak secara spesifik dijelaskan dalam Al-Quran, juga dalam hadits, menjadi ladang
ijtihad terbuka bagi para ‘ulama. Inilah yang kemudian seringkali menjadi bahan
pertentangan. Tetapi, jika ummat mengembalikan semua permasalahan kepada konsep
dasar yang telah ada dalam Al-Quran, semua perbedaan pendapat tentang hasil ijtihad
itu tidak sulit mendapatkan penyelesaiannya. Tetapi, seperti pernah diuraikan di bagian
awal, Allah tidak mengabulkan permintaan Nabiyullah Muhammad saw tentang
masalah “kesatuan pendapat” bagi ummatnya. Bahkan Allah sengaja menetapkan hal
itu sebagai jalan pengujian bagi kekukuhan keimanan manusia-manusia yang telah
mengaku sebagai muslim-muslimat.

5.4 Bisnis Islami


Allah meantang manusia untuk berjual beli yang Islami dengan Allah saja. Dalam Al-
Quran Allah telah menantang manusia dengan berbagai perumpamaan
“pelipatgandaan” aneka kebaikan bila semua kebaikan itu hanya ditujukan untuk
mendapat keridhoan Allah semata. Jika manusia berbisnis dengan manusia semata,
bisnis itu akan menghadapi aneka kerugian. Modal bisnis sangat dipengaruhi oleh
fluktuasi harga dan pasar. Tetapi, bisnis dengan Allah, jaminan Allah adalah keuntungn
yang terus-menerus.

Allah telah membeli jiwa manusia (Q. S. At-Taubah, 09: 111) dengan jaminan Surga.
Allah juga telah menyediakan pelipatan kebaikan dengan satu, dua, tiga, tujuh, tujuh
puluh, bahkan tujuh ratus kali lipat kebaikan lainnya jika ummat berbisnis hanya
mencari keridhoan Allah semata. Bisnis yang Islami tidak dikotori riba dan bohong.
Semua perilaku bisnis itu didasari kejujuran, kemaslahatan orang banyak, dan keadilan
sikap. Dan, berbisnis dengan Allah, tentu, tidak akan menimbulkan rasa ketidakadilan,
ketidakjujuran, kebohongan, dan sejumlah keburukan bisnis yang kerap dibangun
antarmanusia!

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau
terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al Quran. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli
yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.
(Q.S. At-Taubah, 09: 111)

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki)
dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
(Q.S. Al-Baqarah, 02: 245)
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-
tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah, 02: 261)

[166] Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah meliputi belanja untuk kepentingan jihad, pembangunan
perguruan, rumah sakit, usaha penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Sungguh, Allah swt telah menjanjikan “tukaran” amal baik dengan pelipatgandaan nilai
tukar yang sangat menguntungkan manusia. Janji Allah swt dimulai dengan pertukaran
niat kebaikan yang akan dicatat sebagai satu nilai kebaikan, sekalipun kebaikan
tersebut tidak dilaksanakan. Janji Allah swt yang lain, pelipatgandaan nilai kebaikan
dengan harga yang menguntungkan pelaku: dua, tujuh, tujuh puluh, atau tujuh ratus
kebaikan lainnya. Bahkan janji Allah swt yang spektakuler dalam perhitungan manusia
adalah janji tentang lailatul qadr, yaitu satu malam yang di dalamnya ada janji Allah
swt yaitu menghargai satu kebaikan kebaikan setara dengan kebaikan seribu bulan (alfi
syahrin). Itu semua dijanjikan Allah swt untuk memotivasi manusia agar mau
memperjuangkan haknya sebagai manusia, yang akan mendapatkan keberuntungan
dari semua hasil usahanya. Dan, janji Allah swt tak perlu diragukan, karena Allah swt
Mahakaya, Mahamemiliki segala yang ada di alam ini. Allah swt tidak pernah ingkat
janji (Inna-Allaaha laa tukhliful-mii’aad)!

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan[1593]. Dan tahukah
kamu Apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (Q.S. Al-Qadr, 97: 01 - 03)
[1593] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan malam Lailatul Qadr Yaitu suatu malam yang
penuh kemuliaan, kebesaran, karena pada malam itu permulaan turunnya Al Quran.

Manusia bisa berbisnis dengan Allah melalui semua bentuk aktivitas kemanusian.
Semua kegiatan yang baik, di luar ibadat mahdhah, bisa menjadi ladang ibadat, ladang
pahala bagi umat Islam, karena pada semua kegiatan itu telah disediakan niat dan doa
(sebagai SoP kegiatan) yang diajarkan oleh Nabiyullah Muhammad saw. Seseorang
yang berangkat ke kampus dengan niat melaksanakan kewajiban mencari ilmu karena
Allah; seseorang yang berangkat ke pasar dengan niat melaksanakan kewajiban
mencari nafkah karena Allah; seseorang yang berangkat ke kantor dengan niat
melaksanakan kewajiban sebagai bukti ikrar kerja karena Allah, bisa menjadi “bernilai
ibadat”.

Disebutkan dalam salah satu hadits Nabi yang populer ada kalimat yang menyatakan
“afdhaluhaa laa ilaaha illa-Allaah, waadnaahaa imaazhatul adaa ‘aniththaariq”.
Kalimat tersebut terkait dengan jabaran kategorisasi dan tingkatan ibadat yang akan
diperhitungkan oleh Allah lengkap dengan pahalaNya. Yang paling afdhal adalah
membaca kalimat laa ilaaha illa-Allah (ini inti ikrar syahadat) dan yang paling
sederhana, bahkan kerap dianggap sebagai pekerjaan “tidak berguna”, adalah
membuang sampah, membuang onak dari jalan. Artinya, semua jenis kegiatan manusia
dari hal yang paling berat (menyatakan syahadat) hingga pekerjaan biasa-biasa saja,
yang mudah dilakukan tanpa “tenaga” besar, dalam perhitungan Allah adalah sama.
Semua pekerjaan manusia muslim, terutama yang didahului dengan bacaan basmalah,
akan menjadi catatan ibadat yang bernilai pahala.
Manusia-manusia muslim pada dasarnya bisa secara terus menerus mengumpulkan
perbekalan untuk menunju Kampung Akhirat melalui ibadat-ibadat ghair mahdhah.
Yang mesti diingat, ketika seseorang mengerjakan ibadat mahdhah, berarti seseorang
melaksanakan “kewajiban asasi” seorang hamba Allah. Jika kewajiban asasi itu
tertunaikan, lepaslah tuntutan pelaksanaan kewajiban dasar sebagai manusia. Tetapi,
tentu, masih belum memiliki “bekal lebih” untuk melengkapi tunainya kewajiban dasar
itu. Bagaimanakah perhitungan amal kewajiban dasar itu jika tidak tunai secara
sempurna? Nabiyullah Muhammad saw mengajari umat muslim, pekerjaan-pekerjaan
sunnat, ibadat ghair mahdhah yang dilengkapi dengan niat baik (minimal membaca
basmalah) hasilnya tidak akan terputus, ‘nyambung’ dengan apa yang diperintahkan
oleh Allah, dan menjadi penyempurna ibadat mahdhah yang ‘bolong-bolong’, yang
pelaksanaannya kurang sempurna. Ibadat sunnat adalah ‘lapisan email’ yang akan
melindungi dan menyempurnakan bangunan ibadat mahdhah yang telah dilakukan,
terutama yang kurang sempurna!

Betapa Allah telah menyiapkan semua jalan untuk kemasalahatan manusia. Allah telah
menyiapkan banyak tempat dan jalan pahala untuk manusia yang mau
memanfaatkannya. Tak akan ada kerugian sedikitpun jika manusia mau berbisnis,
menjual amalan baik, hanya kepada Allah, hanya untuk Allah, hanya berdasarkan
tuntunan Allah. Bank amal bisa terus diisi sebagai bekal hidup sebenarnya, hidup yang
“kekal” di Kampung Akhirat nanti.

Anda mungkin juga menyukai