Anda di halaman 1dari 18

Mohamad Natsir:

Dari PERSIS, Masyumi, Hingga Mosi Integral NKRI1

Oleh: Pepen Irpan Fauzan2

A. Pengantar
Tanggal 3 April 1950, lebih dari 60 tahun yang lalu, sebuah mosi diajukan di gedung
Parlemen Republik Indonesia Serikat (RIS). Mosi yang kemudian dikenal sebagai “Mosi
Integral Natsir”—karena dia lah yang menjadi inisiator, sekaligus yang berpidato di muka
Parlemen RIS—menjadi pintu masuk dibubarkannya RIS dan dibentuk (kembali) Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika mendengar atau membaca nama Natsir—
lengkapnya Mohamad Natsir (1908-1993)—yang disandingkan dengan istilah Mosi
Integral, apa yang terbayang di benak kita? Tentu saja segudang jasa yang telah ditorehkan
ideolog Islam, ketua Partai Masyumi terkemuka, sekaligus tokoh Puritan PERSIS tersebut.
Jasa bagi umat Islam? Tentu saja tidak hanya umat Islam, namun seluruh anak bangsa yang
bernama Indonesia.
Ini jelas dijadikan dalil shahih bahwa, para tokoh Islam—yang dalam hal ini
direpresentasikan oleh Natsir—adalah kaum muslimin nasionalis sejati. Jangan
pertentangkan Islam dengan nasionalisme, karena sejarah membuktikan bagaimana
bangsa dan Negara ini begitu banyak berhutang budi terhadap jasa para tokoh Islam.
Tanpa Islam, tidak terbayangkan akan ada Indonesia..!3

1
Paper ini diperesentasikan pada Seminar Nasional Mosi Integral Natsir, Gedung Nusantara V DPR/MPR
RI, 5 April 2019. Salah satu tujuan seminar ini adalah pengajuan Bulan April, tepatnya 3 April
(disesuaikan dengan tanggal pidato ‘Mosi Integral’ Natsir di Parlemen), sebagai Hari Nasional NKRI.
2
Penulis adalah dosen STAI Persis Garut dan staf asatidz di Pesantren PERSIS 19 Garut; menjadi tenaga
ahli peneliti di Direktorat Pendidikan dan Agama Kementerian PPN/Bappenas (2007-2016), serta Asesor
Sejarah pada Badan Nasional Serifikasi Profesi (BNSP) dan LSP Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud (2016
hingga sekarang); Aktif di jamiyah Persatuan Islam (PERSIS) sebagai anggota Dewan Tafkir (2016-2020).
3
Natsir sendiri pernah menulis di era Prakemerdekaan, ketika menjadi aktivis muda PERSIS, bahwa
tanpa Islam tidak mungkin tumbuh rasa-kebangsaan Indonesia. Pasacakemerdekaan, Natsir juga
menegaskan, bahwa orang Islam dapat menjadi muslim yang taat di satu sisi dan di sisi lain bisa dengan
lantang menyanyikan lagu Indonesia Raya (Lihat Natsir. Capita Selecta jilid I dan II). Secara akademis,
Merle C. Ricklefs, sejarahwan kondang, menyebutnya dengan istilah proto-nasionalisme. Kedatangan
Islam ke nusantara berdampak positif untuk membuka cakrawala pemikiran, sehingga menjadi jalan
tumbuhnya masyarakat rasional-religius pra-modern (MC Ricklefs, a History of Modern Indonesia, New
York: MacMillan). Howard M. Federspiel mengalihbahasakannya dengan jelas, bahwa “There was no
Indonesian nationalism since Islam had first planted the seeds of Indonesian unity, removed the attitudes
of isolation of various islands...and planted the seeds of brotherhood with [Muslims] outside Indonesia”
(Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in The Ermerging Indonesian State, Leiden; Brill, 2001). Untuk
telaah kontemporer, silahkan bandingkan dengan tulisannya Graham Fuller, a World Without Islam
(New York: Little & Brown, 2010).
Pepen NKRI -1
Dalam konteks Mosi Integral Natsir, ini juga menjadi dalil shahih bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah jasa dan hadiah terbesar dari tokoh Islam
tersebut. Ini adalah common perspektif—sebuah persepsi yang telah massif
terpublikasikan. Semua orang (baca: para aktivis Islam pendukung Natsir) bicara dengan
perspektif ini. Tentu dengan ragam tulisan, pengulasan romantika cerita dan fakta sejarah
dengan model narasi yang berbeda, namun isinya adalah itu-itu juga.
B. Natsir dan Jamiyah PERSIS
Natsir lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumatera Barat, pada 17 Juli 1908. Pendidikan
awal Natsir dimulai di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun hingga kelas dua,
kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Setelah
beberapa bulan, ia pindah lagi ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama
Haji Musa. Selain belajar di HIS Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di
Madrasah Diniyah pada malam harinya. Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS
Padang bersama kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk
melanjutkan studi di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun 1930.
Selama di AMS dan setelahnya, dari tahun 1928 hingga 1932, ia menjadi ketua Jong
Islamieten Bond (JIB) cabang Bandung.4
Tak banyak yang mengetahui, sosok legendaris yang jadi panutan umat Islam ini
tumbuh-dewasa dari rahim jamiyah reformis di Bandung, Jawa Barat. Ya, tiada lain tiada
bukan ialah jamiyah Persatuan Islam yang lebih terkenal dengan nama akronim PERSIS.5
Jamiyah inilah yang paling awal membesarkannya. Bukan Masyumi, bukan pula Dewan
Dakwah. Dua organisasi terakhir ini memang berperan tidak sedikit sebagai medium Natsir
dalam berpolitik dan berdakwah, sehingga identik-melekat pada diri-pribadinya. Tapi
PERSIS-lah yang menjadi kawah-candradimuka paling awal dan yang sesungguhnya.
Sebagaimana ditegaskan Profesor Taufik Abdullah6 pada buku Pemikiran dan Perjuangan
M. Natsir, dua tahap awal yang paling menentukan pada Natsir adalah tahap sebagai
pembela agama dan tahap sebagai guru, sebelum pada tahap berikutnya sebagai politisi.
Dua tahap menentukan itu jelas ketika Natsir aktif di PERSIS..!!

4
Biografi singkat Mohamad Natsir, lihat Yusril Ihza Mahendra. “Combining Activism and Intelectualism:
The Biography of Mohammad Natsir,” Studia Islamica, Vol. 2, No. 1, 1995; George Mc Turnan Kahin. “In
Memoriam: Mohamad Natsir (1908-1993),” Indonesia, No. 56 (Oct., 1993), hlm. 158-165; Lihat juga Ayip
Rosidi, M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Giri Pusaka Mukti, 1986.
5
Uraian komprehensif tentang Jamiyah PERSIS, lihat Howard M. Federspiel. The Persatuan Islam. Ph.D
thesis, Institute of Islamic Studies McGill University Montreal-Canada, August 1966.
6
Taufik Abdullah. “Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir,” dalam Tarmizi Taher, et al. Pemikiran dan
Perjuangan Mohamad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, hlm. 27.
Pepen NKRI -2
Memang, Natsir adalah produk-kaderisasi jamiyah Persis, melalui tangan dingin Tuan
A. Hassan.7 Tidak hanya belajar agama, tapi juga pendewasaan kepribadian, mematangkan
pikiran. Dari A. Hassanlah, Natsir belajar berargumentasi dan menjadi penulis-ulung pada
zamannya. Hal ini diakui sendiri oleh Natsir. Ketika diwawancarai oleh AW. Pratiknya,
Amien Rais, Kuntowijoyo dan lainnya, Natsir menyatakan: “..dari tuan Hassan itu satu hal
yang sangat berkesan pada diri saya ialah caranya mendorong saya untuk maju..dia selalu
mendiskusikan bersama dan mendorong saya selalu berfikir.”8 Tak tanggung-tanggung,
Natsir berdebat melalui tulisan dengan tokoh pergerakan Nasional, Soekarno. Sampai-
sampai Soekarno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi menyatakan pujiannya
melalui surat kepada Tuan A. Hassan: “..haraplah sampaikan saja punja compliment
kepada tuan Natsir atas ia punja tulisan-tulisan jang berbahasa Belanda. Antara lain ia
punja inleiding didalam Komt tot het gebed adalah menarik hati.”9 Pada bagian lainnya,
Soekarno juga menyatakan: “Alangkah baiknja kalau tuan punyja muballigh nanti bermutu
tinggi, seperti tuan M. Natsir!.”10
Atas dukungan PERSIS, Natsir-muda bereksperimen mendirikan sebuah pendidikan
modern yang berlandaskan agama Islam; PENDIS. Di Jamiyah ini pulalah Natsir mula-mula
bereksperimen mengatur dan menata-ulang jamiyah yang asalnya lebih berkarakter
sebagai study-club, menjadi sebuah organisasi modern. Natsir pun berjasa dalam
penyusunan AD/ART yang diajukan ke Majelis Kehakiman Hindia Belanda, agar PERSIS
diakui sebagai Ormas yang legal-formal.
Adalah Buya Hamka, tokoh pusat Muhammadiyah, yang begitu terpesona terhadap
Natsir selagi muda. Sebelum bertemu dengan Natsir, Buya Hamka telah lebih dulu
mengenal pemikiran kader muda Persis ini dari tulisan-tulisan yang menarik hati dan
otaknya. Makanya, ketika tahuh 1931 Buya Hamka mempunyai acara ke Kota Bandung,
kesempatan ini tidak disia-siakannya untuk bertamu ke organisasi yang dikenal puritan ini,
untuk bertemu Natsir. Kesannya, Natsir adalah prototype Pemuda Islam yang ideal:
tampan, cerdas, ditambah dengan kaca-mata minus yang menambah rasa
inteletualitasnya. Yang paling penting adalah pembawaan sikapnya yang tenang, tawadlu,
serta sederhana.
Tentang hal ini, diceritakan kembali oleh Buya Hamka dalam tulisannya pada
Majalah Panji Masyarakat No. 251, tahun XX, 15 Juli 1978, hlm. 17-23. Buya menulis, “Di

7
Biografi Tuan Hassan, lihat Syafiq A. Mughni, Hassan Bandung Pemikir Islam Radikal. Surabaya: Bina
Ilmu, 1980.
8
A. W. Pratiknya (ed.), Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan Antar Generasi, Jakarta: Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1989, hlm. 29.
9
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera Revolusi, 1963,
hlm. 326.
10
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, hlm. 336.
Pepen NKRI -3
waktu itu, saya bertemu seorang pemuda sebaya saya, tetapi lebih tampan dari saya.
Wajahnya tenang, simpatik, selalu tersenyum, dan berkaca mata. Tingginya sedang,
sikapnya lemah-lembut…Di kali yang lain pernah saya ke Bandung setelah dia berumah
tangga. Saya menjadi tetamu dan bermalam di rumahnya. Karena kehidupan beragama,
sembahyang di awal waktu dan kesederhanaan yang dapat dilihat lahir dan batin.”11
Begitulah, Hamka mempunyai arah-orientasi perjuangan yang jelas pasca beriteraksi
dengan aktivis-aktivis muda PERSIS, khususnya Natsir: “pertemuan tahun 1941 di Bandung
itu telah meninggalkan jejak dalam jiwa kami, dan telah menentukan pula kemana arah
hidup yang akan kami tempuh.”
Karakter Islami dibawa Natsir hingga ketika menjadi pejabat tinggi Negara. Selain
pemikiran dan artikulasi politiknya, Natsir pun dikenang dan dihargai dengan ‘fatsoen
politik’-nya. Sebagaimana kesaksian ilmuwan politik Barat, George Mc Turnan Kahin yang
tercengang ketika bertemu Menteri Penerangan Natsir, melihat ia memakai jas yang
bertambal-tambal..! Bahkan ketika Natsir melepaskan jabatan sebagai Perdana Menteri
pun, ia pulang dari rumah dinasnya dengan berkendara sepeda. Kahin hanya bisa geleng-
geleng kepala, takjub.12
Apakah karakter Natsir ini hasil didikan para Profesor di AMS Belanda? Tentu tidak.
Sebagaimana kata Buya Hamka, “Natsir mendapat pendidikan di sekolah Belanda, yaitu
dari AMS di Bandung. Tetapi dalam hidupnya sehari-hari, hidup secara seorang santrilah
yang banyak tertonjol.”13 Secara tidak langsung, buya Hamka mengatakan, karakter santri
yang menonjol pada Natsir adalah hasil didikan dari Jamiyah PERSIS.
C. Karir dan Peran Politik Natsir
Natsir, sejak jaman Jepang, telah berhubungan dengan tokoh-tokoh senior
pergerakan, baik dari kalangan Islam maupun kebangsaan. Atas jasa baik Mohamad Hatta,
Natsir justeru menjadi pejabat biro pendidikan Kota Bandung jaman Jepang. Bahkan, Hatta
pun mempromosikan Natsir pada Pemerintah Jepang untuk diangkat menjadi Sekretaris
Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Natsir pun sibuk mengurusi tugas-tugasnya itu di Bandung
dan Jakarta.14 Oleh karena itu, ia pun aktif berhubungan dengan tokoh-tokoh Islam
menghadapi situasi politik yang tidak stabil menjelang dan setelah Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Natsir pun terlibat dalam berbagai proses usaha
perjuangan mendukung dan mempertahankan kemerdekaan. Termasuk yang menjadi

11
Majalah Panji Masyarakat No. 251, tahun XX, 15 Juli 1978, hlm. 17-18.
12
George Mc Turnan Kahin. “In Memoriam: Mohamad Natsir (1908-1993),” Indonesia, No. 56 (Oct.,
1993), pp. 158-165.
13
Majalah Panji Masyarakat No. 251, tahun XX, 15 Juli 1978, hlm. 21.
14
Mohamad Hatta. Memoir. Jakarta: Tinta Mas, 1987. hlm. 326.
Pepen NKRI -4
perhatian Natsir adalah pertumbuhan partai politik dan ideologi politik di awal
pertumbuhan negara Indonesia.
Peta konflik terhadap fenomena politik yang bersifat aliran-ideologis di negara
yang baru tumbuh ini akan mudah terlihat dan terjadi. Memang, periode 1945 sampai
1955-an merupakan masa puncak pertarungan politik yang bersifat aliran-ideologis di
Indonesia. Fenomena ini didukung dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden, 3
November 1945, yang mengarahkan dan memberi legitimasi terhadap sistem multi-
partai.15 Persoalan itu memang bukan barang baru di Indonesia, karena sejak permulaan
abad ke-20, tiga kelompok ideologi telah saling bersaing dalam memperebutkan dominasi
perjuangan kemerdekaan. Tiga kelompok itu adalah Islam, nasionalisme sekular, dan
komunisme. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, satu golongan ideologi muncul lagi,
yaitu sosialisme. Pada zaman kemerdekaan ini, ideologi-ideologi ini diusung partai-partai
politik. Nasionalisme sekular diusung Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru, komunisme
diusung Partai Komunis Indonesia (PKI), dan sosialisme diusung Partai Sosialis Indonesia
(Parsi, kemudian berubah menjadi PSI).16
Persaingan dan tantangan dari ideologi-ideologi bukan Islam ini mendorong tokoh-
tokoh Islam—tidak terkecuali Natsir dari Persis—untuk menilai berbagai ideologi yang
berkembang di Indonesia secara kritis. Langkah ini kemudian disusul dengan merumuskan
ideologi Islam. Sebagai medianya, para tokoh Islam, di antaranya Agus Salim, Sukiman
Wirjosandjojo, Wachid Hasyim, M. Natsir, M. Roem, berinisiatif mendirikan sebuah partai
Islam. Mereka merencanakan akan mendirikannya dalam sebuah kongres yang melibatkan
wakil-wakil golongan Islam di Indonesia.
Dibentuklah kepanitiaan kongres dengan ketuanya adalah Natsir, elite muda Persis
yang sudah lebih matang.17 Natsir, dengan sukses, berhasil menyelenggarakan kongres
yang diberi nama “Kongres Umat Islam Indonesia” di Yogyakarta, pada 7-8 November
1945. Kongres itu sendiri dihadiri tak kurang dari lima ratus orang yang terdiri dari tokoh-
tokoh Islam dan masyarakat umum. Setelah Natsir membentangkan rancangannya, maka

15
Hatta. Memoir... hlm. 473. Menurut Kahin, diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden tersebut atas
usulan dari Badan Pekerja KNIP. Lihat Kahin, Nasionalisme dan Revolusi.., hlm. 194-195.
16
Secara umum, menurut Herberth Feith, ideologi yang berkembang pada awal pertumbuhan negara
Indonesia ada lima, yaitu Islam, nasionalisme, komunisme, sosialisme, dan tradisionalisme-Jawa. Lihat
Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966, Jakarta, LP3ES, 1986.
17
Susunan panitia kongres selengkapnya: Ketua: M. Natsir. Anggota: Dr. Sukiman Wirjosandjojo,
Abikusno Tjokrosujoso, A. Wahid Hasjim, Wali Alfatah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam
VIII, dan A. Ghafar Ismail. Untuk selengkapnya, lihat tulisan Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi
Intelektualisme Islam Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. hlm. 167.
Pepen NKRI -5
kesepakatan pun tercapai. Hasil dari kongres itu adalah pendirian Partai Masyumi sebagai
‘partai tunggal’ yang menyalurkan aspirasi politik umat Islam Indonesia.18
Natsir pun, meski masih tergolong muda, masuk menjadi anggota pengurus pusat
Partai Masyumi. Karena aktivitasnya itu, pada tahun 1945-1946, Natsir pun diangkat
menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP).19 Tampaknya,
dalam proses revolusi kemerdekaan tersebut, di mana terjadi hiruk-pikuk peperangan,
Natsir lebih memilih pendekatan diplomasi. Sebagai tokoh muda intelektual, memang
kiprah pemikiran Natsir dalam membuat konsep dan kebijakan mengambil keputusan
penting lebih menonjol.
Kiprahnya itu pun lebih terlihat, ketika ia diajak bergabung dalam pemerintahan
oleh Sjahrir. Ia pun, dengan kesadaran penuh, menerima jabatan elite sebagai Menteri
Penerangan Republik Indonesia, yakni pada Kabinet Syahrir II (Maret–Oktober 1946),
Kabinet Syahrir III (Oktober 1946-Juni 1947) dan Kabinet Hatta I (1948). Rekan Natsir,
Mohammad Roem, menerangkan bahwa “Natsir adalah salah-seorang yang dalam
permulaan pembangunan Kementrian Penerangan, banyak peranannya meletakkan dasar-
dasar dari Kementrian Penerangan”.20 Bahkan, menurut Bung Hatta, masa itu “Bung Karno
tidak mau menandatangani suatu penerangan Pemerintah, apabila penerangan itu tidak
disusun oleh Saudara Natsir”.21
D. Natsir dan Lambang Garuda Pancasila
Ada peran politik istimewa Natsir di era awal RIS (Januari-Februari 1950), yaitu
sebagai salah satu perumus lambang Negara “Garuda Pancasila”. Tidak banyak yang tahu,
bahwa Lambang Negara Garuda Pancasila dirumuskan—salah satunya—oleh Natsir. Pada
Sidang Kabinet RIS Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia
Lencana Negara di bawah koordinator Sultan Hamid II. Bertindak sebagai ketua: Muhamad
Yamin, dan yang tergabung kedalam anggota antara lain: Ki Hajar Dewantoro , M.A
Pellaupessy, Moh. Natsir, R.M Ng Purbatjaraka. Panitia bertugas untuk menyeleksi semua
usulan-usulan mengenai lambang negara, kemudian diusulkan kepada Presiden Soekarno.
Pada tahap pertama, rancangan lambang negara yang terbaik diusulkan oleh Sultan Hamid
II dan Muhamad Yamin. Namun usulan Muhamad Yamin ditolak, karena ada sinar-sinar
matahari dan menampakkan kuat pengaruh Jepang. Pada tanggal 8 Februari 1950

18
Kedaulatan Rakyat No. 8/ tanggal 9 November 1945; Lihat juga Deliar Noer, Partai Islam di Pentas
Nasional, Jakarta: Grafiti, 1987, hlm. 19; Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme
dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999, hlm. 62.
19
Menurut George Mc Turnan Kahin, pengangkatan Natsir menjadi anggota BP KNIP lebih disebabakn
kedekatannya dengan Sjahrir yang menjadi Ketua BP KNIP. Di lain pihak, Sjahrir membutuhklan orang-
orang yang loyal kepadanya untuk mendukungnya di BP KNIP. Lihat Kahin, Nasionalisme dan Revolusi...,
hlm. 215.
20
Roem, Bunga Rampai..., hlm. 174.
21
Mohamad Hatta, Memoir. Jakarta: Tinta Mas, 1978, hlm. 204.
Pepen NKRI -6
rancangan final gambar garuda diserahkan ke Presiden Soekarno. Rancangan tersebut
direvisi karena mendapatkan masukan dari Partai Islam (Masyumi), yaitu M. Natsir. Natsir
keberatan terhadap burung Garuda dengan tangan dan bahu Manusia yang memegang
perisai, karena dianggap bersifat mitologis khayalan dan terkesan mitologi feodal. Usul
Natsir ini diterima, hingga lambang Negara hanya berupa burung Garuda.
Natsir pun mempunyai jasa terhadap perumusan symbol “bintang” untuk Sila
Pertama Pancasila. Sebagaimana dijelaskan Turiman dalam Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Th. 44 No. 3, Juli-September 2014 (hlm. 366): “Simbol-simbol dalam Perisai
Pancasila secara semiotika hukum merupakan perpaduan ide dari usulan anggota Panitia
Lambang Negara. Simbol Sila Kesatu sumbangan ide dari Moh Natsir, simbol Sila Kedua ide
dari Sultan Hamid II dan sketsa gambar perisai dan garis khatulistiwa adalah usulan Sultan
Hamid II, simbol Sila Ketiga sumbangan ide dari Purbatjaraka, simbol Sila Keempat
sumbangan ide dari Mohammad Yamin, simbol Sila Kelima sumbangan ide dari Ki Hajar
Dewantoro.”22
Tanggal 11 Februari 1950 rancangan Garuda Pancasila Sultan Hamid II yang telah
dimodifikasi dengan berbagai usulan—termasuk dari Natsir—ini ditetapkan oleh
Pemerintah/Kabinet RIS dan diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet. Lebih jauh,
lambang Negara ini diatur dalam PP No. 66 Tahun 1951 yang ditetapkan pada tanggal 17
Oktober 1951 termuat dalam lembaran negara 111 Tahun 1951, PP No. 43 Tahun 1958
tentang Penggunaan Lambang Negara dan pada masa reformasi diatur dalam Undang-
undang No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta lagu
Kebangsaan.23
E. Mosi Integral Natsir: Konteks Historis-Geopolitics
Geopolitics pada dasarnya sebuah kajian yang memfokuskan keseimbangan politik
antarwilayah-teritorial, baik dalam konteks internasional (antar-Negara) maupun regional
(antar-Daerah).24 Perspektif ini, bagi saya, sangat relevan untuk menganalisis seputar Mosi
Integral Natsir tahun 1950. Sebagaimana umumnya dipahami, Mosi integral ini adalah

22
Turiman. “Analisis Semiotika Hukum Terhadap Lambang Negara Republik Indonesia,” Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Th. 44 No. 3, Juli-September 2014, hlm. 366.
23
Untuk selengkapnya, lihat Turiman, Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia, Tesis
Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, UI, Jakarta, 1999.
24
Dalam kamus Merriam Webster, dijelaskan geopolitics dalam tiga pengertian, yaitu a) a study of the
influence of such factors as geography, economics, and demography on the politics and especially the
foreign policy of a state; b) a governmental policy guided by geopolitics; dan c) a combination of political
and geographic factors relating to something (such as a state or particular resources). Geopolitik berarti
hubungan antara makna, nilai dan pengaruh geografi politik berdasarkan pertimbangan manfaat dan
kehilangan kepentingan nasional suatu negara, dalam hal ini keamanan nasional dan kepentingan
kemakmuran ekonomi. Untuk kajian kontemporer terkait studi geopolitics, misalnya saja lihat Leonard
Hochberg and Geoffrey Sloan. “Mackinder’s Geopolitical Perspective Revisited,” Foreign Policy Research
Institute (FPRI), August 17, 2017.
Pepen NKRI -7
sebuah contoh kasus politik yang benar-benar real-pragmatical, karena terlepas dari aspek
normatif-agama (bahkan ideologi politik). Tidak ada perdebatan ideologis di dalamnya.
Didalamnya ada masalah konflik Pusat versus Daerah yang berjalinkelindan dengan
masalah ekonomi baik dalam skala makro (nasional) maupun mikro di daerah-daerah,
termasuk tambah runyam dengan masuknya kepentingan Barat (baca: Belanda dan
sekutunya).
Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada Desember 1949 akhirnya
menyepakati penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Indonesia, namun
dengan dua konsekuensi besar; pertama, pembebanan hutang Pemerintah Hindia-Belanda
kepada Indonesia; pembiayaan 17 ribu eks karyawan Hindia Belanda selama dua tahun;
serta harus menampung 26 ribu tentara mantan KNIL (Belanda). Kedua, Negara yang baru
didirikan dengan asas federalism—termasuk di dalamnya kesepakatan Uni Belanda-
Indonesia. Jadilah kemudian Republik Indonesia Serikat (RIS). Kabinet RIS dibentuk
dibawah pimpinan Mohamad Hatta, sementara Soekarno menjadi Presiden yang bersifat
simbolik.25
Kedua aspek ini jelas mempunyai konsekuensi politik lanjutan di tanah air. Keadaan
ekonomi Negara baru jelas tidak stabil, ditindaklanjuti dengan peristiwa “gunting
Syafrudin”—kebijakan moneter Menteri Keuangan RIS untuk mengatasi inflasi akibat
adanya tiga jenis mata uang waktu itu, antara mata uang yang dikeluarkan perbankan
zaman Hindia Belanda, uang NICA, serta ORI (Oeang RI). Di tingkat Nasional cukup berhasil,
tapi di daerah lain lagi. Contohnya, perpindahan mata uang di Sumatera.
Ada dua kelompok sosial di Sumatera (dan umumnya di daerah lain di seluruh
Indonesia); antara orang yang pernah bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda yang hidup
makmur dengan orang “Republiken” yang cenderung miskin karena harus menyingkir dari
kota akibat perang dengan Belanda. Ketika RIS dibentuk, kebijakan “rasionalisasi moneter-
ekonomi” malah menguntungkan pihak yang pertama dan sebaliknya memberatkan
kelompok republiken itu sendiri. Kaum republiken di Sumatera yang memegang uang
republic Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS) harus menukarkan uangnya menjadi uang
RIS dengan selisih besar: 1 rupiah federal sebanding dengan 125 URIPS. Ini yang menjadi
salah satu penyulut demonstrasi besar-besaran di Bukittinggi dengan tema “Nasi-
Bungkus”.26 Keadaan yang sama umumnya terjadi di daerah-daerah lainnya.
Hal ini juga berkorelasi dengan masalah militer, baik di Pusat maupun daerah-
daerah. Jumlah anggota militer yang sangat banyak, antara bekas pejuang Republiken

25
Lihat Mohamad Hatta. Memoir. Tinta Mas, 1987; Lihat juga Herbert Feith. The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesiai, Ithaca-New York, Cornell University Press, 1968.
26
Ichlasul Amal. Regional and Central Government in Indonesia Politics: Wesst Sumatera and South
Sulawesi (1949-1979). UGM Press, 1992.
Pepen NKRI -8
dengan eks-KNIL, tidak mungkin ditanggung Negara semuanya. Sehingga ketika ada
rasionalisasi militer (pertahanan) Negara, mayoritas yang terpilih malah eks-KNIL karena
secara kemampuan militernya lebih baik. Tentu saja, kecemburuan politik pasti terjadi,
karena mana mungkin kaum republiken mau menerima kenyataan politik yang ironis
tersebut? Maka bergejolaklah daerah-daerah.
Masalah politik kedua adalah asas federalisme bagi Negara Republik yang baru
berdaulat. Mengapa harus federal? Sebagaimana dikatakan oleh Ichlasul Amal, “there was
a wide spread view that Indonesian cultural diversity justified federalism or something like
it. So many politicians believed that regional feeling and demands could only be satisfied by
the central government giving large doses of autonomy to the regions.”27 Keadaan
geografis Indonesia yang sangat luas dengan ragam budaya, etnik dan agama yang
heterogen mengharuskan adanya system politik dan pemerintahan yang memberi peran
politik besar bagi daerah-daerah itu sendiri.
Dalam konteks inilah, keadaan geopolitik, baik internasional maupun regional di
daerah-daerah justru tidak menguntungkan bagi sistem federalism. Dalam kontek
internasional, sistem ini tak dapat dipungkiri masih merupakan rekayasa kelompok Barat
kapitalis (Belanda dan sekutu-sekutunya) untuk tetap menanamkan cengkeraman-
politiknya di Timur—dalam hal ini adalah Indonesia. Hal ini ditunjukkan, unit-unit
konstituen RIS masih menginduk pada model Belanda, sehingga diisi mayoritas mantan
pejabat Hindia Belanda—atau paling tidak orang yang kooperatif dengan Belanda: “many
of constituent units of the RIS were artificial and unpopular entities, established by the
Dutch in areas where they had military control.”28
Kenyataan historis sederhana inilah—bahwa berdirinya “Negara federal” adalah
hasil rekayasa van Mook (intelektual Belanda)—mengutip pernyataan sejarahwan Taufik
Abdulah,29 “telah menghilangkan landasan legitimasi historis dan kultural dari kehadiran
‘negara bagian’ itu. Noda kolonial yang dikenakan kepada ‘federalisme’ serta merta
menjadikannya tak berharga untuk diperhatikan, betapapun argumen sejarah, kultural,
dan sebagainya bisa mendukung.”
Kedaaan geopolitik regional pun tidak menguntungkan bagi RIS. Kenyataan ekonomi
yang menyudutkan kaum republiken, pejabat-pejabat administratif dan militer di daerah
yang justru didominasi orang-orangnya Belanda, serta sistem federal yang dituding sebagai
rekayasa Belanda, merupakan “bom waktu” bagi eksistensi RIS. Daerah pun bergolak.
Demonstrasi terjadi di mana-mana. Tuntutannya adalah kembali ke tatanan kesatuan RI:
Unitaris bukan federalis!

27
Amal. Regional and Central Government, hlm. 39.
28
Amal. Regional and Central Government, hlm. 40.
29
Taufik Abdullah. Dinamika Regionalisme Dalam Konteks Negara Nasional. UGM Press, 1998.
Pepen NKRI -9
Baru saja tahun 1950 dimasuki dan kedaulatan Negara didapatkan melalui system
federalism, satu per satu “Negara federal” berjatuhan dan bergabung dengan RI yang
berpusat di Yogyakarta. Menjelang April 1950, hanya tinggal Negara Sumatera Timur (NST)
dan Negara Indonesia Timur (NIT) yang masih eksis berdiri. Tetapi keduanya tak henti
dirongrong demonstrasi oleh kaum “unitaris.” Akhirnya kedua negera federal yang tersisa
pun mempercayakan kepada Kabinet RIS untuk solusi konflik politik yang terjadi
padanya.30
Jika, demikian, bahwa hapusnya sistem federalism dalam RIS hanya menunggu
waktu, bagaimana peran Natsir dalam konstelasi politik seperti ini? Disinilah kita melihat
kesholehan (piety) beririsan dengan wawasan geopolitic dan kecerdasan diplomasi politik
Natsir. Sebagai seorang Muslim-reformis, Natsir berpegang pada prinsip “kemaslahatan
ammah” sebagai bagian penting dari Syari’at Islam. Bahwa kepentingan umum harus
didahulukan, terutama terkait masalah perekonomian yang sangat memberatkan
masyarakat pada umumnya, akibat konstelasi politik antara unitaris versus federalis—yang
jika tidak segera diambil solusinya sudah menjurus pada tabir perpecahan.
Hal ini terlihat dari pikiran Natsir, ketika menyatakan sikap Fraksi Partai Masyumi
pada Sidang Parlemen 3 April 1950.31 Natsir mengajukan usulan terkait pembentukan
Negara Kesatuan, untuk menggantikan Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil perundingan
KMB dengan Belanda, bukan karena masalah Unitarisme atau Federalisme. Mengawali
usulannya, Natsir berusaha untuk memisahkan permasalahan unitarisme vs federalisme,
namun justru diarahkan pada tujuan perjuangan kemerdekaan. Hal ini tampaknya
ditujukan supaya tidak terjadi perdebatan yang melelahkan terkait paham dan struktur
Negara. Sehingga lebih baik, kata Natsir, “..mendjauhkan diri dari pada pembitjaraan soal
unitarisme dan federalisme dalam hubungan mosi ini…Orang yang setudju dengan mosi
ini, tidak usah berarti bahwa orang itu unitaris, orang federalis pun mungkin djuga dapat
menjetudjuinja.”
Mosi itu sendiri diajukan sebagai solusi strategis kebangsaan, bukan hanya untuk
kepentingan Partai Masyumi. Namun secara tidak langsung, Natsir menegaskan bahwa
bentuk kenegaraan federalistik berdasarkan kepentingan Belanda dengan garis van Mook-
nya itulah duri dalam daging yang menyebabkan perpecahan bangsa, sehingga tujuan inti

30
Dalam hal ini, proses pembubaran RIS menuju Negara Kesatuan juga dimainkan oleh Bijeenkomst voor
Federaal Overleg (BFO), sebuah lembaga koordinasi negara-negara federal, khususnya Ida Anak Agung
Gde Agung sebagai Perdana Menteri NIT, sekaligus sebagai pejabat teras BFO, disamping Sultan Hamid
II. Penjelasan lebih detail, lihat Ida Anak Agung Gde Agung (1991). Renville. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan; Analisis lebih mendalam, lihat R. Z. Leirissa (2006). Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan
Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka Sejarah.
31
Pidato lengkap Natsir ini bisa kita baca pada buku Capita Selecta II yang diterbitkan Pustaka Pendis
Djakarta tahun 1957, mulai halaman 3 sampai 7.
Pepen NKRI -10
Negara menjadi sulit tercapai: Usaha kemakmuran rakyat, penjaminan keamanan, tidak
dapat berjalan selama belum ada ketentuan politik dalam negeri. Politieke-rust, istilah
yang dipakai Natsir, “…tidak dapat ditjiptakan selama masih ada “duri-dalam-daging” jang
dirasakan oleh rakyat, jang walaupun kedaulatan sudah di tangan kita, tapi kita masih
berhadapan dengan struktur-struktur colonial serta alat-alat politik pengepungan yang
ditjiptakan oleh Van Mook di daerah-daerah.”
Natsir mengilustrasikan kondisi di daerah dengan sangat jelas. Apalagi kemudian
dihubungkan dengan tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Wawasan
geopolitics Natsir terbangun bukan saja karena ia orang Minang yang kemudian menjadi
guru di Bandung dan politisi di Jakarta dan Yogyakarta. Lebih dari itu, Natsir
berkesempatan berkeliling ke daerah dan berjumpa, berdialog dengan tokoh-tokoh di
Sumatera, Jawa serta Sulawesi. Memang kesempatan ini difasilitasi Perdana Menteri (PM)
RIS Mohammad Hatta yang menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling
daerah menambah jaringan dan wawasan geopolitics Natsir.
Aspek kedua adalah kemauan berdialog yang diiringi kecerdasan diplomasi Natsir.
Kelihaian ini jadi seni politik-diplomatik tersendiri. Ia berusaha merangkul semua golongan
yang ada di Parlemen demi golnya Mosi Integral. Selain itu, kecakapannya berunding
dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik
dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan,
negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya—
maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.
Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke
daerah-daerah lalu diformulasikan kedalam dua susunan kata yang sangat strategis: ”Mosi
Integral”. Sebab, menurut Natsir, “suara-suara rakjat dari berbagai daerah dan mosi-mosi
Dewan Perwakilan Rakjat sebagai saluran dari suara-suara rakjat itu, untuk melebur
daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannja ke dalam Republik Indonesia.”
Pernyataan Natsir ini sangat meyakinkan, apalagi ditambah penegasan bahwa “politik
pengleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang djalannja politik
umum di dalam negeri dari pemerintahan di seluruh Indonesia.”32
Selain Natsir, Mosi Integral tersebut ditandatangani oleh berbagai faksi politik:
Soebadio Sastrasatomo, Hamid Algadri, Ir. Sakirman, K. Werdojo, Mr. AM. Tambunan,
Ngadiman Hardjosubroto, B. Sahetapy Engel, Dr. Tjokronegoro, Moh. Tauchid, Amelz, dan
H. Siradjuddin Abbas. Ini menunjukkan gagasan politik Natsir diakui strategis oleh semua
golongan politik yang ada di Parlemen, termasuk Pemerintah.

32
Natsir, Capita Selecta Jilid II, hlm. 5.
Pepen NKRI -11
Mosi Natsir ini diterima baik oleh semua pihak. PM Mohammad Hatta, wakil
Pemerintah, menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam
memecahkan persoalan. Akhirnya, pada 19 Mei 1950, pertemuan digelar di Jakarta antara
RI dan Pemerintah RIS serta wakil negara-negara bagian Indonesia Timur (NIT) juga
Sumatra Timur (NST). Lahirlah Piagam Pembentukan Negara Kesatuan. Pada 15 Agustus
1950, Presiden Soekarno membacakan piagam tersebut dalam sidang bersama Parlemen
dan Senat RIS. Dua hari kemudian, 17 Agustus 1950, bertepatan dengan ulang tahun
kelima RI, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya NKRI. Jelas, Mosi Integral Natsir ini
menjadi pintu masuk pembubaran RIS sekaligus jalan pembuka berdirinya NKRI. Tak heran,
ketika NKRI dibentuk, Presdien Soekarno tidak berpikir panjang untuk memilih pemimpin
Pemerintahan. Natsir pun didapuk menjadi Perdana Menteri NKRI yang pertama Pasca-RIS:
Dengan adanya struktur Negara yang begitu, dengan sendirinya, Kabinet RIS
bubar dan harus diganti dengan kabinet baru. Pada saat Sukarno akan
membentuk formatir kabinet, datang kepadanya wartawan harian “Merdeka”,
Asa Bafagih, mencari berita. Asa Bafagih bertanya kepada Presiden
Sukarno:“Bagaimana sekarang ini? Siapa yang ditunjuk untuk membuat kabinet?
Menjawab Sukarno: “Siapa lagi kalau tidak dari Masyumi”. Bertanya lagi Asa
Bafagih: “Natsir?”. Menjawab Presiden Sukarno: “Ya! Mereka mempunyai
konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi”.33

Begitulah, sekaliber Sukarno pun, dengan apa yang dilakukan Natsir melalui lobi
politik dengan klimaks Mosi Integralnya, percaya bahwa konsep Natsir akan
menyelamatkan Republik ini. Karena Natsir mengedepankan kemaslahatan umat dan
bangsa ini sebagai prioritas yang pertama. Natsir juga membuka dan menginisiasi dialog
yang terbuka, lintas ideology dan keyakinan-agama—yang terdapat dalam berbagai faksi
partai politik, baik di Pusat maupun daerah. Untuk apa? Tiada lain untuk terbangunnya
kemashatan umat dan bangsa ini. Tujuan mulia kemaslahatan ini dirangkai dengan
kemampuan Natsir sebagai seorang administrator dengan wawasan geopolitics yang luas.
Inilah yang jadi pegangan utama, bukan kasuistik politiknya, yang harus kita warisi
dari Natsir. Mungkin dengan konteks tempat dan waktu yang berbeda, solusi yang harus
kita berikan juga berbeda. Namun, yang pasti, kemaslahatan publik yang harus jadi
pegangan, sikap terbuka dan kemauan berdialog dengan stakeholder yang terlibat, serta
wawasan geopolitics yang luas dan komprehensif sangat menentukan tepat-tidaknya
solusi yang kita berikan.
F. Mosi Integral Natsir: Sebuah Integrative Revolution
Konteks geopolitics juga berkorelasi kuat dengan masalah budaya politik. Berbagai
upaya menuntut keterwakilan politik dan alokasi ekonomi yang adil menggambarkan

33
Yusuf Abdulah Puar (ed.). Mohamad Natsir 70 Tahun, Jakarta: Pustaka Antara, 1978, hlm. 105.
Pepen NKRI -12
kondisi problematika keetnisan dalam keindonesiaan yang di beberapa daerah menuntut
keseimbangan baru di zaman RIS. Tidak proporsionalnya keterwakilan etnis dalam
pemerintahan menjadi salah satu faktor pemicu kebangkitan sentimen etnis. Hal mana
tecermin misalnya dengan adanya isu “Jawa-non Jawa” di samping faktor lain, seperti
kemunduran ekonomi, pertarungan ideologis, maupun kepentingan elit-lokal, turut pula
menjadi factor determinan yang mencuatkan sentimen keetnisan. Itu kerap kali
berkelindan dengan sentimen keagamaan dan kedaerahan terkait soal keterwakilan politik
dan distribusi serta alokasi sumber sumber yang langka, maupun berhubungan dengan
posisi kekuasaan jabatan kepemilikan mata pencaharian dan harga diri.34
Situasi ini secara umum bersesuaian dengan tesis Clifford Geertz yang menyebutkan
bahwa potensi menguatnya identitas primordial (primordial sentiments) cenderung akan
tetap besar selepas masuknya sebuah negara ke era kemerdekaan.35 Beragam ekspresi
yang diperlihatkan oleh sebagian masyarakat di daerah-daerah adalah wujud pengukuhan
eksistensi diri dan sekaligus dalam batas tertentu refleksi dari penentangan terhadap
konsep rasa senasib atas nama kesejarahan dan komitmen cita-cita sebagai sebuah
bangsa. Fenomena kebangkitan primordialisme berwujud sentimen keetnisan dan
keyakinan-agama yang mengarah pada upaya kemandirian total atau bahkan pemisahan
diri bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan dalam upaya pembangunan bangsa dan
keindonesiaan.
Contoh berjalinkelindannya aspek etnis-kedaerahan dengan unsur kegamaan
muncul dalam kasus Aceh. Secara kedaerahan, era 1950-an sangat tidak “menguntungkan”
bagi Aceh. Aceh memasuki tahun 1950 dengan rasa bangga, dengan status sebagai
pendukung utama Republik ketika melawan Belanda. Namun kegembiraan berganti
kekecewaan, ketika Propinsi Aceh dihapus dan digabungkan ke dalam Propinsi Sumatera
Utara. Dari sudut Pemerintah Pusat, penggabungan ini merupakan keharusan rasionalitas
administratif belaka, tetapi bagi Aceh, hal ini bukan saja berarti kehilangan “otonomi”,
tetapi juga pengingkaran arti sejarah. Apalagi ketika Pemerintah Pusat mengabaikan
tuntutan kultural Aceh untuk pelaksanaan Syaria’at Islam secara khusus, tak pelak
melahirkan perlawanan Daud Beureuh—yang berujung Perang Saudara.36
Suatu masyarakat bangsa yang sarat dengan sentiment primordial seperti di
Indonesia, menurut Geertz, memerlukan suatu integrative revolution. Yaitu suatu gerak
integrasi masyarakat ke dalam ikatan-ikatan kultural yang lebih luas yang mendukung

34
Sebagai contoh adalah kasus Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Lihat Anhar Gonggong, Abdul Qahhar
Mudzakkar dan Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan 1950-1968. Disertasi Ilmu Sejarah, Universitas
Indonesia, 1990.
35
Cliford Geertz. The Intepretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973, hlm 273-277.
36
Lihat Tim Kell. The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992. Ithaca Cornell Modern Indonesia Project,
1995.
Pepen NKRI -13
pemerintahan nasional. Tanpa adanya gerak integrasi semacam itu, bila timbul sedikit saja
kekecewaan yang berkaitan dengan etnis dan keagamaan, akan meningkatkan potensi
meledaknya disintegrasi politik.37
Inilah yang ditampilkan oleh Natsir dengan ‘Mosi Integral’-nya. Mosi Integral Natsir
adalah semacam upaya awal bagi tumbuhnya integrative revolution bagi bangsa ini.
Sebuah solusi politik penyatuan berbagai permassalahan, baik etnik-kedaerahan maupun
ideologi dan keyakinan-agama. Dalam apa yang disebut Natsir: solusi integral.
Natsir (bersama Hatta dan sealiran dengannya) mengupayakan tumbuhnya budaya
politik yang rasional dan patuh pada aturan main yang disepakati bersama. Ini yang
disebut Civil-Politics, sebagai kebalikan dari primordial sentiment. Civil politics memandang
kinerja (performance) dan prestasi (merit)—bukan hubungan keluarga—lebih penting
sebagai pertimbangan.
Ini dibuktikan Natsir dalam mengelola pemerintahan pada 1950-1951, pasca-Mosi
Integral, tepat setelah berakhirnya RIS. Tipe kepemimpinan politik Natsir sewaktu
memimpin kabinet mirip Bung Hatta, yakni sebagai seorang administrator-rasional, bukan
seorang solidarity-maker.38 Cirinya, dijelaskan Herbert Feith, adalah kebijakan yang
berorientasi pada pemecahan masalah dan taat aturan main. Dalam kabinetnya, Natsir
memberikan kedudukan penting pada politisi-politisi tekhnokrat. Kabinet Natsir juga
menekankan proses reorganisasi dan rasionalisasi, baik pada kemampuan keuangan
angkatan perang dan birokrasi, maupun stimulasi kegiatan perekonomian.39
Sayangnya, masa singkat Kabinet Natsir, menyebabkan terputusnya usaha untuk
menampung aspirasi yang wajar di daerah Aceh dan daerah-daerah lainnya untuk memiliki
hak otonomi dalam Negara Kesatuan RI, sedangkan kabinet-kabinet berikutnya tidak
segera menyambung usaha yang telah dimulai kearah itu. Sehingga keresahan dan
ketidak-puasan terus meningkat sampai meletusnya pemberontakan di Aceh dua tahun

37
Lihat “The Integrative Revolution: Primordial Sentiments And Politics In The New States,” in Clifford
Geertz (ed.). Old Societies And New States: The Quest For Modernity in Asia and Africa. New-York: The
Free Press of Glencoe, 1963, pp. 105-157.
38
Kedua konsep ini, administrator dan solidarity maker, berasal dari Herbert Feith ketika mengkaji
pemerintahan kabinet-kabinet jaman demokrasi liberal. Feith menjelaskan perbedaan pada dua tipe
tersebut: Administrator in the sense of leaders with the administrative, technical, legal and foreign
langguage skill required to run the distinctively modern apparatus of a modern state. And solidarity
makers, leaders skilled as mediators between groups at different levels of modernity and political
effectiveness, as mass organizers, and as manipulators of integrative symbols. Lihat Herbert Feith. The
Decline of Constitutional Democracy in Indonesiai, Ithaca-New York, Cornell University Press, 1968, hlm.
113.
39
Feith, The Decline of Constitutional..., hlm. 154. Lihat juga penjelasan Ichlasul Amal, Regional and
Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South Sulawesi 1949-1979. Yogyakarta:
UGM Press, 1992, hlm. 32.
Pepen NKRI -14
sesudahnya, yang baru juga dapat dihentikan setelah belasan tahun, dengan segala akibat-
akibat yang menyedihkan.
Komentar penyesalan Herbert Feith tentang masa singkat Kabinet Natsir adalah
sebagai berikut, In the very short time it had been in office the Natsir Cabinet persued its
policy goals intently and with some success. It moved the country several steps long the
road to civil security, administrative routinezation, increased production, and planed
economic growth. That it failed was clear from the fact of the very short time it had in
office: it had failed to build itself a basis of political support.40
G. Mosi Integral Natsir sebagai Civic-Education
Setiap Negara pasti mempunyai model pendidikan kewargaan. Tentunya, selain
untuk memperteguh nasionalisme dan ikatan solidaritas di antara warga negaranya, juga
untuk membangun keadaban: warga Negara yang beradab. Suatu bentuk civil-society—
yang umat Islam terjemahkan sebagai masyarakat madani.41
Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, umat Islam tentu turut
berperan serta di dalamnya. Salah satunya melalui pendidikan kewargaan bagi umat Islam
itu sendiri. Hal terpenting, mengingat bangsa ini sangat heterogen, dalam menumbuhkan
semangat persatuan dalam perbedaan, kebijakan pendidikan harus mampu memberikan
keseimbangan antara pemenuhan tuntutan perbedaan di satu sisi dan persatuan di sisi
lain.
Mengutip Yudi Latief, “perwujudan civic nationalism terhadang oleh lemahnya
budaya kewargaan. Keanggotaan dalam suatu bangsa memerlukan "kebajikan sipilitas",
yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam perbedaan serta kesediaan untuk
berbagi substansi bersama, melampaui kepentingan kelompok, kemudian melunakkan dan
menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil. Sayang, yang berkembang di sini
adalah suatu kecenderungan padat politisasi identitas yang disertai oleh keyakinan bahwa
hanya mereka yang memiliki kesamaan prinsip dan primordiallah yang dianggap sebagai
anggota absah dari masyarakat politik. Sementara bagi mereka yang berbeda, dikucilkan
oleh curam hambatan yang terjal."42

40
Feith, The Decline of Constitutional..., hlm. 176.
41
Kata civil society sebenarnya berasal dari konsep Yunani yakni koinia politika yang menjelaskan
sebuah komunitas politik dimana warga citizen terlibat langsung dengan pemerintahan polis. Orang yang
pertama kali mencetuskan istilah civil society ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil
society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang beradab seperti yang dicontohkan oleh
masyarakat kota yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility (kewargaan) dan urbanity
(budaya kota), maka kota dipahami bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga sebagai
pusat peradaban dan kebudayaan (Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES,
1999).
42
Yudi Latief. “Pendidikan Kewargaan,” Kompas, 4 Mei 2017.
Pepen NKRI -15
Profil Natsir secara keseluruhan menampilkan sosok negarawan yang santun,
sederhana, rasional dalam tindakan politiknya, merupakan contoh teladan bagi bangsa ini.
Bangsa ini—terutama generasi mudanya—sangat membutuhkan sosok panutan, sesuatu
yang sudah “hilang” di kepemimpinan kontemporer yang sarat dengan KKN.
Di antara pendidikan kewargaan yang diajarkan—secara tidak langsung—oleh Natsir
melalui Mosi Integral-nya adalah:
a) Sosok negarawan, yang walaupun memegang teguh nilai-nilai agamanya (syari’at
Islam) namun berbaur, bekerja sama, dengan siapapun: lintas agama, ideology,
dan etnis-kedaerahan.
b) Sosok negarawan yang mendahulukan kepentingan public, dari pada kependingan
kelompoknya sendiri.
c) Sosok negarawan yang mengedepankan sikap toleran, terbuka, dan siap berdialog
dengan siapapun, dari kalangan manapun.
d) Sosok negarawan yang memahami keinginan masyarakat bawah, tanpa melihat
status social maupun keyakinan agama yang dipeluknya.
e) Natsir sendiri adalah sosok Muslim yang ta’at dan beradab. Dari nilai-nilai agama
itulah Natsir pun bertransformasi menjadi warga-negara yang baik. Sebuah
komposisi yang sangat ideal; dulu, kini dan esok.
H. Penutup
Masih banyak tentunya nilai-nilai yang bisa gali dari Natsir. Namun yang terpenting,
nilai-nilai itu harus diajarkan kepada umat dan bangsa ini! Mari kita kembali pada tema
Mosi Integral Natsir. Dengan mengambil kajian terkait Mosi Integral Natsir, saya sangat
setuju. Pengajaran sejarah harus terus dilakukan, supaya tidak terjadi disrupted-history,
sejarah yang terputus. Namun, yang saya kritisi terkait metode-nya, cara-pendekatan yang
dilakukan. Bukan Mosi Integralnya, bukan pula acara seremonial mengenang mosi integral
tersebut (itu bagian dari pengajaran sejarah—yang justru merupakan sebuah keharusan).
Cara dan pendekatan kita dalam mengenang Natsir—khususnya mosi integral—cenderung
tidak kreatif-variatif. Cenderung hanya mengulang-ulang isu yang sama. Minimnya variasi
dalam menganalisis sikap dan pemikiran Natsir inilah yang ingin saya “sadarkan”—(dengan
tanda kutip). Tentu, hal ini justru akan lebih meneguhkan posisi buya Natsir itu sendiri,
dalam landscap politik nasional, maupun internasional. Disamping, tentu saja, melatih
daya-nalar kita sendiri—yang mengklaim sebagai pelanjut Natsir.
Saya teringat, hal ini pulalah yang dilakukan Natsir muda, ketika berumur 30-an,
seawktu aktif sebagai di Jamiyah PERSIS. Bagaimana ia menyoroti aspek sejarah Islam—
namun tidak tenggelam di dalamnya. Ia tampilkan perspektif yang baru untuk meng-
counter-view kelompok yang “menghina” Islam pada masanya. Karena itulah, lawan-
lawannya pun dengan sendirinya full-respect kepada Natsir. Apalagi ketika diketahui,
Pepen NKRI -16
bahwa Natsir itu ternyata “masih muda”.43 Saya ingin spirit Natsir ini kita bawa—sejauh
yang bisa kita lakukan. Mungkin kita tidak secerdas Natsir. Tapi paling tidak, kita bisa
menyatakan pantas sebagai Natsiris—penerus Natsir.
Saya sangat mengagumi Natsir. Namun demikian, sebagai pelanjut Natsir, dengan
membawa semangat Natsir, hari ini we should make our own history. Dan biarlah hari esok
yang menentukan, apakah ikhtiar kita ini layak ditulis oleh tinta emas sejarah—
sebagaimana dulu pernah Natsir dapatkan—ataukah tidak. Mari kita berjudi dengan
waktu: Apakah pilihan terbaik pada masa lampau akan juga menjadi pilihan terbaik pada
hari ini? Ataukah justru berlaku sebaliknya?
Dalam kaitan inilah, saya mengelaborasi Mosi Integral Natsir melalui konteks historis
geopolitics pada waktu itu. Ini dimaksudkan untuk membuka cakrawala politik kita,
melihat secara geografik yang disebut Indonesia ini luas dengan sekat kepulauan yang
besar dan terutama kecil—yang sangat banyak. Yang juga penting untuk dianalisis dari
Mosi Integral ini, sebagai tindak-lanjut dari pemetaan geopolitics, adalah masalah budaya-
politik. Teori civil-politics sebagai antithesis dari budaya politik primordial (primordial
sentiments) penting diketengahkan. Ini untuk awareness kita terkait heterogenitas
masyarakat Indonesia, terutama dalam kaitan budaya politiknya. Dan tentu saja, sebagai
konsekuensi dari civil-politics adalah pendidikan kewargaan (civic-education). Belajar dari
Mosi Integral Natsir, maka kita harus menularkan pengajaran yang sangat berharga ini
sebagai bagian dari pendidikan kewargaan. A good Muslim will be a good citizen.
Wal-Lahu A’lam.
@Pepen
The Eagle Always Flies Alone
Merdeka-Grt, 040419

Daftar Pusataka

Abdullah, Taufik. “Pemikiran dan Perjuangan M. Natsir,” dalam Tarmizi Taher, et al.
Pemikiran dan Perjuangan Mohamad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Abdullah, Taufik. Dinamika Regionalisme Dalam Konteks Negara Nasional. Yogyakarta:
UGM Press, 1998.
Agung, Ida Anak Agung Gde. Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
Amal, Ichlasul. Regional and Central Government in Indonesia Politics: Wesst Sumatera and
South Sulawesi (1949-1979). Yogyakarta: UGM Press, 1992.
Federspiel, Howard M. The Persatuan Islam. Ph.D thesis, Institute of Islamic Studies McGill
University Montreal-Canada, August 1966.
Federspiel, Howard M. Islam and Ideology in The Emerging Indonesian State, Leiden; Brill,
2001.

43
Lihat Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi, JIlid I, khususnya bagian “Surat-Surat Islam Dari Endeh.”
Pepen NKRI -17
Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesiai, Ithaca-New York,
Cornell University Press, 1968.
Feith, Herbert dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1966, Jakarta, LP3ES,
1986.
Fuller, Graham. A World Without Islam. New York: Little & Brown, 2010.
Geertz, Cliford. “The Integrative Revolution: Primordial Sentiments And Politics In The New
States,” in Clifford Geertz (ed.). Old Societies And New States: The Quest For
Modernity in Asia and Africa. New-York: The Free Press of Glencoe, 1963, pp. 105-
157.
Geertz, Cliford. The Intepretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.
Gonggong, Anhar. Abdul Qahhar Mudzakkar dan Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan 1950-
1968. Disertasi Ilmu Sejarah, Universitas Indonesia, 1990.
Hatta, Mohamad. Memoir. Jakarta: Tinta Mas, 1987.
Hikam, Muhammad A. S. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1999.
Hochberg, Leonard and Geoffrey Sloan. “Mackinder’s Geopolitical Perspective Revisited,”
Foreign Policy Research Institute (FPRI), August 17, 2017.
Kahin, George Mc Turnan. “In Memoriam: Mohamad Natsir (1908-1993),” Indonesia, No.
56 (Oct., 1993).
Kahin, George Mc Turnan. Nasionalisme dan Revolusi, Jakarta: Sinar Harapan, 1995.
Kell, Tim. The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992. Ithaca Cornell Modern Indonesia
Project, 1995.
Latief, Yudi. “Pendidikan Kewargaan,” Kompas, 4 Mei 2017.
Leirissa, R. Z. Kekuatan Ketiga Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pustaka
Sejarah, 2006.
Mahendra, Yusril Ihza. “Combining Activism and Intelectualism: The Biography of
Mohammad Natsir,” Studia Islamica, Vol. 2, No. 1, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta:
Paramadina, 1999.
Natsir, Mohamad. Capita Selecta II, Pustaka Pendis Djakarta, 1957.
Pratiknya, A. W. (ed.), Pesan Perjuangan Seorang Bapak: Percakapan Antar Generasi,
Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 1989
Puar, Yusuf Abdulah (ed.). Mohamad Natsir 70 Tahun, Jakarta: Pustaka Antara, 1978.
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia, New York: MacMillan, 2004.
Rosidi, Ayip. M. Natsir: Sebuah Biografi. Jakarta: Giri Pusaka Mukti, 1986.
Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, Jakarta: Panitia Penerbit di Bawah Bendera
Revolusi, 1963, hlm. 326.
Turiman. “Analisis Semiotika Hukum Terhadap Lambang Negara Republik Indonesia,”
Jurnal Hukum dan Pembangunan, Th. 44 No. 3, Juli-September 2014.

Pepen NKRI -18

Anda mungkin juga menyukai