Anda di halaman 1dari 6

KEPAHLAWANAN MUHAMMAD NATSIR, AGUS SALIM DAN MUHAMMAD YAMIN

MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

1. KEPAHLAWANAN MUHAMMAD NATSIR

muhammad Natsir atau yang biasa di panggil  Natsir, adalah salah satu tokoh (politik) Islam
Indonesia yang mendapat gelar Pahlawan saat Habibie menjabat Presiden Republik Indonesia. 
Natsir  sebagai tokoh Islam  sekaligus sebagai tokoh Partai Masyumi yang berada dalam
lingkungan birokrasi pemerintahan era Soekarno, selalu berpegang teguh pada prinsip prinsip
keislaman dan menentang komunisme, Natsir menjadi Idola sebagian kaum muslimin Indonesia
(saat itu), makanya tidaklah mengherankan,  jika ada orang yang lahir di masa itu (kurun waktu
1950-1960) oleh orang tuanya kemudian di beri nama Mohammad Nasir.

Tanpa mengabaikan catatan saat Natsir masih kecil  di Sumatra, saya memulainya dari saat
Natsir ada di Bandung. Bandung adalah kota yang ia pilih untuk meneruskan sekolahnya selepas
dari MULO di Padang dan masuk sekolah Pendidikan Menengah umum yang bernama AMS.
Sejak masih di AMS ini, kegemaran Natsir yang sangat menonjol adalah “membaca”.
Perpustakaan yang ada di Gedung Sate, menjadi langganannya tiap hari ba’da pulang sekolah,
targetnya dalam tiga hari harus selesai membaca satu buku, luar biasa.Disekolah yang gurunya
kebanyakan meneer Belanda ini, Natsir kerap mendengar gurunya selalu meng-agung agungkan
keberadaaan bangsa Belanda. Suatu saat, guru meneer Belanda memberi tugas kepada murid
murid untuk membuat makalah kedigdayaan Belanda kaitannya dengan adanya pabrik gula yang
di bangun Belanda, dimata meneer guru, keberadaan pabrik gula, rakyat atau pribumi tertolong
kesejahteraannya.

Namun apa yang ada dalam pikiran meneer guru itu, merupakan cambuk bagi Natsir, berbagai
leteratur dan buku ia lalap habis dibacanya sebagai referensi dalam pembuatan makalah. Natsir
kemudian membuat makalah dan kesimpulannya justru menjungkirbalikkan pendapat sang
meneer guru karena menurut Natsir, dengan adanya pabrik gula, yang diuntungkan justru para
kapitalis, bukan rakyat, mener  guru terperangah.Di Bandung pulalah Natsir menemukan jati
dirinya, meskipun sekolah dengan kurikulum Belanda, Natsir  menaruh perhatian terhadap Islam,
ia banyak belajar  dari tokoh Islam Ahmad Hassan dan banyak berhubungan dengan H.Agus
Salim, ia juga menjadi ketua organisasi pemuda Islam yang bernama Jong Islamit Bond Cabang
Bandung pada tahun 1928.

Natsir muda, sudah mulai menanamkan nilai nilai perjuangan Kemerdekaan, dari Bandung ia
berteriak tentang nilai nilai perjuangan dan Islam, teriakan Natsir bisa dibaca oleh berbagai
kalangan karena Natsir berteriak melalui tulisan. Tulisan Natsir banyak bertebaran di beberapa
majalah saat itu yakni Pandji Islam, Pedoman Masyarakat, dan Almanar.  Apalagi setelah ia
mendirikan  majalah “Pembela Islam”, Natsir yang tidak mengenyam perguruan tinggi secara
formal, mulai berpolemik dengan Soekarno. Tahun 1930-han, adalah masa masa perdebatan
dengan Soekarno tentang nilai nilai perjuangan Kemerdekaan, Soekarno mengusung faham
Nasionalisme, sementara Natsir mengusung tentang pentingnya nilai nilai Islam dalam
perjuangan Kemerdekaan. Saking geramnya, tokoh tokoh nasionalis atau yang disebut Soekarno
Cs, mempelesetkan nama majalah “Pembela Islam” dengan sebutan “Pembelah Islam”.
Saat Kemerdekaan, bersama  Sutan Syahrir, Soepeno, Mr. Assaat Datuk Mudo, dr. Abdul Halim,
Tan Leng Djie, Soegondo Djojopoespito, Soebadio Sastrosatomo, Soesilowati, Rangkayo
Rasuna Said, Adam Malik, Soekarni dan lainnya,Natsir menjadi Badan Pekerja KNIP, KNIP
adalah badan yang dibentuk berdasarkan UUD 1945, berfungsi sementara menjadi Lembaga
Legislatif yang berhak  membuat Garis Besar Haluan Negara. Setelah itu Natsir diangkat
menjadi Menteri Penerangan menggantikan Mr. Amir pada  Kabinet Syahrir Syarifuddin serta
Mentri Penerangan pada Kabinet Hatta menggantikan Syahbudin Latief.

Karir politik Natsir kian meroket tatkala pada tahun 1950 kondisi ketatanegaraan kacau balau,
Natsir bermanuver di parlemen, ia mengemukakan gagasannya yang terkenal yakni mosi
integral. Dengan mosi ini, keutuhan Negara yang bercerai berai dengan adanya Negara Serikat,
berhasil disatukan  kembali dengan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasca mosi
Integral itu, Natsir kemudian diangkat menjadi Perdana Mentri, saat itulah Natsir menolak
campur tangan Soekarno dalam pembentukan Kabinet. Natsir kemudian membentuk Kabinet
berdasarkan keahlian, maka terkenal dengan sebutan Kabinet Ahli dengan memasukkan orang
orang non partai didalamnya seperti Sri Sultan Hamangkubuwono IX sebagai Wakil Perdana
Mentri.

Meskipun menjabat Perdana Mentri, Natsir tak segan mengeritik Soekarno karena dianggap tidak
mencermati soal kesejahteraan di luar Pulau Jawa. Kritikan Natsir ini tentu saja membuat gerah
Soekarno. Golongan nasionalis yang dimotori Hadikusumo dari PNI memboikot Kabinet dan
membuat mosi tidak percaya hingga ujungnya Natsir mengundurkan diri dan menyerahkan
jabatannya kembali kepada Presiden pada 21 Maret 1951 .Setelah Natsir menyerahkan jabatan
termasuk mobil dinasnya di Istana Negara, Natsir pulang ke rumah dinas hanya membonceng
sepeda yang dibawa oleh sopir pribadinya, setalah dari rumah dinas ia kembali ke rumah
sederhana milik pribadinya.Tahun 1955, untuk pertama kalinya Indonesia mengadakan
pemilihan umum, Partai Masyumi yang diketuai Natsir, memperoleh suara yang signifikan yakni
menjadi pemenang kedua setelah PNI disusul kemudian NU dan PKI.

Untuk yang kesekian kalinya, Natsir berbeda pandang dengan Soekarno ketika Soekarno
mempunyai gagasan pembentukan Kabinet empat kaki yang didalamnya bisa mewakili partai
partai pemenang pemilu. Natsir menolak gagasan itu, alasannya karena disitu ada PKI, Natsir
kemudian mengungkapkan dalil dalil Islam yang menyebut Komunisme itu bertentangan dengan
Islam, menurut Nasir tidak mungkin pertentangan antara Islam dan komunisme itu dipersatukan,
laksana minyak dengan air, walaupun di rebus  dan diaduk aduk seperti apapun tidak mungkin
akan bersatu. Disinilah benih benih pertentangan antara Natsir dan Soekarno mulai terlihat
kembali, masa demokrasi liberal adalah masa pertarungan politik di Parlemen antara kaum
nasionalis, komunis dengan golongan Islam hingga kemudian Presiden mengeluarkan sebuah
Dekrit Presiden tahun 1959 karena dianggap Parlemen tidak bisa menjalankan dan
menyelesaikan tugasnya. Sistem Demokrasi Liberal berganti dengan Sistem Demokrasi
Terpimpin yang menempatkan Soekarno sebagai poros semua kebijakan melalui gagasan
Nasakom.

Natsir sangat kecewa, dengan kepemimpinan Demokrasi Terpimpin yang cenderung dictator,
iapun kemudian kembali ke Padang dan ikut bergabung dengan PRRI. Perburuan terhadap
aktivis PRRI dilakukan hingga ahirnya Natsir di jebloskan kedalam tahanan oleh Pemerintah
Soekarno pada 1962.Tahun 1966, Natsir dibebaskan Soeharto setelah kekuasaan Soekarno
runtuh digantikan pasca terjadinya Pemberontakan G.30/S-PKI yang telah menewaskan beberapa
Jendral yang diculik oleh pasukan Cakrabirawa serta didalangi PKI hingga ahirnya menimbulkan
gelombang protes dari berbagai elemen utamanya Mahasiswa hingga ahirnya Soeharto berkuasa
sebagai pemimpin Orde Baru.Pada saat Soeharto berkuasa, Natsir tetap mengabdi kepada nusa
bangsa, ia dianggap berjasa dalam mencairkan hubungan Indonesia Malaysia yang sempat
renggang akibat ganyang Malaysianya Soekarno, ia juga berhasil meyakinkan Jepang tentang
kesungguhan Soeharto membangun ekonomi Indonesia hingga jepang mau memberikan bantuan
keuangan dan berhasil pula menghubungi Kuwait agar bisa menanamkan investasi di Indonesia.

Sungguhpun demikian, Soeharto tetap membatasi aktivitas politik Natsir, ini terbukti saat Natsir
berniat menghidupkan kembali Partai Masyumi, Soeharto melarang berdirinya Masyumi, dan
ketika aktivis Masyumi mendirikan partai PARMUSI, Natsir tidak diperkenankan untuk menjadi
ketua PARMUSI. Natsirpun berhenti dari kehidupan hingar bingar politik dalam negeri, ia
kemudian  aktif di Lembaga Dak’wah yang ia dirikan yakni Dewan Dakwah Islamiyah hingga
ahir hayatnya pada 9 Februari 1993 dalam usianya yang ke 83, ia adalah Pahlawan bangsa yang
konsisten memperjuangkan nilai nilai keislaman dan anti Komunis.

2. KEPAHLAWANAN AGUS SALIM

Pasca proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia bekerja keras mendapatkan pengakuan


Internasional untuk memperkuat status negara Indonesia di mata dunia. Untuk mendapat
pengakuan Internasional, pemerintah Indonesia banyak melakukan upaya diplomasi dengan
negara-negara Asia, Afrika dan forum Internasional PBB. Indonesia mengirimkan beberapa
diplomat yang cakap untuk menjalin hubungan dan berunding dengan negara-negara di dunia.
Salah satu diplomat ulung yang berperan besar dalam memperjuangkan pengakuan kedaulatan
Indonesia adalah Agus Salim. Dalam buku H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad
dan Pluralisme (2014) karya St Sularto, Agus Salim mendapat julukan sebagai The Grand Old
Man karena kepiawaiannya dalam melakukan perundingan dengan negara-negara Arab serta
memimpin delegasi Indonesia di forum PBB tahun 1947.  Baca juga: Diplomasi Sutan Sjahrir
dalam Memperjuangkan Kemerdekaan RI Perundingan pendahuluan di Jakarta Peranan Agus
Salim dalam diplomasi bermula ketika ia ditunjuk sebagai wakil Indonesia dalam perundingan
pendahuluan antara Indonesia dan Belanda di Jakarta. Perundingan ini berlangsung pada 23
Oktober 1945 untuk membahas konflik antara Indonesia dan Belanda pasca proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Dalam perundingan pendahuluan ini, Agus Salim mengungkapkan
argumen bahwa Indonesia bukan bagian dari Kerajaan Belanda. Argumen tersebut didasarkan
pada realita bahwa Belanda telah kalah perang dan menyerah kepada Jepang pada tahun 1942.
Maka dari itu, Belanda tidak memiliki dasar kekuasaan atas Indonesia. Baca juga: Pengakuan
Negara-Negara Arab terhadap Kemerdekaan Indonesia Misi diplomatik Indonesia ke Negara
Arab
3. MUHAMMAD YAMIN

Peran pemuda begitu vital dalam proses menuju Indonesia merdeka. Pemuda memegang
peran penting dalam masa perjuangan melawan penjajahan, baik melalui perlawanan fisik juga
perlawanan diplomatik. Kebangkitan pemuda berawal sejak mereka mulai berorganisasi pada era
kebangkitan nasional pada 1908. Masa ini ditandai dengan berdirinya organisasi pemuda seperti
Boedi Oetomo di Batavia dan Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang didirikan
pelajar Indonesia di Belanda. Sejumlah organisasi lain bermunculan, salah satunya adalah Tri
Koro Dharmo yang berdiri pada 1915, yang kemudian berganti nama menjadi Jong Java. Namun,
organisasi pemuda saat itu masih bersifat kedaerahan dan mementingkan kepentingan suku
bangsa masing-masing. Namun, lama kelamaan muncul kesadaran para kelompok pemuda untuk
menyatukan perjuangan untuk kepentingan bangsa. Buku Indonesia dalam Arus Sejarah (2013)
menjelaskan, perubahan radikal yang dilakukan organisasi pemuda mendorong mereka untuk
bersatu dan berkumpul dalam satu wadah. Maka pada 30 April 1926, para pemuda melakukan
rapat besar antar-kelompok pemuda yang dikenal dengan Kongres Pemuda I di Jakarta. Namun,
saat itu upaya untuk menyatukan berbagai kelompok pemuda dalam satu organisasi gagal. Pada
Kongres Pemuda I tersebut, para pemuda memang belum dapat menyatukan pandangan dan
masih mengutamakan kepentingan suku bangsa. Salah satu tokoh pemuda bahkan dikenal
sebagai orang yang paling menentang fusi atau menyatukan organisasi pemuda yang bersifat
kedaerahan itu dalam satu wadah. Namun, tokoh pemuda itu kemudian malah dikenal sebagai
sosok yang merumuskan Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II yang berlangsung pada
1928. Tokoh itu adalah Ketua Jong Sumatranen Bond, Mohammad Yamin. Baca juga: Sejarah
Sumpah Pemuda, Tekad Anak Bangsa Bersatu demi Kemerdekaan Bahasa persatuan Lihat Foto
Dari kiri : mr. Sujono Hadinoto, LN Palar, mr. M. Yamin dan mr. Joesoef Wibisono.(Dok.
Kompas) Sebagai pemimpin kelompok pemuda Sumatera, Mohammad Yamin memang memiliki
darah Sumatera Barat kental. Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat pada 23
Agustus 1903. Anak dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah ini memang
dibesarkan di keluarga terpelajar. Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, ayahnya yang
mantri kopi membuat Yamin kecil dibekali pendidikan mumpuni. Menurut Elizabeth E Graves
dalam buku Asal-Usul Elite Minangkabau Modern, para mantri kopi masuk ke dalam golongan
terpelajar dengan kemampuan baca tulis dan berhitung yang baik. Kelompok lainnya ialah jaksa
dan pangreh praja. Setelah mendapatkan pendidikan dasar di kampung halaman, Yamin
melanjutkan pendidikan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Algemene Middelbare School (AMS) di
Surakarta. Selanjutnya, Yamin menuju ke Jakarta dan masuk Sekolah Tinggi Hukum (Rechts
Hooge School) di Jakarta. Setelah aktif dan memimpin Jong Sumatranen Bond, Yamin mulai
aktif mengemukakan gagasan tentang persatuan Indonesia. Sebagai seorang sastrawan dan
penyair, salah satu cara yang diyakini Yamin dapat menjadi "alat" persatuan adalah bahasa.
Gagasan ini pun diucapkan lantang dalam Kongres Pemuda I. Melalui pidatonya, "Kemungkinan
Bahasa-bahasa dan Kesusastraan di Masa Mendatang", Yamin "menyodorkan" bahasa Melayu
sebagai bahasa persatuan. "Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa bahasa Melayu lambat laun akan
menjadi bahasa pergaulan dan bahasa persatuan yang ditentukan untuk orang Indonesia. Dan
kebudayaan Indonesia masa depan akan mendapatkan pengungkapannya dalam bahasa itu,"
demikian pidato Yamin, dikutip dari buku Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru
(2003) Pidato itu mendapatkan respons baik dari para pemuda yang hadir dalam kongres. Mereka
tertarik terhadap pemaparan Mohammad Yamin, terutama mengenai persatuan. Banyak yang
meyakini bahwa pemakaian bahasa Melayu yang memang sudah banyak digunakan sebagai
bahasa pengantar selain bahasa Belanda dan bahasa Arab, akan digunakan sebagai bahasa
pengantar di Indonesia. Jong Sumatranen Bond sendiri pernah mendiskusikan bahasa persatuan
ini sejak 1923. Kelak, penggunaan "bahasa Indonesia" ini diharapkan mendesak penggunaan
bahasa Belanda. Kongres Pemuda I memang belum berhasil menyatukan kelompok pemuda
dalam satu organisasi. Namun, konsep mengenai persatuan Indonesia semakin benderang.
Menuju Sumpah Pemuda Lihat Foto 28 Oktober 1928 di halaman depan Gedung IC, Jl. Kramat
106, Jakarta. Tampak duduk dari kiri ke kanan antara lain (Prof.) Mr. Sunario, (Dr.) Sumarsono,
(Dr.) Sapuan Saatrosatomo, (Dr.) Zakar, Antapermana, (Prof. Drs.) Moh. Sigit, (Dr.) Muljotarun,
Mardani, Suprodjo, (Dr.) Siwy, (Dr.) Sudjito, (Dr.) Maluhollo. Berdiri dari kiri ke kanan antara
lain (Prof. Mr.) Muh. Yamin, (Dr.) Suwondo (Tasikmalaya), (Prof. Dr.) Abu Hanafiah, Amilius,
(Dr.) Mursito, (Mr.) Tamzil, (Dr.) Suparto, (Dr.) Malzar, (Dr.) M. Agus, (Mr.) Zainal Abidin,
Sugito, (Dr.) H. Moh. Mahjudin, (Dr.) Santoso, Adang Kadarusman, (Dr.) Sulaiman, Siregar,
(Prof. Dr.) Sudiono Pusponegoro, (Dr.) Suhardi Hardjolukito, (Dr.) Pangaribuan Siregar dan
lain-lain.(Dok. Kompas) Kongres Pemuda I belum bisa menghasilkan kesepakatan yang berarti.
Akan tetapi, pidato Mohammad Yamin menimbulkan gejolak semangat yang baru. Sebelum
melakukan pertemuan akbar kedua, para pemuda kembali berupaya menyatukan sejumlah
organisasi untuk fusi dalam satu wadah. Perhimpunan Indonesia dan Perhimpunan Pelajar-
Pelajar Indonesia (PPKI) menyepakati hal itu. Kemudian, banyak organisasi pemuda yang
memilih untuk fusi dalam satu wadah. Namun, Mohammad Yamin menolak dilakukannya fusi
organisasi pemuda. Yamin lebih memilih dibentuknya federasi dari perkumpulan-perkumpulan
yang ada. Sebab, perkumpulan masing-masing daerah lebih bisa bergerak bebas tanpa adanya
sebuah aturan yang melekat. Hingga dilakukannya Kongres Pemuda II dibuka pada 27 Oktober
1928 di Jakarta, Yamin yang menjabat sebagai Sekretaris Kongres belum menyetujui
dibentuknya fusi. Meski begitu, Yamin tetap memiliki semangat akan persatuan Indonesia. Dia
tetap berharap semangat persatuan tetap ada namun tak menghilangkan kekhasan tiap daerah. 
Yamin juga tak ingin Kongres Pemuda II berakhir tanpa hasil. Setidaknya, harus ada kemauan
dan kesepakatan bersama yang dibacakan peserta kongres. Saat kongres tengah berlangsung,
Yamin mulai menuliskan gagasan "Sumpah Pemuda" tersebut dalam suatu kertas. Kertas itu
kemudian dia sodorkan kepada Soegondo Djojopoespito, yang saat itu menjabat Ketua Kongres.
"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya punya rumusan resolusi yang elegan),"
kata Yamin kepada Soegondo, dikutip dari buku Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H.
Muhammad Yamin Pahlawan Nasional RI (2003). Rumusan itu kini dikenal dengan nama
Sumpah Pemuda, yang berbunyi: Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah
darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa
satu, bangsa Indonesia Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, yaitu pada 1959, tanggal 28
Oktober ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda melalui Keputusan Presiden Nomor 316
Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Sumpah Pemuda dimaknai sebagai momentum
bersatunya para pemuda, yang kemudian bergerak bersama dan berjuang menuju Indonesia
merdeka. Setelah Kongres Pemuda II, Yamin sendiri mulai melunak akan gagasan fusi organisasi
pemuda daerah. Akhirnya, pada 1930 semua organisasi pemuda bisa bersatu dalam satu wadah,
yaitu Indonesia Muda. Tujuan Indonesia Muda adalah membangun dan mempertahankan
keinsyafan anak bangsa yang bertanah air satu agar tercapai Indonesia Raya. Untuk itu,
Indonesia Muda berusaha memajukan rasa saling menghargai dan memelihara persatuan  

Anda mungkin juga menyukai