Anda di halaman 1dari 3

Tan Malaka: antara pemberontak dan pahlawan

Sutan Ibrahim yang bergelar Datoek Tan Malaka atau dikenal dengan sebutan Tan
Malaka merupakan sosok pejuang Indonesia dan pahlawan nasional berdasarkan keputusan RI
No. 53 yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963. Dikutip dari jurnal Tan
Malaka, persatuan perjuangan dan historiografi indonesia kontemporer "Tan Malaka disebut
sebagai tokoh kontroversial Indonesia dan terkenal sebagai pejuang misterius sepanjang
sejarah Indonesia". Karena selama hidupnya, beliau hanya beberapa tahun saja merasakan
kebebasan dan berjuang ditengah-tengah rakyat, dan selebihnya beliau berada di pengasingan
atau dalam penjara. Tan Malaka juga merupakan sosok intelektual dari pemikiran dan
analisanya melalui karya dan dari hasil sejumlah tulisannya.

Tan Malaka berasal dari Sumatera Barat dan lahir pada tanggal 2 Juni 1897 tepatnya
berada di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Lima Puluh Kota di Sumatera Barat. Beliau
merupakan anak dari keluarga bangsawan, ayahnya bernama Rasad Caniago dan ibunya
bernama Sinah Simabur. Tan Malaka memulai pendidikan pertamanya di Inlandsche
kweekscholl Voor Onderwijzers di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada tahun 1908-1913.
Kemudian pada bulan oktober 1913 Tan Malaka pergi ke Belanda melanjutkan pendidikannya
di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah). ( Basundoro Purnawan,98:2012)

Selama berada di negeri Belanda, pola pikir dan pengetahuan Tan Malaka berubah dan
pada saat itu bertepatan dengan berkembangnya gagasan revolusi di kawasan Eropa. Beliau
mulai tertarik dalam mempelajari tentang komunisme dan sosialisme setelah revolusi Rusia
pada oktober 1917. Hal itulah menjadikan Tan Malaka ingin memperjuangkan Indonesia dari
kolonialisme Belanda sebagai bentuk awal perjuangan dan pengembangan politiknya.

Pada tahun 1919, Tan Malaka sempat menjadi guru untuk mengajar tulis menulis anak
buruh perkebunan di Deli, Sumatera utara. Di perkebunan itulah semangat radikal dan anti
kolonialisme Tan Malaka bergejolak, ketimpangan nasib buruh perkebunan yang didominasi
warga pribumi dengan tuan tanah yang warga asing, sangat menyedihkan hatinya. Buruh
perkebunan dan warga pribumi tidak hanya ditindas dari borjuis Tionghoa namun juga dua
orang borjuis pribumi yaitu sultan Serdang dan Sultan Deli. Kenyataan yang dihadapi di
perkebunan Deli sangat memilukan dan menggugah nuraninya sehingga menambah keyakinan
kepadanya untuk menerapkan ajaran-ajaran komunis serta mulai bergabung dalam PKI. Pada
tahun 1921 Tan Malaka diangkat sebagai ketua partai komunis Indonesia (PKI).Kemudian pada
tahun 1922 beliau berpartisipasi dalam kegiatan komintern di Moskow Rusia, mengambil bagian
dalam Komite Eksekutif Komunis Internasional (ECCI) untuk kongres keempat.
(Soewarto,15:1987)

Dalam periodenya Tan Malaka mempertautkan antara Islam sebagai ideologi


perjuangan dengan komunisme sebagai ideologi yang sekaligus juga sebagai jalan
perjuangannya. Namun ketika Tan Malaka menolak gagasan pemberontakan pada peristiwa
pertama yaitu rapat Komintern di Moskow, Rusia pada tanggal 5 November-5 Desember 1922,
beliau dianggap sebagai pemberontak dan penghianat. Peristiwa tersebut membuat Tan
Malaka diawasi oleh pemerintah karena beliau merupakan tokoh besar PKI yang dianggap
sebagai pelopor pemberontakan. Beliau sempat diasingkan dan dibuang serta diusir ke luar
Indonesia sebelum mendatangi dan tampil di kongres komintern sebagai wakil Indonesia.

Pada tahun 1927, Tan Malaka keluar dari PKI dan dipecat oleh komitern. Namun, beliau
pantang menyerah dan terus berjuang serta terus menentang kolonialisme Belanda dengan
pemikirannya. Sehingga dalam perjuangannya pada tahun 1945, ketika beliau menentang
kebijakan pemerintah Indonesia yaitu politik diplomasi, beliau semakin diincar dan dikejar oleh
pemerintah Belanda.Tan Malaka menentang karena beliau menganggap pergantian revolusi
tidak sesuai dan dapat menguntungkan posisi Belanda sehingga beliau menolak Indonesia
terus berunding dengan Belanda. Tan Malaka beranggapan bahwa kemerdekaan Indonesia
bisa direbut tanpa adanya perundingan melainkan bisa dengan cara bergerilya sekalipun
pertumpahan darah.

Pada tahun 1946, Tan Malaka membentuk koalisi persatuan perjuangan pada
pertentangannya dalam politik diplomasi dengan Belanda. Akibatnya beliau dijebloskan dalam
penjara selama dua setengah tahun. Kemudian ketika terjadi pemberontakan pada tahun 1948,
beliau dikeluarkan dari penjara. Setelah itu, Tan Malaka mendirikan partai purba pada 7
November 1948 bersama Chaerul Saleh, Sukarno, dan Adam Malik sebagai bentuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1949, ketika Tan Malaka melanjutkan
pergerakannya memberantas sisa sisa pemberontakan menuju Jawa Timur, beliau ditangkap
dan dieksekusi mati oleh pasukan orang kanan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di
Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Tan Malaka dihukum mati tanpa peradilan, kematiannya
dirahasiakan selama bertahun-tahun setelah dimakamkan di tengah hutan. ( Harry A Poeze,
jilid I:2008)

Sosok Tan Malaka yang terkenal sebagai tokoh kontraversional Indonesia dan
penghianat bangsa karena keterkaitannya dengan komunis. Namun, dibalik itu semua justru
Tan Malaka bekerja keras dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Tan Malaka
berjuang dengan pemikirannya sendiri bahkan beliau telah mengerahkan tenaganya demi
bangsa Indonesia. Salah satunya melalui gagasan beliau yang telah menginspirasi tokoh-tokoh
bangsa, selain itu Tan Malaka telah berperang dan bertempur melawan Belanda hingga
diasingkan, diburu, dan masuk penjara berkali-kali, serta masih banyak lagi. Pada akhirnya,
beliau diangkat sebagai pahlawan nasional oleh sukarno pada maret 1963 setelah mendengar
usulan dari partai murba dan sebagai penyatuan dari ideologi nasakom (nasionalis, agama, dan
komunis).
Daftar Pusaka

Basundoro, Purnawan. Desember 2012. Tan Malaka, persatuan perjuangan dan historiografi
indonesia kontemporer : Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Jember.

Soewarto, Wasid Soewarto.1987. Pokok-pokok ajaran Tan Malaka : Murbaisme, Jakarta


Yayasan Massa.

Poeze, Harry A. 2008. Tan Malaka, Gerakan Kiri, Dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret
1946 : Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Anda mungkin juga menyukai