Anggota 3 serangkai:
E.D DEKKER
CIPTO MANGUN KUSUMO
SUARDI SURYA NINGRAT
Id;google
Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau yang umumnya dikenal dengan
nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi adalah seorang pejuang
kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad ke-20,
penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia Belanda,
wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara" sebagai nama untuk
Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah satu dari "Tiga Serangkai"
pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
dan Suwardi Suryaningrat.
Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama Auguste Henri
Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah bank ternama yang
bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa
Neumann, orang Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia.
Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah.
[1]
Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di
Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan
sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi.
Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah
di STOVIA, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari
pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si
bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Rechtshoogeschool te Batavia.
Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecangakan, Jepara, Jawa Tengah.
[1]
Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di
Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.
Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan
sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi.
Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah
di STOVIA, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari
pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si
bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa Rechtshoogeschool te Batavia.
Budi Utomo
Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran
pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto
semakin tampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi
bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan
kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu
perpecahan ideologi yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman Wedyodiningrat.
Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara
demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. [1] Organisasi ini harus menjadi pimpinan
bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.
Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang
bersifat Jawa.[1]
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi
Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan
dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesifnya.
3.)SUARDI SURYANINGRAT
Id.google