Anda di halaman 1dari 6

DOKTER RAKYAT: Dr.

Cipto Mangunkusumo
Jakarta, 25 April 2022
(Oleh : Aciah Salamiah)

Cipto Mangunkusumo merupakan seorang dokter dan tokoh pergerakan nasional, lahir
4 Maret 1886 di Desa Pecagakan, Jepara Jawa Tengah. Ia adalah putra tertua dari
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa yang bekerja
sebagai guru di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah di Semarang dan menjadi
pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan
dari tuan tanah di Mayong, Jepara. Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya ke
jenjang yang tinggi. Cipto menempuh pendidikan di School tot Opleiding van Indische Artsen
(STOVIA) Batavia, sekolah kedokteran pertama di Hindia Belanda. Menempuh pendidikan di
STOVIA membuat sikap kritisnya terbentuk. Dibandingkan teman-temannya yang lain lebih
suka berpesta, Cipto memilih menghabiskan waktunya untuk menhadiri ceramah, membaca
buku, dan bermain catur.

Cipto dinilai sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru
menjuluki Cipto sebagai “een begaald leerling” atau murid yang berbakat. Ketidakpuasannya
terhadap peraturan-peraturan di STOVIA dan keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat
Indonesia di bawah jajahan kolonial Belanda saat itu, membuat dirinya aktif menuangkan
segala pemikirannya dan kritikannya dalam tulisan. Ia membuat tulisan-tulisan pedas,
mengkritik Belanda di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907.

Setelah lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda
yang ditugaskan di Demak. Setahun berlalu, ditugaskan di Demak, Jawa Tengah. Cipto
Mangunkusumo sering memberikan pertolongan kepada rakyat miskin, tanpa meminta
imbalan. Ia pun mendapat julukan sebagai "dokter rakyat". Akibat tulisan-tulisan harian De
locomotive, Cipto Mangunkusumo sering mendapat teguran dan peringatan dari Pemerintah
kolonial. Untuk mempertahankan kebebasannya dalam berpendapat, Cipto kemudian keluar
dari dinas pemerintah dan mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas yang diterimanya dari
pemerintah.

Saat Budi Utomo terbentuk pada tanggal 2 Mei 1908. Cipto menyambut baik dan
langsung bergabung dengan organisasi masyarakat Bumi Putera pertama dalam sejarah
Indonesia. Kemudian dalam kongres pertama organisasi Budi Utomo, Cipto berselisih
pandangan dengan salah satu tokoh Budi Utomo, Radjiman Wedyodiningrat. Menurutnya
sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara birokratis dan terbuka bagi semua rakyat
Indonesia, Budi Utomo juga harus menjadi pemimpin bagi rakyat dan tidak menjalin hubungan
dengan pemimpin birokrasi pemerintahan kolonial, seperti bupati, dan pegawai tinggi lainnya.
Namun Cipto Mangunkusumo merasa bahwa organisasi ini berubah menjadi organisasi
konservatif yang hanya berkonsentrasi memajukan kebudayaan Jawa dan kurang memberi
ruang bagi bidang lain, Cipto memutuskan keluar dari Budi Utomo.

Setelah keluar dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo. Saat di
Malang, Jawa Timur, terjangkit wabah pes sepanjang tahun 1911, Cipto Mangunkusumo dan
beberapa dokter Jawa lain, terjun ke kampong-kampung untuk mengobati penderita wabah.
Berkat jasanya, Cipto mendapatkan bintang emas Orde van Oranje-Nassau (Kepahlawanan
Belanda) dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Namun, ia menyerahkan kembali bintang
jasa tersebut ke Belanda, karena tidak diizinkan membeantas wabah pes di Solo, Jawa Tengah.

Walaupun membuka praktik dokter selama tinggal di Solo, Cipto Mangunkusumo tidak
meninggalkan dunia politik. Bahkan perhatiannya terhadap politik semakin berkembang
setelah bertemu dengan Ernest Douwes Dekker. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan
seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk
melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi
Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentingan-kepentingan semua
penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama. Pada tahun 1912
Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia
kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah het Tijdschrijft.
Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika
Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan
dengan murid-murid STOVIA.

Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Prancis.
Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut
menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah.
Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun
kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto
dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang
untuk mengirim telegram kepada Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan
kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat
selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda
dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De
Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands
Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto
menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda.
Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913
Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk
membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena
kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.

Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto
tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi
Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan
masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan.
Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia
Belanda.

Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang
cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada
mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi
informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker
berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari
Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai
dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan
diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.

Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke
Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang
menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk
beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara
pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui
majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De
Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto,
jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi
6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober
1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai
yang radikal di Hindia Belanda.
Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).
Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang
dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi. Sedangkan cara yang kedua
melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van
Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat
menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang
tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.

Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto
memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada
pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai
suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap
Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah
dengan kedok demokrasi.

Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan


persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan
bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian
lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang
yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15
Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah
yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah
Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan
pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal
mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari
daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar
kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktek dokter. Selama
tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk
keluar kampung untuk mengobati pasien.

Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti
Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927
Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak
menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai
penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers
pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak
memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto
Mangunkusumo.

Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indonesia terjadi
pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui kegagalan dan ribuan orang ditangkap
atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa
turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika
pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral
dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan
sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi
keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya
perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan
alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya

Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang


mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap
telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden
dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai
hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian


mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk
menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak
politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada
melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto
dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal
pada 8 Maret 1943.
DAFTAR PUSTAKA

Balfas. 1952. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sejati. Jakarta. Pradjaparamita.


Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Sejarah Pergerakan Nasional
dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta. Gramedia.
Notosutanto Nugroho.Et al. 1977. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid V. Jakarta. balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai