Anda di halaman 1dari 3

Indische Partij didirikan oleh E.F.E.

Douwes Dekker alias Setyabudi di Bandung


pada tanggal 25 September 1912 dan merupakan organisasi campuran orang Indo dan
Bumiputra. Douwes Dekker ingin melanjutkan Indische Bonds, oraganisasi campuran
Asia dan Eropa, yag didirikan pada tahun 1989. Indische Partij menjadi organisasi
politik yang kuat pada waktu itu setelah ia bekerja sama dengan dr. Cipto
Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantoro, yang kemudian
mereka itu dikenal dengan sebutan Tiga Serangkai.
Indische Partij adalah organisasi campuran yang menginginkan kerja sama orang
Indo dan Bumiputra. Hal ini disadari benar karena jumlah orang Indo sangat sedikit,
maka diperlukan kerja sama dengan orang Bumiputra. Lagipula disadari bahwa usaha
sekeras apapun bagi orang Indo tdak akan mendapat keuntungan maksimal jika hanya
berusaha sendiri tanpa bantuan orang Bumiputra.
Douwes Dekker masih mempunyai hubungan keluarga denagan Eduard Douwes
Dekker atau Multatuli, penulis Max Havekaar yang membela petani Banten dalam masa
tanam paksa. Ia lahir pada tahun 1879 dari keturunan campuran ayah Belanda dan ibu
Indo. Rupanya pengalaman hidupnya itulah yang menjiwai gerakan politiknya.
Douwes Dekker berpendapat bahwahanya melalui kesatuan aksi melawan
kolonial dapat mengubah sistem yang berlaku. Keadilan bagi semua suku angsa
merupakan keharusan dalam pemerintahan. Pada waktu itu terdapat antitesis antara
penjajah dan terjajah, penguasa dan yang dikuasai. Selanjutnya ia berpendapat
bahwa setiap gerakan politik yang sehat harus mempunyai prinsip bahwa ideologi partai
politik haruslah kemerdekaan yang menjadi tujuan akhir. Pendapatnya itu kemudian
disalurkan lewat majalah Het Tijdschrift dan surat kabar De Expres.
Menurut Suwardi, meskipun pendiri Indische Partij adalah orang Indo, tetapi ia
tidak mengenal supremasi Indo atas penduduk Bumiputra, bahkan ia menghendaki
hilangnya golongan Indo degan melebur diri dalam masyarakat Bumiputra. Perjuangan
untuk menentang perbedaan sosio-politik inilah yang mendasari tindakan Suwardi
Suryaningrat selanjutnya dengan membangun Taman Siswa pada tahun 1922 dan
menentang Undang-Undang Ssekolah Liar pada tahun 1933. Di sisi lain dr. Cipto
Mangunkusumo meneruskan perjuangannya yang radikal meskipun ia dibuang bersama
Douwes Dekker ke Belanda pada tahun 1913. Tahun 1926 ia dibuang kembali ke Banda
setelah sebelumnya dipenjarakan dua tahun di Bandung. Sebelum Jepang masuk ia
dibebaskan dari penjara dn meninggal pada tahun 1943.
Jiwa dinamis Douwes Dekker sudah diawali ketika ia melakukan propaganda ke
seluruh Jawa dari tanggal 15 September sampai dengan 3 Oktober 1912. Dalam
perjalanan itu ia mengadakan rapat-rapat dengan elite lokal di Yogya, Surakarta,
Madiun, Surabaya, Semarang, Tegal, Pekalongan, dan Cirebon. Mereka diajak untuk
membangkitkan semangat golongan Indier guna membangkitkan kekuatan politik untuk
menentang penjajah. Perjalanan itu menghasilkan tanggapan di kota-kota yang
dikunjunginya dan akhirnya dapat didirikan 30 cabang Indische Partij dengan
1

anggota7300 orang. Sebagian bear dari mereka adalah orang Indo dan hanya
sekitar1500 oarang Bumuputera.
Konsep kebangsaan Indiers disebarluaskan oleh Douwes Dekker karena ia
berpendapat bahwa Indie dalam koloni Nederlandsch-Indie harus disadarkan
dandibebaskan dari belenggu penjajahan. Dari anggaran dasar Indische Partij dapat
disimpulkan bahwa tujuan Indische Partij untuk membangun patriotisme Bangsa
Hindia kepada tanah air yang telah memberi lapangan hidup, dan menganjurkan
kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan guna memajukan tanah air Hindia dan
untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka. Ini berarti bahwa secara tidak
langsung Indische Partij menolak kehadiranorang Totok sebagai penguasa dan sekaligus
melahirkan perasaan kebangsaan yang pertama karena mengakui Indonesia sebagai
tanah airnya. Jelas bahwa Indische Partij berdiri atas dasar nasionalisme yang
menampung semua suku bangsa di Hindia yang diajak menuju kemerdekaan Indonesia.
Paham kebangsaan ini, setelah melalui perjalanan yang panjangdiolah dalam
Perhimpunan Indonesia (1942) dan Partai Nasionala Indonesia (1927).
Sikap dan tindakan politik organisasi pergerakan ternyata berbeda-beda.
Demikian pula pemerintah kolonial berbeda dalam cara menanggapinya. Sikap hati-hati
pada Boedi Oetomo berbeda dengan sikap Sarekat Islam yang tenangdi permukaan dan
bergejolak di bawah, dan berbeda lagi dengan Indische Partij yang radikal yang
menuntut kemerdekaan. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan pemerintah bersikap
keras terhadap Indische Partij. Permohonan Indische Partij untuk mendapatkan badan
hukum sia-sia belaka dan organisasi itu dinyatakan sebagai partai terlarang sejak
tanggal 4 Maret 1913. Usia Indische Partij sangat pendek yang tidak lebih dari enam
bulan.
Meskipun usia Indische Partij sangat pendek, namun pengarunya sangat kuat
kepada para pemimpin pergerakan pada waktu itu. Hal ini diakui olehgubernur jenderal
Idenburgdalam suratnya kepadaVan Kol, anggota Eerste Kamer dari Social
Demosratische Arbeiders Partij (SDAP) di Nederland, yang intinya ia harus mengambil
tindakan yang tegas terhadap Indische Partij.
Tindakan Idenburg ini dilakukan setelah larangan terhadap Indische Partij dan
karena ulah bekas pimpinannya di dalam komite Bumiputra. Hal ini dilakukan
berhubungan dengan maksud pemerintah mengadakan ulang tahun ke-100 kemerdakaan
Belanda dari Prancis.
Pada dasarnya komite itu tidak setuju dengan maksud pemerintah karena
bertentangan dengan kenyataan. Sungguh sangat ironis kalau pesta itu harus dibiayai
dari pajak yang ditarik dari orang Bumiputra. Sementara itu komite menuntut agar
diadakan parlemen Hindia, dicabut pasal Regerings Seglement, dan tetap
dipertahankannya hak mengeluarkan pendapat di koloni. Di dalam komite itu dr. Cipto
diangkat menjadi ketua dan Suwardi Suryaningrat sebagai sekretaris. Surat edaran
Suwardi Suryaningrat yang berjudul Alsk il eens Nederlander was adalah kritik pedas
2

terhadap pemerintah dan pada kesempatan ini pemerintah membalas dengan membuang
Tiga Serangkai.
Tidak lama setelah keluarnya tulisan tersebut, maka pada tanggal 18 Agustus
1913 keluarlah surat keputusan dari pemerintah yang isinya adalah mengenai
pembuangan tiga serangkai. Tetapi ditetapkan pula bahwa mereka bebas untuk
berangkat ke luar jajahan Belanda. Adanya ketetapan ini membuat mereka memilih
tempat pembuangan ke negeri Belanda.
Pembuangan Tiga Serangkai mempunyai dampak luas, bukan saja dampaknya
ada di koloni tetapi juga ada di negara induk. Di Belandaterjadi perdebatan politik di
Dewan Perwakilan Rakyat Belanda tentang pergerakan rakyat Indonesia. Di Indonesia
semakin menjadi kebutuhan untuk memperjuangkan hak-hak Bumiputra.Aksi Komite
Bumiputra menghidupkan tumbuhnyakesadaran dan perlunya persatuan untuk mencapai
perubahan ketatanegaraan. Perlu diketahui pula bahwa pergerakan Indonesia dikenal di
luar negeri melalui tulisan-tulisan penulis sosialis Belanda yang pada waktu itu menaruh
perhatian yang besar sekali terhadap pergerakan rakyat Indonesia.
Usia Indische Partij pendek namun bagaikan sebuah tornado yang melanda
Jawa. Oleh penerusnya Indische Partij dibubarkan dan pimpinannya dibuang.
Kemudian organisasi itu berganti nama menjadi Insulinde, namun organisasi itu tidak
mendapat sambutan masyarakat luas meskipun pada tahun 1919 diganti namanya
menjadi National Indische Partij (NIP) sehubungan dengan kembalinya Douwes Dekker
dari negeri Belanda. Asas utama dalam programnya tertera : mendidik suatu
nasionalisme Hindia dengan memperkuat cita-cita persatuan bangsa. Sementara itu
kepada para anggotanya ditekankan supaya menyebut dirinya Indiers, orang Hindia
(Indonesia). Dengan ini nampaklah bahwa partai Insulinde mengorganisir cita-cita
kebangsaan menjadi suatu kekuatan di dalam bentuk ikatan persatuan nasional.
Namun kenyataan tidak dapat ditolak bahwa orang Indo masih merasa
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Bumiputra. Perasaan lebih tinggi di
kalangan Indo ini menyebabkan mereka banyak yang keluar dan menggabungkan diri
dalam Indo Europeesch Verbond yang didirikan pada tahun 1919.
Pada tahun 1940 Douwes Dekker kembali dibuang ke Suriname dan baru pada
tahun 1947 kembali ke Indonesia. Dalam kabinet Syahrir ia diangkat sebagai Menteri
Negara dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, kemudian meninggal pada
tahun 1950.

Anda mungkin juga menyukai