Anda di halaman 1dari 11

Indische Partij (Partai Hindia) adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri tanggal 25

Desember 1912. Didirikan oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo
dan Ki Hadjar Dewantara yang merupakan organisasi orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia. Hal
ini disebabkan adanya keganjilan-keganjilan yang terjadi (diskriminasi) khususnya antara keturunan
Belanda dengan orang Indonesia. Indische Partij sebagai organisasi campuran menginginkan adanya
kerja sama orang Indonesia dan bumi putera. Hal ini disadari benar karena jumlah orang Indonesia
sangat sedikit, maka diperlukan kerja sama dengan orang bumi putera agar kedudukan organisasinya
makin bertambah kuat.

Indische Partij melakukan beberapa usaha agar terjadi kerjasama antara orang Indo dan Bumiputera.
Usaha tersebut diantaranya :

Menyerap cita-cita nasional Hindia (Indonesia)

Memberantas kesombongan sosial dalam pergaulan, baik dalam bidang pemerintahan maupun
kemasyarakatan

Memberantas berbagai usaha yang mengakibatkan kebencian antaragama

Memperbesar pengaruh pro-Hindia di pemerintahan

Berusaha mendapatkan hak bagi semua orang Hindia

Dalam pengajaran, harus bertujuan bagi kepentingan ekonomi Hindia dan memperkuat ekonomi
mereka yang lemah.

Indische Partij, yang berdasarkan golongan Indo yang makmur, merupakan partai pertama yang
menuntut kemerdekaan Indonesia.

Partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintah kolonial Hindia Belanda tetapi
ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, penolakan dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai
wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini
dianggap oleh kolonial saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam
sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Selain itu juga disadari betapa pun baiknya usaha yang dibangun oleh orang Indonesia, tidak akan
mendapat tanggapan rakyat tanpa adanya bantuan orang-orang bumiputera. Perlu diketahui bahwa
E.F.E. Douwes Dekker dilahirkan dari keturunan campuran, ayah Belanda, ibu seorang Indonesia.
Indische Partij merupakan satu-satunya organisasi pergerakan yang secara terang-terangan bergerak di
bidang politik dan ingin mencapai Indonesia merdeka. Tujuan Indische Partij adalah untuk
membangunkan patriotisme semua indiers terhadap tanah air. IP menggunakan media majalah Het
Tijdschrifc dan surat kabar De Expres pimpinan E.F.E Douwes Dekker sebagai sarana untuk
membangkitkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan dari partai ini benar-benar revolusioner
karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan pemerintah kolonial. Tindakan ini
terlihat nyata pada tahun 1913. Saat itu pemerintah Belanda akan mengadakan peringatan 100 tahun
bebasnya Belanda dari tangan Napoleon Bonaparte (Prancis). Perayaan ini direncanakan diperingati juga
oleh pemerintah Hindia Belanda. Adalah suatu yang kurang pas di mana suatu negara penjajah
melakukan upacara peringatan pembebasan dari penjajah pada suatu bangsa yang dia sebagai
penjajahnya. Hal yang ironis ini mendatangkan cemoohan termasuk dari para pemimpin Indische Partij.
R.M. Suwardi Suryaningrat menulis artikel bernada sarkastis yang berjudul Als ik een Nederlander was
(Andaikan aku seorang Belanda). Akibat dari tulisan itu R.M. Suwardi Suryaningrat ditangkap. Menyusul
sarkasme dari Dr. Cipto Mangunkusumo yang dimuat dalam De Expres tanggal 26 Juli 1913 yang diberi
judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Dr. Tjipto pun ditangkap,
yang membuat rekan dalam Tiga Serangkai, Douwes Dekker mengkritik dalam tulisan di De Express
tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi
Soerjaningrat (Pahlawan kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat). Kecaman-
kecaman yang menentang pemerintah Belanda menyebabkan ketiga tokoh dari Indische Partij
ditangkap. Pada tahun 1913 mereka diasingkan ke Belanda. Douwes Dekker dibuang ke Kupang, NTT
sedangkan Dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau Banda. Namun pada tahun 1914 Cipto
Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia karena sakit. Sedangkan Suwardi Suryaningrat dan E.F.E.
Douwes Dekker baru kembali ke Indonesia pada tahun 1919. Suwardi Suryaningrat terjun dalam dunia
pendidikan, dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, mendirikan perguruan Taman Siswa. E.F.E Douwes
Dekker juga mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan mendirikan yayasan pendidikan Ksatrian
Institute di Sukabumi pada tahun 1940. Dalam perkembangannya, E.F.E Douwes Dekker ditangkap lagi
dan dibuang ke Suriname, Amerika Selatan.

Pada tahun 1913 partai ini dilarang karena tuntutan kemerdekaan itu, dan sebagian besar anggotanya
berkumpul lagi dalam Serikat Insulinde dan Comite Boemi Poetera. Akhirnya pun organisasi ini
tenggelam karena tidak adanya pemimpin seperti 3 serangkai yang sebelumnya.

Sejarah Indische Partij –Awal Pendirian dan Perkembangannya

written by Adara Primadia

Indische Partij yang dalam bahasa Indonesia disebut Partai Hindia merupakan organisasi politik pertama
yang memiliki tujuan kemerdekaan Indonesia. Keberaniannya menyuarakan kemerdekaan di masa
penjajahan Belanda di Indonesia masih kuat mengekang malah mempersulit pergerakan organisasi ini di
Indonesia.
Awal Pendirian

Mencari Izin

Indische Partij didirikan oleh tokoh 3 serangkai yang beranggotakan para cendekiawan Hindia Belanda.
Mereka adalah E.F.E Douwes Dekker, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Raden Mas Suwardi Suryaningrat
alias Ki Hajar Dewantara. 3 tokoh terpelajar tersebut mendirikan Partai Hindia di tanggal 25 Desember
1912.

Awalnya organisasi Indische Partij ini didirikan karena terjadinya diskriminasi dan rasisme antar
keturunan Belanda asli dan orang Eropa campuran yang lahir dari hasil perkawinan Belanda dengan
orang Indonesia. Meskipun begitu, sebenarnya 3 serangkai ingin Indische Partij dapat memfasilitasi para
pribumi juga. Sayangnya orang-orang pribumi saat itu masih sangat sensitif dengan golongan Eropa
karena menjadi bangsa penjajah yang menyebabkan penderitaan keluarga mereka selama ratusan
tahun.

Sebagai sebuah organisasi yang tujuannya bukan sekedar untuk merekatkan hubungan kekeluargaan,
Indische Partij merasa butuh pengakuan tertulis dari pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan yang
setirnya dipegang oleh bangsa Belanda sebagai negara penjajah membuat suatu peraturan yang
mengharuskan segala operasi organisasi di bumi jajahan harus mendapatkan persetujuan pemerintah.
Jika organisasi telah disetujui secara legal oleh pemerintah, maka organisasi tersebut dapat beroperasi
dengan aman dan lancar karena keberadaannya telah dijamin oleh pemerintah.

Sayangnya, meski telah berusaha berkali-kali mengajukan izin operasi Indische Partij, pemerintah
Belanda selalu menolaknya. Bahkan hingga setahun setelah Indische Partij berjalan, tepatnya tanggal 11
Maret 1913 3 serangkai mengajukan permohonan izin digagalkan lagi. Penolakannya langsung
dinyatakan oleh Gubernur Belanda yang menjadi wakil Ratu Belanda di negara jajahan Hindia Belanda,
Gubernur Jenderal Idenburg.

Secara terang-terangan Belanda mengatakan bahwa Indische Partij tidak diberikan izin beroperasi
karena membahayakan kepentingan Belanda. Sepak terjang 3 serangkai pasti berhasil membakar
semangat nasionalisme rakyat Hindi Belanda. Ditakutkan akan terjadi kudeta atau beberapa
pemberontakan yang membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda.
Konsistensi Tujuan

Sebenarnya ada banyak organisasi atau perserikatan yang didirikan oleh tokoh nasional dan tetap
beroperasi lancar. Mereka bergerak dengan penutup tujuan lain, misalkan memperbaiki perekonomian
masyarakat. Dengan sabotase semacam itu, pemerintah Belanda akan lebih lunak mengeluarkan izin
operasi.

Namun 3 serangkai memang sekumpulan orang-orang idealis. Di zaman pergerakan seperti itu, mereka
dengan terang-terangan menyatakan tujuan dibentuknya Indiche Partij adalah mencapai Indonesia
merdeka dengan memupuk semangat nasionalisme serta patriotisme di dalam dada orang-orang Hindi
Belanda. Baik itu para pribumi maupun bumiputera yang merasa ada ikatan batin kuat dengan Hindia
Belanda alias Indonesia.

Tidak main-main dengan tujuan agung pendirian Indische Partij, 3 serangkai tetap nekad menggerakkan
Indische Partij agar berguna bagi rakyat Hindia-Belanda. Mereka menyuarakan opini mereka ke dalam
media cetak yang kemudian disebarluaskan. Media berupa majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar De
Express.

Pastinya dengan keberanian menanggung resiko menjadi buronan polisi Belanda, E.F.E Douwes Dekker
mulai menggunakan nama samaran. Ia memilih nama Multatuli yang bermakna orang yang menanggung
penuh kesengsaraan. Dengan nama itulah Douwes Dekker yang merupakan anak hasil perkawinan
campuran dari ayahnya Belanda dengan ibunya Hindia-Belanda mulai mengkritis habis-habisan kondisi
sosial dan politik di masanya.

Tulisannya benar-benar tajam dan akurat. Meskipun merupakan suatu kejujuran, namun suaranya
sangat membahayakan kedudukan Belanda atas penjajahan Hindia-Belanda. Maka mulailah ia menjadi
daftar buruan polisi Belanda dimana-mana. Namun pemburuan ini belum gencar dilaksanakan. 3
serangkai hanya diintai pergerakannya oleh para polisi Belanda.
Perkembangan Indische Partij

Berurusan dengan Polisi

Sudah diketahui publik bahwa Indische Partij merupakan organisasi ilegal yang tidak kunjung diberi izin
operasi oleh pemerintah. Anehnya, para pendiri Indische Partij tetap saja beroperasi tanpa rasa takut
seakan sepak terjangnya telah didukung pemerintah kolonial. Mereka terus menulis dan menyebarkan
opini mereka lewat kedua medianya.

Karena yang menjadi fokus perhatian 3 serangkai adalah kondisi politik dan sosial, mereka selalu
mengamati setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pernah suatu hari wakil pemerintahan
kolonial di Hindia-Belanda bermaksud merayakan sebuah pesta. Bukan pesta syukuran, melainkan pesta
penderitaan bagi warga pribumi.

Pemerintah kerajaan Belanda menginginkan suatu pesta peringatan kemerdekaan Belanda di bawah
kekejaman Napoleon Bonaparte yang berasal dari Perancis. Telah genaplah 1 abad Belanda menjadi
negara yang merdeka, terus berkembang dan telah memiliki banyak negara jajahan. Yang dipikirkan oleh
3 serangkai adalah perasaan rakyat Hindia-Belanda yang menjadi pihak terjajah dan dipaksa merayakan
kemerdekaan bangsa yang menjajahnya hingga berabad-abad lamanya.

Dihukum Pemerintah

Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi tokoh pertama yang menyuarakan tindakan tidak
berperikemanusiaan tersebut. Ia menulis di kolom De Express dengan judul ‘Als ik een Nederlander was’
yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti ‘Andaikan Aku Seorang Belanda.’ Tulisannya ini
mengantarkan Ki Hajar Dewantara ke dalam jeruji besi karena dianggap menghina pemerintah.

Parahnya lagi, sahabat Ki Hajar, dr. Cipto Mangunkusmo langsung meneruskan pemikiran sahabatnya
yang lebih dulu masuk sel tahanan. dr. Cipto menulis ‘Kracht of Vrees?’ dan dimuat di De Express tanggal
26 Juli 1913. Dia tidak lagi membicarakan topik yang sama persis dengan Ki Hajar. Namun, dr. Cipto
mengungkit tentang rasa ketakutan, kekhawatiran serta kekuatan yang terus memojokkan pemerintah
Belanda. Akibatnya, ia menyusul Ki Hajar menikmati dinginnya dinding penjara.

Karena di antara 3 serangkai yang tidak dimasukkan penjara hanya Douwes Dekker saja, ia mencoba
meluapkan perasaan dan pemikirannya dengan cara menulis. Lagi-lagi tulisan ini dimuat di De Express
tanggal 5 Agustus 1913. Tulisannya diberi judul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi
Soerjaningrat yang artinya Pahlawan Kita : Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.

3 pahlawan tulisan tersebut mau tidak mau langsung dijebloskan ke dalam penjara semua. Tetapi
pemerintah Belanda berpendapat, jika mereka dijadikan satu di dalam tahanan, maka mereka akan
tetap bersatu dan menyebarkan pengaruhnya meskipun dari dalam jeruji besi. Akhirnya mereka
menjalani pengasingan yang masing-masing dibedakan tempatnya.

3 serangkai sempat dibuang ke tanah Belanda agar tidak mempengaruhi orang-orang di Hindia Belanda.
Namun akhirnya Douwes Dekker yang masuk penjara terakhir daripada sahabat-sahabatnya kemudian
dikirim ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pengasingan ini dilaksanakan akhir tahun 1913. Sementara itu,
dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke pulau Banda yang memiliki laut terdalam se-nusantara. Di sana, dr.
Cipto sempat mengalami sakit parah yang membuat sulit perawatannya. Dia pun dikirim kembali ke
Jawa di tahun 1914.

Bubarnya Indische Partij

Sekembalinya dari pengasingan pada tahun 1919, Douwes Dekker dan Ki Hadjar Dewantara
mengabdikan diri di dunia pendidikan. Mereka menyadari bahwa kemerdekaan dapat didapatkan dan
dinikmati bila warganya memiliki kemampuan untuk itu. Yaitu dengan jalan pendidikan, mereka
mencoba membuka kembali pola pikir masyarakat yang masih tertutup.

Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa yang terkenal akan Tut Wuri Handayani-nya. Sementara itu, Douwes
Dekker semakin tajam menulis di samping pada 1940 ia mendirikan Ksatrian Institut yang diletakkannya
di Sukabumi, Jawa Barat.

Dinamika perkembangan pergerakan Indische partij terus mengalami kemunduran. Douwes Dekker yang
semakin beringas menulis telah melahirkan Max Havelar menggunakan nama samaran Multatuli.
Setelah gagal berkali-kali, akhirnya polisi Belanda berhasil meringkusnya kembali untuk diasingkan ke
Suriname –sebuah daratan di Amerika Selatan yang menjadi tempat pembuangan warga Hindia-
Belanda.

Pembubaran Indische Partij tidak secara resmi mengingat pendiriannya sendiri juga tidak diresmikan
pemerintah. Organisasi ini tenggelam sendiri seiring dengan berpencarnya 3 serangkai mengikuti nasib
perjuangan masing-masing.
Organisasi ini merupakan organisasi pertama yang secara tegas menyatakan berpolitik. Dengan
demikian Indische Partij adalah partai politik pertama di Indonesia. Tujuan dibentuknya IP ini adalah
untuk memperbaiki keadaan kaum Indo. Pada masa itu kaum Indo menaruh dendam kepada bangsa
Belanda dan segala sesuatu yang bercorak Belanda. Hal ini disebabkan kaum Indonesia seolah-olah
menjadi "golongan yang dilupakan" oleh bangsa Belanda.

Douwes Dekker berusaha mempengaruhi Indische Bond. Menurutnya,segala keluh kesah dan bantahan-
bantahan tidak akan ada gunanya. Sumber dari segala kesukaran itu dikarenakan ketergantungan pada
pemerintah kolonial yang menyebabkan kaum Indo menderita dan dicampakan.

Pendirian organisasi ini dipertegas lagi pada sidang Indische Bond yang diselenggarakan di Jakarta
tanggal 12 desember 1911, dengan pokok pidato "Gabungan kulit putih dengan sawo matang". Ia
berkata, bahwa jumlah kaum Indo sangat sedikit, sehingga jika ia bertindak seorang diri,maka ia tak
mungkin memperoleh keuntungan. Syarat untuk memperoleh kemenangan dalam pertentangan dengan
penjajah Belanda ialah menggabungkan diri dengan bangsa Indonesia agar kedudukan organisasinya
makin bertambah kuat.

Pendapat Douwes Dekker berbeda dengan pendapat Zaanberg, pemimpin Indische Bond. Ia menerima
ketergantungan terhadap pemerintah kolonial. Menurut Zaanberg,dalam ketergantungan itu,kaum indo
akan hidup berbahagia, asalkan pemerintah dan orang-orang Eropa lapisan atas suka menolongnya.
Zaalberg ingin mengekalkan penjajahan sedangkan Douwes Dekker ingin menghapuskan penjajahan itu.

Untuk persiapan pendirian Indische Partij, maka mulai tanggal 15 September - 3 oktober 1912, Douwes
Dekker mengadakan perjalanan Propaganda di Pulau Jawa. Di Surabaya, ia mendapat sokongan dari
Dokter Tjipto Mangoen Koesoemo. Di Bandung ia mendapat sokongan dari R.M. Soewardi Soerjaningrat,
juga Abdul Muis yang pada saat tu telah menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Bandung. Di Yogyakarta
mendapat sambutan baik dari pengurus Budi Utomo,juga daerah Jawa Barat,Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Mereka merupakan "tiga serangkai" yang sangat ditakuti oleh Belanda. Mereka ialah tokoh-tokoh
Indische Partic yang didirikan di Bandung pada tanggal 25 Desember 1912 yang mana semboyannya
yaitu Hindia for Hindia yang berarti Indonesia hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang menetap dan
bertempat tinggal di Indonesia tanpa terkecuali.

Latar Belakang, Tujuan, Perjuangan, Keruntuhan Indische Partij

Tiga Serangkai

Tujuan Indische Partij

tujuan indische partij sebagai berikut :

a. Untuk membangun rasa patriotisme semua bangsa indonesia kepada tanah air yang telah memberi
lapangan hidup kepada mereka.

b. Menganjurkan kerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan.

c. Memajukan tanah air Indonesia.

d. Mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka.

Keanggotaan Indische Partij

Keanggotaan Indische Partij terbuka untuk semua golongan bangsa tanpa membedakan tingkatan kelas
/ kasta. golongan bangsa yang menjadi anggota Indische Partij adalah golongan bumiputera, golongan
Indo, Cina dan Arab

Keanggotaan Indische Partij tersebar pada 30 cabang dengan jumlah anggota seluruhnya 7.300 orang,
sebagian besar golongan Indo. Sedangkan jumlah anggota golongan bumiputera adalah 1.500 orang.
Cabang Indische Partij antara lain adalah Semarang, dengan jumlah anggota 1.300 orang, Surabaya
dengan jumlah anggota 850 orang, Bandung dengan jumlah anggota 700 orang, Batavia / Jakarta dengan
Jumlah anggota 654 orang.

Jika dibandingkan dengan Budi Utomo dan Sarekat Islam, maka keanggotaan Indische Partij lebih kecil
jumlahnya. Hal ini disebabkan karena adanya perasaan takut untuk memasuki suatu perkumpulan
politik. Adanya pasal 111 Regerings-Reglement (RR), yang berbunyi "Bahwa perkumpulan-perkumpulan
atau persidangan-persidangan yang membicarakan soal pemerintahan (politik) atau membahayakan
keamanan umum dilarang di Indonesia". Pasal ini merupakan tembok penghalang yang sukar ditembus
oleh Indische Partij dalam mengembangkan jumlah Anggotanya.

Perjuangan Indische Partij untuk memperoleh Badan Hukum.

Di dalam rapat pendirian IP pada tanggal 25 Desember 1912 ditetapkan pula anggaran dasarnya.Lalu
anggaran dasar itu diberikan kepada pemerintah untuk mendapatkan pengesahan supaya menjadikan IP
berbadan hukum. Sikap Gubernur jendral Idenberg terhadap IP berbeda dengan sikapnya kepada Budi
Utomo maupun Sarekat Islam. Sikapnya terhadap Budi Utomo dan Sarekat Islam sangat berhati-
hati,namun sikapnya terhadap IP sangat tegas. Gub.Jen. Idenberg menolak anggaran dasar IP dengan
surat keputusan tanggal 4 Maret 1913. Alasan penolakannya yaitu karena perkumpulan itu berlandas
politik dan mengancam hendak merusak keamanan umum, harus dilarang pendiriannya, menurut pasal
111 RR".

Di dalam rapat tanggal 5 Maret 1913 pimpinan IP memutuskan untuk mengubah bunyi pasal 2 tentang
tujuan IP .

Setelah diubah bunyinya menjadi:

a. Memajukan kepentingan anggota di dalam segala lapangan, baik jasmani maupun rohani.

b. Menambah kesentosaan kehidupan rakyat di Hindia Belanda.

c. Berdaya upaya menghilangkan segala rintangan dan Undang-undang Negara yang menghalangi
terciptanya tujuan, dan

d. Minta diadakan undang-undang dan ketentuan-ketentuan yang menunjang tercapainya tujuan.

Tanggal 5 Maret 1913 IP mengajukan lagi untuk kedua kalinya anggaran dasar agar dapat disahkan oleh
pemerintah. Dengan surat keputusan tanggal 11 Maret 1913 Gub.Jend. menolak anggaran dasar IP yang
baru. Bunyi penolakan itu adalah:

"Menimbang bahwa perubahan yang diadakan pada pasal 2 anggaran dasar itu, sekali-kali tidak
bermaksud merubah dasar dan jiwa organisasi itu yang sebenarnya, yang diterangkan dalam surat
keputusan tanggal 4 Maret 1913 No.1 maka kenyataan itu adalah jelas daripada keterangan ketua
organisasi IP, atas pernyataan cabang Indramayu yang tertulis di dalam notulen persidangan tanggal 25
Desember 1912 dan dilampirkan di dalam surat permohonan pucuk pimpinan IP tanggal 16 Maret 1913.
Maka berhubung dengan itu, pemerintah Hindia Belanda tetap menguatkan surat keputusan tanggal 4
Maret 1913".
Walaupun kemudian pucuk pimpinan IP beraudiensi kepada Gub.Jend Idenburg untuk mengulangi
permohonan badan hukum itu, tetapi pemerintah Hindia Belanda tetap pada pendiriannya.

Dengan adanya penolakan itu berarti IP menjadi partai terlarang dan hanya berusia 6 Bulan. Meskipun
usianya pendek tetapi semangat dan jiwa IP tetap mendapatkan tempat pada para pemimpin
pergerakan saat itu.

Penangkapan dan Pengasingan Pemimpin Indische Partij

Pemerintah kolonial Belanda ingin merayakan 100 tahun bebasnya negeri Belanda dari jajahan Perancis
pada tahun 1813.Perencanaan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda di tanah jajahan ini
menimbulkan perasaan anti pati dan penghinaan terhadap rakyat jajahan. Untuk mengimbangi niat
pemerintah kolonial Belanda itu, didirikanlah sebuah Komite yang dikenal sebagai "Komite Boemi
Poetra" di Bandung.

Tujuan Komite itu adalah :

a. Mengirimkan telegram kepada Ratu Belanda agar mencabut pasal 111 RR.

b. Membentuk majelis perwakilan rakyat sejati.

c. Adanya kebebasan berpendapat di tanah jajahan.

Salah satu pemimpin Komite Boemi Poetra, R.M. Soewardi Soerjaningrat menulis sebuah artikel dalam
Harian De Express (edisi 19 Juli) dengan judul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya ak seorang
Belanda) yang menyinggung perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda.

Di dalam artikel itu ia menulis antara lain "…Seandainya Aku Seorang Belanda, masih belumlah saya
dapat berlaku sekehendak hati saya. Dengan sesungguhnya saya akan mengharap-harap, semoga
peringatan hari kemerdekaan itu, di pesta seramai-ramainya, tapi saya tidak akan menyukai, jika anak-
anak negeri dari tanah jajahan ini dibawa-bawa larut berpesta. Saya akan melarang mereka turut
bergembira dan bersuka ria di hari-hari keramaian itu, bahkan saya akan meminta di tempat pesta, agar
tidak ada seorang diantara anak-anak negeri yang dapat terlihat, secara apa kita beriang-riang dalam
memperingati hari kemerdekaan itu.Sejalan dengan aliran itu, bukan saja tidak adil, tapi terlebih lagi
tidak patut, jika anak-anak negeri disuruh menyumbang uang pula untuk turut membelanjai pesta itu.
Jika mereka itu telah diperhatikan dengan laku mengadakan pesta kemerdekaan untuk negeri Belanda,
sekarang orang bermaksud pula hendak mengosongkan kantong uangnya. Sesungguhnya, suatu
penghinaan lahir dan batin"
Tulisan R.M. Soewardi Soerjaningrat ini mendapat reaksi yang hebat dari pemerintah kolonial Belanda.
Terjadilah pemeriksaan-pemeriksaan yang intensif terhadap “Tiga Serangkai” oleh Kejaksaan. Dengan
menggunakan "Hak Luar Biasa" (Exorbitante rechten) (hak istimewa untuk menangkap siapapun orang
yang membahayakan kedudukan Belanda).Gub.Jend. Idenburg mengeluarkan surat keputusan tanggal
18 Agustus 1913 untuk mengasingkan ketiga pemimpin “Komite Boemi Poetra” itu.Beberapa tempat
ditunjuk untuk mereka. Kupang untuk Tjipto Mangoenkoesoemo, Banda untuk R.M. Soewardi
Soerjaningrat, dan Bengkulu untuk Douwes Dekker.

Disamping itu ditetapkan pula dalam surat keputusan tanggal 18 Agustus 1913 bahwa mereka bebas
berangkat keluar Hindia Belanda. Mereka bertiga memilih diasingkan di luar negeri, yaitu ke negeri
Belanda. Mereka berangkat ke Negeri pengasingan tanggal 6 September 1913. Hari keberangkatannya
ini diproklamasikan sebagai "Hari Raya Kebangsaan".

Dengan diasingkannya ketiga pimpinan tersebut, maka secara organis IP tidak berperan lagi dalam
pergerakan nasional Indonesia.Lalu IP berganti nama menjadi Partai Insulinde yang kemudian tahun
1919 berganti nama menjadi National Indische Partij(NIP).Dalam perkembangannya partai ini tidak
mempunyai pengaruh terhadap rakyat bahkan hanya merupakan perkumpulan orang-orang terpelajar.

Anda mungkin juga menyukai