Pada awal juli 2002, ketua Banjar Bunga, sebuah kelompok yang terdiri
dari sekitar 150 keluarga di sebelah timur Denpasar, menerima secarik surat dari
lurah. Surat resmi ini meminta Banja Bunga menyerahkan sejarah Banjar kepada
kantor kelurahan demi kepentingan administrasi. Sehingga beberapa hari
kemudian diadakan rapat khusus untuk membahas permintaan ini. Surat resmi ini
ditafsirkan dan diperdebatkan oleh anggota Banjar. Bagi kebanyakan orang,
termasuk anggota Banjar Bunga, “sejarah” tak hanya mengacu pada sebuah
kelampauan yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, nemun mempunyai
hubungan yang jauh lebih dekat dengan kekinian, dan muncul dalam narasi sesuai
dengan keperluan sosial. Hal ini sesuai denagn kritik antropolog Rosalind shaw,
yang mewaspadai analisis “neofungsionalitas” yang melihat kelampauan terbatas
hanya sejauh punya relevansi dengan masalah kesekarangan, kita harus sadar
bahwa jejak-jejak kesilaman masih berada di sekitar kita sebagai sumber makna
sekaligus kendala.
Namun kita tidak bisa begitu saja menyimpulkan bahwa sejarah berfungsi
untuk menutup kebenaran dan Banjar Bunga sebagai penduduk yang tidak berani
melawan ketidakadilan. Dalam pandangan orang bali, masa lalu dan narasi yang
menjelaskannya selalu bersifat ambigu, dalam bahasa local ngerambang sawa
(samar-samar di antar ada dan tiada). Menurut logika ini sebuah teks sejarah tidak
bisa dibaca sebagai cermin masa lalu, tetapi harus dilihat sebagai sebuah rintangan
yang menghalangi dan sekaligus membuka makna. Kelampauan juga mengambil
bentuk jejak-jejak 1965, seperti kaca yang pecah yang masih terdapat di rumah
korban sebagai sebuah site of memory yang disebut bahasa bali laad. Laad di bali
adalahbekas, peninggalan dan jejak, yang bisa mengantarkan kita pada suatu
interpretasi baru terhadap suatu kejadian. Tanpa dibahasakan, laad berhubungan
secara dialogis dengan manusia yang menyimpannya. Hal ini bisa dilihat kalau
korban 1965 sering meniolak menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi dulu,
tetapi pada saat yang sama mereka menyiman laad yang ada di sekitarnya. Di satu
sisi korban 1965 sering ingin melupakan :peristiwa berdarah” dalam bentuk
“jangan bibahasakan”, tetapi di sisi lain laad mengantarkan mereka kembali pada
kelampauan, di luar ruang bahasa yang beresiko, karena selalu dipantau oleh
mereka yang berkuasa.