Anda di halaman 1dari 3

Menulis Sejarah dan Membaca Kuasa:

Politik Pasca-1965 di Bali

Pada awal juli 2002, ketua Banjar Bunga, sebuah kelompok yang terdiri
dari sekitar 150 keluarga di sebelah timur Denpasar, menerima secarik surat dari
lurah. Surat resmi ini meminta Banja Bunga menyerahkan sejarah Banjar kepada
kantor kelurahan demi kepentingan administrasi. Sehingga beberapa hari
kemudian diadakan rapat khusus untuk membahas permintaan ini. Surat resmi ini
ditafsirkan dan diperdebatkan oleh anggota Banjar. Bagi kebanyakan orang,
termasuk anggota Banjar Bunga, “sejarah” tak hanya mengacu pada sebuah
kelampauan yang terpisah dari kehidupan sehari-hari, nemun mempunyai
hubungan yang jauh lebih dekat dengan kekinian, dan muncul dalam narasi sesuai
dengan keperluan sosial. Hal ini sesuai denagn kritik antropolog Rosalind shaw,
yang mewaspadai analisis “neofungsionalitas” yang melihat kelampauan terbatas
hanya sejauh punya relevansi dengan masalah kesekarangan, kita harus sadar
bahwa jejak-jejak kesilaman masih berada di sekitar kita sebagai sumber makna
sekaligus kendala.

Menjelang malam kepala Banjar Bunga memulai rapat dengan membaca


surat lurah. Terjadi keribuatan sesudahnya karena mereka tidak mengetahui
kenapa mereka disuruh untuk menulis “sejarah” belum jelas. Ada yang
berpendapat kalau ada pihak yang ingin mengambil tanah Banjar dengan
memakai alas an bahwa Banjar buga adalah eks komunis. Kemudian ada yang
berargumen bahwa pada tahun 1957 Banjar Bunga masih satu Banjar denagn
Banjar puri timur, yang anggotanya terdiri dari golongan triwangsa atau
aristokrasi dan jaba atau orang biasa, namun terjadi insiden yang menyebab kan
keduanya terpecah. Banjar Bunga mengikuti partindo yang bersimpati pada pki,
sedangkan Banjar timur puri pendukung PNI. Pada akhirnya pada 1965 banyak
anggota Banjar Bunga tewas terbantai. Banyak desas desus bahwa banyak aggota
Banjar timur puri member daftar nama orang komunis kepada kantor kodim.
Selain itu ada juga yang berpendapat perpecahan itu karena masalah seks., namun
yang terakhir ini ditolak. Pada akhirnya usul seorang warga bahwa perpecahan
terjadi karena pada era itu banyak orang berbicara tentang demokrasi dan
modernisasi. Mereka yang tidak berkasta, tidak menginginkan perbedaan. Mereka
tidak mengakui hak tradisional triwangsa untuk tidak ikut berpartisipasi dala
kesinoman. Akhirnya pendapat ini disetujui dan debentuk “panitia penulisan
sejarah” untuk memenuhi permintaan pak lurah.

Sesudah beberapa minggu bekerja, sejarah Banjar Bunga akhirnya keluar


juga. Hal-hal yang berbau politis dihapus, dipermak menjadi narasi yang
merayakan keahiluhungan tradisi dan adat istiadat Bali. Hasilnya “panitia sejarah”
memposisikan Banjar Bunga sebagai pendukung proyek Negara sebagai
pengawet kebudayaan daripada sebagai kelompok marjinal yang tertindas. Banjar
Bunga menghasilkan bacaan sejarah, yang menceritakan bagaiman suatu Banjar
pecah karena kelompok jaba yang promodernitas, yang tidak mengakui hak-hak
triwangsa dan adat istiadat Bali, persis seperti membaca sejarah “picisan” terbitan
rezim orde baru. Hal ini dilakukan untuk menutupi fakta bahwa mereka adalah eks
komunis, karena mereka mencoba membaca kuasa yang tersirat dari surat lurah
dan merasa harus berhati-hati.

Namun kita tidak bisa begitu saja menyimpulkan bahwa sejarah berfungsi
untuk menutup kebenaran dan Banjar Bunga sebagai penduduk yang tidak berani
melawan ketidakadilan. Dalam pandangan orang bali, masa lalu dan narasi yang
menjelaskannya selalu bersifat ambigu, dalam bahasa local ngerambang sawa
(samar-samar di antar ada dan tiada). Menurut logika ini sebuah teks sejarah tidak
bisa dibaca sebagai cermin masa lalu, tetapi harus dilihat sebagai sebuah rintangan
yang menghalangi dan sekaligus membuka makna. Kelampauan juga mengambil
bentuk jejak-jejak 1965, seperti kaca yang pecah yang masih terdapat di rumah
korban sebagai sebuah site of memory yang disebut bahasa bali laad. Laad di bali
adalahbekas, peninggalan dan jejak, yang bisa mengantarkan kita pada suatu
interpretasi baru terhadap suatu kejadian. Tanpa dibahasakan, laad berhubungan
secara dialogis dengan manusia yang menyimpannya. Hal ini bisa dilihat kalau
korban 1965 sering meniolak menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi dulu,
tetapi pada saat yang sama mereka menyiman laad yang ada di sekitarnya. Di satu
sisi korban 1965 sering ingin melupakan :peristiwa berdarah” dalam bentuk
“jangan bibahasakan”, tetapi di sisi lain laad mengantarkan mereka kembali pada
kelampauan, di luar ruang bahasa yang beresiko, karena selalu dipantau oleh
mereka yang berkuasa.

Warga Banjar Bunga yang mengalami terror 1965-66, yang dicurigai,


diawasi secara terus menerus lewat pemberangusan hak-hak sipil merekaa oleh
rezim orde baru dengan cap “tidak bersih lingkungan”, menerima perintah untuk
menulis sejarah Banjar tentu saja sebagai suatu yang berbahaya. Sebagian besar
anggota Banjar yakin bahwa bahasa “tertib administrasi” menyembunyikan
maksud yang mengandung resiko fatal, suatu rambu-rambu bahwa kuasa Negara
mampu memasuki ruang intim mereka, baik dulu maupun kini. “sejarah” di mata
warga Banjar bukan menyangkut persoalan perjuangan susah payah dalam
keseharian atau suka dan duka dalam bahasa bali, tetapi suatu panandaan yang
menganulir posisi mereka dalam pentas narasi sang rezim yang memakai
“peristiwa 1965” sebagai dasar legitimasi. Kedua makna sejarah, sesuatu yang
terjadi di masa lalu dan muatan narasi yang dikisahkan dianggap oleh warga
Banjar sebagai ancaman.
Sementara, dengan mecoba menebak “teka-teki” maksud surat lurah,
anggota Banjar melakukan sesuatu yang sudah terbiasa bagi mereka, yaitu suatu
usaha untuk mendiagnosa keinginan Negara dengan suatu strategi tertentu agar
bisa luput dari jeratan pemeriksaan. Dengan merespon melalui “bahasa itu”,
seperti bahasa yang tersirat dalam surat lurah, sejarah yang dihasilkan menjadi
penuh dengan jargon-jargon besar yang menjadi kesukaan Negara, seperti budaya,
tradisi, agama, dan adat istiadat. Dengan pemilihan kata-kata besar, kmite
penulisan sejarah berharap mengubah posisi kemarginalan mereka sebagai Banjar
eks, melalui pengklaiman kembali status ke-triwangsaan dalam politi kontemporer
lewat pembakuan gagasan adat untuk mendapatka pengakuan atas ke-privelege-an
mereka, atau dengan kata lain, memakai “tradisi” sebagai senjata untuk melawan
“sejarah”.

Anda mungkin juga menyukai