Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera
tertua dan Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa yang bekerja sebagai guru. Meskipun demikian,
Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang
tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi
yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een
begaald leerling” atau murid yang berbakat. Cipto juga dengan tegas
memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan pedas mengkritik Belanda
di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907. Setelah
lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda
yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan
membuatnya kehilangan pekerjaan.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian
De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Ais ik
Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis
artikel yang mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913
Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya
dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan
bahwa keduanya adalah pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto
Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke
Belanda.
Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap
Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang
semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda
dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri
mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena alasan kesehatan,
pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa
dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde
mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).