Anda di halaman 1dari 2

Biodata Dr.

Cipto Mangunkusumo
Cipto Mangunkusumo dilahirkan di Desa Pecagakan, Jepara. Ia adalah putera
tertua dan Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur
masyarakat Jawa yang bekerja sebagai guru. Meskipun demikian,
Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang
tinggi. Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto dinilai sebagai pribadi
yang jujur, berpikiran tajam, dan rajin. Para guru menjuluki Cipto sebagai “een
begaald leerling” atau murid yang berbakat. Cipto juga dengan tegas
memperlihatkan sikapnya. Ia membuat tulisan-tulisan pedas mengkritik Belanda
di harian De locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad sejak tahun 1907. Setelah
lulus dari STOVIA, beliau bekerja sebagai dokter pemerintah kolonial Belanda
yang ditugaskan di Demak. Sikapnya yang tetap kritis melalui berbagai tulisan
membuatnya kehilangan pekerjaan.

Cipto menyambut baik kehadiran Budi Utomo sebagai bentuk kesadaran


pribumi akan dirinya. Namun, Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai
organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi
semua rakyat Indonesia. Hal ini menimbulkan perbedaan antara dirinya dan
pengurus BU lainnya. Cipto lalu mengundurkan diri dan membuka praktek
dokter di Solo, ia pun mendirikan R.A. Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki
nasib rakyat.

Ia kemudian bertemu Douwes Dekker dan bersama Suwardi Suryaningrat


mereka mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto selanjutnya pindah
ke Bandung dan aktif menulis di harian De Express. Menjelang perayaan 100
tahun kemerdekaan Belanda dan Perancis, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi
mendirikan Komite Bumiputera sebagai reaksi atas rencana Belanda
merayakannya di Indonesia.

Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian
De Express menerbitkan artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Ais ik
Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Cipto kemudian menulis
artikel yang mendukung Suwardi keesokan harinya. Akibatnya, 30 Juli 1913
Cipto Mangunkusumo dan Suwardi dipenjara. Melihat kedua rekannya
dipenjara, Douwes Dekker menulis artikel di De Express yang menyatakan
bahwa keduanya adalah pahlawan. Pada 18 Agustus 1913, Cipto
Mangunkusumo bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker dibuang ke
Belanda.
Selama di Belanda, kehadiran mereka membawa perubahan besar terhadap
Indische Vereeniging, sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang
semula bersifat social menjadi lebih politis. Konsep Hindia bebas dari Belanda
dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri
mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Oleh karena alasan kesehatan,
pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo diperbolehkan pulang kembali ke Jawa
dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde. Pada 9 Juni 1919 Insulinde
mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).

Pada tahun 1918, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan


Rakyat). Cipto Mangunkusumo terpilih sebagai salah satu anggota oleh
gubernur jenderal Hindia Belanda mewakili tokoh yang kritis. Sebagai anggota
Volksraad, sikap Cipto Mangunkusumo tidak berubah. Melihat kenyataan itu,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1920 mengusir Cipto Mangunkusumo ke
luar Jawa. Cipto kemudian dibuang lagi ke Bandung dan dikenakan tahanan kota.
Selama tinggal di Bandung, Cipto Mangunkusumo kembali membuka praktek
dokter dengan bersepeda ke kampung-kampung. Di Bandung pula Cipto
Mangunkusumo bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti
Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun
1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan
PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda,
termasuk oleh Sukarno.

 Tempat/Tgl. Lahir : Jepara, 4 Maret 1886


 Tempat/Tgl. Wafat : Jakarta, 8 Maret 1943
 SK Presiden : Keppres No. 109/TK/1964, Tgl. 2 Mei 1964
 Gelar : Pahlawan Nasional

Pada tahun 1927, Belanda Menganggap Cipto Mangunkusumo terlibat dalam


upaya sabotase sehingga membuangnya ke Banda Neira. Dalam pembuangan,
penyakit asmanya kambuh. Ketika Cipto Mangunkusumo diminta untuk
menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa untuk
berobat dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan
bahwa lebih baik mati di Banda. Cipto kemudian dipindahkan ke Makasar, lalu
ke Sukabumi pada tahun 1940. Udara Sukabumi yang dingin Ternyata tidak baik
bagi kesehatan beliau sehingga dipindahkan lagi ke Jakarta hingga Dokter Cipto
Mangunkusumo wafat pada 8 Maret 1943

Anda mungkin juga menyukai