Selain itu kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah
diskriminasi ras, seperti dalam perbedaan gaji yang tinggi untuk pekerja
eropa dibanding orang pribumi meski dalam pekerjaan yang sama,
dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial warga pribumi
sulit untuk menduduki posisi atas.
Semua hal di atas Dia gambarkannya melalui surat harian kolonial yang
sangat berkembang pada waktu itu yakni. De Locomotief dan
Bataviaasch Nieuwsblad. Cipto sudah menjadi penulis di harian De
Locomotief sejak tahun 1907. Cipto sering mengkritik hubungan feodal
maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat.
Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak
kesempatan yang tertutup bagi mereka. Akibatnya Cipto sering
mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk
mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar
dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah
uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Budi Utomo
Budi Utomo dibentuk pada 20 Mei 1908. Meskipun diangkat sebagai
pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi
Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto
tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo
kehilangan kekuatan progesifnya.
Indische Partij
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik
dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia
politik sama sekali. Di sela-sela kesibukkannya melayani pasiennya,
Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki
nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia
bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk
mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan
seperjuangan.
Insulinde
Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan
pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan
Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak
itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa
waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah
pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk
kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu
Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De
Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Pengasingan
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indonesia
terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui kegagalan
dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya.
Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam
perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa,
ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer
pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto
tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase
dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia
bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih
dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto
menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase,
dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya
sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Akhir Hidup
Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto
kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan.
Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia
dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara
tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan
hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun
1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi.