Sutomo
Sekeluar dari penjara Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal
pada pemerintah dan memilih memanfaatkan waktu bersama keluarga dan mendidik
kelima anaknya. Selain itu Sutomo juga menjadi lebih bersungguh-sungguh dalam
kehidupan imannya.
Soekarno
Dr. (H.C.) Ir. H. Soekarno (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno
Sosrodihardjo; 6 Juni 1901 – 21 Juni 1970) adalah Presiden pertama Republik
Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967. Ia adalah seorang tokoh
perjuangan yang memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa
Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep
mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang
menamainya.
Achmed Soekarno
Kiprah politik
Soekarno untuk pertama kalinya menjadi terkenal ketika dia menjadi anggota Jong
Java cabang Surabaya pada tahun 1915. Bagi Soekarno sifat organisasi
tersebut yang Jawa-sentris dan hanya memikirkan kebudayaan saja merupakan
tantangan tersendiri. Dalam rapat pleno tahunan yang diadakan Jong Java cabang
Surabaya Soekarno menggemparkan sidang dengan berpidato menggunakan bahasa
Jawa ngoko (kasar). Sebulan kemudian dia mencetuskan perdebatan sengit dengan
menganjurkan agar surat kabar Jong Java diterbitkan dalam bahasa Melayu saja,
dan bukan dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu, ia
baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Tjipto Mangoenkoesoemo
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang kemudian mengambil
jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik dengan menjadi
anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun 1927 ia dibuang oleh
pemerintah penjajahan ke Banda.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri
dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak
ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan
progesifnya.
Indische Partij
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo.
Ia juga berandil besar dalam pemberantasan wabah pes di Malang pada 1911.
Berkat jasanya itulah, Dokter Tjipto mendapat bintang emas, penghargaan dari
pemerintah kolonial Hinda Belanda.
Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela
kesibukan melayani pasien, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang
bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi
setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat untuk
mendirikan Indische Partij pada tahun 1912. Cipto melihat Douwes Dekker
sebagai kawan seperjuangan. Kerja sama dengan Douwes Dekker telah memberinya
kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh
rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto, Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili
kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku,
golongan, dan agama.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De
Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een
Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam
harian De Express, Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot
perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul
Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan.
Pada 18 Agustus 1913, keluar surat keputusan untuk membuang Cipto
bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan
propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto
tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan
ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya
menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan
situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang
kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Kehidupan pribadi
Sewaktu Douwes Dekker "kabur" dari Suriname dan menetap sebentar di Belanda
(1946), ia menjadi dekat dengan perawat yang mengasuhnya, Nelly Alberta
Geertzema née Kruymel, seorang Indo yang berstatus janda beranak satu. Nelly
kemudian menemani Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran pulang ke
Indonesia agar tidak ditangkap intelijen Belanda. Mengetahui bahwa Johanna telah
menikah dengan Djafar, Douwes Dekker tidak lama kemudian menikahi Nelly, pada
tahun 1947. Douwes Dekker kemudian menggunakan nama Danoedirdja Setiabuddhi
dan Nelly menggunakan nama Haroemi Wanasita, nama-nama yang diusulkan oleh
Sukarno. Sepeninggal Douwes Dekker, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans
pada tahun 1964 dan kini tinggal di Amerika Serikat.
Indische Partij
Tidak puas karena Indische Bond dan Insulinde tidak bisa bersatu, pada
tahun 1912 Nes bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi
Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif
bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye ke beberapa kota
menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat.
Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat
populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan
pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang
anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap
menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander
Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda,
karena DD dan Cipto mendukung Suwardi.