Anda di halaman 1dari 17

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu lahir di Maluku pada 4 Januari 1800.


Pahlawan wanita ini memiliki seorang ayah bernama Kapitan Paulus
Tiahahu. Ayahnya tersebut merupakan teman baik Thomas Mattulessi
atau Kapitan Pattimura.

Martha Christina Tiahahu merupakan seorang gadis yang berasal dari


Desa Abubu di Nusalaut. Perjuangannya dimulai pada usianya yang
terbilang masih sangat muda, yaitu 17 tahun.

Sifatnya yang pemberani dan tekad yang kuat seperti ayahnya,


pahlawan wanita ini memberanikan diri untuk melawan para penjajah.
Saat melawan penjajah, ia bersama oleh ayahnya dan juga Kapitan
Pattimura yang sedang berjuang di Saparua.

Akibat pertempuran di Saparua yang dipimpin oleh Kapitan Pattimura,


menjalar hingga ke Nusalaut tempat Martha tinggal. Penyebab
terjadinya perlawanan rakyat di Saparua yaitu karena tindakan monopoli
perdagangan rempah-rempah yang dilakukan oleh Belanda.

Ketika sudah mencapai puncaknya, Martha Christina Tiahahu datang


untuk menentang Belanda. Dengan didampingi oleh sang ayah, ia juga
memberi semangat pada kaum wanita agar berani melawan para
penjajah.

Pada 12 Oktober 1817, Vermeulen Kringer memerintahkan serangan


umum terhadap pasukan rakyat. Pada saat itu pasukan rakyat terus
menyerang Belanda menggunakan lemparan batu.

Perlawanan berlangsung sangat sengit, hingga pada akhirnya Martha


dan ayahnya tertangkap oleh Belanda dan dibawa ke Kapal Eversten. Di
dalam kapal tersebut, mereka bertemu dengan Kapitan Pattimura.

Para tawanan tersebut diinterogasi oleh Buyskes, birokrat Belanda dan


dijatuhi hukuman. Karena usianya yang sangat muda, Martha Christina
Tiahahu dibebaskan.

Setelah itu Martha dan ayahnya dibawa ke Nusalaut dan ditahan di


Benteng Beverwijk sambil menunggu eksekusi mati untuk ayahnya pada
16 Oktober 1817.

Akhir Hayat Martha Christina Tiahahu

Setelah kematian ayahnya, kesehatan Martha mulai terganggu dan ia


diasingkan ke Pulau Jawa dan dipaksa bekerja di perkebunan kopi.
Pada saat itu ia depresi disebabkan karena kepergian ayahnya.

Rasa putus asa dan kehilangan akal sehatnya membuat kesehatan


Martha terus menurun. Saat sakit, ia menolak untuk minum obat serta
tidak mau makan.

Kemudian pada 2 Januari 1818, Martha Christina Tiahahu


menghembuskan nafas terakhirnya akibat sakit. Jenazahnya kemudian
disemayamkan dengan penghormatan militer ke Laut Banda.

Laut Banda merupakan laut yang terletak di Maluku. Berdasarkan Surat


Keppres Indonesia No 012/TK/Tahun 1969, pada tanggal 20 Mei 1969,
Martha Christina Tiahahu diakui sebagai Pahlawan Nasional.

Itulah biografi singkat Martha Christina Tiahahu, pejuang wanita termuda


asal Maluku yang semangatnya tidak pernah padam. Tapi ketika
ayahnya wafat, ia merasa depresi dan putus asa.

Ayahnya tersebut merupakan orang yang benar-benar berperan penting


dalam kehidupan Martha. Sebagaimana dirinya sangat berani
menentang Belanda pada saat itu di usianya yang masih sangat muda.
PANGERAN DIPONEGORO

Pangeran Diponegoro adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono III. Beliau adalah raja ketiga di
Kesultanan Yogyakarta. Pahlawan yang kelak memimpin Perang Jawa ini lahir pada tanggal 11
November 1785 di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Mustahar. Ibunda Mustahar adalah selir
yang bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Selain dipanggil dengan Mustahar,
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro juga dipanggil dengan nama Bendara Raden Mas
Antawirya.

Sadar karena kedudukannya yang hanya sebagai anak seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan Sultan Hamengkubuwana III untuk diangkat menjadi raja. Ia menolak mengingat
ibunya bukanlah permaisuri. Biasanya, di lingkungan kebangsawanan, putra mahkota yang
pantas hanyalah anak dari permaisuri. Diponegoro sendiri pernah menikah dengan 9 wanita
dalam hidupnya. Yaitu R.A. Retna Madubrangta, R.A. Supadmi yang merupakan putri dari
Raden Tumenggung Natawijaya III, R.A. Retnadewati yang merupakan putri dari seorang Kyai
di wilayah Selatan Jogjakarta, R.Ay.

Citrawati yang merupakan puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu
isteri selir, R.A. Maduretno yang merupakan putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu
Maduretna (putri Hamengkubuwono II), R.Ay. Ratnaningsih yang merupakan putri Raden
Tumenggung Sumaprawira yang menjabat sebagai bupati Jipang Kepadhangan, R.A.
Retnakumala yang merupakan putri Kyahi Guru Kasongan, R.Ay. Ratnaningrum yang merupaka
putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan yang terakhir adalah Syarifah Fathimah Wajo
yang merupakan putri Datuk Husain. Tempat peristirahatannya ada di Makassar.

Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga dia lebih
suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut putrinya atau
permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo.
Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana
V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota perwalian yang menemani
Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan pemerintahan keraton biasanya
dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Tentu Pangeran Diponegoro tidak
menyetujui cara perwalian yang seperti itu.

Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal dengan
tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan sangat
mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya sendiri.
Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara frontal,
mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi, sang paman,
Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua yang diberi nama
Gua Selarong.

Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa perjuangannya adalah


perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum kafir. Teriakan perang sabil yang
dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu dan Pacitan. Salah
seorang tokoh ulama dari Surakarta yang bernama Kyai Maja juga ikut bergabung dengan
pasukan Diponegoro yang berada di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo tertarik
berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sang Pangeran ingin mendirikan kerajaan atau
pemerintahan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo adalah sebagai ulama besar dan berpengaruh
yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga dengan Diponegoro.

Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden
Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan dan Sunan Pakubuwono VI.
Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan Diponegoro sangatlah kuat karena dia
memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai
ulama yang dikenal teguh menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah Jawa
dipimpin oleh pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum yang utama.
Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat perlawanan melawan
Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi Perang Suci.

Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan khususnya dari tokoh-tokoh
agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut seorang sejarawan Peter Carey di bukunya
yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun 2016, disebutkan
bahwa kira-kira ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang bergabung dengan
Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami kerugian hingga tidak
kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak cara terus diusahakan oleh
Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun digunakan. Hadiah sebesar
50.000 Gulden diberikan kepada siapapun yang berhasil menangkap Diponegoro. Hingga
akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua pasukan. Contohnya
seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat pertarungan di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan tentara
Perancisnya mengacak-acak tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di
seluruh tanah Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika suatu wilayah
bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya wilayah itu sudah
berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.

Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari satu lokasi ke lokasi
lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat mesiu dibangun di hutan dan dasar
jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus meningkat karena peperangan terus berkecamuk. Para
intel dan kurir bekerja keras mencari, menganalisis dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi kekuatan musuh,
jarak dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin banyak informasi yang
terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena peperangan tidak hanya
dimenangkan dari satu atau dua faktor.

Serangan-serangan masif dari rakyat Jawa selalu digencarkan ketika bulan-bulan penghujan.
Karena para senopati sangat paham sekali bahwa salah satu cara untuk menang adalah mengenali
dan menggunakan alam sebagai senjata tak terkalahkan. Jika musim hujan tiba, gubernur
Belanda akan berusaha untuk mengajak gencatan senjata dan berunding. Karena hujan tropis
yang sangat deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Tidak hanya itu, penyakit
malaria, disentri, dan sebagainya merupakan masalah yang tidak tampak dan melemahkan fisik
dan moral tentara Belanda. Bahkan yang paling parah adalah penyakit-penyakit tersebut
merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata disetujui, Belanda akan mengatur pasukan dan menyebarkan intel dan
provokator mereka untuk bergerak di kota dan desa. Tugas mereka adalah menghasut, memecah
belah dan bahkan meneror anggota keluarga para bangsawan dan pemimpin perjuangan rakyat
yang mengikuti perjuangan di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang dan para
bangsawan pribumi tersebut tidak takut dan semakin berani melawan Belanda.

Pada puncak Perang Jawa, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu. Suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika masa penjajahan. Ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas
seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dipenuhi oleh puluhan ribu serdadu Belanda. Dari
sudut pandang dunia kemiliteran, ini adalah perang pertama yang menggunakan semua metode
yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka dan metode perang
gerilya yang dilakukan dengan taktik hit and run dan penghadangan.

Ini sebenarnya bukan sebuah perang suku, tapi suatu perang modern yang menggunakan
berbagai macam siasat yang belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga menggunakan taktik
perang urat saraf (psy-war) melalui teknik insinuasi, tekanan-tekanan dan provokasi oleh pihak
Belanda ke mereka yang terlibat langsung dalam peperangan kegiatan intelijen dan spionase
antara kedua belah pihak juga sangat aktif untuk mencari informasi mengenai kekuatan dan
kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda menyerang kubu Diponegoro dengan menggunakan taktik benteng
sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja berhasul ditangkap.
Kemudian menyusul Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya yang
menyerah kepada Belanda. Akhir cerita, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil
menjepit pasukan Diponegoro di daerah Magelang. Karena sudah terjepit, Pangeran Diponegoro
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota pasukannya dibebaskan. Akhirnya,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Lalu dipindahkan ke Makassar
hingga menghembuskan nafas terakhir di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan Belanda lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro. Seperti Ki
Sodewa, Dipaningrat, Dipanegara Anom dan Pangeran Joned. Mereka terus-menerus melakukan
perlawanan tanpa kenal menyerah walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran
Diponegoro tertangkap dan dibuang ke Ambon. Sementara Pangeran Joned dan Ki Sodewa
gugur dalam peperangan.

Akhir Perang Jawa


Berakhirnya Perang Jawa menandai akhir perlawanan bangsawan Jawa. Setelah perang Jawa,
jumlah penduduk Ngayogyakarta berkurang hingga separuhnya. Sebagian kalangan dalam
Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pemberontak. Sehingga konon
keturunannya dilarang masuk ke Kraton. Sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX
memberi ampunan bagi keturunan Diponegoro yang mempertimbangkan semangat kebangsaan
yang dimiliki oleh Diponegoro di masa Perang Jawa. Kini anak cucu Diponegoro bisa bebas
masuk Kraton. Khususnya untuk mengurus silsilah tanpa rasa takut akan diusir.
Biografi Bung Tomo (Sutomo)

Pahlawan nasional dari jawa kita yang bernama asli Sutomo ini lahir di Surabaya provinsi Jawa
Timur pada tanggal 3 Oktober 1920 dan meninggal di Padang Arafah negara Arab Saudi pada
tanggal 7 Oktober 1981 di usia 61 tahun. Kita mengenalnya dengan sapaan akrab oleh rakyat
sebagai Bung Tomo. Bung Tomo merupakan pahlawan yang terkenal karena jasanya ketika era
mempertahankan kemerdekaan dalam memotivasi semangat rakyat untuk melawan kembalinya
penjajahan Belanda dengan bantuan tentara NICA. Perlawanan ini berakhir dengan penyebab
pertempuran surabaya 10 November 1945 dan hingga kini pertempuran ini diperingati sebagai
Hari Pahlawan.

Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Sejarah Partai Golkar (FPG) mendesak pemerintah agar
memberikan gelar pahlawan nasional kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Waktu itu era
pemerintahan SBY. Gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo dan momennya tepat
pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008.

Masa Kecil Bung Tomo

Biografi Bung TomoBung Tomo dilahirkan di daerah Kampung Blauran yang berada di pusat
kota Surabaya yang waktu itu masih Hindia Belanda. Ayahnya adalah seorang kepala keluarga
yang bernama Kartawan Tjiptowidjojo yang merupakan pegawai kelas menengah yang
mengabdi di pegawai pemerintahan. Jabatannya adalah staf pribadi di pabrik swasta di bidang
impor-ekspor milik Belanda dan sebagai asisten di kantor pelayanan pajak pemerintah. seorang
kepala keluarga dari kelas menengah. Ia mengaku memiliki hubungan darah dengan beberapa
sahabat dekat dari Pangeran Diponegoro yang jasadnya dikebumikan di Malang.

Ibunda Bung Tomo memiliki darah campuran antara Jawa Tengah, Madura dan Sunda. Sebelum
ia berhijrah ke Surabaya, ibunda Bung Tomo bekerja untuk perusahaan mesin jahit Singer di
bagian distributor lokal. Masa mudanya bekerja menjadi polisi di kotapraja dan pernah menjadi
anggota asosiasi Sarekat Islam.

Bung Tomo dididik di rumah yang sangat berpendidikan. Ia berbicara penuh semangat dan selalu
berterus terang. Ia suka bekerja keras agar keadaan semakin membaik. Di usia 12 tahun, ketika
dia harus keluar dari pendidikannya di MULO, Bung Tomo melakukan berbagai jenis usaha
kecil-kecilan untuk menghidupi keluarga. Ini terjadi karena depresi besar yang waktu itu
melanda dunia. Kemudian, dia menamatkan pendidikan HBS melalui jalur korespondensi, tapi
secara resmi Bung Tomo tidak lolos.

Bung Tomo lalu bergabung dengan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia. Belakangan Bung
tomo menyimpulkan bahwa nilai filsafat yang didapatnya dari kepanduan, ditambah dengan
pemikiran berhaluan nasionalis yang didapat dari dari kakeknya juga, adalah pengganti yang
sangat baik untuk pendidikan formalnya. Di usia 17 tahun, Bung Tomo mulai terkenal setelah
berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang meraih peringkat Pandu Garuda. Peringkat
Pandu Garuda ini sangatlah sulit untuk mencapai. Bahkan, sebelum pendudukan Jepang yang
dimulai pada tahun 1942, orang yang mendapat peringkat Pandu Garuda hanya berhasil diraih
oleh tiga orang Indonesia.

Pemimpin Perjuangan Pertempuran 10 November 1945

Kehidupan sebagai seorang jurnalis juga pernah dilalui oleh Bung Tomo dia sebuah kantor berita
Domei Tsushin. Baru setelah itu dia bergabung dengan beberapa gerakan sosial dan politik.
Pada tahun 1944, Jepang yang waktu itu menjajah Indonesia mensponsori Gerakan Rakyat Baru
dan Bung Tomo terpilih menjadi anggotanya tapi tak ada seorang pun yang mengenal dia. Tapi,
di titik inilah Bung Tomo mempersiapkan peranannya untuk peristiwa yang sangat penting.
Ketika pertempuran Oktober dan November 1945, Bung Tomo menjadi salah satu tokoh yang
menggerakkan dan membangkitkan semangat juang rakyat Surabaya. Pada pada waktu itu,
Surabaya digempur oleh pasukan Inggris yang baru saja mendarat untuk melucuti senjata tentara
Jepang yang kalah Perang Dunia Kedua dan membebaskan tawanan Eropa yang ditawan oleh
Jepang.

Bung Tomo sangat dikenang karena seruan dan teriakan semangat perjuangan melalui banyak
siaran radio. Berkat pengalaman jurnalisnya yang bekerja di kantor berita Domei Tsushin di
Surabaya, dia mendirikan Radio Pemberontakan yang berguna untuk membakar semangat juang
dan rasa persatuan di hati rakyat Surabaya. Suaranya yang lantang, berani dan yakin terdengar
penuh semangat untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja
diproklamasikan tiga bulan yang lalu. Kemampuannya beorasi dengan penuh semangat berapi-
api, membuatnya menjadi orang kedua setelah Bung Karno dalam kemampuan berorasi dan
kekuatan emosionalnya. Berikut salah satu contoh pidato Bung Tomo yang sangat terkenal yang
diteriakkan pada tanggal 9 November 1945:

“Wahai tentara Inggris! Selama banteng-banteng Indonesia, pemuda Indonesia, memiliki darah
merah yang bisa menodai baju putih menjadi merah dan putih, kita tidak akan pernah menyerah.
Para teman, para pejuang dan khususnya para pemuda Indonesia, kita harus terus bertarung, kita
akan mengusir para kolonialis ini keluar dari tanah air Indonesia yang sangat kita cintai. Sudah
terlalu lama kita menderita, kita dieksploitasi, kita diinjak oleh bangsa asing. Kini saatnya kita
mempertahankan kemerdekaan negara ini. Teriakan kita adalah merdeka atau mati. Allahu
Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!”

Memang, waktu itu Indonesia menderita kekalahan dalam Pertempuran 10 November itu. Tapi
rakyat Surabaya berhasil menahan serangan pasukan Inggris dan bahkan memukul mundur
mereka. Kejadian ini sangat dikenal dan menjadi catatan penting sebagai salah satu peristiwa
paling epik dan heroik dalam sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia melawan bangsa
Eropa. Selain itu, perjuangan kemerdekaan di Indonesia ini juga mendapat dukungan dari dunia
internasional.

Biografi Bung Tomo: Kehidupan Setelah Perjuangan Kemerdekaan

Setelah pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia selesai, Bung Tomo


mencoba terjun ke dalam dunia politik sekitar tahun 1950an. Beberapa jabatan penting pernah
disandang Bung Tomo. Contohnya seperti menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang
Bersenjata/Veteran dan merangkap sebagai Meneteri sosial Ad Interim pada tahun 1955 hingga
1956 di zaman Kabinet Burhanuddin Harahap. Tahun 1956 hingga 1959, Bung Tomo menjadi
anggota DPR yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Karena merasa kurang nyaman dan
bahagia di dunia politik, dia kemudian menghilang untuk sementara dari panggung dan kemelut
dunia politik.

Ada kemungkinan dia tidak sependapat dengan Bung Karno. Ada pula yang bilang hubungannya
dengan Bung Karno sedikit retak ketika Bung Tomo menanyakan masalah yang sedikit pribadi.
Bung Tomo baru mulai muncul lagi ketika akhir masa pemerintahan Bung Karno dan awal
pemerintahan Suharto yang mulai didukungnya, Bung Tomo muncul kembali sebagai tokoh
nasional. Dia mendukung Suharto untuk membersihkan negara ini dari orang-orang yang
memiliki pemikiran berbau kiri atau komunis. Orang-orang yang berpikiran kiri ini tumbuh besar
di rezim Bung Karno.

Namun baru beberapa tahun Suharto menjabat sebagai presiden, Bung Tomo kembali berbeda
pendapat dengan pemerintahan Orde Baru ala Suharto ini. Bung Tomo mengkritik dengan
lantang terhadap beberapa program Suharto. Sehingga pada tanggal 11 April 1978 ia ditahan
oleh rezim Suharto yang sepertinya mulai khawatir akan beberapa kritiknya yang tajam dan
keras terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang sangat parah. Dia dibebaskan
setelah ditahan selama satu tahun. Meskipun jiwanya yang tangguh tidak hancur di dalam
penjara. Bung Tomo sepertinya menghentikan sikapnya yang sangat vokal.

Bung Tomo masih tetap menjalani dan berminat pada masalah-masalah politik kenegaraan. Tapi
ia tidak pernah mengangkat-angkat jasa dan peranannya di dalam sejarah perjuangan
mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bung Tomo adalah seorang figur ayah yang
sangat dekat dengan anak dan keluarganya. Ia berusaha keras agar kelima anaknya sukses
mengejar pendidikannya.

Biografi Bung Tomo: Kehidupan Pribadi

Sang orator dari Surabaya ini menikah dengan Sulistina yang merupakan orang Malang. Bung
Tomo sangat serius dalam kehidupannya sebagai seorang muslim, namun dia tidak menganggap
dirinya sebagai seorang Muslim yang sangat soleh atau calon pembaharu dalam Islam. Sebelum
kematiannya, Bung Tomo sempat menyelesaikan disertasinya tentang peran agama di
pembangunan tingkat desa. Pada tanggal 7 Oktober 1981, Bung Tomo meninggal dunia di
Padang Arafah. Kala itu Bung Tomo sedang menunaikan ibadah haji.

Jenazahnya di bawah pulang kembali ke tanah air dan tidak mengikuti tradisi untuk
memakamkan para jemaah haji yang meninggal ketika ziarah ke tanah suci. Bung Tomo memang
memiliki peran yang besar dalam perjalanan sejarah Indonesia dan layak dimakamkan di tamam
makam pahlawan. Tapi jenazah Bung Tomo dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel
di Surabaya sesuai wasiatnya ketika hidup. Alasannya karena taman makam pahlawan penuh
dengan pahlawan yang tak memiliki keberanian ketika musuh datang dan ketika kondisi negara
dalam keadaan genting, tapi langsung muncul ke publik ketika masa-masa damai untuk
memamerkan jasa-jasanya.

Pada tahun 1950-an di Surabaya, Bung Tomo sempat menunjukkan kepedulian sosialnya. Dia
bergerak sebagai penolong para tukang becak dengan cara mendirikan pabrik. Bung Tomo
mengajak para tukang becak untuk mendirikan untuk perusahaan tersebut. Dengan bantuan Bung
Tomo, pabrik tersebut didirikan oleh dan untuk para tukang becak. Tapi kelanjutan ide pendirian
pabrik sabun kurang berhasil dan cukup kesusahan juga untuk melakukan pertanggung jawaban
keuangan.
Ir. Soekarno

Ir. Soekarno adalah presiden pertama Indonesia sekaligus dikenal sebagai bapak
proklamator kemerdekaan Indonesia. Sebab, beliaulah yang menggaungkan naskah
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pembacaan naskah proklamasi tersebut menjadi tonggak awal Indonesia merdeka dan
terbebas dari penjajahan kolonial yang telah berlangsung selama kurang lebih tiga abad
lamanya. Beliau pula yang mencetuskan nama Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia.
Begitu besarnya jasa Soekarno bagi bangsa ini sehingga penting bagi masyarakat
untuk mengenalnya lebih dekat. Berikut biografi singkat Soekarno sejak kecil hingga
wafat. Sebagaimana dikutip dari buku Tokoh Indonesia yang Gemar Baca Buku oleh Eri
Sumarwan dan Bung Karno, Sang Nasionalis Sejati oleh Usman Hadi.
Soekarno lahir pada tanggal 6 Juni 1901 di Blitar dengan nama Kusno Sosrodihardjo.
Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ibunya bernama Ida Ayu
Nyoman Rai.
Karena sakit-sakitan, Koesno dirawat oleh kakeknya, Raden Hardjodikromo di
Tulungagung. Pada tahun 1909, Soekarno kembali tinggal bersama bapak dan ibunya
di Mojokerto. Ayahnya saat itu ditugaskan menjadi kepala Eerste Inlandse School di
Mojokerto. Orangtuanya mengganti namanya dari Kusno menjadi Soekarno dengan
harapan agar ia selalu sehat dan tidak sakit-sakitan.
Pendidikan Soekarno
Menurut buku Fragmen Sejarah Intelektual: Beberapa Profil Indonesia Merdeka karya
Ignas Kleden (2021), berikut adalah riwayat pendidikan singkat Soekarno.

 Hollandsch Inlandsche School di Tulungagung


 Eerste Inlandse School di Mojokerto (1911)
 Europesche Legore School (ELS) di Mojokerto (1913-1915)
 Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya (1915-1921)
 Technische Hooge-School (THS) dengan jurusan teknik sipil (1921-1926).

Saat bersekolah di Surabaya, ia tinggal dan berguru pada H.O.S (Oemar Said)
Tjokroaminoto, salah satu teman ayahnya sekaligus pemimpin Sarekat Islam (SI).
Selama tinggal bersama Oemar Said, Soekarno belajar banyak tentang politik. Banyak
pertemuan di rumah Tjokroaminoto yang melibatkan para tokoh politik. Soekarno pun
turut mendengarkan dan berdiskusi dengan mereka.

Aktivitas Pergerakan Nasional Soekarno


Trikoro Darmo
Saat di Surabaya, Soekarno mendirikan perkumpulan politik yang diberi nama Trikoro
Darmo yang berarti “Tiga Tujuan Suci” dan melambangkan kemerdekaan politik,
ekonomi dan sosial. Organisasi ini berlandaskan kebangsaan yang kegiatannya adalah
mengembangkan kebudayaan, mengumpulkan data sekolah, dan membantu korban
bencana alam.

Partai Nasional Indonesia


Setelah lulus pada tahun 1926, Soekarno membentuk Perserikatan Nasional Indonesia
pada 4 Juli 1927. Kemudian, pada Mei 1928 berubah nama menjadi Partai Nasioanal
Indonesia. Tujuan utama PNI adalah kemerdekaan Indonesia.
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI)
Soekarno membentuk Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI). Itu adalah suatu badan yang mempersatukan berbagai organisasi
pergerakan di Hindia Belanda.
Penangkapan dan Pengasingan Soekarno
Dikutip dari The Remarkable Story of Soekarno oleh Adimitra Nursalim, berikut
beberapa kisah penangkapan dan pengasingan Soekarno oleh Belanda.
29 Desember 1929 di Penjara Banceuy
Gerakan PNI dalam menyerukan semangat kebangsaan kian hari kian lantang dan
tegas untuk menuntut Indonesia merdeka. Hal ini membuat pihak kolonial ketakutan.
Kemudian, pada 29 Desember 1929, kantor PNI digrebek dan 7 pemimpinnya di
tangkap dan di penjara, salah satunya adalah Soekarno.
1930, Soekarno dipindahkan ke Sukamiskin
Pada saat di penjara di Sukamiskin, Soekarno mengeluarkan sebuah pembelaan
(pledoi) yang terkenal disebut dengan Indonesia Menggugat (Pledoi). Berkat pledoi
tersebut, ia dibebaskan kembali tanggal 31 Desember 1931.
Tahun setelahnya, Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partindo (Partai Indonesia),
pecahan dari PNI.
1933-1937, Soekarno diasingkan ke Flores
Soekarno kembali di tangkap dan diasingkan ke Flores selama 4 tahun yakni pada
tahun 1933 hingga 1937.
1942, Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu
Ia diasingkan kembali oleh pemerintah Belanda ke Provinsi Bengkulu pada tahun 1942.
Kemudian di tahun yang sama ia dibebaskan oleh pemerintah Jepang saat pergantian
penjajah.

Perjalanan Menuju Proklamasi


Soekarno diundang ke Jepang
Pada tahun 1943, Soekarno diundang ke Jepang oleh Hideki Tojo, perdana Menteri
Jepang. Ia bersama Moh Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo disambut hangat oleh
Kaisar Hirohito. Mereka mendapatkan Bintang Kekaisaran (Ratna Suci) dari kaisar yang
berarti bahwa mereka dianggap keluarga kaisar Jepang sendiri.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara
Soekarno adalah salah satu yang mengusulkan nama Pancasila menjadi dasar negara
Indonesia. Ia juga mengusulkan butir-butir Pancasila di sidang pertama BPUPKI.
Peristiwa Rengasdengklok
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00. Saat itu, Soekarno dan
Hatta didesak oleh generasi muda agar mempercepat proklamasi kemerdekaan
Indonesia.
Proklamasi
Pada tanggal 17 Agustus 1945 dini hari, Soekarno serta beberapa tokoh melakukan
penyusunan teks proklamasi untuk kemudian diproklamirkan pukul 10.00 pagi. Sejak
saat itu, tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Soekarno kemudian menjabat sebagai presiden pertama Indonesia selama 21 tahun.
Terhitung sejak hari dilantiknya pada 18 Agustus 1945 hingga 12 Maret 1967.
Soekarno wafat pada Minggu, 21 Juni 1970 disebabkan penyakit ginjal. Ia dimakamkan
di Blitar.
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara adalah pahlawan nasional sekaligus menyandang bapak pendidikan. Nama
asilnya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Tapi pada tahun 1922 lebih dikenal menjadi Ki
Hadjar Dewantara. Beberapa sumber menyebutkan dengan bahasa Jawanya yaitu Ki Hajar
Dewantoro. Ki Hajar Dewantara lahir di daerah Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889 dan
meninggal di Kota Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959 ketika umur 69 tahun. Selanjutnya, bapak
pendidikan yang biasa dipanggil sebagai Soewardi merupakan aktivis pergerakan kemerdekaan
Indonesia, politisi, kolumnis, dan pelopor pendidikan bagi bumi putra Indonesia ketika Indonesia
masih dikuasai oleh Hindia Belanda.

Biografi Ki Hajar DewantaraKi Hajar Dewantara merupakan pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu
organisasi pendidikan yang memberikan kesempatan untuk para pribumi agar bisa mendapatkan
hak pendidikan yang setara seperti kaum priyayi dan juga orang-orang Belanda. Ki Hajar Dewantara
yang lahir pada tanggal 2 Mei kini diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki
Hajar Dewantara punya tiga semboyan yang terkenal yaitu Ing Ngarso Sung Tulodho yang berarti di
depan memberi contoh, Ing Madya Mangun Karso yang berarti di tengah memberikan semangat
dan Tut Wuri Handayani yang berarti di belakang memberikan dorongan.

Salah satu bagian dari tiga semboyan buatan Ki Hajar Dewantara yaitu tut wuri handayani menjadi
slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia hingga saat ini. Atas jasanya, namanya juga
diabadikan di sebuah nama kapal perang Indonesia yaitu KRI Ki Hajar Dewantara. Potret Ki Hajar
Dewantara juga diabadikan di uang kertas pecahan dua puluh ribu rupiah pada tahun 1998. Tujuh
bulan setelah meninggal, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi pahlawan nasional yang kedua oleh
Presiden RI yang pertama, Sukarno, pada tanggal 28 November 1959 menurut Surat Keputusan
Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959.

Ki Hajar Dewantara yang merupakan pahlawan nasional dari jawa lahir di lingkungan keluarga
Kabupaten Pakualaman. Beliau adalah anak dari GPH Soerjaningrat atau cucu dari Pakualam III. Ia
berhasil menamatkan pendidikan dasar di ELS atau semacam sekolah dasar di zaman Belanda.
Kemudian Ki Hajar Dewantara melanjutkan studinya ke STOVIA yang merupakan sekolah dokter
khusus putra daerah tetapi tidak berhasil menamatkannya karena sakit.

Kemudian Ki Hajar Dewantara memasuki dunia jurnalis. Dia bekerja sebagai wartawan dan penulis
di beberapa surat kabar. Contohnya seperti Midden Java, Soeditomo, De Expres,Kaoem Moeda,
Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer dan Poesara. Di hari-hari ketika berkarir sebagai jurnalis Ki Hajar
Dewantara termasuk penulis handal. Tulisan Ki Hajar Dewantara mudah dipahami, komunikatif dan
penuh dengan semangat anti penjajahan.

Aktivitas Pergerakan Ki Hajar Dewantara

Selain telaten, komitmen dan ulet sebagai seorang jurnalis muda, Ki Hajar Dewantara muda juga
sangat aktif di organisasi sosial dan politik. Ketika Boedi Oetomo (BO) berdiri pada tahun 1908, Ki
Hajar Dewantara masuk ke organisasi ini dan dia aktif di bagian propaganda untuk melakukan
sosialisasi dan membangunkan kesadaran rakyat Indonesia. Khususnya orang Jawa. Bagaimanpun
caranya, rakyat Indonesia di waktu itu harus sadar mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama Boedi Oetomo diselenggarakan di Yogyakarta
juga diatur oleh Ki Hajar Dewantara.

Selain di Boedi Oetomo, Ki Hajar Dewantara muda juga sangat aktif di organisasi Insulinde.
Insulinde merupakan organisasi multietnis yang menampung kaum Indo. Tujuannya yaitu
menginginkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda. Sebenarnya, idealisme ini dipengaruhi oleh
Ernest Douwes Dekker. Ernest Douwes Dekker atau lebih dikenal dengan nama Indonesia yaitu
Danudirja Setiabudi adalah orang keturunan asing yang mengobarkan semangat anti kolonialisme.
Lalu ketika Douwes Dekker membentuk Indische Partij, Ki Hajar Dewantara juga diajak untuk
bergabung.

Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda bertujuan untuk mengumpulkan sumbangan dari warga
pribumi. Dana ini digunakan untuk merayakan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913.
Atas aksi Hindia Belanda ini timbullah reaksi kritis dari golongan berhaluan perkembangan
nasionalisme indonesia termasuk Ki Hajar Dewantara muda. Wajar saja karena tingkah Hindia
Belanda sangat tidak tahu diri yaitu merayakan kemerdekaan di tanah bangsa yang mereka rebut
kemerdekaannya. Ditambah lagi mereka juga mengumpulkan sumbangan dari warga. Ki Hajar
Dewantara muda bereaksi dan menulis sebuah artikel berjudul “Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een” atau “Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu”.

Tapi tulisan Ki Hajar Dewantara yang sangat terkenal adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda”
atau dalam Bahasa Belanda berjudul “Als ik een Nederlander was”. Karya Ki Hajar Dewantara ini
dimuat dalam koran bernama De Expres yang dipimpin oleh Douwes Dekker pada tanggal 13 Juli
1913. Artikel buatan Ki Hajar Dewantara ini merupakan kritikan yang sangat pedas untuk kalangan
pejabat Hindia Belanda. Contoh kutipan artikel tersebut antara lain sebagai berikut.

“Seandainya aku seorang Belanda, aku tidak akan melaksanakan pesta-pesta kemerdekaan di
negara yang telah kita rebut sendiri kemerdekaannya. Setara dengan cara berpikir seperti itu, hal ini
selain tidak adil, tapi juga tidak pas untuk menyuruh si penduduk pribumi memberikan sumbangan
untuk mendanai perayaan itu. Munculnya ide untuk menyelenggarakan perayaan kemerdekaan itu
saja sudah merupakan suatu penghinaan, dan sekarang kita keruk pula dompet para pribumi. Ayo,
tidak apa-apa, teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Seandainya aku seorang Belanda,
aspek yang bisa menyinggung perasaanku dan saudara-saudara sebangsaku adalah kenyataan
bahwa pribumi wajib ikut membiayai suatu perayaan yang tidak ada kepentingan dan hubungan
sedikit pun baginya”.

Beberapa petinggi Hindia Belanda awalnya meragukan tulisan ini benar-benar dibuat oleh Ki Hajar
Dewantara muda sendiri. Karena gaya bahasa dan isi artikelnya yang cenderung berbeda dari
artikel-artikelnya selama ini. Sekalipun benar bahwa Ki Hajar Dewantara muda yang menulis, para
petinggi Hindia Belanda percaya ada kemungkinan Douwes Dekker mempengaruhi Ki Hajar
Dewantara muda untuk menulis secara kritis seperti itu.
Karena artikel ini Ki Hajar Dewantara ditangkap atas perintah dari Gubernur Jenderal Idenburg lalu
akan diasingkan ke Pulau Bangka. Sesuai dengan permintaan Ki Hajar Dewantara sendiri. Tapi dua
rekan Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes keputusan
itu dan akhirnya mereka bertiga malah diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Ketiga tokoh ini lalu
dikenal dengan julukan “Tiga Serangkai”. Ki Hajar Dewantara muda di kala itu masih berusia 24
tahun.

Pengasingan Ki Hajar Dewantara di Belanda

Ketika diasingkan di Belanda, Ki Hajar Dewantara masuk dalam organisasi yang menjadi wadah
bagi para pelajar asal Indonesia. Organisasi tersebut bernama Indische Vereeniging atau yang
dalama Bahasa Indonesia dikenal dengan Perhimpunan Hindia. Tahun 1913, Ki Hajar Dewantara
mendirikan sebuah biro pers yang bernama Indonesisch Pers-bureau yang dalam Bahasa Indonesia
berarti kantor berita Indonesia. Pertama kali inilah penggunaan formal dari istilah Indonesia. Istilah
Indonesia ini dulu diciptakan tahun 1850 oleh seorang ahli bahasa dari Inggris yang bernama
George Windsor Earl dan seorang pakar hukum dari Skotlandia yang bernama James Richardson
Logan.

Di sinilah Ki Hajar Dewantara kemudian memulai impiannya meningkatkan kualitas kaum pribumi
dengan mempelajari ilmu pendidikan. Hingga akhirnya berhasil mendapatkan Europeesche Akta.
Europeesche Akta adalahijazah bidang pendidikan yang bernilai tinggi dan kelak menjadi landasan
untuk memulai institusi pendidikan yang didirikannya. Dalam masa hidupnya ini, Ki Hajar Dewantara
tertarik pada beberapa pemikian sejumlah tokoh pendidikan dari dunia Barat. Contohnya seperti
Montesseri dan Frobel, pergerakan pendidikan di negara Asia Selatan khususnya India yang
dipimpin keluarga Tagore. Pemikian inilah yang mempangaruhi dan mendasari Ki Hajar Dewantara
dalam mengembangkan aturan pendidikannya nanti.

Ki Hajar Dewantara : Mendirikan Taman Siswa

Taman Siswa ki hajar dewantaraKi Hajar Dewantara kembali ke tanah air pada bulan September
tahun 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pada tanggal 3 Juli
1922 setelah mendapat pengalaman mengajar, Ki Hajar Dewantara mendirikan institusi pendidikan
bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau dalam Bahasa Indonesia Perguruan
Nasional Tamansiswa. Tiga slogan Ki Hajar Dewantara di sistem pendidikan yang digunakannya
saat ini sangat dikenal di kalangan siswa dan tenaga pengajar di seluruh Indonesia.

Tiga slogan dalam bahasa Jawa itu berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut
wuri handayani yang dalam Bahasa Indonesia berarti yang di depan memberikan teladan, yang di
tengah memberi semangat atau dukungan, yang di belakang memberi dorongan. Tentu semua
siswa sangat paham dengan arti tut wuri handayani. Slogan ini tetap digunakan dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia hingga saat ini. Khususnya di Perguruan Tamansiswa.

Karir Ki Hajar Dewantara Setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka, dalam kabinet pertama Republik Indonesia, Ki Hajar Dewantara
diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar
doktor kehormatan atau doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada. Karena Ki Hajar
Dewantara sangatlah berjasa dalam merintis pendidikan umum. Selain itu, beliau dinyatakan
sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya pada tanggal 2 Mei dijadikan
Hari Pendidikan Nasional diperingati tiap tahun. Ki Hajar Dewantara menghembuskan nafas terakhir
di Yogyakarta tanggal 26 April 1959. Beliau dimakamkan di Taman Wijaya Brata.
RA KARTINI

Raden Ajeng Kartini atau Raden Ayu Kartini yang biasa dikenal dengan nama RA Kartini adalah
salah satu tokoh pahlawan wanita yang memperjuangkan emansipasi wanita pada masa
penjajahan. Beliau lahir dari keluarga bangsawan yang sangat taat pada adat istiadat.

RA Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, pada tanggal tersebut hingga saat ini dan
seterusnya akan selalu diperingati sebagai hari Nasional untuk mengenang jasa-jasanya yang
tidak akan pernah terlupakan untuk bangsa Indonesia, khususnya wanita.

Beliau adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara, RA Kartini adalah sosok wanita yang sangat haus
akan ilmu pengetahuan serta sangat antusias pada pendidikan. Tapi malang, beliau hanya
diperbolehkan menuntut ilmu hanya sampai tingkat Sekolah Dasar (SD).

Karena tekad yang kuat dan ingin mencapai cita-citanya, RA Kartini akhirnya terus belajar
menulis serta membaca. Wanita hebat ini tidak pernah menyerah dan terus berjuang dengan
tujuan untuk memajukan wanita di Indonesia.

Setelah menikah, RA Kartini tidak berhenti berjuang untuk mencapai tujuannya. Untungnya,
suami dari RA Kartini juga mendukung apa yang sedang diperjuangkan oleh RA Kartini pada
saat itu.
RA Kartini menikah pada 12 September 1903 dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat pada usia 24 tahun, suami dari RA Kartini merupakan seorang bangsawan serta
bupati di daerah Rembang yang sudah memiliki 3 istri.

Setelah pernikahannya, mereka berdua dikaruniai seorang anak bernama Soesalit


Djojoadhiningrat yang lahir pada 13 September 1904. Namun malang, beliau tutup usia setelah
melahirkan anaknya yang pertama di usia yang masih terbilang muda yaitu 25 tahun. Kemudian
beliau dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang pada 17 September 1904.

Setelah sekian lama memperjuangkan cita-citanya, karena suami dari RA Kartini yang
mendukung perjuangannya maka terciptanya sebuah sekolah Kartini pada tahun 1912 di
Semarang, yang kemudian berlanjut di kota Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon.

Setelah RA Kartini wafat, kemudian seorang dari Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan
Hindia Belanda mulai membuat buku dari surat menyurat Kartini dengan teman-temannya di
Eropa yang berjudul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Raden Ajeng Kartini atau yang biasa dikenal dengan nama RA Kartini ini memiliki tekad yang
kuat untuk belajar dan ingin tahu segalanya sejak dirinya masih sangat muda.

Cita-citanya RA Kartini yaitu ingin menjadikan wanita Indonesia agar bisa lebih dihargai serta
tidak dipandang sebelah mata dan juga ingin wanita Indonesia sederajat dengan pria.

Gelar Raden Ajeng adalah gelar untuk wanita bangsawan yang belum menikah dan Raden Ayu
adalah gelar kebangsawanan untuk wanita yang sudah menikah menurut tradisi Jawa.

Ayah dari RA Kartini merupakan putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang
bangsawan yang memiliki jabatan sebagai bupati Jepara yang merupakan kakek dari RA Kartini.
Ketika RA Kartini lahir, ayahnya merupakan orang yang penting dan terpandang, karena pada
saat itu ayah dari RA Kartini menjabat sebagai bupati Jepara.

Ketika masih kecil, RA Kartini bersekolah di ESL (Europese Lagere School), ditempat itulah RA
Kartini mempelajari bahasa Belanda hingga usianya beranjak 12 tahun. Setelah itu RA Kartini
harus tinggal dirumah untuk dipingit, yang merupakan kebiasaan yang wajib dilakukan.

RA Kartini memiliki cita-cita menjadi guru di Batavia dan juga ingin kuliah di Belanda karena
mendapatkan beasiswa pada saat itu. Tapi sayangnya, hal tersebut tidak bisa dilakukan.

Penghargaan yang Diperoleh RA Kartini


Sebagai seorang pahlawan Nasional wanita, RA Kartini juga mendapatkan penghargaan yang
sangat istimewa. RA Kartini merupakan salah satu wanita hebat yang jasanya akan selalu
dikenang oleh masyarakat. Berikut ini adalah penghargaan yang diberikan kepada RA Kartini.

RA Kartini merupakan Pahlawan Kemerdekaan yang ditetapkan pada tanggal 2 Mei 1964.
Nama dari RA Kartini sendiri mendapatkan penghargaan dan dijadikan sebagai nama jalan di
beberapa kota yang ada di Belanda.
Tanggal kelahiran RA Kartini yaitu 21 April ditetapkan sebagai hari besar yang biasa disebut
sebagai Hari Kartini.
Berdirinya sekolah Kartini di beberapa kota di Pulau Jawa.
Karya Buku yang Ditulis oleh RA Kartini
Berikut ini adalah beberapa buku dari RA Kartini yang melegenda.

1. Habis Gelap Terbitlah Terang.


2. Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.
3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904.
4. Panggil Aku Kartini Saja.
5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya.
6. Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903.
7. Akhir Hayat RA Kartini sang Pahlawan Wanita Indonesia

(Raden Ajeng Kartini Wafat)


RA Kartini tutup usia setelah melahirkan anak pertamanya pada 17 September 1904 yang
terbilang wafat pada usia muda yaitu 25 tahun. Kemudian, beliau dimakamkan di Desa Bulu,
Kabupaten Rembang.

Setelah beliau wafat, cita-citanya tidak berhenti disitu saja. Untungnya, RA Kartini memiliki
suami yang mendukung perjuangannya. Hingga sampai saat ini perjuangan yang tidak kenal
putus asa dari beliau membuahkan hasil yang sangat menakjubkan dan bisa menjadikan wanita
menjadi sederajat dengan pria serta bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

Anda mungkin juga menyukai