Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi
hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari
sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa tanggung jawab
dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat
Mohammad Hatta.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih menjadi Ketua PI pada tanggal
17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul
"Economische Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia dan
Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu,
menunjuk landasan kebijaksanaan non-kooperatif. Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut
Hatta dipilih menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan
mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di
Indonesia. Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada di Eropa. PI
melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir setiap kongres intemasional di
Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri
yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama "Indonesia", Hatta memimpin delegasi
ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak
oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama "Indonesia" untuk menyebutkan
wilayah Hindia Belanda ketika itu telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi
internasional. Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman penting di Liga
Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres internasional yang diadakan di
Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-
pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang
kemudian menjadi negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India),
Hafiz Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan Nehru
mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk memberikan ceramah bagi "Liga
Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L
'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan). Bersama
dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta
dipenjara selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di
Den Haag membebaskan keempatnya dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu,
Hatta mengemukakan pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai
brosur dengan nama "Indonesia Vrij", dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka. Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri
kepada studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De
Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun 1932.
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende, Pemerintah Kolonial Belanda
mengalihkan perhatiannya kepada Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai
Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya
berjumlah tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan.
Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan Murwoto. Sebelum ke
Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di
penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel
(Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja
untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim
pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan
tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk
pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar dengan gaji
besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar Pemandangan.
Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-
kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta
sebanyak 16 peti. Dengan demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan
pelajaran kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain,
"Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen, memberitahukan bahwa
tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya
berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa
Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk
setempat dan memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku,
politik, dan lain-Iain.
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun pidato yang diucapkan di
Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan
banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan
oleh karena itu ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-
tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam ke dalam lautan
daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali."
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan
Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh
Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa. Pada tanggal 16
Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi
dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul
03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta,
Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks
proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang ringkas.
Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah
pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota lainnya
menanti. Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi oleh dua orang
saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan
riuh.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948 PKI melakukan
pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan
Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana. Panglima Besar Soediman
melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata. Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag,
Bung Hatta yang mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima
pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana. Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri
waktu Negara Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara
Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan konsituante pilihan
rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk
mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr.
Sartono. Tembusan surat dikirimkan kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka
secara resmi oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa
pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI.
Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan akademis yaitu Doctor
Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan
itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul “Lampau dan Datang”. Sesudah
Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar akademis juga
diperolehnya dari berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan
Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di
Ujung Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan
Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam majalah Pandji Masyarakat.
Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai
perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu. Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung
Hatta lebih merupakan negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus. Hatta
menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di desa Megamendung, Bogor,
Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi'ah, dan
Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi
Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat
menyaksikan kelahiran dua cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar
Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah
negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu
upacara kenegaraan di Istana Negara. Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil
Presiden Pertama Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr
Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir pada
tanggal 15 Maret 1980.
Pendidikan :
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
Gelar Drs dari Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
Karir :
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda (1925-1930)
Wakil delegasi Indonesia dalam gerakan Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan,
Berlin (1927-1931)
Ketua Panitia (PNI Baru) Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
Kepala Kantor Penasihat pada pemerintah Bala Tentara Jepang (April 1942)
Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Mei 1945)
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustus 1945)
Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 -
Desember 1949)
Ketua Delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag dan menerima
penyerahan kedaulatan dari Ratu Juliana (1949)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik
Indonesia Serikat (Desember 1949 - Agustus 1950)
Dosen di Sesko Angkatan Darat, Bandung (1951-1961)
Dosen di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV tentang masalah korupsi (1969)
Ketua Panitia Lima yang bertugas memberikan perumusan penafsiran mengenai
Pancasila (1975)
MOHAMMAD HATTA BIOGRAPHY
Who does not know one of the heroes or leaders
have proclaimed Indonesia with President
Sukarno. Very unpretentious and modest to the
end is that the figure of Mohammad Hatta, who
was born on August 12, 1902 in London. In this
beautiful little town of Bung Hatta mother grew
up in a family environment. His father, Haji
Mohammad Djamil, died when Hatta was eight
months old. From his mother, Hatta had six sisters. He is the son only. Since sitting
in MULO in Padang, he had been attracted to the movement. Since 1916, youth
associations arise as Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. and Jong
Ambon. Hatta enter into association Jong Sumatranen Bond.
Extension study plan that allows Hatta was elected Chairman of PI on January 17,
1926. On that occasion, he uttered the inauguration speech, entitled "Wereldbouw
Economische en Machtstegenstellingen" - World Economic Structure and the
Conflicts of power. He tried to analyze the economic structure of the world and
based on that, pointing to a non-cooperative foundation of wisdom. From 1926 to
1930, successively Hatta was elected Chairman of the PI. Under his leadership, PI
evolved from ordinary student associations into political organizations that
influence the course of political people in Indonesia. So finally recognized by the
National Political Association pemufakatan Indonesia (GN) PI as outposts of the
national movements in Europe. PI doing active propaganda abroad Netherlands.
Almost every international congress in Europe enters, and accept this association.
During that time, almost always Hatta himself who led the delegation.
In 1926, with the aim of introducing the name "Indonesia", Hatta led a delegation
to the International Democratic Congress for Peace in Bierville, France. Without
much opposition, "Indonesia" was officially recognized by Congress. The name
"Indonesia" to mention the Dutch East Indies when it was really well known
among international organizations. Hatta and the Indonesian national movement
got important experience in the League Against Imperialism and Colonial
Oppression, an international congress held in Brussels on 10-15 February 1927. At
this congress Hatta acquainted with the leaders of the labor movement as G.
Ledebour and Edo Fimmen, as well as figures who later became statesmen in Asia
and Africa such as Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadan Bey (Egypt), and
Senghor (Africa). His personal friendship with Nehru started since then.
In 1927 also, Hatta and Nehru invited to give lectures for the "International
Women's League for Peace and Freedom" in Gland, Switzerland. Title lecture
Hatta L 'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia and the issue of
Independence). Together with Nazir St. Pamontjak, Sastroamidjojo, and Abdul
Madjid Djojoadiningrat, Hatta was jailed for five and a half months. On March 22,
1928, the tribunal in The Hague court freed four of all charges. In a historic
session, Hatta argued awesome defense speech, which was later published as a
pamphlet by the name "Indonesia Vrij", and then translated into Indonesian as a
book with the title Indonesia Merdeka. Between the years 1930-1931, Hatta center
on its study and writing essays for magazines Daulat Ra'jat and sometimes De
Socialist. He planned to end his studies in mid 1932.
Back to Homeland
In July 1932, Hatta successfully completed his studies in the Netherlands and a
month later he arrived in Jakarta. Between late 1932 and 1933, the main bustle of
Hatta is written various articles on politics and economics for Daulat Ra'jat and
carry out political activities, especially the education of political cadres in the Party
of National Education of Indonesia. The principle of non-cooperation is always
emphasized to his cadres. Hatta harsh reaction against Sukarno attitude with
respect to the holder by the Dutch colonial government, which ended with the
disposal of Sukarno to Ende, Flores, look at his writings in Daulat Ra'jat, entitled
"Detained Sukarno" (August 10, 1933), "The tragedy Sukarno "(30 November
1933), and" attitude leader "(December 10, 1933).
In February 1934, after Soekarno exiled to Ende, the Dutch colonial government
turned its attention to the Party of National Education of Indonesia. The leadership
of the Party of National Education Indonesia were arrested and then exiled to
Digoel. Totaling seven people. Of the Jakarta office is Mohammad Hatta, Sutan
Sjahrir, and Bondan. From the office Bandung: Maskun Sumadiredja Burhanuddin
Soeka, and Murwoto. Prior to Digoel, they were imprisoned for nearly a year in
prison and Cipinang Glodok, Jakarta. In prison Glodok, Hatta wrote a book entitled
"The Economic Crisis and Capitalism".
Exile
In January 1935, Hatta and his friends arrived in Tanah Merah, Digoel (Papua).
The head of government there, Captain van Langen, offers two options: to work for
the colonial government to pay 40 cents a day in the hope of later will be sent back
to their hometown, or be outcast by receiving foodstuffs in natura, with no hope to
be repatriated to their home area , Hatta said, when he wanted to work for the
colonial government when he was still in Jakarta, would have become a great man
with a big salary anyway. So no it is necessary him to Tanah Merah to be a porter
with a salary of 40 cents a day.
In December 1935, Captain Wiarda, substitute van Langen, announced that the
disposal of Hatta and Sjahrir moved to Bandaneira. In January 1936 they went to
Bandaneira. They met Dr. Cipto Mangunkusumo and Mr. Iwa Kusumasumantri. In
Bandaneira, Hatta and Sjahrir be able to mix freely with the locals and give lessons
to local children in the fields of history, bookkeeping, politics, and others.
During the Japanese occupation period, Hatta did not talk much. But the speech
spoken in
Proclamation
In early August 1945, the Committee of Inquiry Efforts Preparation of Indonesian
Independence was replaced with Indonesian Independence Preparatory Committee,
with Sukarno as Chairman and Mohammad Hatta as Vice Chairman. Its members
consist of representatives of regions throughout Indonesia, Java and nine of twelve
people from outside Java. On August 16, 1945 night, Indonesian Independence
Preparatory Committee to prepare the proclamation at a meeting in the house of
Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, now), which ended at 03.00 am the next day. A
small committee consisting of five persons, namely Soekarno, Hatta, Soebardjo,
Soekarni, and Sayuti Malik split off into a room to compose the text of the
proclamation of independence. Soekarno Hatta requested proclamation compile a
concise text. Soekarno Hatta suggested that wrote the words dictated. After the
work was completed. they took her to the living room, where other members
waiting. Soekarni proposed that the text of the proclamation was signed by two
persons only, Sukarno and Mohammad Hatta. All in attendance were welcomed
with boisterous clapping.
Difficulties and threats facing the turns. PKI September 1948 rebellion. December
19, 1948, the Dutch returned to launch a second aggression. The President and
Vice President captured and exiled to Bangka. But the struggle to defend the
independence of the Indonesian People continue blazing everywhere. Commander
Soediman continue to lead the armed struggle. On December 27, 1949 in Den
Haag, Bung Hatta who chaired the Indonesian delegation in the Round Table
Conference to receive recognition of Indonesian sovereignty of Queen Juliana.
Bung Hatta also became Prime Minister of the Republic of Indonesia States time
standing. Furthermore, after the RIS into the Unitary Republic of Indonesia, Bung
Hatta returned to the Vice President.
In 1955, Bung Hatta announced that if the parliament and the Constituent choice of
the people has been formed, he will resign as Vice President. Intention to resign it
diberitahukannya through a letter to the chairman of the Parliament, Mr. Sartono.
A copy of the letter sent to the President. After the Constituent Assembly was
officially opened by the President, Vice-President Hatta told the Speaker of
Parliament that on l December 1956 he would put his position as Vice President.
President Sukarno tried to stop, but the Bung Hatta remains at its founding.
In 1960 Bung Hatta wrote "Our Democracy" under the banner of People magazine.
An article which is famous for accentuate the views and thoughts of Bung Hatta on
the development of democracy in Indonesia at that time. In the New Order
government, Bung Hatta more of an elder statesman for the nation rather than a
politician. Rahmi Hatta married to Mr. Kartabrata on l8 November 1945 in the
village Megamendung, Bogor, West Java. They have three daughters, namely
Meutia Farida, Gemala Rabi'a, and Halida Nuriah. Two oldest daughters are
married. The first with Dr. Sri-Edi Swasono and the second with Drs. Mohammad
Chalil Baridjambek. Hatta had witnessed the birth of two grandchildren, namely
Sri Juwita Hanum Swasono and Mohammad Athar Baridjambek.
On August 15, 1972, President Suharto delivered to the Bung Hatta grace Highest
Honors countries form the "Star of the Republic of Indonesia Class I" in a state
ceremony at the State Palace. Bung Hatta, Proclaimer of Independence and the
First Vice President of the Republic of Indonesia, died on March 14, 1980 at the
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, at age 77 and was interred in the
cemetery Land coachman on March 15, 1980.
Career:
• Treasurer Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
• Treasurer Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
• Chairman of the Indonesian Association in the Netherlands (1925-1930)
• Representatives of the Indonesian delegation in the movement of the League
Against Imperialism and colonization, Berlin (1927-1931)
• Chairman of the Committee (PNI) National Education of Indonesia (1934-
1935)
• Office of the Chief Counsel for the government Bala Japanese Army (April
1942)
• Member of the Board of Inquiry Independence Preparation Efforts (May
1945)
• Vice-Chairman of the Preparatory Committee for Indonesian Independence
(August 7, 1945)
• Proclaimer of Independence of the Republic of Indonesia (August 17, 1945)
• Vice President of the Republic of Indonesia first (August 18, 1945)
• Vice President cum Prime Minister and Minister of Defense (January 1948 -
December 1949)
• Chairman of the Indonesian delegation at the Round Table Conference in
The Hague and received a transfer of sovereignty from the Queen Juliana
(1949)
• Vice President cum Prime Minister and Foreign Minister of the Cabinet of
the Republic of Indonesia (December 1949 - August 1950)
• Lecturer at the Army Command and Staff School, Bandung (1951-1961)
• Lecturer at the University of Gajah Mada, Yogyakarta (1954-1959)
• Advisor to the President and the Advisory Commission on the issue of
corruption IV (1969)
• Chairman of the Committee of Five which will provide the formulation of an
interpretation of Pancasila (1975)