Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Mohammad Hatta adalah sosok yang tentu saja sangat feomenal dalam sejarah bangsa ini. Drs.
H. Mohammad Hattaadalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Selain
sebagai salah atu proklamator kemerdekaan negara ini, dia juga terkenal sebagai pribadi yang intelektual,
jujur, sederhana dan mnampakkan komitmennya yang tinggi akan kemerdekaan bangsa ini dan penegakan
nilai-nilai demokrasi dan ekonomi politik yang sangat briliant hingga saat ini. Dan salah satu konsepsinya
yang paling genial adalah koperasi.
Dr. Drs. H. Mohammad Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – wafat 14
Maret 1980 dalam umur 77 tahun di Jakarta.Bung Hatta lahir dari keluarga Ulama Minangkabau, Sumatera
Barat. Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di
Rotterdam Bung Hatta pergi ke Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Belanda, beliau
kemudian tinggal selama 11 tahun di Belanda. Sejak tahun 1916, Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis
karier sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Sosok
Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang
begitu merakyat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang keluarga Bung Hatta?
2. Bagaimana riwayat pendidikan yang dialami Bung Hatta?
3. Apa saja peran kepemimpinan Bung Hatta?
4. Apa nilai ketokohan Bung Hatta yang bisa diteladani?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui latar belakang keluarga Bung Hatta
2. Mengetahui riwayat pendidikan Bung Hatta
3. Mengetahui peran kepemimpinan Bung Hatta
4. Mengetahui nilai ketokohan Bung Hatta.

1
BIOGRAFI MOHAMMAD HATTA

Nama : Mohammad Hatta


TTL : Kampung Aur Tajungkang Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Hobby : Membaca
Istri : (Almh.) Rahmi Rachim
Anak : Meutia Hatta, Gemala Hatta, Halida Hatta
Gelar Pahlawan : Pahlawan Ploklamator RI Tahun 1986

Masa Kecil-Remaja di Indonesia (1902-1921)

Bung Hatta lahir 12 Agustus 1902 dengan nama Mohammad Attar di Bukittinggi, Sumatera
Barat. Ayahnya, Muhammad Djamil yang seorang pemuka agama meninggal ketika Hatta berusia
8 bulan. Oleh karena itu, Bung Hatta dibesarkan oleh keluarga ibunya yang berasal dari keluarga
saudagar. Masa remaja Hatta diisi dengan pendalaman agama Islam, belajar bahasa Belanda, dan

2
mengikuti berbagai ceramah dan pertemuan politik baik yang bersifat lokal yang diisi oleh Sutan Ali
Said, maupun yang berasal dari luar Jawa yang meghadirkan Abdul Moeis dari Sarekat Islam.

Di Padang, Hatta mengikuti pendidikan di ELS dan MULO (istilah SD dan SMP di jaman Belanda)
dari 1913-1916. Setamat sekolah di Padang, pada pertengahan Juni 1919 Hatta melanjutkan studi
di HBS(Hogere Burger School) di Betawi yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama. Di Betawi,
Hatta remaja diasuh oleh pamannya yang biasa disebut dengan Mak Etek Ayub, seorang saudagar yang
cukup sukses berdagang. Dia membiayai Hatta dan menumbuhkan minat dan kecintaan Hatta dengan buku-
buku untuk pertama kalinya.

Dalam Otobiografinya, Bung Hatta berkali-kali menyebut keteladanan Mak Ayub sangat
berdampak besar dalam perkembangan intelektual, emosional, dan prinsip-prinsip yang diyakininya di
masa depan. Pada masa inilah, Hatta mulai belajar prinsip-prinsip berdagang, serta kecintaan pada buku
dan ilmu pengetahuan.

Setelah lulus dari HBS dengan nilai kelulusan yang sangat tinggi, pada tahun 1921 Hatta ditawari
beasiswa untuk belajar di Rotterdam School of Commerce. Di saat yang hampir bersamaan, Mak Ayub
jatuh bangkrut karena terlilit hutang dan sempat menjadi tahanan Hindia Belanda. Di balik jeruji penjara,
Mak Ayub tetap menyemangati Hatta untuk terus melanjutkan studi di Eropa. Akhirnya, Hatta yang saat
itu baru berusia 19 tahun harus berangkat ke Belanda sendirian dan merasakan hidup jauh di rantau sejak
usia belasan tahun.

Masa Studi di Belanda & Lahirnya Jiwa Pemberontakan (1921-1932)

Masa studinya di Belanda ini menjadi awal mula dari perkembangan intelektual Hatta yang sangat
pesat, sekaligus membuka mata Hatta untuk memenuhi panggilan dirinya dalam memperjuangkan hak
kemerdekaan Hindia Belanda (Indonesia). Menjadi anak rantau di Eropa membuat matanya terbuka akan
kemajuan peradaban, modernitas, perkembangan ilmu terbaru, serta peta perpolitikan dunia yang
sedang berkecambuk paska perang dunia I dan revolusi di Rusia. Pada masa-masa ini jugalah Hatta mulai
memikirkan berbagai bentuk ketidakadilan kaum kolonialis pada rakyat pribumi.

Selain melahap entah berapa ratus buku dari toko buku de Westerboekhandel dan perpustakaan
kampus, Hatta juga mulai aktif dalam berorganisasi. Diawali dengan pertemuan diskusi antar sesama pelajar
dari Hindia Belanda di rumah persinggahan bernama Bilderdikjstraat, Hatta aktif dalam organisasi

3
bernama Indische vereeniging (Perhimpunan Hindia Belanda). Dinamika diskusinya dalam organisasi
tersebut, Hatta bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Soekiman
Wirjosandjojo, dkk memutuskan untuk melakukan sesuatu yang cukup radikal pada masanya, yaitu
mengubah nama organisasi mereka dari "Indische Vereeniging" menjadi "Indonesische vereeniging" yang
kemudian berubah menjadi "Perhimpunan Indonesia".

Mungkin buat lo mengubah nama organisasi itu hal sepele, tapi di saat itu... perubahan nama
organisasi berarti menyuarakan istilah Indonesia pertama kali dalam organisasi geopolitik (setelah
sebelumnya disuarakan Tan Malaka dalam bentuk buku) yang artinya adalah bentuk pemberontakan
terhadap Belanda. Dari organisasi ini, Hatta, Sjahrir, dan para pemuda lain di Perhimpunan Indonesia
semakin produktif gila-gilaan dalam menyerap ratusan bahan bacaan kelas berat dari mulai filsafat,
ekonomi, politik, dan sastra... sekaligus menulis artikel-artikel tajam tentang pembelaannya terhadap rakyat
Hindia Belanda, salah satunya adalah buku gedenkboek indonesische vereeniging, Hindia Poetra.

Hatta yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa muda, sudah berjuang untuk rakyat Hindia
Belanda, tanah airnya di perantauan dengan mengikuti konferensi-konferensi Internasional di Perancis dan
Belgia, bertukar ide dan gagasan dengan tokoh perjuangan antikolonialis kelas dunia
semacem Nehru (Bapak Bangsa India) dan Hafiz Ramadan Bey (negarawan Mesir). Di saat mahasiswa di
Indonesia jaman sekarang masih banyak yang galau karena salah jurusan, ngerjain tugas males-malesan,
sering bolos kuliah, dlsb... Tahun 1927, Hatta, seorang pelajar dari tanah Minangkabau di ujung timur
kepulauan asia tenggara, memimpin rapat internasional presedium menentang imperasialisme dan
kolonialisme di Brussel, Belgia.

Sampai akhirnya, Hatta yang saat itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia mulai
meresahkan pemerintah Belanda akhirnya ditangkap dan dipenjara di Casius-straat bersama Nazir
Pamuntjak, Ali sostroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat. Dalam masa peradilan, Hatta membuat
pembelaan yang sangat terkenal dan bikin masyarakat Eropa geger berjudul "Indonesia Vrij" (Indonesia
Merdeka). Di waktu yang hampir bersamaan, Bung Karno juga menulis pembelaannya dengan judul
"Indonesia Menggugat". Inilah awal mula istilah Dwitunggal bagi Soekarno-Hatta melekat, bahkan
sebelum mereka berdua bertemu. Setelah hampir enam bulan dipenjara, Hatta dibebaskan dan melanjutkan
kuliah hingga lulus dengan gelar Drs pada 1932.

Drs Mohammad Hatta kembali ke tanah air 20 Juli 1932 di umur 30 tahun dengan membawa
segudang ilmu dan pengalaman, semangat perjuangan, kemampuan berbahasa Inggris, Belanda, Jerman,

4
dan Perancis... serta ribuan buku bacaannya yang berjumlah 16 peti. Tapi terlepas dari semua ilmunya itu,
seorang nerd jenius kutu buku ini juga membawa pulang sebuah cita-cita yang mungkin dianggap
kebanyakan orang sinting pada masa itu, yaitu memerdekakan Hindia Belanda dan mendirikan sebuah
negara baru bernama Indonesia. Keseriusannya ini ditandai oleh sumpahnya untuk tidak menikah sebelum
Indonesia Merdeka.

Kembali ke Tanah Air dan Diasingkan (1932-1942)

Sekembalinya ke Indonesia, Hatta bersama Sjahrir membentuk kembali PNI yang baru saja
dibubarkan dan berfokus pada kaderisasi dan mendidik kaum muda. Di samping itu, Bung Karno yang baru
saja keluar dari penjara Sukamiskin bergabung pada pergerakan di jalur yang lain melalui Partindo.
Ironisnya, perkenalan awal kedua tokoh proklamator kita bukan dihiasi oleh diskusi dan persahabatan,
tetapi oleh perdebatan panas antar keduanya dengan saling membalas tulisan terkait gerakan dan gagasan
masing-masing di Harian Daulat Ra'jat, Menjala, Api Ra'jat, dan Fikiran Rakjat selama 2 bulan penuh.

Akibatnya, Hatta semakin merasakan dirinya mendapat penolakan dari publik karena sosoknya
dianggap terlalu radikal menuliskan pemberontakan pada Belanda. Justru lucunya, pada sebuah kesempatan
kunjungan ke Jepang (Februari 1933) untuk keperluan bisnis, Hatta justru mendapat sambutan luar biasa
oleh pers Jepang sampai ngebela-belain nungguin Hatta di Pelabuhan Kobe. Pers di Jepang bahkan
menjulukinya "Gandhi of Java" dan selama tiga bulan di Jepang, Hatta kebanjiran undangan mulai dari
Walikota Tokyo sampai Menteri Pertahanan Jepang. Dirinya kembali ke tanah air Mei 1933.

Melihat semakin tingginya api pergerakan di kalangan muda, pemerintah Belanda semakin ngeri
akan terjadinya pemberontakan. Belanda mulai bertindak tegas dengan mengasingkan Bung Karno ke Ende,
kemudian Hatta, Sjahrir, dkk di PNI ditangkap dan dipenjara di Glodok (1934). Kurang dari setahun
(Januari 1935), Hatta, Sjahrir, dkk diasingkan ke tempat yang terkenal sangat mengerikan, yaitu di Boven
Digul (Papua).
Digul atau tanah merah, dataran terpencil di Papua adalah tempat yang diasosiasikan tempat
pengasingan seutuhnya, barangsiapa diasingkan ke Digul, tak akan pernah kembali. Digul adalah tempat
buangan para tawanan politik, tanpa jeruji, tanpa sipir dan pengawasan sama sekali. Tetapi bentuk jeruji
yang sesungguhnya adalah rimba liar yang ganas, penuh dengan binatang buas, pasir hidup, dan nyamuk
malaria. Digul memang bukan kamp kerja paksa, tapi tempat pembuangan tanpa rumah sakit, sekolah, dan
masa depan. Tempat yang menjadi "neraka" bagi orang-orang yang gemas untuk berkarya, karena di sana
hanya ada kebosanan, ketidaktahuan, dan ketidakpastian akan masa depan. Di tengah-tengah "neraka"

5
bagi para aktivis itu, apa yang dilakukan Hatta? Di sana dia belajar setiap hari,
menghabiskan ribuan bukunya yang berjumlah 16 peti itu, menulis tentang berbagai gagasan
kenegaraan, dan mengajar filsafat dan ekonomi kepada sesama tawanan dan rakyat lokal di
sana.Emang ga ada matinya semangat Bung Hatta ini! Masih aja sempet-sempetnya kepikiran buat belajar
dan berkarya, padahal tidak ada kepastian di hari depannya.

Dalam penjara dan pengasingan, mungkin adalah masa-masa terberat dan ujian bagi Bung
Hatta. Dalam situasi itu, Bung Hatta bukannya merenung, kapok, dan legowo tapi malah lebih rajin
dan produktif dengan menulis banyak banget buku keren. Inilah, salah satu keunggulan Hatta yang sangat
jarang dimiliki oleh tokoh lain. Sampai sekarang, banyak cerita dari sesama rekan yang diasingkan
dan masyarakat setempat yang menggambarkan Hatta sebagai sosok yang disiplin buanget! Bahkan di
tanah pengasingan yang tanpa masa depan, dia masih menjaga kedisiplinannya untuk bangun subuh, shalat,
belajar, membaca, menulis, dan rutin berdiskusi tentang politik dan sejarah dengan Sjahrir, Tjipto
Mangunkusumo, dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Setelah hampir setahun terkatung-katung tanpa kejelasan di Digul, Hatta dan


Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira (1936) sampai dengan tahun 1942. Tahun 1942 Hatta dipindahkan ke
Sukabumi. "Untungnya", gak lama setelah itu Jepang menguasai Nusantara dan mengusir paksa Belanda.
Di masa kekuasaan Jepang, Mayjen Harada memerintahkan untuk membebaskan Hatta dan Sjahrir.

Masa Kependudukan Jepang dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan (1942-


1945)
Dalam masa kependudukan Jepang, para calon pendiri negeri kita seperti Bung Karno, Bung
Hatta, KH Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara (empat serangkai) dihadapkan pada "musuh" imperialis
Jepang yang sifatnya jauh berbeda dengan Belanda. Jika sebelumnya tantangan yang dihadapi adalah
pemerintahan Belanda yang masih terbuka pada dialog dan pembelaan secara birokrasi dan dialektika.
Maka Jepang tidak mau ambil kompromi untuk bersilang pendapat. Silang pendapat itu artinya
bersilangkatana beneran! Untuk itulah para calon pendiri NKRI terpaksa harus bersikap ekstra hati-hati,
lebih taktis, dan lebih kooperatif sambil tetap waspada dengan pergerakan dan tujuan tersembunyi dari
pemerintah Jepang.

Dalam polemik itu, Hatta adalah orang pertama yang memberanikan diri untuk berdiskusi dengan
Mayjen Harada agar tidak menjadikan Nusantara sebagai koloni Jepang, tapi justru mengakui kemerdekaan

6
Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia. Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi
Nusantara akan mendukung Jepang dalam perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang mengangkat
empat serangkai jadi pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang merupakan organisasi propaganda
buatan Jepang untuk dapat mengendalikan rakyat Nusantara dalam perang pasifik, baik dalam upaya kerja
paksa (romusha) maupun bantuan militer.

Peran serta tanggung jawab Bung Karno dan Bung Hatta terhadap penderitaan rakyat pribumi
atasromusha adalah sebuah perdebatan moral tiada akhir dalam sejarah bangsa ini. Di satu sisi, ini adalah
pilihan berat yang mereka anggap sebagai "langkah paling tepat" pada saat itu, agar Indonesia bisa
mendapatkan celah untuk memerdekakan diri dengan (berpura-pura) berkooperatif dengan Jepang. Di sisi
lain, bagi tokoh pergerakan lapangan (seperti Tan Malaka, dkk) yang melihat secara langsung penderitaan
rakyat, Bung Karno dan Bung Hatta dinilai terlalu lembek bahkan pengecut karena mau-maunya jadi
boneka Jepang. Puncak polemik ini adalah ketika Soekarno dan Hatta diundang ke Jepang untuk makan
malam bersama Kaisar Jepang dan Perdana Menteri Tojo tahun 1943.

Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Bom atom menghancurkan Hiroshima dan
Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir seluruh tentara Jepang untuk pulang ke
negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta mengambil tindakan tegas
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir
seluruh rakyat Nusantara untuk mendapatkan moment untuk menghirup udara kemerdekaan.

Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)

Proklamasi kemerdekaan Indonesia memang sudah terlaksana 17 Agustus 1945, keesokan harinya
Soekarno diangkat menjadi presiden, sementara Hatta menjadi wakil presiden. Dalam situasi ini, jangan
dibayangkan proklamasi kemerdekaan dirayakan dengan sorak-sorai oleh seluruh lapisan masyarakat
seolah-olah kita sudah 'menang sepenuhnya'. Dalam kondisi ini, tantangan berikutnya yang harus dihadapi
adalah: pengakuan dunia internasional. Karena tanpa adanya pengakuan dunia internasional, proklamasi
17 Agustus 1945 di Jakarta hanyalah dianggap sebagai bentuk "upaya sekelompok orang yang ngaku-ngaku
mendirikan negara" yang hanya disaksikan oleh masyarakat lokal sekitar dan tidak mewakili kehendak
seluruh kepulauan Nusantara.

Negara Indonesia yang masih bayi memiliki 2 PR besar, yaitu upaya mempertahankan status
kemerdekaan dari serangan militer manapun yang berupaya merebut daerah NKRI. Kedua adalah upaya

7
memenangkan pengakuan dunia internasional yang perlu diperjuangkan dalam bentuk perundingan dan
perjanjian. Dalam periode awal kemerdekaan, Bapak-Bapak pendiri Bangsa Indonesia, betul-betul harus
berjuang susah-payah untuk menyelesaikan 2 PR besar tersebut. Dari mulai isi perjanjian
Linggarjati dan Renville yang sangat merugikan pihak Indonesia. Sampai agresi militer Belanda 1-2 yang
menggerogoti wilayah NKRI yang notabene adalah bentuk pelanggaran oleh Belanda sendiri terhadap
perjanjian Linggarjati dan Renville.

Puncak "kekalahan" Indonesia adalah serangan agresi militer Belanda II ke Yogyakarta pada 19
Desember 1948 dan berhasil menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya. Saat itu,
Indonesia saat itu benar-benar kalah telak, hancur berantakan hampir tak berbekas. Jatuhnya ibukota negara
(saat itu Yogyakarta adalah ibukota RI), beserta presiden dan perdana menteri Indonesia menjadi tawanan
musuh ini memaksa Indonesia mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi yang
dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Untungnya di saat-saat kritis, TNI masih bisa menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan
1 Maret 1949 ke Jogyakarta dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan ulang yaitu Perjanjian
Roem-Roijen. Perjanjian ini berlangsung alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari
pengasingan di Bangka untuk mewakili Indonesia dalam kesempatan terakhir merebut kembali jati diri
Negara di Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag.

Di sinilah Bung Hatta berperan sangat luar biasa besar dalam masa-masa kritis dan paling
menentukan bagi keutuhan NKRI. Di saat Indonesia sedang benar-benar di ambang kehancuran, seorang
putera Minangkabau yang telah ditempa oleh kedisiplinan belajar yang mencengangkan, oleh keluasan
wawasan yang didapat dari melahap 16 peti buku yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan kepiawaiannya
berargumentasi dan berdialektika, Hatta berhasil mendesak Belanda sekaligus mengambil simpatik seluruh
dunia pada Konferensi Meja Bundar (23 Agustus – 2 November 1949).

Dengan memanfaatkan reaksi keras dunia internasional terhadap berbagai pelanggaran yang
dilakukan Belanda pada perjanjian Linggarjati dan Renville dengan melangsungkan agresi militer. Belum
lagi tindakan tegas Hatta pada penumpasan pemberontakan komunis di Madiun 1948 yang menambah
simpatik pihak Amerika (yang anti-komunis) terhadap Indonesia. Ditambah dengan penyalahgunaan
alokasi dana paska perang dunia II yang seharusnya digunakan Belanda untuk membangun negara, malah
digunakan untuk menyerang negara lain. Bung Hatta dapat pulang ke tanah air dengan senyum lebar penuh
kemenangan, karena dirinya telah berhasil menghadiahkan NKRI (kecuali Irian Barat) sebuah pengakuan
kedaulatan resmi dari Belanda dan juga dunia internasional. Kalo bukan karena seorang Bung Hatta

8
yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang namanya negara Republik
Indonesia sudah hilang dari peta dunia seutuhnya 65 tahun yang lalu.

Peran Bung Hatta sebagai seorang Negarawan

Sebagian besar masyarakat umum pada masa sekarang mungkin membayangkan saat-saat
Indonesia berjaya di bawah kepemimpinan Dwitunggal (Seokarno & Hatta). Seolah-olah Bung Karno dan
Bung Hatta adalah partner tidak terpisahkan yang selalu bahu-membahu membangun negara dengan penuh
kekompakan. Kenyataannya, Bung Hatta bisa dibilang adalah pengkritik paling keras presiden Soekarno.

Dari semua bentuk perselisihan di antara mereka, hal yang paling terlihat adalah kepercayaan Hatta
yang sangat besar terhadap demokrasi. Dalam prinsip kenegaraannya, Hatta berprinsip bahwa setiap warga
negara berhak mengambil bagian untuk membangun negara, oleh karena itu jumlah partai tidak boleh
dibatasi. Di sisi lain Soekarno menganggap bahwa jumlah partai harus dibatasi agar mudah dikendalikan.
Sementara itu Soekarno yang idealis berupaya untuk mempersatukan semua golongan (NASAKOM) agar
meminimalisir perselisihan. Sebaliknya, Hatta beranggapan bahwa mempersatukan faham dan budaya yang
berbeda malah akan menghilangkan asas masing-masing.

Akhirnya tiba juga masa ketika pertentangan Dwitunggal ini benar-benar tidak terjembatani
lagi. Mimpi Hatta tentang Indonesia yang mendorong kebebasan multipartai, dinaungi oleh demokrasi
parlementer, serta menerapkan sistem federalisme (pemerintahan desentralisasi) tidak disukai oleh
Soekarno. Dalam kekecewaan, Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1956.
Pengunduran diri Hatta membuka peluang bagi Soekarno untuk mencanangkan sistem Demokrasi
Terpimpin (1959) yang diartikan oleh Hatta sebagai bentuk kediktatoran dan penyelewengan terhadap
demokrasi. Kekecewaannya terhadap keputusan Soekarno ini dia tuliskan dalam buku "Demokrasi Kita"
yang akhirnya dilarang beredar oleh Presiden Soekarno. Polemik antar Dwitunggal ini juga berdampak
pada terjadinya pemberontakan lokal di sulawesi dan sumatera (PRRI dan PERMESTA).

Setelah Turun dari Panggung Politik (1957-1980)

Selepas mundur dari jabatan wapres pada 1 Desember 1956, jangan dibayangkan Bung
Hatta menikmati masa pensiun dengan bergelimang harta dari kiprah politiknya yang cemerlang, udah gitu
dapat uang pensiun yang besar, bersenang-senang menikmati masa tua dengan main golf atau bersantai di
kapal pesiar. Mantan wakil presiden pertama indonesia itu harus harus berjuang susah payah

9
untuk membayar tagihan listrik rumah di jalan Diponegoro 57. Selain keteteran membayar listrik, gas, dan
air, Bung Hatta bahkan tidak mampu melunasi pajak mobil dan tagihan biaya telepon di kediamannya di
Megamendung. Sebagai pensiunan, Bung Hatta hanya mendapatkan Rp 1.000 sebulan, sebuah nilai
yang sangat sedikit. Mengingat pasca mundurnya Bung Hatta, perekonomian Indonesia hancur dan harga-
harga melambung tinggi hingga puluhan kali lipat.

Hatta, seorang kutu buku pendiri Bangsa Indonesia. Tapi terlepas dari kondisi perekonomian itu,
mungkin penyebab utama kesulitan ekonomi Hatta di masa pensiunnya adalah karena dia adalah sosok
yang terlalu jujur dan tidak pernah berupaya memperkaya diri dalam kekuasaan politiknya. Bahkan dalam
suatu kesempatan, Hatta memerintahkan sekretaris pribadinya utk mengembalikan dana taktis sebagai
wapres sejumlah Rp 25.000 padahal secara normatif itu tidak perlu dilakukan.
Di samping itu, sebetulnya ada banyak perusahaan asing yang menawari dirinya menjadi komisaris utama,
tapi semuanya ditolak, apa alasannya?

“Apa kata rakyat nanti?”

Sedikit banyak keputusan Hatta untuk mundur sebagai wapres adalah bentuk protes kepada banyak
kebijakan Bung Karno yang ia nilai merugikan masyakarat. Dalam perspektif itu, Hatta khawatir rakyat
akan berpikiran buruk dan menuduh dia mundur dari jabatan wapres untuk kepentingan bisnis dan bukan
murni sebagai lambang dedikasinya pada rakyat.

Dalam masa transisi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru, Bung Hatta pernah dipercaya oleh
Presiden Soeharto menjadi pengawas korupsi di pejabat negara dan militer beserta AH Nasution. Karena
mungkin akhirnya terlalu banyak pihak yang ketahuan korupsi oleh Bung Hatta, dkk. Hasil laporan
tersebut tidak pernah dikemukakan pada publik.

Drs Mohammad Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta setelah setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Pemerintah Orde Baru memberikan gelar Pahlawan
Proklamator kepada Bung Hatta pada 23 Oktober 1986 bersama dengan Bung Karno. Baru pada 7
November 2012, Bung Hatta bersama dengan Bung Karno ditetapkan secara resmi sebagai Pahlawan
Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono .

10
KESIMPULAN

1. Bung Hatta (Mohammad Hatta) lahir di Kampung Aur Tajungkang Bukittinggi, 12


Agustus 1902
2. Bung Hatta menepuh pendidikan yaitu, :

a. SD Melayu Fort De Kock tahun 1913


b. Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi. Yang saat ini berganti nama
menjadi SMAN I Padang. (lulus 1916)
c. Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (lulus 1919)
d. Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (lulus
1921)
e. Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (tamat dengan gelar
Drs, 1932)

3. Nilai-nilai bung hatta antara lain:


a. Berwawasaan kebangsaan
b. Berpengetahuan luas terutama tentang HAM
c. Demokrasi
d. Ekonomi kerakyatan
e. Hubungan islam dan politik
f. Politik luar negri

4. Bung Hatta selain menjadi seorang negarawan dia juga menjadi seorang penulis, salah satu
bukunya adalah Economische wereldbouw en machtstegenstellingen (1926)
5. Penghargaan yang diterima bung hatta antara lain :

a. Pahlawan Nasional
b. Bapak Koperasi Indonesia
c. Ploklamator Indonesia
d. The Founding Father’s of Indonesia
e. Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada (1956)
f. Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Hasanuddin (1973)

11
g. Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1975)
h. Menerima tanda jasa Bintang Republik dari Presiden Soeharto (15 Agustus
1972)

12

Anda mungkin juga menyukai