Anda di halaman 1dari 10

MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

BIOGRAFI PAHLAWAN
“ DR. CIPTO MANGUN KUSUMO “

KELAS 8C

NAMA ANGGOTA

1. AYEZHA KANAYA ALFIANDI


2. IRMA
3. HAPIJAH
4. YUSUP
5. RAMDAN
6. MARDHO
Biografi Dr. Cipto Mangunkusumo

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Ia adalah putera

tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karir

Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar

di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di

Semarang dan selanjutnyamenjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang.

Sementara, sang ibu adalah keturunandari tuan tanah di Mayong, Jepara.Meskipun keluarganya

tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya,Mangunkusumo

berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-

adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di Stovia, sementara

Darmawan,

adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemeintah Belanda untuk mempelajari ilmu

kimiaindustri di Universitas Delf, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa

Sekolah TinggiHukum di Jakarta.Ketika menempuh pendidikan di Stovia, Cipto mulai

memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya

menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajamdan rajin. “Een begaald leerling”, atau

murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunyakepada Cipto. Di Stovia Cipto

juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya.Berbeda dengan teman-

temannya yang suka pesta dan bermain bola sodok, Cipto lebih suka menghadiriceramah-

ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong

eksentrik,ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan.

Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasan menjadi topik pidatonya. Baginya,


Stovia adalah tempat untukmenemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas

dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalandengan lingkungan baru

yang diskriminatif.Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidak puasan pada

dirnya, seperti semuamahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai

pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di

Stovia merupakan perwujudan politik colonial yang arogan dan melestarikan

feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hirarki administrasikolonial,

yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan

yangtidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Implikasi dari kebiasaan

ini, rakyatcenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang

memakai pakaiantradisional.Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui De Locomotief,

pers kolonial yang sangat progresif pada waktu itu, di samping Bataviaasch

Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian DeLocomotief. Tulisannya

berisi kritikan, dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnyatidak sehat. Cipto

sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai

sumberpenderitaan rakyat. Dalam sistem feodal terjadi kepincangan-kepincangan dalam

masyarakat. Rakyatumumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan

yang tertutup bagi mereka.Keturunanlah yang menentukan nasib seseorang, bukan keahlian

atau kesanggupan. Seorang anak“biasa” akan tetap tinggal terbelakang dari anak bupati atau

kaum ningrat lainnya. Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras.

Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu

pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya,

peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodidan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan,
politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapigaris batas warna. Tidak semua

jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalamperdagangan,

bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran,

tidaksembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa, tidak ada orang Indonesia

yang beranimasuk kamar bola dan sociteit. Semua diukur berdasarkan warna

kulit.Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran

danperingatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto

kemudiankeluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang

ikatan dinasnya yangtidak sedikit.Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan

protes dengan bertingkah melawan arus.Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa

Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia

masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Ciptokemudian

duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang

opas(penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya Cipto

memaki-makisang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa

Belanda. KewibawaanCipto dan penggunaan bahasa Belandanya yang fasih membuat orang-

orang Eropa terperangah.Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto

sebagai bentuk kesadaran pribumiakan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di

Yogyakarta, jatidiri politik Cipto semakin nampak. Walaupun kongres diadakan untuk

memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun padakenyataannya

terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili

oleh golonganmuda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideology yang

terbuka bagi orang Jawa.Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan
Radjiman. Cipto menginginkan BudiUtomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara

demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan

bagi rakyat dan jangan mencari hubungan denganatasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya.

Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagaisuatu gerakan kebudayaan yang

bersifat Jawa.Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan

keraton yang feodalis.Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat

dipecahan, terlebih dahuludiselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi

jamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi,

serta analisis yang tajam dengan jangkauanmasa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk

membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antaraseluruh rakyat di Hindia Belanda yang

mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing, ia tidak dapatdicapai dengan menganjurkan

kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalahpenjajahan dan

feodalisme.Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan

diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto

tidak ada lagi perdebatan dalam BudiUtomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan

progesifnya.Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktek dokter di Solo.

Meskipundemikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela

kesibukkannya melayanipasiennya, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan

memperbaiki nasib rakyat.Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu

dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij.

Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawanseperjuangan. Kerjasama dengan Douwes

Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakancita-citanya, yakni gerakan politik

bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partijmerupakan upaya mulia mewakili

kepentngan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidakmemandang suku, golongan,


dan agama.Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan

Douwes Dekker. Iakemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Expres dan majalah

het Tijdschrijft. Perkenalanantara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah

dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker

sering berhubungan dengan murid-murid Stovia.Pada Nopember 1913, Belanda

memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatantersebut dirayakan secara

besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Ciptosebagai suatu

penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan SuwardiSuryaningrat

kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengannama

Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya.

Komitetersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada

Ratu Wihelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan

membentuk parlemen dicabut. KomiteBumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan

menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaankemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang

dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera. Aksi Komite Bumi

Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express

menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was”

(Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis

artikel yang mendukung Suwardiuntuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan

Cipto dan Suwardi sangat memukulPemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan

Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913keluar surat keputusan untuk membuang Cipto

bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker keBelanda karena kegiatan propaganda anti

Belanda dalam Komite Bumi Putera.Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi

dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkanaksi politiknya dengan melakukan


propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah

De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di

Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel

yang menyerangkebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.Kehadiran tiga pemimpin tersebut

di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berartiterhadap organisasi mahasiswa

Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalahperkumpulan sosial

mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanahairnya. Akan

tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-

konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan

pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan

oleh Indische Vereeniging. Pengaruhmereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal

Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun

1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejaksaat itu dia bergabung dengan

Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejakitu, Cipto menjadi anggota

pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propagandauntuk Insulinde,

terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untukkepentingan

Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudiansurat

kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.

Akibatpropaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah

1.009 meningkatmenjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai

puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat

Cipto menjadi partai yang radikaldi Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama

menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda

membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatananggota Volksraad dilakukan dengan dua


cara. Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan propinsi.

Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yangdilakukan oleh Pemerintah Hindia

Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal

dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga

sifatdemokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg

Stirum adalahCipto.Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang

berarti, Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran

dan kritik kepada pemerintah mengenai masalahsosial dan politik. Meskipun Volksraad

dianggap Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik,namun Cipto tetap menyatakan

kritiknya terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untukmempertahankan

kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di

Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentangpersekongkolan Sunan dan residen

dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 guldendari sunan ternyata harus

dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabiladikonversi dalam

uang ternyata menjadi 28 gulden.Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda

menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad

van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberimasukan kepada Gubernur

Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akantetapi, pada

kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi,

danKalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia

berdasarkansurat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan

Timor. Pada tahun itu jugaCipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau

Jawa, yaitu ke Bandung dandilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto

kembali membuka praktek dokter.Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di
Bandung, dengan sepedanya ia masukkeluar kampung untuk mengobati pasien.Di Bandung,

Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang padatahun

1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah

menjadiPartai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam

Algemeene StudieClub dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran

bagi generasi muda. Misalnya Sukarnodalam suatu wawancara pers pada 1959, ketika

ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan

pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarnomenyebut Cipto

Mangunkusumo.Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indo-nesia terjadi

pemberontakan komunis.Pemberontakan itu menemui ke-gagalan dan ribuan orang ditangkap

atau dibuang karena terlibat didalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut

serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada

bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral

dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebutmengatakan rencananya untuk

melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu,tetapi dia

bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu

diamemerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak

melakukan tindakansabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan

uangnya sebesar 10 gulden kepadatamunya.Setelah pemberontakan komunis gagal dan

dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung,Cipto dipanggil pemerintah untuk

menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andildalam membantu anggota

komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-namakepala

pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke

Bandapada tahun 1928.Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto
kemudian mengusulkan kepadapemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk

menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak

politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada

melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan padatahun

1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai

meninggal pada 8 Maret 1943.

Anda mungkin juga menyukai