Disusun Oleh :
1. Aditya Bimantara (01)
2. Alvin Waliyanto M. (03)
3. Melvinega Vicko Yusuf P (18)
4. M. Rasya Fahrur R. (23)
KELAS : VIII B
Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa
Pecangakan, Jepara, Keresidenan Semarang.[1] Ia adalah putera tertua dari
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa.
Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah
sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi
pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari
tuan tanah di Mayong, Jepara.
Pendidikan
Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto mulai memperlihatkan
sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya
menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een
begaafd leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan
oleh gurunya kepada Cipto. Di STOVIA, Cipto juga mengalami perpecahan
antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya
yang suka pesta dan bermain, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-
ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus,
tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan
merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya,
senantiasa menjadi topik pidato nya. Baginya, STOVIA adalah tempat untuk
menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga
yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidakpuasan
pada dirinya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang
bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di
sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di STOVIA merupakan perwujudan
politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat
hanya boleh dipakai dalam hierarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi
yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang
tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Akibat
dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan
menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi
ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang
pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan
dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja
rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial,
bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan
negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan,
bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-
besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering
mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan
kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah
dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas nya yang
tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes
dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi
bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik
dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang
Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang
kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir
Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantang nya, Cipto memaki-maki sang
opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa
Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda nya yang fasih
membuat orang-orang Eropa terperangah.
4. Hos Cokro Aminoto
Kehidupan pribadi
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8
Oktober 1879, sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat
mendaftar di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya, Auguste Henri
Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas
kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki
darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari
ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa
Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.
[1]
Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun
sering berpindah-pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni
Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada
di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester
Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari
situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]
Riwayat Hidup
Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan
pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah
ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit
setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja
di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia
menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan
sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai
rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat
konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan"
di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan
manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan
padi petani. Akibatnya, ia dipecat.
6. Soewardi Suryoningrat
Aktivitas pergerakan
Taman Siswa
Wafat