Anda di halaman 1dari 14

TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL

DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN

Disusun Oleh :
1. Aditya Bimantara (01)
2. Alvin Waliyanto M. (03)
3. Melvinega Vicko Yusuf P (18)
4. M. Rasya Fahrur R. (23)

KELAS : VIII B

SMP NEGERI 1 WELERI


TAHUN PELAJARAN 2022/2023
6 TOKOH KEBANGKITAN NASIONAL
DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN

1. dr. Wahidin Soediro husodo

dr. Wahidin Soedirohoesodo (7 Januari 1852 – 26 Mei 1917, EYD: Wahidin


Sudirohusodo) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun ia bukan
pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya
organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche
Artsen, Jakarta.
Pendidikan
 Sekolah Dasar di Yogyakarta
 Europeesche Lagere School di Yogyakarta
Sekolah Dokter Djawa
Wahidin mulai bersekolah di Sekolah Dokter Djawa pada tahun 1869.
Sekolah ini menetapkan masa pendidikan selama 3 tahun. Namun, Wahidin
menamatkan pendidikannya lebih cepat. Ia lulus dengan masa studi hanya 22
bulan.[1]
Latar belakang
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul dengan rakyat biasa,
sehingga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan rakyat. Ia juga
sangat menyadari bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat akibat
penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri
dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi
kesempatan mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai dokter, ia
sering mengobati rakyat tanpa memungut bayaran.
Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah memperluas pendidikan dan
pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan.
Lahirnya Budi Utomo
Artikel utama: Budi Utomo
Wahidin Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar di Jawa
mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya
tentang "dana pelajar" untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak
dapat melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi, gagasan ini kurang mendapat
tanggapan.
Gagasan itu juga dikemukakannya pada para pelajar STOVIA di Jakarta
tentang perlunya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan
pendidikan dan meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini ternyata
disambut baik oleh para pelajar STOVIA tersebut. Akhirnya pada tanggal 20
Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.
2. dr. Soetomo

Sutomo lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur pada tanggal


30 Juli 1888, dengan nama kecil Soebroto. Sutomo lahir dari keluarga priyayi
zaman itu. Ayahnya bernama Raden Suwaji seorang pegawai pangreh yang
berpikiran maju dan modern. Sementara kakeknya bernama Raden Ngabehi
Singawijaya atau KH Abdurrakhman. Dari kakeknya ini Sutomo dididik untuk
menjadi seorang yang taat beragama, rajin beribadah, dan memiliki pendirian
yang teguh. Memasuki usia 6 tahun, Sutomo dan keluarganya pindah ke
Madiun. Di sana dia sekolah di Sekolah Rendah Bumiputera, Maospati
Madiun.
Berikutnya, Sutomo melanjutkan sekolah di Europeesche Lagere
School (ELS), Bangil, Jawa Timur. Di sekolah menengah inilah Sutomo
mengganti namanya dari yang awalnya Soebroto menjadi Sutomo. Lulus dari
ELS, Sutomo berkesempatan untuk menempuh pendidikan di Sekolah Dokter
Bumiputera atau STOVIA di Batavia.
Mendirikan Budi Utomo, Sutomo resmi menjadi siswa di STOVIA pada
tanggal 10 Januari 1903. Saat itu usianya genap 15 tahun. Konon, Sutomo
pada awal masa pendidikannya dikenal sebagai sosok yang berani, malas
belajar, dan suka mencari masalah. Kondisi tersebut membuat hasil belajar
Sutomo kurang memuaskan pada tahun-tahun awal di STOVIA. Namun sikap
Sutomo berubah drastis memasuki tahun keempat dia di sekolah tersebut.
Perubahan sikap dan cara hidup Sutomo ke arah yang lebih baik semakin
menjadi saat ayahnya meninggal dunia pada 28 Juli 1907. Sejak itu, Sutomo
menjadi sosok yang memiliki jiwa sosial tinggi dan peduli terhadap lingkungan
sekitarnya. Pada saat-saat itu, Sutomo berjumpa dengan Dokter Wahidin
Sudirohusodo yang merupakan alumni STOVIA. Dokter Wahidin saat itu
berkunjung ke STOVIA dan bertemu dengan para mahasiswa, termasuk
Sutomo. Dalam pertemuan itu, Dokter Wahidin mengemukakan gagasannya
untuk mendirikan organisasi yang jadi wadah untuk mengangkat derajat
bangsa. Gagasan Dokter Wahidin itu ditangkap dan terus direnungkan oleh
Sutomo. Berikutnya, Sutomo bersama dengan mahasiswa lain seperti
Gunawan Mangunkusumo dan Soeradji Tirtonegoro secara intens melakukan
diskusi. Hingga akhirnya Sutomo dan dua orang itu mengadakan pertemuan
dengan mahasiswa STOVIA lainnya untuk membahas pendirian organisasi.
Pertemuan dilakukan di Ruang Anatomi STOVIA, dan menghasilkan
pendirian organisasi bernama Perkumpulan Budi Utomo. Maka Budi Utomo
didirikan pada tanggal 20 Mei 1908. Tanggal itu hingga kini diperingati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Karir dan Perjuangan Dokter Sutomo, Dokter Sutomo merampungkan
studinya di STOVIA pada tahun 1911. Sejak saat itu, Sutomo resmi menjadi
dokter dan berpindah-pindah tugas dari satu daerah ke daerah lain. Sutomo
juga tercatat sebagai salah satu tenaga medis yang menangani wabah pes di
Malang. Dalam menjalankan tugas mengobati rakyat, Sutomo tidak pernah
memungut biaya pengobatan. Pada tahun 1917, Sutomo menikah dengan
seorang perawat Belanda. Dua tahun kemudian, dia berangkat ke Belanda
untuk melanjutkan studi hingga tahun 1923. Di Belanda, Sutomo bergabung
dengan Indische Vereeniging yang kemudian menjelma menjadi
Perhimpunan Indonesia.
Bahkan dalam periode 1920-1921, Dokter Sutomo dipercaya untuk
memimpin Perhimpunan Indonesia. Sepulangnya ke Tanah Air, Sutomo
bekerja sebagai dosen di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), di
Surabaya. Sutomo juga mendirikan Indonesian Study Club (ISC) pada tahun
1924. ISC mengalami perkembangan pesat sejak didirikan. Maka pada tahun
1930, namanya diganti menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Melalui
PBI, Sutomo banyak membantu rakyat dan memperjuangkan hak-hak
mereka. Namun Sutomo tidak sempat menyaksikan bangsa merdeka dan
terbebas dari penjajah. Dokter Sutomo meninggal dunia pada 30 Mei 1938.
Dia dimakamkan di Bubutan, Surabaya. Untuk mengenang jasa-jasanya,
Dokter Sutomo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 27 Desember
1961.
3. dr. Cipto mangun kusumo

dr. Tjipto (Pecangaan, Jepara, Keresidenan


Semarang, 1886 – Jakarta, 8 Maret 1943) adalah seorang tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Bersama dengan Ernest Douwes Dekker dan Ki
Hajar Dewantara ia dikenal sebagai "Tiga Serangkai" yang banyak
menyebarluaskan ide pemerintahan sendiri dan kritis terhadap pemerintahan
penjajahan Hindia Belanda. Ia adalah tokoh dalam Indische Partij, suatu
organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri di
tangan penduduk setempat, bukan oleh Belanda. Pada tahun 1913 ia dan
kedua rekannya diasingkan oleh pemerintah kolonial ke Belanda akibat
tulisan dan aktivitas politiknya, dan baru kembali 1917.
Dokter Cipto menikah dengan seorang Indo pengusaha batik, sesama
anggota organisasi Insulinde, bernama Marie Vogel pada tahun 1920.
Berbeda dengan kedua rekannya dalam "Tiga Serangkai" yang
kemudian mengambil jalur pendidikan, Cipto tetap berjalan di jalur politik
dengan menjadi anggota Volksraad. Karena sikap radikalnya, pada tahun
1927 ia dibuang oleh pemerintah penjajahan ke Banda.
Ia wafat pada tahun 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa. Pada
tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik
Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang logam rupiah baru,
pecahan Rp. 200,-

Perjalanan Hidup
Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa
Pecangakan, Jepara, Keresidenan Semarang.[1] Ia adalah putera tertua dari
Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa.
Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah
sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah
sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi
pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari
tuan tanah di Mayong, Jepara.

Pendidikan
Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto mulai memperlihatkan
sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya
menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een
begaafd leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan
oleh gurunya kepada Cipto. Di STOVIA, Cipto juga mengalami perpecahan
antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya
yang suka pesta dan bermain, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-
ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus,
tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan
merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya,
senantiasa menjadi topik pidato nya. Baginya, STOVIA adalah tempat untuk
menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga
yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidakpuasan
pada dirinya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang
bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di
sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di STOVIA merupakan perwujudan
politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat
hanya boleh dipakai dalam hierarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi
yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang
tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Akibat
dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan
menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi
ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang
pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan
dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja
rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial,
bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan
negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan,
bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-
besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering
mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan
kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah
dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas nya yang
tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes
dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi
bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik
dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang
Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang
kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir
Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantang nya, Cipto memaki-maki sang
opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa
Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda nya yang fasih
membuat orang-orang Eropa terperangah.
4. Hos Cokro Aminoto

HOS Cokroaminoto lahir dengan nama lengkap Raden Hadji Oemar


Said Tjokroaminoto. Ia lahir di Ponorogo, Jawa Timur pada tanggal 16
Agustus 1882. Ayahnya bernama RM Tjokroamiseno yang bekerja sebagai
seorang pejabat pemerintahan. Sementara kakeknya bernama RM Adipati
Tjokronegoro dikenal sebagai Bupati Ponorogo.

Riwayat Pendidikan HOS Cokroaminoto


Karena anak seorang pejabat pemerintahan maka sejak kecil ia mulai
mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Sekolah tersebut khusus
diperuntukkan untuk orang Belanda dan para pejabat pemerintahan. Dalam
biografi HOS Cokroaminoto yang ditulis dalam buku Memoria Indonesia
Bergerak diketahui bahwa ia menyelesaikan pendidikannya di OSVIA
(Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). Sekolah tersebut dikenal
dengan Sekolah Administrasi Pemerintahan yang mencetak para pegawai-
pegawai pemerintahan kolonial Belanda di Magelang pada tahun 1902.

Riwayat Pekerjaan HOS Cokroaminoto


Setelah lulus dari OSVIA, Ia kemudian bekerja sebagai juru tulis patih
di Ngawi. Tak lama kemudian ia diangkat sebagai pembantu utama Regen
(Bupati) atau Patih di Ngawi. Disini ia melihat kesewenang-wenangan orang
Belanda terhadap kaum pribumi. Sejak kecil ia sudah mengerti akan jiwa
nasionalisme. HOS Cokroaminoto diketahui menikah dengan Raden Ajeng
Soeharsikin. Ia merupakan puteri dari wakil bupati Ponorogo yang bernama
Raden Mas Mangoensomo. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai anak
bernama Siti Oetari dan Harsono Tjokroaminoto. Pada bulan September
tahun 1905, Ia berhenti dari jabatannya sebagai seorang Patih bagian dari
pegawai Belanda. Alasannya ia tidak puas dengan pekerjaannya karena
dianggap sebagai budak dihadapan orang belanda dan kesewenangan kaum
Belanda terhadap kaum pribumi lainnya.
Keputusan HOS Cokroaminoto ini ditentang oleh keluarga dan
mertuanya yang mengingkannya menjadi seorang birokrat. Walaupun begitu,
Ia tetap pada keputusannya. Ia kemudian pindah ke Surabaya. Disana ia
melanjutkan pendidikannya di Burgerlijke Avondschool (Sekolah Teknik
Mesin). Ia juga bekerja di Firma Coy & CO dari tahun 1907 hingga 1910.
Tahun berikutnya, ia kemudian bekerja sebagai seorang teknisi yang
kemudian diangkat sebagai ahli kimia di pabrik gula di wilayah Rogojampi,
Jawa timur. Sembari bekerja, Ia juga rajin menulis artikel pada harian Bintang
Surabaya. Ia bekerja di Pabrik Gula hingga tahun 1902. Selanjutnya ia
kembali ke Surabaya dan bekerja di biro teknik.

Bergabung Dengan SI (Sarekat Islam)


Pada tahun 1912, Haji Samanhudi yang dikenal sebagai pendiri dari
Sarekat Dagang Islam mengajaknya bergabung. HOS Cokroaminoto sejak
awal menyukai Sarekat Dagang Islam karena visi dari perkumpulan tersebut.
Sarekat Dagang Islam berdiri pada tahun 1905 merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam yang bertujuan menentang politik Belanda yang
membiarkan banyaknya masuk pedagang asing hingga kemudian menguasai
sendi perekonomian rakyat kala itu.
Ketika ia bergabung pada tahun 1912, ia kemudian mengubah nama Sarekat
Dagang Islam menjadi Sarekat Islam. Tujuannya agar Sarekat Islam tidak
hanya bergerak dalam bidang ekonomi saja melainkan juga pada bidang
politik.
Dibawah kepemimpinan HOS Cokroaminoto, Sarikat Islam diakui oleh
pemerintah kolonial Belanda dan memiliki badan hukum yang jelas. Dalam
kongresnya, Sarekat Islam bertujuan ingin merdeka dan memiliki
pemerintahan sendiri serta menyatukan seluruh bangsa Indonesia.
Lambat laun pengikut Sarekat Islam semakin banyak. Hal ini
dikarenakan HOS Corkroaminoto mampu mempengaruhi massa melalui
pidato-pidatonya.

HOS Cokroaminoto Wafat


Pada tahun 1934, Ia menghadiri kongres partai di Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Namun setelah menghadiri acara tersebut, ia kemudian
jatuh sakit. Tak lama setelah itu, HOS Cokroaminoto kemudian wafat pada
tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta. Ia kemudian dimakamkan di TMP
Pekuncen, Yogyakarta.

Jika kamu ingin menjadi pemimpin besar maka menulislah seperti


wartawan dan berbicara seperti orator – HOS Cokroaminoto

Selama hidupnya, HOS Tjokroaminoto sangat besar pengaruhnya bagi


awal pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga bagi kaum pribumi kala
itu. Ia juga menjadi guru sekaligus inspirasi bagi tiga tokoh besar Indonesia
yakni Ir. Soekarno, Musso, dan Kartosuwiryo. Karena pengaruhnya yang
begitu besar ia bahkan sebut-sebut sebagai “Ratu Adil”. Bahkan Belanda
menyebut HOS Cokroaminoto sebagai De ongekvoonde koning van Java
yang berarti Raja Jawa tanpa mahkota. Di tahun 1961, atas jasa-jasa dan
perjuangan HOS Cokroaminoto terhadap Indonesia, maka pemerintah
Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Indonesia kepadanya.
5. E. Douwes dekker

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal


dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi; 8 Oktober 1879 – 28
Agustus 1950) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan pahlawan
nasional Indonesia.
Ia adalah salah seorang peletak dasar nasionalisme Indonesia di awal abad
ke-20, penulis yang kritis terhadap kebijakan pemerintah penjajahan Hindia
Belanda, wartawan, aktivis politik, serta penggagas nama "Nusantara"
sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Setiabudi adalah salah
satu dari "Tiga Serangkai" pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia,
selain dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat.

Kehidupan pribadi
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8
Oktober 1879, sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat
mendaftar di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya, Auguste Henri
Eduard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank kelas
kakap Nederlandsch Indisch Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki
darah Belanda dari ayahnya, Jan (adik Eduard Douwes Dekker) dan dari
ibunya, Louise Bousquet. Sementara itu, ibu Douwes Dekker, Louisa
Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.
[1]
 Dia terlahir sebagai anak ke-3 dari 4 bersaudara, dan keluarganya pun
sering berpindah-pindah. Saudaranya yang perempuan dan laki-laki, yakni
Adeline (1876) dan Julius (1878) terlahir sewaktu keluarga Dekker berada
di Surabaya, dan adik laki-lakinya lahir di Meester
Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada tahun 1883. Dari
situ, keluarga Dekker berpindah lagi ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.[1]
Riwayat Hidup
Pendidikan dasar ditempuh Nes di Pasuruan. Sekolah lanjutan
pertama-tama diteruskan ke HBS di Surabaya, lalu pindah
ke Gymnasium Koning Willem III School, sekolah elit
setingkat HBS di Batavia. Selepas lulus sekolah ia bekerja
di perkebunan kopi "Soember Doeren" di Malang, Jawa Timur. Di sana ia
menyaksikan perlakuan semena-mena yang dialami pekerja kebun, dan
sering kali membela mereka. Tindakannya itu membuat ia kurang disukai
rekan-rekan kerja, namun disukai pegawai-pegawai bawahannya. Akibat
konflik dengan manajernya, ia dipindah ke perkebunan tebu "Padjarakan"
di Kraksaan sebagai laboran.[2] Sekali lagi, dia terlibat konflik dengan
manajemen karena urusan pembagian irigasi untuk tebu perkebunan dan
padi petani. Akibatnya, ia dipecat.

Perjuangan pada masa Revolusi Kemerdekaan dan akhir hayat

Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting


di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara
tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu
hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi
negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan
ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan
terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di
bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia
dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.

Pada periode ini DD tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga


menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah
pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari
sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi
ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Tak lama kemudian DD dibebaskan karena kondisi fisiknya yang


payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke
Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung.
Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa
Djuwita") di Lembangweg.

Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut.


Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan
autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah
tulisannya.

Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis


di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan
dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

6. Soewardi Suryoningrat

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EBI: Suwardi Suryaningrat, sejak


1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara, EBI: Ki Hajar Dewantara, beberapa
menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar Dewantoro; 2 Mei
1889 – 26 April 1959;[1] selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD")
adalah bangsawan Jawa, aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,guru
bangsa, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi
kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri
Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti
halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Pada tahun 1959 atas jasa-jasanya dalam mengembangkan


pendidikan di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara dianugerahi gelar sebagai
Bapak Pendidikan Nasional oleh Presiden Soekarno. tanggal kelahirannya
sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional
Indonesia. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani,
menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya
diabadikan sebagai salah satu nama sebuah kapal perang Indonesia, KRI Ki
Hajar Dewantara. Potret dirinya juga diabadikan pada uang kertas pecahan
20.000 rupiah tahun edisi 1998.[2]

Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden


RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959). Ki Hajar
Dewantara juga merupakan peletak dan perintis pendidikan nasional berbasis
kebudayaan.
Masa muda dan awal karier

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga bangsawan Kadipaten


Pakualaman. Ia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Paku
Alam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School.
Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-anak yang berasal
dari Eropa. Ia sempat melanjukan pendidikan kedokteran di STOVIA. Namun,
ia tidak menamatkannya karena kondisi kesehatan yang buruk.[5]

Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat


kabar. Ia pernah bekerja untuk surat kabar Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia
tergolong salah seorang penulis yang handal pada masanya. Gaya tulisannya
bersifat komunikatif dengan gagasan-gagasan yang antikolonial. [6]

Aktivitas pergerakan

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam


organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908,
ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu


organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes
Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi
diajaknya pula.

Taman Siswa

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera


kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep
mengajar bagi sekolah yang berencana untuk ia dirikan. [butuh rujukan]
Pada
tanggal 3 Juli 1922, ia akhirnya mendirikan Perguruan Nasional Taman
Siswa di Yogyakarta.[8] Saat ia genap berusia 40 tahun menurut
hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan
namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat,
baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat
dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu
dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun
karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi
semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap
dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah
Perguruan Tamansiswa.

Pengabdian pada masa Indonesia merdeka

Tanggal 17 Agustus 1946 ditetapkan sebagai Maha Guru pada


Sekolah Polisi Republik Indonesia bagian Tinggi di Mertoyudan Magelang,
oleh P.J.M. Presiden Republik Indonesia.

Pada masa pemerintahan Presiden Indonesia yaitu Soekarno, Ki


Hadjar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan Indonesia yang
pertama. Pengangkatannya pada tahun 1956. [9] Lalu, pada tanggal 19
Desember 1956, ia juga mendapatkan gelar Doktor Honoris
Causa dari Universitas Gadjah Mada.[10]

Ki Hadjar Dewantara juga diditetapkan sebagai Bapak Pendidikan


Nasional atas jasa-jasanya dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
Selain itu, tanggal 2 Mei yang merupakan hari kelahirannya, ditetapkan
sebagai Hari Pendidikan Nasional.[11] Ketetapan hari tersebut disahkan dalam
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 305 Tahun 1959
bersamaan dengan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
[12]
 Surat keputusan tersebut diterbitkan tanggal 28 November 1959.

Wafat

Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Kota Yogyakarta pada tanggal 26


April 1959. Lokasi wafatnya di Padepokan Ki Hadjar Dewantara. Jenazahnya
kemudian disimpan di Pendapa Agung Taman Siswa untuk kemudian
dimakamkan di Taman Wijaya Brata pada tanggal 29 April 1959. Upacara
pemakamannya dipimpin oleh Soeharto yang bertindak sebagai inspektur
upacara.

Anda mungkin juga menyukai