Anda di halaman 1dari 80

1.1.

Dokter Sutomo

Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli
1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas
saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem
pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai
Hari Kebangkitan Nasional. Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia,
dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische
Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh,
Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan
jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa
yang terhormat.Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU
diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati
Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua;
Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis;
Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala
Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo
(dokter di Demak) sebagai komisaris.
Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan
akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda
daerah Magetan.

Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain,
ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat
membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya
pasien dibebaskan dari pembayaran.

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda


pada tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi
Utomo. Waktu itu sudah bany

ak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo
bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah
tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama
menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang
pesat.

Sementara itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan


nasional semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian
disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres
peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia
Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo diangkat
menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun,
ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.

1.2. Siapakah Sutomo itu?

Sutomo atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo atau Pak Tom,beliau lahir
pada 30 Juli 1888 di Desa Ngepah,Kabupaten Nganjuk,Jawa Timur.Ia terlahir dengan
nama Soebroto.Soebroto adalah anak dari Raden Suwaji seorang bangsawan yang
menjabat sebagai wedana atau camat di Maospati,Madiun.

Masa Kecil Sutomo

Sejak kecil Soebroto telah diasuh oleh kakek dan neneknya.Kakeknya yang
bernama Raden Ngabehi Singowijoyo sangat sayang kepadanya begitu pula dengan
neneknya.Meskipun begitu,Soebroto tidak terlalu memanjakan dirinya kepada kakek
dan neneknya.Saat usia kecil Soebroto memiliki sifat yang baik dan sopan kepada
masyarakat terutama kepada orang tuanya.Pada usia yang menginjak masa anak-anak
Soebroto dititipkan kepada pamannya yang bernama Arjodipuro di Bangil.Ditempat ini
Soebroto didaftarkan sekolah oleh pamannya di sekolah dasar Belanda,yaitu
Europeesche Lagere School (ELS).Namun pada saat itu Soebroto tidak diterima di
sekolah.Pada keesokan harinya pamannya kembali membawa Soebroto untuk
menemui kepala sekolah untuk menyampaikan keinginannya yaitu untuk memasukkan
keponakannya tersebut namun dengan nama Sutomo.Dengan nama tersebut Soebroto
berhasil diterima di Europeesche Lagere School (ELS).Sejak saat itu
pula(1896),Soebroto berganti nama menjadi Sutomo yang sekarang dikenal sebagai
pahlawan nasional.Sutomo dan orang tuanya pun tidak keberatan dengan nama
itu.Disekolah,Sutomo termasuk siswa yang pandai sehingga disegani oleh temannya
baik anak Indonesia maupun anak-anak Belanda.Bahkan guru-guru Belanda juga
sayang kepadanya.Selain pintar di pelajaran akademik,beliau juga gemar berolahraga.

Masa Muda Sutomo

Setelah menyelesaikan pelajarannya di sekolah


dasar,Sutomo bermaksud untuk melanjutkan sekolah dokter di
Jakarta(STOVIA).Keinginan Sutomo pun mendapat dukungan penuh oleh
orangtuanya.Saat usia 15 tahun,pada 10 Januari 1903, Sutomo dengan 13 teman
lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia mendaftarkan dirinya di
STOVIA.Di antara teman dekatnya terdapat nama Gunawan
Mangunkusumo,Gumbreg,Soeradji,Mohammad
Saleh dan M.Sulaiman.Saat menuntut ilmu di STOVIA ,Sutomo mendapatkan cobaan
yang berat,pada 28 juli 1907 ia mendapat telegram yang memberitakan bahwa ayahnya
meninggal dunia.Kejadian ini membawa perubahan yang besar pada sikap dan
pemikiran di kemudian hari,sehingga Sutomo bertemu dengan dr Wahidin
Sudirohusodo.Beliau seorang pensiunan dokter yang memiliki cita-cita untuk
mendirikan suatu badan yang menyelenggarakan dana pendidikan bagi anak-anak
yang tidak mampu.

Bertemunya Sutomo dengan Tokoh Pergerakan Nasional

Pada tahun 1907,dr Wahidin pergi ke Banten.Dalam perjalanannya beliau sempat


singgah dan menemui siswa-siswa STOVIA di Jakarta.Di tempat ini ia bertemu dengan
Sutomo,lalu beliau mesnceritakan cita-cita yang mulia itu.Bagi Sutomo pribadi
pertemuannya ini membawa pengaruh yang sangat besar terhadap sikap
,pemikirannyadan memantapkan cita-citanya untuk membela rakyat kecil.Selain
mendapat pengaruh yang besar dari dr.Wahidin,Sutomo juga mendapat pengaruh besar
dari dr Douwes Dekker,seorang Indo-Belanda yang banyak berjuang demi kepentingan
rakyat Indonesia.Dr Douwes Dekker pernah mendirikan Indische Partij bersama dengan
dr Tjipto Mangunkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat atau yang sering dikenal dengan
3 serangkai.Berbagai tulisan-tulisan Douwes Dekker sangat berpengaruh kepada
bangsa Indonesia,yaitu mempercepat dan mendorong timbulnya pergerakan
nasional.Berkat pengaruh dari dua tokoh tersebut,Sutomo semakin matang dan mantap
untuk melaksanakan cita-citanya.

Mendirikan Budi Utomo

Setelah bertemu dengan dr Wahidin,para pelajar STOVIA sepakat bahwa ''cita-cita


yang luhur tidak mungkin dapat dicapai jika tidak mendirikan sebuah
perkumpulan''.Akhirnya dengan gagasan tersebut para pelajar STOVIA mendirikan
suatu perkumpulan yang dinamakan Budi Utomo(budi yang utama).Budi Utomo
didirikan pada hari Rabu,20 Mei 1908.Nama ini lahir dari kata-kata dr Wahidin ketika
hendak perpisahan dengan Sutomo,yaitu punika satunggaling pedamelan sae serta
nelakaken budi utami(itu suatu perbuatan yang baik dan budi utama).Setelah nama
Budi Utomo diterima oleh semua peserta rapat yang diantaranya
Sutomo,Gumbreg,Soeradji,Gunawan Mangunkusumo,Mohammad
Saleh,M.Sulaiman,Suwarno dan Angka maka disusunlah pemilihan pengurus sebagai
berikut.
Ketua : Sutomo
Wakil Ketua : Sulaiman
Sekretaris I : Suwarno
Sekretaris II : Gunawan Mangunkusumo
Bendahara : Angka
Komisaris :Suwarno dan Muhammad Saleh
Dalam waktu yang singkat,Budi Utomo mendapat pendukung dan anggota yang
banyak.Namun perkembangan ini mendapat respon yang negatif terutama guru-guru
STOVIA yang merasa khawatir Budi Utomo akan melawan pemerintah Hindia
Belanda.Bahkan,Sutomo hendak diancam akan dikeluarkan dari STOVIA.Namun
Sutomo dan teman-temannya mendapat dukungan besar dari kepala sekolah yaitu
dr.H.F.Roll,bahkan beliau memberikan pinjaman uang untuk keperluan kongres Budi
Utomo yang pertama kali di Yogyakarta.Pada tanggal 3 Oktober 1908 pukul 21.00
kongres Budi Utomo dibuka secara resmi.Kongres ini berlangsung sampai 5 Oktober
1908.Kongres yang dipimpin oleh dr Wahidin ini berhasil menetapkan serta
mengesahkan anggaran dasar.Organisasi Budi Utomo ini memiliki tujuan yang paling
utama yaitu memajukan dan membina rakyat untuk mencapai kemerdekaan,hingga
pada akhir tahun 1909 Budi Utomo memiliki 40 cabang dengan anggota 10.000
anggota.Sutomo tetap memimpin Budi Utomo cabang Jakarta sampi beliau lulus
menjadi dokter di tahun 1911.

Pengabdian Seorang Dokter dan Meninggalnya Nyonya Sutomo

Setelah lulus dari STOVIA,Sutomo ditempatkan di Semarang,di sin ia melihat


dengan mata kepala sendiri bagaimana sengsaranya rakyat Indonesia.Di Semarang dr
Sutomo hanya bertugas selama satu tahun,kemudian beliau dipindahkan di
Tuban,sama halnya dengan di Semarang beliau hanya bertugas selama satu tahun dan
setelah satu tahun lamanya,dr Sutomo dipindahkan kembali ke Lubuk Pakam-Sumatera
Barat.Kepindahannya merupakan pertama kali perjalanan ke luar jawa.Selama
bertugas,Sutomo selalu dipindahkandi berbagai kota di Indonesia,hingga beliau
dipindahkan di Baturaja pada tahun 1917 dan Sutomo bertemu dengan Ny E.Burning.Di
tahun 1919 dr.Sutomo memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas
Amsterdam,Belanda.Akhirnya dr Sutomo dan istrinya pindah ke negeri kincir angin

tersebut . Kehidupan keluarga dr Sutomo di negeri


Belanda dapat dikatakan prihatin.Sebagian besar waktunya digunakan untuk
menambah pengetahuan,nafkah yang diterima hanya cukup untuk memenuhi keperluan
sehari-hari.Selain belajar, kesibukan dr Sutomo di Belanda bertambah karena ia juga
aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI).Organisasi ini adalah perkumpulan mahasiswa
Indonesia di negeri Belanda.Pertemuan dengan tokoh-tokoh PI lainnya seperti
Mohammad Hata,Ahmad Soebarjo,Ali Sastroamijoyo,Sunario,Iwa
Kusuma,Sumantri,dan Nazir Pamuncak di Negara Belandasemakin mempertebal
keyakinan dr Sutomo bahwa Budi Utomo harus menanggalkan baju jawanya dan
bersifat nasional serta dengan tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.4 tahun
lamanya dr Sutomo menambah pengetahuannya di Universitas Amsterdam,Belanda
dan pada bulan Juni 1923 beliau pulang ke Indonesia.

Sebelum meninggalkan negeri Belanda,beliau berpesan kepada teman-temannya agar


berjuang untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.Setibanya di Indonesia dr
Sutomo ditugaskan menjadi guru sekolah dokter NIAS(Nederlandse Indische Artsen
Schoool) di Surabaya.Dr Sutomo juga pernah menjadi anggota dewan kota
(Gemeenteraad) di Surabaya.Keanggotaanya dalam dewan ini didorong oleh
keyakinannya bahwa melalui dewan ini suara rakyat makin cepat didengar.Namun
harapan dr Sutomo tersebut ternyata tidak terwujud karena kedudukannya di dewan
dalam pelaksanaannya tidak menguntungkan rakyat banyak.Oleh karena itu,Sutomo
dengan kawan-kawannya keluar dari dewan kota.Dalam kedudukannya sebagai guru di
sekolah dokter NIAS di Surabaya,keluarga Sutomo memiliki kehidupan yang lebih baik
dari sebelumnya.Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena pada tanggal
17 Februari 1934,Nyonya E.Burning meninggal dunia dikarenakan sering sakit-sakitan
Karena tidak cocok dengan udara di kota Surabaya.

Mendirikan Perkumpulan Baru

Pada tahun 1924 dr Sutomo


beranggapan bahwa perkumpulan Budi Utomo perlu mengalami
perubahan.Mementingkan pengajaran dan kebudayaan saja tidak cukup dalam
pergerakan nasional,oleh karena itu pada tanggal 11 Juli 1924 dr Sutomo mendirikan
perkumpulan lain,perkumpulan ini diberi nama Indonesische Studieclub
(IS).Perkumpulan ini berjuang untuk membangkitkan semangat kaum terpelajar supaya
memiliki keinsyafan dan kewajiban terhadap masyarakat.Perasaan persatuan di
kalangan pemimpin Indonesia makin lama makin kuat.Sesudah dicetuskan Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928,jiwa persatuan Indonesia makin mantap.Hingga pada
tanggal 16 Oktober 1930 Indonesische Studieclub (IS) berubah menjadi Partai
Persatuan Bangsa Indonesia(PBI),anggotanya tidak hanya terbatas pada kaum
terpelajar,tetapi terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia.PBI berusaha
menyempurnakan derajat bangsa dan tanah air,berdasarkan kebangsaan
Indonesia.Pada tahun 1913 PBI telah memiliki 15 cabang ,pengurus besarnya terdiri
atas dr Sutomo dan Mr Soebroto.Setahun kemudian cabang-cabang PBI sudah
berjumlah 30 dengan 2500 orang anggota hingga pada tanggal 28 Maret sampai 2 April
1934.PBI mengadakan kongres ketiga di Malang,waktu itu PBI telah memiliki 38 cabang
.Pada kongres 1935 di Surabaya ,disetujui adanya fusi antara Budi Utomo dan
PBI.Keputusan ini kemudian ditindak lanjuti dengan adanya penyelenggaraan kongres
fusi PBI dan Budi Utomo pada 24-26 Desember 1935 di Solo.Partai baru hasil fusi itu
diberi nama Partai Indonesia Raya. Tujuan Parindra antara lain sebagai berikut .
a.Memperkukuh semangat kebangsaan Indonesia.
b.Menjalankan aksi politik untuk memperoleh hak dalam politik dan pemerintahan
berdasarkan demokrasi dan nasionalisme.
c.Memajukan kehidupan rakyat dalam hal ekonomi dan sosial.
Dalam waktu yang singkat partai ini telah memiliki 53 cabang dengan anggota 2.425
orang di seluruh Indonesia.Pada Maret 1936,dr Sutomo mengadakan perjalanan ke luar
negeri.Negeri-negeri yang dikunjungi adalah
Jepang,Malaka,India,Sailan,Mesir,Belanda,Inggris,Turki,dan Palestina.Perjalanan ini
bertujuan untuk mempelajari segala sesuatu yang dapat dijadikan contoh bagi
kemajuan Indonesia.Perjalanan dr Sutomo ini memakan waktu kurang lebih satu tahun
lamanya.Setelah dr Sutomo kembali ke Indonesia,pada saat itu juga Parindra
mengadakan kongres pertamnya di Jakarta pada 15 Mei 1937.Dalam kongres itu dr
Sutomo dipilih kembali menjadi ketua umum Parindra.Bersama beberapa pengurus
pusat,dr Sutomo kemudian mengadakan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia
untuk kepentingan partai dan kepentingan umum.

Wafatnya Seorang Pahlawan Nasional

Dr Sutomo yang menjadi ketua umum di berbagai partai,memiliki kesibukan dan


pekerjaaan yang terlampau berat,akibatnya beliau sering jatuh sakit.Sakitnya semakin
lama semakin parah,hingga pada tanggal 3 Mei 1938 sakit yang diderita oleh dr Sutomo
tidak bisa diobati lagi dan beliau meninggal dunia.Jenazahnya dimakamkan di halaman
Gedung Nasional Surabaya.

2.1. Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien adalah seorang wanita Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan penjajahan Belanda pada masa Perang Aceh.

Gambar Cut Nyak Dhien diambil dari wikipedia


Biodata

Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien

Tempat Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh

Tahun Lahir : 1848

Meninggal : 6 November 1908. Sumedang, Hindia Belanda

Agama : Islam

Kehidupan

Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir
dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang
uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati.

Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh
diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien
merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
Lampagar.

Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh
orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan
yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak
laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12
tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim
Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim
Lamnga suami dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan
Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.

Meninggalnya Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien.
Tidak lama setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku
Umar pada tahun 1880.

Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan
perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka
dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
2.2. Perang Aceh
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun
1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya
dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar
dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri"
kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau
membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar
Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan
kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.

Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun,
Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk
mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin
orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut
cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim
bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini
disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan


melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Chut Nyak
Dhien. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai
menyerang Belanda dan pasukan musuh berada pada kekacauan sementara Jend. Van
Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat
terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar
Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.

Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan
mengganti jendral yang bertugas. Unit "Marchausse" lalu dikirim ke Aceh. Mereka
dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan
pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan
semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati
kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini
juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut
melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada
penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku Umar sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak
peluru.

Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan
melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan
mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya
pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah
Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua.

Baca juga : Biografi Bill Gates Pendiri Perusahaan Microsoft

Masa Tua dan Kematian

Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit
disana, sementara itu Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan
perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak
Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang
sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun
1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui
monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam
yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember
1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton
dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri
makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H.
Sanusi.

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah
At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Informasi diatas saya dapatkan dari artikel di wikipedia dan juga dengan beberapa situs
yang membahas informasi yang sama. Itulah sedikit ulasan mengenai biografi cut nyak
dhien yang dapat saya sampaikan terima kasih.

2.2. Biografi Tokoh: Biografi Cut Nyak Dhien - Pahlawan


Nasional Indonesia

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut
Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari
Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika
kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari
Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang Lampagar.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan
rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari
yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien
dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya
pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga
XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda
yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Khler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit.
Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Khler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan
membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:

"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah
mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi
budak Belanda?"

Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang


bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Khler tewas
tertembak pada April 1873.

J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang


Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim
dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun
1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan
rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur
untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878.
Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur
dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan
Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat
perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien
dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun
1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya
dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar
dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri"
kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau
membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar
Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan
kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha
menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia
kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini
disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang
mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-
besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan
kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan
mengganti jendral yang bertugas.

Unit "Marchausse" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit
ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari
hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden
membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa
mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan
sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada
tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut
Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh
ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang
sudah syahid

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini
terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda
sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah
semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga
jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya.

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di
Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang
terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki
penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh
Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan
yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak
Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik
perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian
mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas
tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut
Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu
Perbu". Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun
1964 pada tanggal 2 Mei 1964

Referensi :

- http://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien

3.1. Pahlawan Pattimura

Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783
meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), memiliki nama
asli Ahmad Lussy [1], di sejarah versi pemerintah ia dikenal dengan nama Thomas
Matulessy atau Thomas Matulessia, adalah seorang bangsawan dan ulama yang kelak
kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Nama dan Silsilah


Ahmad Lussy "Pattimura" atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di Hualoy,
Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah).
Ia bangsawan dari kerajaan Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman.
Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah).
Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Ada versi sejarah yang menyebutkan bahwa ia adalah putra Frans Matulessia dengan
Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama
kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan
dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy
adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja
Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam
sebuah teluk di Seram Selatan".
Ada kejanggalan dalam keterangan di atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah
kesultanan. Kemudian ada penipuan dengan menambahkan marga Pattimura
Mattulessy. Padahal di negeri Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di
sana hanya ada marga Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman.
Jadi asal nama Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija.
Sedangkan Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan
nama Thomas Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan
rakyat Maluku. Berbeda dengan Sapija, Mansyur Suryanegara berpendapat bahwa
Pattimura itu marga yang masih ada sampai sekarang. [2]
Istilah Kapitan
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian
Belanda. Padahal tidak.
Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan
antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap
sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang
sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan
kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus
yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa
yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang
dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-
sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah
memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin
atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan" yang melekat pada diri
Pattimura itu bermula.
[3]

Perjuangan Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam


militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[4] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab
Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[5] mengingat pada masa itu
banyaknya kerajaan
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah
(landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta
mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa
Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon
dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa
jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus
dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer
pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn
dinas militer ini dipaksakan [6] Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817
mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik,
ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [5] Maka
pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima
perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai
panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.
Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan
dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan
diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang
Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja
di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi
Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan
di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain
Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran
yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda
Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah
Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan
dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh
pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu,
Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai PAHLAWAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN
oleh pemerintah Republik Indonesia Pahlawan Nasional Indonesia.
Perlawanan rakyat di bawah komando Kapitan Pattimura itu terekam dalam tradisi lisan
Maluku yang dikenal dengan petatah-petitih. Tradisi lisan ini justru lebih bisa
dipertanggung jawabkan daripada data tertulis dari Belanda yang cenderung
menyudutkan pahlawan Indonesia. Di antara petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
Artinya
Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)

Kata-Kata
Ketika Ahmad Lussy "Pattimura" akan dihukum gantung oleh Belanda, ada sebuah
kata-kata yang ia ungkapkan kemudian tercatat dalam sejarah. Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu

(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap
beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula)
saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu
besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau
dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817,
tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa
Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy
juga tampak optimis.
Diposting oleh Azzahra Nufaisa di 20.26
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
3.2. SEJARAH PATTIMURA

Kapitan Pattimura (1783 -1817)


Pahlawan Nasional dari Maluku

Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria,
Saparua, Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun
1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah
sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau
akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung
padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya
merenggut jiwanya.

Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau
bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung
tidak pernah menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra
Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan
disesali rahim ibu yang melahirkannya.

Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah


Indonesia yang pernah dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang
perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke negara lainnya itu malah kadang
secara resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini
pernah dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris
dan kembali lagi oleh Belanda.

Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun
1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh
pasukan Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat
masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.

Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816,
Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat
Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi,
seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak
tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk
mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di
Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.

Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk
itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu
pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan
Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada
dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.

Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut
berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan
begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan
mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih
modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali
dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu
ditolaknya.

Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun
dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau
berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum
eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura
menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan
benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia


meninggalkan pesan tersirat kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah
menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini. juka
Diposting oleh ilmi di 00.07

4.1. Kerajaan Majapahit


Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini termasuk
kerajaan kuno di Indonesia yang berdiri pada tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan
Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya (1293 M). Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya pada abad ke-14 yaitu pada masa kekuasaan Hayam Wuruk (1350-1389
M) yang didampingi oleh Patih Gadjah Mada (1331-1364 M). Kerajaan Majapahit
adalah kerajaan Hindu terakhir di Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah
satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Majapahit menguasai kerajaan-
kerajaan lainnya di Semenanjung Malaya, Borneo, Sumatera, Bali, dan Filipina. Sumber
utama yang digunakan oleh para sejarawan untuk membuktikan keberadaan Majapahit
adalah Pararaton (Kitab Raja-Raja) dalam bahasa Kawi dan Nagarakertagama dalam
bahasa Jawa Kuno. Pararaton banyak menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan
Singasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya
Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis
pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Selain itu,
terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari
negeri Tiongkok dan negara-negara lain.

Ilustrasi

[tie_slideshow]
[tie_slide]

4.2. Asal Mula Berdirinya Majapahit

[ads1]Asal mula Kerajaan Majapahit diceritakan bahwa sesudah Singasari mengusir


Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Singasari menjadi kerajaan
paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, seorang
penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan bernama Meng Chi ke
Singasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singasari yang
terakhir, menolak untuk membayar upeti dan merusak wajah utusan tersebut serta
memotong telinganya. Kublai Khan pun marah lalu memberangkatkan ekspedisi besar
ke Jawa pada tahun 1293 M. Ketika itu, Jayakatwang, Adipati Kediri, membunuh
Kertanagara. Atas saran dan Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan
kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden
Wijaya kemudian diberi Hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru
yang diberi nama Majapahit. Nama itu diambil dan buah maja dan rasa pahit dan
buah tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Raden Wijaya bersekutu dengan pasukan
Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka untuk menanik pulang pasukannya
karena mereka berada di wilayah asing. Tanggal kelahiran kerajaan Majapahit pada
tanggal 10 November 1293 adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja. Ia
dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.

[/tie_slide]
[tie_slide]

Masa Awal Kerajaan Majapahit

[ads2]Kerajaan ini menghadapi banyak masalah. Beberapa orang terpercaya


Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya,
meski pemberontakan tersebut tidak berhasil. Namun ternyata Mahapatih Halayudha-
lah yang melakukan konspirasi (persekongkolan) untuk menjatuhkan semua orang
terpercaya raja. Hal itu ia lakukan agar dapat mencapai posisi tertinggi dalam
pemenintahan. Namun, setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha
dltangkap dan dipenjara, lalu dihukum mati. Raden Wijaya meninggal pada tahun 1309
M. Anak dan penerus Raden Wijaya, Jayanegara adalah penguasa yang jahat dan
tidak bermoral. Ia memiliki nama kecil Kala Gemet, yang berarti penjahat lemah,
Tahun 1328 M. Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri
Rajapatni seharusnya menggantikannya, tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri
dan istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya
Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi Ratu Majapahit. Selama kekuasaan
Tnibhuwana, Kerajaan Majapahit berkembang menjadi Iebih besar dan terkenal.
Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350 M.
Kepemimpinannya pun dilanjutkan oleh putranya, Hayam Wuruk.

[/tie_slide]
[tie_slide]

Masa Keemasan Kerajaan Majapahit

Hayam Wuruk, juga disebut sebagai Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dan


tahun 1350-1389 M. Majapahit mencapal puncak kejayaannya dengan bantuan
Mahapatihnya, Gadjah Mada. Di bawah perintah Gadjah Mada (1313-1364 M),
Majapahit menguasai Iebih banyak wilayah. Pada tahun 1377 M, beberapa tahun
setelah kematian Gadjah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,
menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Selain Gadjah Mada, Majapahit
juga memiliki jendral yang juga terkenal bernama Adityawarman. Ia terkenal karena
penaklukkannya di Minangkabau. Menurut Kakawin Nagarakertagama Pupuh Xlll-XV,
daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Borneo,
Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian Kepulauan Filipina.
Namun, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan
tersebut tidak berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki
hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan
bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.

[/tie_slide]

[tie_slide]

Keruntuhan Kerajaan Majapahit

Kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah ketika terjadi perang saudara


(Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406 M, antara Wirabhumi melawan
Wikramawardhana. Terjadi pula pergantian raja yang diperdebatkan pada tahun 1450-
an dan pemberontakan besar oleh seorang bangsawan pada 1468 M. Kerajaan
Majapahit berakhir pada tahun 1400 Saka atau 1478 M. Hal ini tampak pada
candrasengkala (penanda tahun) yang berbunyi sirna ilang kertaning bumi yang
berarti sirna hilanglah kemakmuran bumi. Pada tahun tersebut digambarkan gugurnya
Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Kemunduran Kerajaan
Majapahit terjadi pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Pengaruh Majapahit di
seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan Islam
berdiri yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul dibagian barat Nusantara. Catatan
sejarah dari Tiongkok, Portugis, dan Italia menjelaskan bahwa telah terjadi perpindahan
kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa
dan Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Sekian uraian tentang Sejarah Kerajaan Majapahit hingga Runtuh, semoga
bermanfaat.
Referensi:

Hendarsah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara Populer. Yogyakarta: Jogja


Great Publisher

4.3. Rangkuman Sejarah Kerajaan Majapahit Berdirinya dan


Runtuhnya
Diposting oleh Varin Clarissa di 12/23/2016
Kerajaan Majapahit merupakan salah satu kerajaan Hindu di Jawa Timur yang didirikan
oleh Raden Wijaya (1293 M). Kerajaan kuno di Indonesia ini berdiri pada tahun 1293-
1500 Masehi. Kerajaan Hindu terakhir di Semenanjung Malaya ini dianggap sebagai
salah satu negara tersbesar sepanjang sejarah Indonesia. Dimana wilayah
kekuasaannya meliputi, Sumatera, Bali, Borneo, dan Filipina.
Berdirinya Kerajaan Majapahit

Asal mula berdirinya Kerajaan Majapahit yakni adanya serangan dari Jayakatwang
(Adipati Kediri) yang berhasil membunuh Kertanegara (penguasa Kerajaan Singasari
terakhir) akibat menolak pembayaran upeti. Kemudian Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) berhasil melarikan diri ke Madura untuk meminta perlindungan kepada
Aryawiraraja. Raden Wijaya diberikan hutan Tarik oleh Aryawiraraja sebagai daerah
kekuasaanya kemudian dijadikan desa baru yang diberi nama Majapahit.

Majapahit endiri berasal dari kata buah maja dan rasa pahit. Kemudian terdapat
pasukan Mongolia pimpinan Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing tiba di Jawa dengan
tujuan menghukum Kertanegara akibat Kertanegara menolak membayar upeti kepada
penguasa Mongolia. Situasi ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk bekerjasama
dengan tentara Mongolia menyerang Jayakatwang. Kemudian pihak Mongolia menang
atas terbunuhnya Jayakatwang. Ketika tentara

Mongolia sedang berpesta merayakan kemenangannya, Raden Wijaya memanfaatkan


untuk menyerang tentara Mongolia. Pada akhirnya, Raden Wijaya berhasil mengusir
tentara Mongolia dari Jawa dan Raden Wijaya naik tahta dan bergelar Sri Kertajasa
Jayawardhana pada tahun 1293.
Kejayaan Kerajaan Majapahit

Kerajaan Majapahit mencapai puncak keemasannya berada dibawah kekuasaan


Hayam Wuruk (1350-1389 M). Berdasarkan isi Kitab Negerakertagama, wilayah
kekuasaan Majapahit pada masa itu hampir sama luasnya dengan wilayah Indonesia
yang sekarang, bahkan pengaruh kerajaan Majapahit sampai ke negara-negara
tetangga. Namun, terdapat satu daerah yang tidak tunduk pada kekuasaan Majapahit,
yakni Kerajaan Sunda dengan penguasa Sri baduga Maharaja. Ketika Hayam Wuruk
ingin menjadikan Diah Pitaloka (Putri Sri baduga Maharaja) sebagai permaisuri, Gajah
Mada tidak menyetujuinya. Gajah Mada menginginkan putri Sri baduga Maharaja
dipersembahkan kepada Majapahit sebagai upeti. Terjadilah salah paham yang
melahirkan peperangan yang pada akhirnya Sri Baduga gugur dan putri Sunda bunuh
diri.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit


Runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat terjadi perang saudara antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana pada tahun tahun 1405-1406 M. Selain itu, adanya
pergantian raja yang menjadi perdebatan pada tahun 1450-an dan terjadi
pemberontakan besar-besaran pada tahun1468 M oleh seorang bangsawan. Kerajaan
Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15.

Raja-raja Majapahit

1. Kertajasa Jawardhana atau Raden Wijaya (1293 1309)

2. Raja Jayanegara (1309-1328)

3. Tribuwana Tunggadewi (1328 1350)

4. Hayam Wuruk (1350-1389)

5. Wikramawardhana (1389-1429)

6. Suhita

7. Kertawijaya

8. Rajasa Wardhana

9. Purwawisesa

10. Brawijaya V

Sekian uraian tentang Sejarah Kerajaan Majapahit dari awal berdirinya hingga
keruntuhannya, semoga bermanfaat.

Kerajaan Mataram Islam


Jumat, 16 November 2012

A. Awal perkembangan Kerajaan Mataram Islam


Kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1582. Pusat Kerajaan ini terletak di sebelah tenggara
kota Yogyakarta, yakni di Kotagede. Para raja yang pernah memerintah di Kerajaan Mataram
yaitu : Penembahan Senopati (1584-1601), Panembahan Seda Krapyak (1601-1677).

Dalam sejarah Islam,Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam
perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia). Hal ini terlihat dari
semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk
daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan
yang bercorak islam di Jawa.

Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan
dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram
kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun
sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.

Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis
tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa
Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat dan
Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng
Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah
pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun
pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang
menentang kehadirannya.

Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang
Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi
ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga,
hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.Hubungan yang tegang antara
sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini,
kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya meninggal
dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar
penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan
senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya,
penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan
menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam

Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai
madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri
dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-
1599.

Sebagai raja islam yang baru, panembahan senopati melaksanakan penaklukkan-penaklukan


itu untuk mewujudkan gagasannya bahwa mataram harus menjadi pusat budaya dan agama
islam, untuk menggantikan atau melanjutkan kesultanan demak. Disebutkan pula dalam
cerita babad bahwa cita-cita itu berasal dari wangsit yang diterimanya dari Lipura (desa yang
terletak di sebelah barat daya Yogyakarta). Wangsit datang setelah mimpi dan pertemuan
senopati dengan penguasa laut selatan, Nyi Roro Kidul, ketika ia bersemedi di Parangtritis dan
Gua Langse di Selatan Yogyakarta. Dari pertemuan itu disebutkan bahwa kelak ia akan
menguasai seluruh tanah Jawa.

B. Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya
pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sultan. Seorang sultan atau raja sering
digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air
muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali
seminggu di alun-alun istana.

Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung
antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta
perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat
pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia
digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 1613). Peran
mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia
digantikan oleh Mas Rangsang (1613 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram
mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan
kebudayaan.

Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar
Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa
Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Gelar sultan yang
disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja
sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan
sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar Panembahan. Pada
tahun 1624, gelar Panembahan diganti menjadi Susuhunan atau Sunan. Pada tahun
1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian
mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga
Ngabdurrahman.

Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun
terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun
dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.

Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada
tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang
sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada
tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan,
Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh
tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang
sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya
mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram
melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman
seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun
1625.

Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara
militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah
kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses
besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang
masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di
bawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk mengempung
Batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung
Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan
yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan
Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki
Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia,
Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga
menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan
mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.

Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung
Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan
yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan
Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki
Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia,
Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga
menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan
mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.

Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan
di tanah Jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem
kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan
upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.

Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat
Sastra Gendhing. Adapun kitab serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra
Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi
tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain
menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah
babad tanah Jawi.

Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah
dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen
dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah,
masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung
berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi
seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah,
berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan
tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat
babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi
perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak
berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih
banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu
yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan
gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan
berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu
Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang
bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa
mas jolang.

Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah
perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan
Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran
islam.

C. Kemajuan yang dicapai pada masa pemerintahan Sultan Agung

Kemajuan yang dicapai meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
yaitu :

a. Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.

a. Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam

Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha inidimulai dengan
menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,Pasuruhan, kemudian Surabaya.
Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islamdi Pulau Jawa ini ada yang dilakukan
dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran
Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu Wandansari

b. Anti penjajah Belanda

Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti
dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang
kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan.Adapun penyebab
kegagalannya, antara lain:

- Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus
menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
- Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia
menjadi lemah.
- Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba
modern.
- Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin
memperlemah kekuatan.
- Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut,sedangkan
Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai
Belanda tanpa bantuan Portugis.
- Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam
menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
- Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat.
Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awal sehingga rencana penyerangan
Mataram ini diketahui Belanda.
- Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini
diketahui Belanda sebelumnya.

b. Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:

- Sebagai negara agraris, Mataram mampu meningkatkan produksi beras dengan


memanfaatkan beberapa sungai di Jawa sebagai irigasi. Mataram juga mengadakan
pemindahan penduduk (transmigrasi) dari daerah yang kering ke daerah yang subur dengan
irigasi yang baik. Dengan usaha tersebut, Mataram banyak mengekspor beras ke Malaka.
- Penyatuan kerajaan-kerajaan Islam di pesisir Jawa tidak hanya menambah kekuatan
politik,tetapi juga kekuatan ekonomi. Dengan demikian ekonomi Mataram tidak semata-mata
tergantung ekonomi agraris, tetapi juga karena pelayaran dan perdagangan.

c. Bidang sosial Budaya


Kemajuan dalam bidang sosial budaya meliputi hal-hal berikut:

a. Timbulnya kebudayaan kejawen


Unsur ini merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa denganIslam.
Misalnya upacara Grebeg yang semula merupakan pemujaan roh nenek moyang. Kemudian,
dilakukan dengan doa-doa agama Islam. Sampai kini, di jawa kita kenal sebagai Grebeg
Syawal, Grebeg Maulud dan sebagainya.

b. Perhitungan Tarikh Jawa


Sultan Agung berhasil menyusun tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram
menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan peredaran matahari (tarikh syamsiyah).Sejak
tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah ke tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan
(tarikh komariah). Caranya, tahun 1555 diteruskan tetapi dengan perhitungan baru
berdasarkan tarikh komariah. Tahun perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal
sebagaitahun Jawa.

c. Berkembangnya Kesusastraan Jawa


Pada zaman kejayaan Sultan Agung, ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat,termasuk
di dalamnya kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang kitab yang berjudul Sastra
Gending yang merupakan kitab filsafat kehidupan dan kenegaraan.Kitab-kitab yang lain
adalah Nitisruti, Nitisastra, dan Astrabata. Kitab-kitab ini berisi tentang ajaran-ajaran budi
pekerti yang baik.Pengaruh Mataram mulai memudar setelah Sultan Agung meninggal pada
tahun 1645 M.Selanjutnya, Mataram pecah menjadi dua, sebagaimana isi Perjanjian Giyanti
(1755) berikut:
- Mataram Timur yang dikenal Kesunanan Surakarta di bawah kekuasaan Paku Buwono III
dengan pusat pemerintahan di Surakarta.
- Mataram Barat yang dikenal dengan Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan
Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahannya di
Yogyakarta.Perkembangan berikutnya, Kesunanan Surakarta pecah menjadi dua yaitu
Kesunanan dan Mangkunegaran (Perjanjian Salatiga 1757). Kesultanan Yogyakarta juga
terbagi atas Kesultanan dan Paku Alaman. Perpecahan ini terjadi karena campur tangan
Belanda dalam usahanya memperlemah kekuatan Mataram, sehingga mudah untuk di
kuasai.Sultan Agung meninggal pada Februari 1646. ia dimakamkan di puncak Bukit Imogiri,
Bantul ,Yogyakarta. Selanjutnya,Mataram diperintah oleh putranya, SunanTegalwangi, dengan
gelar Amangkurat I ( 1646 1677). Dalam masa pemerintahan Amangkurat I, kerajaan
mataram mulai mundur. Wilayah kekuasaan mataram berangsur-angsur menyempit karena
direbut oleh kompeni VOC. Yang paling mengenaskan, pada tahun1675, Rade Trunajaya dari
Madura memberontak. Pemberontakannya demikian tak terbendung, sampai-sampai
Trunajaya berhasil menguasai keraton Mataram yang waktu ituteletak di Plered. Amangkurat
terlunta-lunta mengungsi, dan akhirnya meninggal di Tegal.Sepeninggal Amangkurat I,
Mataram dipegang oleh Amangkurat II yang menurunkanDinasti Paku Buwana di Solo dan
Hamengku Buwana di Yogyakarta. Amangkurat II meminta bantuan VOC untuk memadamkan
pemberontakan Trunajaya. Setelah berakhirnya Perang Giyanti (1755), wilayah kekuasaan
mataram semakin terpecah belah. Berdasarkan perjanjian giyanti, mataram dipecah menjadi
dua, yakni mataram sukrakarta dan mataram yogyakarta. Pada tahun 1757 dan 1813,
perpecahan terjadi lagi dengan munculnya Mangkunegara dan pakualaman. Di masa
pemerintahan Hindia Belanda, keempat pecahan kerajaan mataram ini disebut sebagai
vorstenlanden. Saat ini, keempat pecahan Kesultanan Mataram tersebut masih melanjutkan
dinasti masing-masing. Bahkan peran dan pengaruh pecahan mataram tersebut, terutama
kesultanan Yogyakarta masih cukup besar dan diakui masyarakat.

Aspek Kehidupan Sosial


Kehidupan masyarakat di kerajaan Mataram, tertata dengan baik berdasarkan hukum Islam
tanpa meninggalkan norma-norma lama begitu saja. Dalam pemerintahan Kerajaan Mataram
Islam, Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, kemudian diikuti oleh sejumlah
pejabat kerajaan. Di bidang keagamaan terdapat penghulu, khotib, naid, dan surantana yang
bertugas memimpin upacara-upacara keagamaan. Di bidang pengadilan,dalam istana
terdapat jabatan jaksa yang bertugas menjalankan pengadilan istana. Untuk menciptakan
ketertiban di seluruh kerajaan, diciptakan peraturan yang dinamakan anger-anger yang harus
dipatuhi oleh seluruh penduduk

Aspek Kehidupan Ekonomi dan Kebudayaan


Kerajaan Mataram adalah kelanjutan dari Kerajaan Demak dan Pajang. Kerajaan ini
menggantungkan kehidupan ekonominya dari sektor agraris. Hal ini karena letaknya yang
berada di pedalaman. Akan tetapi, Mataram juga memiliki daerah kekuasan di daerah pesisir
utara Jawa yang mayoritas sebagai pelaut. Daerah pesisir inilah yang berperan penting bagi
arus perdagangan Kerajaan Mataram. Kebudayaan yang berkembang pesat pada masa
Kerajaan Mataram berupa seni tari, pahat, suara, dan sastra. Bentuk kebudayaan yang
berkembang adalah Upacara Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayaan Hindu-
Budha dengan Islam. Di samping itu, perkembangan di bidang kesusastraan memunculkan
karya sastra yang cukup terkenal, yaitu Kitab Sastra Gending yang merupakan perpaduan dari
hukum Islam dengan adat istiadat Jawa yang disebut Hukum Surya Alam.E.

Puncak Kejayaan Mataram Islam


Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusumo
(1613-1646). Daerah kekuasaannya mencakup Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia), Pulau
Madura, dan daerah Sukadana di Kalimantan Barat. Pada waktu itu, Batavia dikuasai VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie ) Belanda.Kekuatan militer Mataram sangat besar.
Sultan Agung yang sangat anti kolonialisme itumenyerang VOC di Batavia sebanyak dua kali
(1628 dan 1629). Menurut Moejanto sepertiyang dikutip oleh Purwadi (2007), Sultan Agung
memakai konsep politik keagungbinataran yang berarti bahwa kerajaan Mataram harus
berupa ketunggalan, utuh, bulat, tidak tersaingi,dan tidak terbagi-bagi.

Kemunduran Mataram Islam


Kemunduran Mataram Islam berawal saat kekalahan Sultan Agung merebut Batavia dan
menguasai seluruh Jawa dari Belanda. Setelah kekalahan itu, kehidupan ekonomi rakyat tidak
terurus karena sebagian rakyat dikerahkan untuk berperang.

D. Silsilah Raja dan Sistem Pemerintahan


1. Ki Ageng Pamanahan ( Ki Gede Pamanahan )
- Pendiri desa mataram tahun 1556
- bergelar Panembahan Senapati dibawah pimpinan anaknya
- Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela
- menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak
perempuan Ki Ageng Henis).
- Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya
bupati Pajang (murid Ki Ageng Sela ) Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai
lurah wiratamtama di Pajang.
- Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu
Kalinyamat membujukHadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai
hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.
- Meninggal tahun 1584

2. Sutawijaya ( Danang sutawijaya )


- pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601
- bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa
- dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram.
- putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah
- Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir
Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga
- Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat
sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi
menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
- Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai
pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak.
Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal
dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.
- Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang
pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya
Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat
itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
- meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di
Kotagede.

3. Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati
Senapati-ing-Ngalaga Mataram )
- raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
- putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas
Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu
Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra,
kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah
Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu
Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta,
ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati
Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
- Pada tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat
Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613
hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan
kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan
Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan
pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di
Ambon.
- meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan
Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing
Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di
Krapyak"

4. Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas
Jatmika )
- lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan
Mataram, 1645
- raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
- Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan
Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
- Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal3 November
1975.
- putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( putri Pangeran
Benawa raja Pajang ( Dyah Banowati ))
- Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik.
- kemunduran kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan
VOC
- menyerang Batavia sebanyak 2x.
serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia, dipimpin oleh Tumenggung
Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000 pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan
serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang
dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua ( 1629 )
dipimpin Adipati Ukur dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan
kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang
mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC
yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.

5. Amangkurat I (Sri Susuhunan Amangkurat Agung)


- Memerintah pada tahun 1646-1677
- Memiliki gelar anumertaSunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum
- Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan,
yaitu putri Tumenggung Upasanta bupatiBatang (keturunan Ki Juru Martani).
- Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
- memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang
melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga
Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana
I.
- mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas
- menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat.
- Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Perpindahan istana tersebut
diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang
menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para
ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para
ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih
dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
- Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun
1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di
wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang
dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut
oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun
ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
- hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di
tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan
menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
- tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas
Rahmat melarikan diri ke barat.Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered
menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit
dan meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar
dimakamkan dekat gurunya di Tegal

6. Amangkurat II (Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat )


- putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekikdari
Surabaya.
- memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat
III)
- Pada bulan September 1680 Amangkurat II membangun istana baru di hutan Wanakerta
karena istana Plered diduduki adiknya, yaituPangeran Puger. Istana baru tersebut bernama
Kartasura.
- Amangkurat II akhirnya meninggal dunia tahun 1703. Sepeninggalnya, terjadi perebutan
takhta Kartasura antara putranya, yaituAmangkurat III melawan adiknya, yaitu Pangeran
Puger.
- Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis
Speelman. Daerah-daerah pesisir utaraJawa mulai Kerawang sampai ujung timur digadaikan
pada VOC sebagai jaminan pembayaran biaya perang Trunajaya.
- Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan
bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Trunajaya tanggal 26 Desember 1679.
Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari
1680.

7. Amangkurat III (Nama aslinya adalah Raden Mas Sutikna )


- memerintah antara tahun 1703 1705.
- dijuluki Pangeran Kencet, karena menderita cacat di bagian tumit.
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom, ia menikah dengan sepupunya, bernama Raden Ayu
Lembah putri Pangeran Puger. Namun istrinya itu kemudian dicerai karena berselingkuh
dengan Raden Sukra putra Patih Sindureja.
- Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa
menghukum mati Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu
Himpun adik Ayu Lembah.
- Rombongan Amangkurat III melarikan diri ke Ponorogo sambil membawa semua pusaka
keraton. Di kota itu ia menyiksa Adipati Martowongso hanya karena salah paham. Melihat
bupatinya disakiti, rakyat Ponorogo memberontak. Amangkurat III pun lari ke Madiun. Dari
sana ia kemudian pindah ke Kediri.
- Sepanjang tahun 1707 Amangkurat III mengalami penderitaan karena diburu pasukan
Pakubuwana I. Dari Malang ia pindah ke Blitar, kemudian ke Kediri, akhirnya memutuskan
menyerah di Surabaya tahun 1708.
- Pangeran Blitar, putra Pakubuwana I, datang ke Surabaya meminta Amangkurat III supaya
menyerahkan pusaka-pusaka keraton, namun ditolak. Amangkurat III hanya sudi
menyerahkannya langsung kepada Pakubuwana I.
- VOC kemudian memindahkan Amangkurat III ke tahanan Batavia. Dari sana ia diangkut
untuk diasingkan ke Sri Lanka.
- Meninggal di negeri itu pada tahun 1734.
- Konon, harta pusaka warisan Kesultanan Mataram ikut terbawa ke Sri Lanka. Namun
demikian, Pakubuwana I berusaha tabah dengan mengumumkan bahwa pusaka Pulau Jawa
yang sejati adalah Masjid Agung Demak dan makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak.
- Perang Suksesi Jawa I (17041708), antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I.
- Perang Suksesi Jawa II (17191723), antara Amangkurat IV melawan Pangeran Blitar dan
Pangeran Purbaya.
- Perang Suksesi Jawa III (17471757), antara Pakubuwana II yang dilanjutkan oleh
Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.

E. Peninggalan sejarah kerajaan mataram Islam :


I . Sumber- Sumber Berita:
a. Babad Tanah Djawi
b. Babad Meinsma
c. Serat Kandha
d. Serat Centini
e. Serat Cabolek
f. Serat Dharma Wirayat (yang sangat populer sebagai karya Sri Paku Alam III.)
g. Serat Nitipraja
h. Babad Sangkala
i. Babad Sankalaniang Momana
j. Sadjarah Dalem
II. Seni dan Tradisi:
a. Sastra Ghending karya Sultan Agung
b. Tahun Saka
Pada tahun 1633, Sultan Agung mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan
perhitungan matahari dengan tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan
c. Kerajinan Perak
Perak Kotagede sangat terkenal hingga ke mancanegara, kerajinan ini warisan dari orang-
orang Kalang.

d. Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi upacara
Kalang Obong ini bukan mayatnya yg dibakar melainkan pakaian dan barang-barang
peninggalannya

e. KUE KIPO
Makanan tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari kelapa, tepung,
dan gula merah.
f. Pertapaan Kembang Lampir
Kembang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar,
Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng
Pemanahan ketika mencari wahyu karaton Mataram.

III. Bangunan- Bangunan, Benda Pusaka, dan Lainnya:


a. Segara Wana dan Syuh Brata
Adalah meriam- meriam yang sangat indah yang diberikan oleh J.P. Coen (pihak Belanda) atas
perjanjiannya dengan Sultan Agung. Sekarang meriam itu diletakkan di depan keraton
Surakarta dan merupakan meriam yang paling indah di nusantara

b. Puing - puing / candi- candi Siwa dan Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang
bermuara di Laut Selatan
c. Batu Datar di Lipura yang tidak jauh di barat daya Yogyakarta
d. Baju keramat Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma
e. Masjid Agung Negara
Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.

f. Masjid Jami Pakuncen


Masjid Jami Pekuncen yang berdiri di Tegal Arum, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, merupakan
salah bangunan peninggalan Islam yang dibuat Sunan Amangkurat I sebagai salah satu tempat
penting untuk penyebaran Islam kala itu.
g. Gerbang Makam Kota Gede
Gerbang ini adalah perpaduan unsur bangunan Hindu dan Islam.

h. Masjid Makam Kota Gede


Sebagai kerajaan Islam, Mataram memiliki banyak peninggalan masjid kuno, inilah masjid di
komplek makam Kotagede yang bangunannya bercorak Jawa.
i. Bangsal Duda

j. Rumah Kalang

k. Makam Raja- Raja Mataram di Imogiri


Kisah Perjuangan Raja Sisingamangaraja 12 Yang Gugur Bersama 3 Orang Anak
Kandungnya Di Medan Perang

07/03/2009 oleh blogseputarrajasisingamangaraja12

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat
di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII
berkuasa, masih belum dijajah Belanda.

Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan
Regerings Besluit Tahun 1876 yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan
sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen
Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda.

Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan
menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja
XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi.

Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat
raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu
diambil tiga keputusan sebagai berikut :

1. Menyatakan perang terhadap Belanda


2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi,
mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si
Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas
dan semangat persatuan dengan suku-suku lainnya.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun
lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga
dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang
pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si
Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil
dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan
Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba,
untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.

Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti
masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara
lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh
setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan
penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si
Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda.

Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk


mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang
didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga.

Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.

Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta
Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut
dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan
menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi.
Inilah Makam Raja Sisingamangaraja XII (bagian tengah), di sisi kiri dan kanannya
adalah Makam dari Raja Patuan Anggi dan Raja Patuan Nagari, kedua putera Raja
Sisingamangaraja XII yang gugur bersama sang ayah di medan perang

*****

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si
Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih.

Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan
pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun
pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si
Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda.

Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan


pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan
lain-lain.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si
Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal.

Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na
Birong.
Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut
Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong
dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang.

Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja,


Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si
Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap.

Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII,
Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun
1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk
menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan.

Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih


modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si Singamangaraja XII
pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi.

Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di


daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau
selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat
untuk berjuang.

Walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan
rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda.
Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.

Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak
dan suku Aceh.

Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari.

Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari
Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama
Ransap Tinambunan dari Peabalane.

Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku
Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris.

Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha,
Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur,
Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu
Loting dan Liang Ramba di Simaninggir.

Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah.
Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat.

Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai
akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air
terjun didalam gua lebih dari 250 meter.

Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-
hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.

Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan


menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak
istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain.

Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut.

Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Setelah
melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh
serdadu Belanda.

Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi.
Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya
menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak.

Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih
baik mati daripada menyerah.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan
mengepung Raja Si Singamangaraja XII.

Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan.


Cicit Kandung Raja Sisingamangaraja XII, Ir Raja Tonggo Tua Sinambela (Putera dari
Alm Raja Patuan Sori Sinambela & Alm Maria Magdalena Boru Pasaribu)

Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-
anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap
oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si
Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda
pimpinan Kapten Christoffel.

Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan
Anggi serta putrinya Lopian.

Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik
darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.

Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya
termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah.

Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan


perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina
dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka
merupakan korban perjuangan.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban
yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri.

Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung
membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak
perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si
Singamangaraja XII sendiri.

Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan
dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung.

Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi
dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun
oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga.

Raja Sisingamangaraja XII digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat


Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.

PERANG TAPANULI DAN PERLAWANAN TERHADAP BELANDA

1.1. Latar Belakang Masalah


Sejak Belanda mencerngkramkan kekuasaannya di Nusantara, sejak saat itu pula
kehidupan masyarakat Nusantara ditentukan oleh keadaan politik yang terjadi di negeri
Belanda dan Eropa. Berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Belanda, semata-mata
semuanya adalah untuk mencari keuntungan untuk pihak Belanda sendiri, sedangkan
rakyat Indonesia yang dikuasai mengalami penderitaan yang cukup hebat karena harus
menanggung kebijakan yang menyengsarakan tersebut.
Selain melakukan kebijakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya di tanah jajahan, Belanda juga melakukan politik Pax Nederlandica dan
mendukung kegiatan kristenisasi yang dilakukan oleh para misionaris. Kedua hal
tersebut dilakukan Belanda dalam rangka melanggenkan kekuasaannya di Nusantara.
Maka beragam reaksi perlawan dilakukan oleh rakyat atas kebijakan Belanda yang
menyengsarakan tersebut dan proses kristenisasi yang dianggap sebagai sebuah hal
yang bertentangan bagi rakyat Indonesia yang pada saat itu sudah mempunyai agama.
Perlawanan tersebut biasanya dipimpin oleh para pemimpin lokal yang kebanyakan
khawatir dengan politik Pax Nedelandica yang akan merongrong daerah kekuasaannya.
Diantara banyak perlawanan yang dilakukan rakyat Indonesia beserta pemimpinnya,
salah satunya adalah perlawanan Tapanuli atau perang Tapanuli yang berlangsung
selama 29 tahun dengan tokoh terkenalnya yaitu Sisingamangaraja XII.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut rumusan masalahnya adalah
1) Siapakah Sisingamangaraja XII?
2) Faktor apa yang menyebabkan terjadinya perang Tapanuli?
3) Bagaimana jalan perang Tapanuli?
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu (1) mengetahui siapa sosok Sisingamanagaraja XII,
(2) mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perang Tapanuli, dan (3)
mengetahui jalannya perang Tapanuli.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sisingamangaraja XII


Sisingamangaraja XII adalah sosok yang tidak asing lagi di daftar Nama-Nama
Pahlawan Nasional Indonesia. Ia dinobatkan sebagai pahlawan nasional tanggal 19
November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961. Sisingamangaraja XII
memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di Bakkara, Tapanuli,
Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan Ibunya bernama Sisingamangaraja XI (Ompu
Sohahuaon) dan Boru Situmorang. Ayahnya wafat pada tahun 1876, sehingga
Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19 tahun.
Gelarnya adalah Sisingamangaraja XII. Sisingamangaraja berasal dari tiga kata, yaitu
si, singa, dan mangaraja. Si adalah kata sapaan, singa merupakan bahasa Batak
yang berarti bentuk rumah Baka, sedangkan mangaraja sama maksudnya dengan kata
maharaja. Jadi Sisingamangaraja berarti Maharaja orang Batak.
Ada dua versi tentang asal-usul Sisingamangaraja dan kerjaan Batak. versi pertama
mengatakan Sisingamanagaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh
raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling ke Sumatera
Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden
bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya
mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di
Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga
dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih
mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan
Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Sedangkan versi kedua berasal dari mitos rakyat yang diceritakan dalam berbagai versi
lagi, namun secara garis besar versi itu menyatakan Manghuntal (Sisingamanagaraja I)
adalah keturunan Bona Ni Onan bermarga Sinambela. Sebelum kelahirannya
Sisingamaraja I telah diramalkan bahwa ia adalah titisan dari Batara Guru dan akan
menjadi seorang raja besar. Setelah dewasa Manguntal akhirnya menjadi raja setelah
berhasil mencabut keris yang bernama Piso Gaja Dompak (Pisau Gajah Penangkal).
Piso Gaja Dompak dinyakini tidak akan bisa dicabut dari sarungnya oleh seseorang
yang tidak memiliki kesaktian, kecuali oleh orang yang memiliki kesaktian dan orang
yang menjadi titisan Batara Guru (orang yang memang sudah ditakdirkan menjadi
Raja).
Berikut ini adalah silsilah Raja Sisingamangaraja dari urutan 1 sampai ke 12 adalah
sebagai berikut:
1. Raja Manghuntal / Sisingamangaraja I
2. Raja Tinaruan / Sisingamangaraj II
3. Raja Itubungna / Sisingamangaraja III
4. Sori Mangaraja / Sisingamangaraja IV
5. Ampallongos / Sisingamangaraja V
6. Amangulbuk / Sisingamangaraja VI
7. Ompu Tuan Lombut / Sisingamangaraja VII
8. Ompu Sotarunggal / Sisingamangaraja VIII
9. Ompu Sohalompoan / Sisingamangaraja IX
10. Ompu Tuan Na Bolon / Sisingamangaraja X
11. Ompu Sohahuaon / Sisingamangaraja XI
12. Patuan Bosar / Sisingamangaraja XII
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan
Belanda di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon,
di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang. Sebuah
peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten
Hans Christoffel. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi,
serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.
Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22
Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan
kepada masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan
Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh Pemerintah,
Masyarakat dan keluarga.

2.2 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Perang Tapanuli


Perang Tapanuli (1878-1907) terjadi karena kebijakan Belanda di Nusantara, dan
berlaku juga di Tapanuli, membuat rakyat mengalami penderitaan yang hebat. Banyak
para petani yang kehilangan tanah dan pekerjaannya karena diberlakukannya politik
liberal yang membebaskan kepada para pengusaha Eropa untuk dapat menyewa tanah
penduduk pribumi. Dan dalam pelaksanaanya banyak penduduk pribumi yang
dipaksakan untuk menyewakan tanahnya dengan harga murah. Untuk itu
Sisingamangaraja mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Berikut beberapa alasan Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan terhadap
Belanda:
1. Pengaruh Sisingamangaraja semakin kecil.
2. Adanya Zending atau misi penyebaran agama kristen di Tapanuli dan sekitarnya
3. Belanda memperluas kekuasaannya dalam rangka Pax Netherlandica.
Sedangkan penyebab khusus perlawanan adalah kemarahan sisingamangaraja atas
penempatan pasukan Belanda di Tarutung.

2.3 Jalannya Perang Tapanuli


Sampai abad ke-18, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh
dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah
pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak,
berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi
suatu negeri semua yang terbeang atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja
XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai
kemerdekaan.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada
pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian
pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas
Sisingamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman
penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan
Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk
menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah
memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang)
pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai
dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang
dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1
Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Sisingamangaraja diserang pasukan kolonial
dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII
beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi.
Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah
setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-
Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan
perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan
seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan
oleh pasukan kolonial Belanda.
Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin hubungan dengan pasukan
Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh beragama Islam untuk meningkatkan
kemampuan tempur pasukannya. Dia berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan
Pidie di Aceh dan turut serta pula dalam latihan perang Keumala. Karena Belanda
selalu unggul dalam persenjataan, maka taktik perang perjuangan Batak dilakukan
secara tiba-tiba, hal ini mirip dengan taktik perang Gerilya.
Pada tahun 1888, pejuang-pejuang Batak melakukan penyerangan ke Kota Tua.
Mereka dibantu orang-orang Aceh yang datang dari Trumon. Perlawanan ini dapat
dihentikan oleh pasukan Belanda yang dipimpin oleh J. A. Visser, namun Belanda juga
menghadapi kesulitan melawan perjuangan di Aceh. Sehingga Belanda terpaksa
mengurangi kegiatan untuk melawan Sisingamangaraja XII karena untuk menghindari
berkurangnya pasukan Belanda yang tewas dalam peperangan.
Pada tanggal 8 Agustus 1889, pasukan Sisingamangaraja XII kembali menyerang
Belanda. Seorang prajurit Belanda tewas, dan Belanda harus mundur dari Lobu Talu.
Namun Belanda mendatangkan bala bantuan dari Padang, sehingga Lobu Talu dapat
direbut kembali. Pada tanggal 4 September 1889, Huta Paong diduduki oleh Belanda.
Pasukan Batak terpaksa ditarik mundur ke Passinguran. Pasukan Belanda terus
mengejar pasukan Batak sehingga ketika tiba di Tamba, terjadi pertarungan sengit.
Pasukan Belanda ditembaki oleh pasukan Batak, dan Belanda membalasnya terus
menerus dengan peluru dan altileri, sehingga pasukan Batak mundur ke daerah Horion.
Sisingamangaraja XII dianggap selalu mengobarkan perlawanan di seluruh Sumatra
Utara. Kemudian untuk menanggulanginya, Belanda berjanji akan menobatkan
Sisingamangaraja XII menjadi Sultan Batak. Sisingamangaraja XII tegas menolak
iming-iming tersebut, baginya lebih baik mati daripada menghianati bangsa sendiri.
Belanda semakin geram, sehingga mendatangkan regu pencari jejak dari Afrika, untuk
mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-
orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si
Gurbak Ulu Na Birong. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung.
Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda
menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi
Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang,
Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal
Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat
Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini
terjadi pada tahun 1906.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan
mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia
menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri
Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri
Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru
Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam,
putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom
Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang,
gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten
Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan
Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha
terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih
hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Gugurnya Sisingamangaraja XII merupakan pertanda jatunya tanah Batak ke tangan
Belanda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sisingamangaraja XII memiliki nama asli Pantuan Besar Ompu Pulo Batu. Ia lahir di
Bakkara, Tapanuli, Sumatra Utara, 17 Juni 1849. Ayah dan Ibunya bernama
Sisingamangaraja XI (Ompu Sohahuaon) dan Boru Situmorang. Sisingamangaraja XII
dinobatkan menjadi penerus ayahnya di usia yang baru 19 tahun setelah ayahnya wafat
pada tahun 1876.
Berikut ini adalah silsilah Raja Sisingamangaraja dari urutan 1 sampai ke 12 adalah
sebagai berikut:
1. Raja Manghuntal / Sisingamangaraja I
2. Raja Tinaruan / Sisingamangaraj II
3. Raja Itubungna / Sisingamangaraja III
4. Sori Mangaraja / Sisingamangaraja IV
5. Ampallongos / Sisingamangaraja V
6. Amangulbuk / Sisingamangaraja VI
7. Ompu Tuan Lombut / Sisingamangaraja VII
8. Ompu Sotarunggal / Sisingamangaraja VIII
9. Ompu Sohalompoan / Sisingamangaraja IX
10. Ompu Tuan Na Bolon / Sisingamangaraja X
11. Ompu Sohahuaon / Sisingamangaraja XI
12. Patuan Bosar / Sisingamangaraja XII
Berikut beberapa alasan Sisingamangaraja XII mengadakan perlawanan terhadap
Belanda:
1. Pengaruh Sisingamangaraja semakin kecil.
2. Adanya Zending atau misi penyebaran agama kristen di Tapanuli dan sekitarnya
3. Belanda memperluas kekuasaannya dalam rangka Pax Netherlandica.
Perang Tapanuli terjadi selama 29 tahun. Perang ini diawali dengan permintaan
bantuan para misionaris di Silindung dan Bahal Batu kepada pemerintah kolonial
Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Dan berakhir dengan gugurnya
Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda
di pinggir bukit Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon.

Daftar Pustaka
Ajisaka, Arya. 2010. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.

Akmad F. dan W. Elfiati. 2007. Perjuangan Sisingamangaraja XII. Jakarta: CV Utan


Kayu Sejati

Sidjabat, Bonar W. 2007. Ahu Sisingamangaraja. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang
melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang
ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama
sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.

Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang
memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat
nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-
1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Image courtesy of www.ridwanaz.com

Biodata Tuanku Imam Bonjol

1. Nama : Muhamad Shahab

2. Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia

3. Meninggal : 6 November 1864, Minahasa

4. Kebangsaan : Minangkabau

5. Agama : Islam

6. Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad
Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang
alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun
1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku
nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan
Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Baca juga: Biografi Teuku Umar Pahlawan Indonesia.

Biografi Pangeran Diponegoro. Beliau dilahirkan di Yogyakarta, 11 November 1785.


Ia meninggal pengasingannya di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Januari
1855 pada umur 69 tahun. Beliau adalah salah seorang pahlawan nasional Republik
Indonesia. Makamnya berada di Makassar. Pangeran Diponegoro adalah putra sulung
Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11
November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari
Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan


ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu:
Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih
suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu
Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai
sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah
satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3
tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat perjuangan Pahgeran Diponegoro


Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan
Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi
rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan
dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro
menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil,
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan
Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa
saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada
1830.

Penangkapan dan Masa Pengasingan


16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng
Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan
Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa


mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan
dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian
dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan
kapal Pollux pada 5 April.

Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur
Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro,
Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke
Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal


8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan
Bagelen.

Makam Pangeran Diponegoro di Makassar


Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden
Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah
saudara satu ayah lain ibu dengan
Advertisement
Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo
snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem
Keraton Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada


kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah
karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang
sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki
Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton
sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-
pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada
saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai
penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama
Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki


Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh
dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni
Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama
Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5
orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa,
Sulawesi & Maluku.

Latar Belakang Perang Diponegoro


Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang
besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di
Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di
bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang
pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah
berjatuhan korban yang tidak sedikit.

Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli
sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di
pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.

Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah
Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam
Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi
berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di
wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.

Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat
mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai


berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya
adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat,
kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat
menjadi penguasa.

Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih


Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda
dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah
rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu
sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk
mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya
untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena


dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak,
Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga
Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di
Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu,
Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis
kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak
di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran
menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat
pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia
menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri
di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5
tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam
semangat Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati; sejari kepala sejengkal
tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung
dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi
pemimpin spiritual pemberontakan. biografiku.com

Perjuangan

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan
Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang
telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang
murni.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama
di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-
sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang
tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan
yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai
akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Image courtesy of www.profil.merdeka.com

Baca juga: Biografi Bung Tomo Pahlawan Indonesia.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani
di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas
wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga
dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sudah berada di Padang waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur
Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian
Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda
dengan menyerang nagari Pandai Sikek.

Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang
semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul
kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat
Minangkabau itu sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus
Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah
bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon.

3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah
negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit.
Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian
lama dikepung.

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding.
Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di
tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.

Penghargaan

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi
akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari
pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

sejarah biografi tuanku imam bonjol

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG

Sekilas tentang biografi Imam Bonjol, dengan nama asli dari Imam bonjol ini
ialah Imam Shahab. Semasa remaja, ia biasa di panggil dengan sebutan Peto Syarif.
Imam bonjol ini mendapat gelar Malim basa setelah menuntut ilmu tentang
keagamaannya di Aceh dari tahun 1800 hingga tahun 1802. Setelah gelar yang ia dapat
tersebut ia kemudian kembali ke Minang Kabau kemudian menuntut ilmu kepada
gurunya ang bernama Tuanku nan renceh yang menjadikan ia sebagai murid
kesayangannya tersebut.
Semasa berguru pada Tuanku Nan Renceh ini ia banyak mendapatkan
pengajaran tentang ilmu perang dari gurunya tersebut. Pada tahun 1807 beliau
mendirikan benteng yang terletak di kaki bukit Tajadi yang ia beri nama Imam Bonjol.
Nah dari situlah ia di kenal dengan nama Imam Bonjol.
Dengan nama barunya ini, yaitu Tuanku Imam Bonjol ia disebut sebagai
pahlawan dari tanah Minang Kabau Sumatera Selatan. Sebelum ia dikenal sebagai
pahlawan dari perang Padri, ia merupakan seorang alim ulama yang dterpandang oleh
masyarakat sekitar. Namun semenjak ia turu ke medan perang padri tersebut kemudian
ia menjadi sosok pahlawan yang tidak bisa di lupakan oleh masyarakatnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat dan simak biografi Imam Bonjol pahlawan
dari Minang Kabau tersebut

BAB II
PEMBAHASAN

A. IMAM BONJOL

Pahlawan Nasional Dari Minangkabau - Nama tokoh yang satu ini mungkin tidak
asing lagi bagi kita semua, apalagi bagi kita yang berasal dari Sumatera Barat
(Minangkabau). Beliau merupakan salah satu dari pahlawan nasional Republik
Indonesia dari tanah Sumatra. Kita semua mengenalnya dengan nama Tuanku Imam
Bonjol. Sejatinya sosok Imam Bonjol merupakan seorang ulama. Namun karena pada
saat itu terjadi tindakan yang semena-mena dari Belanda membuat Tuanku Imam
Bonjol berontak kepada pihak Belanda hingga terjadi perang antara rakyat minang yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda. Pepeperangan ini kita kenal
dengan nama Perang Padri yang terjadi pada tahun 1803-1838.

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Nama dan gelar

Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di
Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin
dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi
kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

B. Riwayat perjuangan

Perang Padri

Tak dapat dimungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus


traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-
1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau
Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin


ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalan syariat Islam sesuai
dengan Mazhab Wahabi yang waktu itu berkembang di tanah Arab (Arab Saudi
sekarang). Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan
meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Raja Pagaruyung Sultan Muning Alamsyah
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan
Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam
Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di
Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari
ibukota kerajaan.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek


(pedalaman Minangkabau) kepada Belanda dalam perjanjian yang diteken di Padang,
sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Padri.
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah
pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan
Padri.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan


Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April
1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini Kompeni
melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang
waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
"Perjanjian Masang" pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan
Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa
seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh
Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-
pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan
kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat
Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah
(Al-Qur'an).

Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya "Adopun hukum
Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak
hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya


melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam
bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan
kepahlawanannya menentang penjajahan, serta rincian laporan G. Teitler yang berjudul
Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

Penyerangan benteng kaum Paderi di Bonjol oleh Belanda dipimpin oleh jenderal
dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa
pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius,
Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama
Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di
Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu
Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis
yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.

Penangkapan dan Pengasingan


Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol
bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga
sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut
Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya
dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Bonjol dapat dikuasai
setelah sekian lama dikepung.

Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di
tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.

Kaum Adat dan Kaum Padri Bersatu

Dalam peristiwa peristiwa yang melibatkan kaum adat dan kaum yang secara
langsung di pimpin oleh Imam Bonjol itu sendiri. kaum adat disini ialah masyarakat
Minang yang telah menyimpang dari ajaran ajaran agama Islam. Perbuatan yang
umumnya terjadi di sekitaran masyarakat kaum adat ini ialah minum-minuman keras,
berjudi, dan mejadikan hewan sebagai objek untuk perjudian seperti sabung ayam dan
sebagainya.

Sedangkan seperti yang sudah kita jelaskan di atas kaum Padri merupakan
kaum atau golongan yang mentaati ajara-ajaran agama Islam dan berusaha
memperbaiki akhlak dari kaum adat yaitu masyarakat Minang yang menyimpang
dengan ajaran agama Islam tersebut. Dengan kesadaran dari kedua belah pihak yang
telah di manfaatkan oleh pihak Belanda ini, maka timbullah perdamaiana dari kaum
adat dan kaum Padri ini untuk memperbaiki hubungan kesaudaraan yang telah pecah
selama 18 tahun berperang tersebut.

Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk mengusir
pasukan Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan Belnada pun
akhirnya berhasil di kalahkan oleh kaum Padri.

C. Tuanku Imam Bonjol, Dikenang dan Digugat


Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang
publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di
lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001. Tuanku Imam Bonjol
(1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI
Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi
di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.

Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. Tuanku


Imam Bonjol dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak
(1816-1833) yang menewaskan jutaan orang didaerah itu.

Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan,


Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab
Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah
dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget
Tuanku Rao (2007). Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan
penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara
Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober
2007).
Mitos kepahlawanan
Munculnya koreksi terhadap wacana sejarah Indonesia belakangan ini
mencuatkan kritisisme terhadap konsep pahlawan nasional. Kaum intelektual dan
akademis, khususnya sejarawan adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika
evaluasi wacana historis itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar
yang berpotensi memecah belah bangsa ini.

Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya
seyogianya tidak mengandung hawa panas. Itu sebabnya dalam tradisi akademis,
kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun,


generasi baru bangsa ini yang hidup dalam imajinasi globalisme harus menyadari,
negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos
pengukuhan itu tidak buruk. la adalah unsur penting yang diadakan sebagai perekat
bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin,
Sisingamangaraja XII, juga Tuanku Imam Bonjol, dan lainnya adalah bagian dari mitos
pengukuhan bangsa Indonesia.

Jeffrey Hadler dalam An History of Violence and Secular State in Indonesia:


Tuanku Imam Bonjol and Uses of History (akan terbit dalam Journal of Asian Studies,
2008) menunjukkan, kepahlawanan Tuanku Imam Bonjol telah dibentuk sejak awal
kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan, yaitu:

Menciptakan mitos tokoh pahlawan yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana
historis pemersatu bangsa Mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya
menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya
Merangkul kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma
negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan
Tuanku Imam Bonjol dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini
dikenal sebagai pahlawan nasional.

Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan
beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan
menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan
Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi
keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat
saingan akibat kedatangan bangsa Eropa. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan
nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.

D. Bukan manusia sempurna

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus


traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-
1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau, Mandailing
(catatan: Mandailing adalah salah satu suku Minangkabau) dan Batak pada umumnya.

Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan


Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April
1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam
perang itu karena diundang kaum Adat.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman


Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai
kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut
mengundang sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin
Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti
disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol transliterasinya oleh
Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), se-buah sumber pribumi yang penting tentang
Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini - mencatat, bagaimana
kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.

Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di


ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau sendiri.

Dalam Memorie Tuanku Imam Bonjol, terefleksi rasa penyesalan Tuanku Imam
Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku
Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. Adapun
hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?
(Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran
kita?), tulis Tuanku Imam Bonjol dalam MemoireTuanku Imam Bonjol (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya


melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam
bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde
Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een
bronnenpublicatie [AkhirPerang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-
1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183 - mungkin dapat dijadikan
pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat
Tuanku Imam Bonjol.
Pada hari-hari terakhirnya di Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol diusung di atas
tandu oleh rakyat dalam perjalanan dari Bukittinggi ke Padang menuju tanah
pembuangan (Memoire Tuanku Imam Bonjol, hal 176-178). Meski sudah dalam
tawanan Belanda, keyakinan agama Tuanku Imam Bonjol tak goyah: Jikalau tidak
boleh berhenti sembahyang, apa gunanya hidup, lebih baik mati, katanya kepada
tentara Belanda saat tandu sampai di Kayu Tanam (Memoire Tuanku Imam Bonjol hal
176).

Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah Tuanku Imam Bonjol akan
tetap ditempatkan atau diturunkan dari tandu kepahlawanan nasional yang telah
diarak oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif,
Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah
seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam
(pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol

Perang Padri ini muncul dengan adanya gerakan Kaum Padri atau bisa di sebut
pula dengan Kaum Ulama yang menentang tentang perbuatan-perbuatan yang marak
terjadi di kalangan masyarakat pada saat itu yang sangat tidak mencerminkan
masyarakat yang beragama di dalam kawasan kerajaan Paguyuban yang merupakan
tempat Tuanku Imam Bonjol berasal. pihak kerajaan yang termasuk di dalamnya kaum
adat meminta bantuan kepada Belanda untuk mengirimkan pasukan militer untuk
membantu dalam peperangan antar saudara ini. Namun dengan bantuan yang di kirim
Belanda ini, kaum adat dan kerajaan pun harus menelan kenyataan bahwa imbas dari
bantuan yang di kirim Belanda tersebut adalah dengan menguasai sebagian wilayah
dari kaum adat tersebut.

Dengan kekuatan dan trik-trik yang di lancarkan oleh Kaum Padri yang di pimpin
oleh Imam Bonjol ini, maka pihak Belanda yang di pimpin oleh Kapten Goffinet dan
Kapten Dienema pun mengalami kekalahan. Selanjutnya pihak Belanda pun
menawarkan suatu perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian Masang pada tahun 1824
yang di langgar sendiri oleh pihak Belanda tersebut.

Akhirnya Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk
mengusir pasukan Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan
Belnada pun akhirnya berhasil di kalahkan oleh kaum Padri.

Daftar Pustaka
Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai
Pustaka.
Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), Wajah dan
sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat
Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Aboe Nain, , (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang:
PPIM.
Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya,
Lentera, 1996
Hhtp://www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku (diakses pada 20
Desember 2013)
http://www.minahasa.net/en/history-imambonjol.html ( diakses 20 Desember
2013)

1.Ribuan Generasi Muda Dengar pidato panglima TNI


Jenderal Gatot Nurmantyo Soal NKRI
April 5, 2017

Ribuan generasiMuda Mendengarkan Pidato


panglima TNI. (Foto.sar)

PEKANBARU (HPC)-Ribuan Generasi Muda di Riau, mulai dari Siswa/i SMP, SMA
sederajat bahkan sampai Mahasiswa/i yang ada di Beberapa Perguruan Tinggi baik
Negri maupun Swasta yang ada di Riau, ditambahkan lagi dengan para undangan
pejabat tinggi diriau juga turut hadir dalam mengikuti perkulihan umum yang di gelar di
Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif
kasim Riau di isi langsung oleh panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

Dalam pantauan haluanpos.com di Gedung PKM UIN Suska Riau ada Ribuan peserta
yang banyak dari kalangan Generasi muda ini, sangat antusias ketika mendengar
pidato yang disampaikan oleh panglima TNI, dalam pidatonya panglima TNI Gatot
Nurmantyo mengangkat judul Memahami Ancaman Menyadari Jati Diri Modal
Mewujudkan Indonesia Menjadi Bangsa Pemenang.

Dalam kuliah umum Jenderal Gatot Nurmantyo, juga dihadiri KSAD Jenderal Mulyono.
Pangdam Mayjen Cucu Soemantri. Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman. Danrem
031 Wirabima Brigjen Abdul Karim. Rektor UIN Suska Riau Munzir Hitami dan
Koordinator Presidium KAHMI Yulisman.
Sosial media itu sangat berperan dalam mengambil keputusan, ini berdampak dalam
gaya hidup orang berdampak secara drastis. Kita bisa melihat dengan sosial media ini
disebuah keluarga semuanya main HP, mulai dari ayah, ibu kakak bahkan adiknya pun
asik amain HP, Karena kita tidak bisa lepas dengan main HP bahkan ada yang sampai
18 jam. Kata panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam Paparannya.

Ribuan Siswa/i mendengarkan Kuliah Umum


panglima TNI Gatot Nurmantyo. (foto.sar)

Lebihlanjut di paparkan oleh panglima TNI, itu dikota-kota besar indonesia ini
dipengaruhi oleh fashion, dirinya juga berharap agar generasi Muda Insonesia
Khususnya dapat mewaspadai dengan adanya pengaruh-pengaruh dari Fashion ini.

yang ketiga ini fashion/ pakain banyak di kota-kota besar ketika di Mall sudah banyak
berubah pakain-pakain nya, bahkan pernah terjadi perpisahan dengan tunangannya
karena si wanita melakukan pesta bikini. Tambah Gatot.

Dengan tegasnya panglima TNI Gatot Nurmantyo menampaikan kepada generasi


muda, yang merupakan tumpuan utama Indonesia selanjutnya. Generasi muda harus
memahami ancaman dan menyadari jati diri sebagai modal mewujudkan Indonesia
menjadi bangsa pemenang, dan bisa menepis berbagai potensi ancaman pihak asing.
Dirinya juga memberi pertanyaan kepada siswa dan mahasiswa yang ada tentang cita-
citanya kedepan.

saya mau bilang adik-adik semuanya kedepan mau jadi apa cita-citanya ? . tanya
panglima. Panglima menambahkan kalau cita-cita hanya jadi pilot, dokter, pekerja kapal
atau apa, ya nggak usah sekolah. Tanamkan dalam diri kita cita-cita yang tinggi, oleh
akrena itu mulai sekarang kita harus merubah cita-cita kita saya bukan ingin jadi dokter
namun pemilik rumah sakit, saya mau memiliki pabrik pesawat, bukan pilot, kata
panglima Memberi Motivasi kepada Ribuan Generasi Muda Riau.

Orang Nomer satu di TNI Indoensia itu, juga memberikan trik untuk dapat mewujudkan
cita-cita yang di inginkan yakni melalui doa, yakin dan optimis serta harus belajar lebih
giat lagi kalau ingin cita-citanya terwujud.
ya bagaimana kita dapat mewujudkan cita-cita kita yakni dengan berdoa, lalu kita yakin
dan optimis agar mimpi kita menjadi kenyataan. Ketiga fokus, selanjutnya perbanyak
network, jadikan semua orang teman kita karena network penting, dan jangan lupa
belajar terus-menerus.tegas Gatot Memberi semangat.

Salah sorang peserta ketika ditanya terkait kuliah umum yang di isi langsung oleh
panglima TNI ini, menyampaikan rasa bahagia pasalnya materi-materi yang
disampaikan oleh Panglima sangat memberi motivasi untuk generasi muda saaat ini.

kami sangat bahagia dapat menghadiri kuliah umum ini, pasalnya dengan
mendengarkan paparan materi dari bapak panglima TNI Gatot Nurmantyo tadi memebri
semangat kepada kami, terutama diri saya untuk menjadi generasi yang lebih baik
kedepannya. Dengan cara berhati-hati dalam berpakain serta menjauhkan hal-hal yang
buruk seperti narkoba, serta saya juga harus mempuyai mimpi dan cita-cita dengan trik
yang di berkan oleh bapak panglima. Ujar siswi dari salah satu sekolah di pekanbaru
ini. (sar)

2. Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,


Yang terhormat,

Ketua-ketua umum ormas Islam

Tokoh tokoh lintas agama

Para pejabat pemerintah daerah dan para pejabat TNI Polri.

Para Ulama-Santri segenap para alim ulama para Kiai, hadirin undangan yang
bebahagia.

Tidak ada yang pantas kita ucapkan selain puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT
Karena hanya atas kuasa dan ridhonya kita dapat hadir dalam acara Peringatan 70
Tahun Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama di Tugu Proklamasi yang memiliki nilai stratagis.

Dalam kesempatan ini perlu saya jelaskan, mengapa begitu saya diundang saya hadir
di sini. Saya datang tidak sendirian, saya datang dengan dengan pasukan-pasukan
khusus. Ada Kopasus, ada Marinir, ada Paskas, ada Kostrad, ada Armed.

Ini untuk mengingatkan generasi muda, bahwa perjuangan bangsa sejak proklamasi
kemerdekaan tidak dilakukan oleh TNI, tetapi yang merebut kemerdekaan adalah
seluruh komponen bangsa, termasuk para ulama. Setelah merdeka baru TNI lahir. Jadi
yang memerdekaan bangsa Indonesai bukan TNI, tetapi bapak-ibu kandung TNI,
sehingga TNI adalah anak kandung raya.
Karena sejarah mencatat rangkaian peristiwa ini, bersentuhan langsung dengan
kedaulatan Republik Indonesia, Terdapat 4 peristiwa penting yang saling
mempengaruhi dan saling menguatkan yaitu: peristiwa tanggal 17 Agustus sebagai hari
kemerdekaan Republik Indonesia. 5 Oktober hari pembentukan TKR sekarang TNI. 22
Oktober sebagai hari dicetuskannya Resolusi Jihad NU. Dan 10 November pecahnya
perang di Surabaya yang kita kenal sebagai hari pahlawan hanya dalam hitungan
empat bulan.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi yang tinggi
terhadap semangat dan motivasi yang ditunjukkan para santri sebagai generasi muda
bangsa yang terus memelihara dan meneguhkan komitmennya terhadap perjuangan
para pahlawan serta kecintaan pada tanah air, salah satunya diwujudkan pada gerak
jalan memperingati Resolusi Jihad yang menempuh jarak ratusan kilometer diawali dari
tugu pahlawan di Surabaya dan sampai di tugu proklamasi di Jakarta.

Hadirin undangan, peserta gerak jalan yang berbahagia.

Setelah tujuh puluh tahun berlalu, hikmah dan pelajaran yang diperoleh dari peristiwa
Resolusi Jihad antara lain: bahwa perjuangan melawan penjajah saat itu, terkait erat
dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Ra'is akbar NU KH. Hasyim Asyari
pada tanggal 22 Oktober 1945.

Bangsa penjajah tidak rela negeri ini merdeka sehingga berusaha untuk menguasai
kembali tanah air kita. NICA membonceng sekutu untuk menguasai tanah air Indonesia,
namun hal itu diketahui oleh para pejuang kemerdekaan dan ditindaklanjuti dengan
merapatkan barisan untuk menolak kedatangan kolonialis.Untuk itu para santri
berkumpul di seluruh wilayah, Jawa, Madura, seluruh Jawa mereka mengatur langkah
strategi perjuangan sebagai kewajiban mempertahankan tanah air dan bangsanya.

Peran KH Hasyim Asyari

Dan pada tanggal 17 September 1945, Presiden Soekarno, memohon fatwa hukum
mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam kepada KH. Hasyim Asyari, sehingga
KH. Hasyim Asyari mengeluarkan sebuah fatwa jihad yang berisikan jihad bahwa
perjuangan membela tanah air adalah merupakan jihad fi sabilillah.

Dan selanjutnya menilai situasi di sekitar Surabaya Jawa Timur, atas pemikiran Mayor
Jenderal TKR pada waktu itu, Mustopo, sebagai komandan sektor perlawaan Surabaya,
bersama Sungkono, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH. Hasyim
Asyari untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu dan
NICA yang dipimpin oleh Brigjend Mallaby untuk menunjukkan eksistensi adanya
perlawanan dan kedaulatan Republik Indonesia.

Mengapa demikian, karena pada saat memproklamasikan kemerdekaan Republik


Indonesia 17 Agustus 1945, banyak bangsa-bangsa dunia dan PBB belum yakin
apakah perjuangan kemerdekaan bangsa ini diberi hadiah oleh penjajah ataukah
perlawanan rakyat. Untuk itu makna perjuangan 10 November mempunyai makna yang
luar biasa, bahwa bangsa Indonesia bukan diberi tapi melawan mengusir penjajah.

Maka lahirlah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yaitu berperang menolak dan melawan
penjajah itu fardhu ain yang dikerjakan oleh setiap orang Islam laki-laki, perempuan,
anak-anak bersenjata atau tidak.Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari
tenpat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak
lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah yang cukup kalau dikerjakan
sebagian saja untuk membantu perjuangan di wilayahnya.

Tanpa Resolusi Jihad, maka tidak ada perlawanan heroik. Jika tidak ada perlawanan
heroik maka tidak ada hari pahlawan 10 November. Dan bisa mungkin mustahil bangsa
Indonesia ada seperti saat ini.

Saya ingin pula menceritakan bahwa sebenarnya, perlawanan secara heroik bukan
dilaksanakan tanggal 10, tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu KH. Hasyim Asyari
menyampaikan,Kita tunda, kita menunggu singa Jawa Barat, yaitu Kiai Abbas bin
Abdul Jamil. Beliau adalah cicit dari MBah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet
Cirebon.

Dan KH. Hasyim Asyari memerintahkan setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang,
memerintahkan bahwa komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin
langsung penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.

Pengaruh yang kuat membuat keputusan KH. Hasyim Asyari tersebut mengundurkan
waktu sangat tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita
kenal hari ini menjadi hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik
dari peristiwa tersebut, bahwa perjuangan dan kepentingan mempertahankan
kedaulatan negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun
mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

Tiga Jimat Jendral Sudirman

Dalam kesempatan ini pula saya ingin mengingatkan, dan menggarisbawahi bahwa
perjuangan kemerdekaan Resolusi Jihad, hari pahlawan, dan TNI memiliki hubungan
historis yang erat dan menentukan. Kita tahu bahwa panglima TNI yang abadi, yang
pertama, yaitu Jendral Sudirman, adalah seorang guru agama, seorang santri.

Saya sedikit menceritakan bagaimana perjuangan Jenderal Sudirman. Bahwa pada


saat Jendral Sudirman belasan orang melakukan gerilya, ada satu orang penghianat.
Maka pada saat Jendral Sudirman di rumah penduduk, karena penghianat ini
melaporkan kepada Belanda, dikepung.

Tim pengamanan paling depan melaporkan, Pak Dhe kita sudah dikepung.
Tenang, semuanya ganti pakaian, dan berdzikir bersama-sama saya. (Mereka)
melakukan tahlil Lailahaillah, Lailahaillah, Lailahaillah.

Belanda masuk, ditunjukkan anak buahnya Pak Dirman (yang pengkhianat itu), Ini
yang namanya Sudirman, yang Tuan cari-cari selama ini.

Dilihat-lihat (oleh pihak Belanda),Saya tidak percaya ini Sudirman.

Pak Saya anak buahnya, saya bersama-sama bergerilya.

Dilihat-lihat lagi, tapi tetap tidak percaya.

Belanda itu mencabut pistol. Kamu pembohong! Dan penghianat itu ditembak di
depan Pak Dirman.

Makna ini mengingatkan, jangan sekali-kali kita menjadi penghianat bangsa. Baru di
dunia saja sudah dihukum oleh Allah apalagi di akhirat nanti.

Kemudian, peristiwa demi peristiwa Pak Dirman dikawal oleh Pak Tjokropranolo, dan
Pak Suparjo Rustam. Beliau berdua Pak Tjokropranolo dan Pak Rustam, karena saking
penasarannya bertanya. Pak Dirman kadang-kadang dipanggil Pak Dhe kadang-
kadang dipanggil Pak Yai.

Pak Yai, saya pingin tahu, jimatnya Pak Yai itu apa? Kita dikepung, Pak Yai tenang
saja. Malah penghianat yang ditembak. Kita ditembaki, Pak Yai tenang-tenang saja.

Beliau menjawab, Kamu ingin tahu? Saya punya tiga jimat. Jimat yang pertama, saya
tidak pernah lepas dari bersuci. Jadi kalau batal wudhu kamu kan bawa kendi saya,
saya selalu berwudlu. Itu jimat yang pertama.

Jimat yang kedua saya tidak pernah shalat tidak tepat waktu. Selalu bersih, waktunya
shalat saya pasti salat, kamu tahu kan? Dan yang ketiga, jimat saya yang ketiga adalah
semua yang saya lakukan dengan tulus dan ikhlas untuk rakyat dan bangsa Indonesia.

Wassalamuaalaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Pidato tersebut di hadapan ribuan personel TNI, Polri, alim ulama, tokoh masyarakat,
sesepuh pondok pesantren, masyarakat, dan anak yatim piatu, bertempat di Lapangan
Brigif Raider 13 Galuh, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Rabu (21/6/2017), lalu.

Jenderal Gatot mengenakan seragam dinas dan mengenakan peci yang basah kuyup.

Foto yang diunggah Pusat Penerangan TNI lewat Twitter @Puspen_TNI diberi tulisan:
"Hujan yg mengguyur tdk pernah menyurutkan semangat Panglima TNI utk menjaga
keutuhan NKRI."

Sebagian besar netizen menyatakan kebanggaannya kepada Gatot. Sebagian


mendoakan agar dia menjadi pemimpin negeri ini.

"Jika Allah mengizinkan beliau jadi pemimpin (Presiden/Wapres) negeri ini, semua
mungkin. Semoga baik utk negeri ini," tulis warganet.

Warganet yang lain mengaku terharu melihat foto-foto Gatot itu.

"Mentes air mata ini min, salam hormat untuk beliau, salim," tulis netizen.

Ketika itu, Gatot pidato untuk mengingatkan kembali tentang perjuangan kemerdekaan
dijiwai nilai-nilai religius pemuka agama.

Gatot mengatakan pada dasarnya para pejuang berlatar belakang agama yang kuat.
Jenderal Besar Sudirman Panglima TNI pertama, katanya, juga seorang guru agama
yang taat beribadah. Anak buahnya sering memanggilan dengan sebutan kyai.

"Yang memperjuangkan bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang merdeka adalah
rakyat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, agama dan ras yang berjuang
mengorbankan harta benda, pertumpahan darah bahkan nyawa," ujar Gatot.

Gatot mengatakan bahwa pada perjuangan kemerdekaan tempo dulu, dimana para
ulama dan santri ikut serta dalam setiap pertempuran melawan penjajah sampai
akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa direbut.

"Setelah itu, ulama dan para santri kembali ke pesantrennya dan sebagian lagi tetap
berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan membentuk Badan Keamanan
Rakyat. Itulah cikal bakal TNI," tuturnya.

Pada kesempatan tersebut, Gatot megungkapkan peranan tokoh agama dalam


peristiwa Pertempuran Surabaya 10 November 1945, dimana TNI baru berumur satu
bulan dan belum mempunyai senjata modern untuk menghadapi tentara Sekutu. K. H.
Hasyim Ashari mengeluarkan Fatwa Jihad Fisabilillah agar para umat Islam khususnya
para santri yang dipimpin oleh seorang ulama bernama Kyai Abbas kembali turun
gunung berjuang melawan tentara sekutu.
[ads-post]
"Ini yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat bahwa yang memimpin perlawanan
terhadap Sekutu pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya adalah Kyai Abbas dari
Pesantren Buntet," katanya.

Gatot kembali memberikan apresiasi kepada tokoh-tokoh agama yang merumuskan


Pembukaan UUD 1945. Para ulama dengan mengedepankan rasa kebangsaan,
persatuan dan kesatuan serta ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sepakat untuk sila pertama
Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa"
"Jadi, Pancasila itu merupakan bentuk kompromis umat beragama khususnya umat
Islam saat mendirikan NKRI dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika," katanya.

Panglima selalu mengingatkan kepada prajurit TNI dimanapun bertugas, harus selalu
menjaga hubungan baik dengan para ulama dan pemuka agama lainnya untuk
mengamankan bangsa ini. "Kalau TNI mau sukses dalam menjalankan tugas pokoknya
maka harus selalu dekat dengan pemuka-pemuka agama. Itu kuncinya," ujar Gatot.

Panglima TNI juga memuji kemampuan syiar para ulama Indonesia dalam
menyebarkan agama Islam di luar negeri. Hal ini juga diakui oleh pimpinan Afrika
Selatan yang mengatakan bahwa, sangat beruntung penyebaran agama Islam di Afrika
Selatan disebarkan oleh ulama-ulama dari Indonesia, sehingga walaupun di Afrika
Selatan banyak agama non muslim, tetapi disanalah penyebaran Islam dapat berjalan
aman.

BACA - Teguran Keras Jenderal Gatot Buat Ulama Pengkafir Kafirkan

Lebih lanjut Gatot menyampaikan bahwa sampai saat ini dunia mengakui selama bulan
suci Ramadhan, selain di Mekah dan Madinah, Indonesia adalah tempat yang paling
aman untuk beribadah. "Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia
menjadi rujukan dan contoh tauladan untuk Islam yang Rahmatan Lil Alamin," kata dia.

[error title="SUMBER BERITA" icon="exclamation-triangle"]Anda Meragukan


Informasi Yang Ada Dalam Tulisan Diatas ?? Atau Anda Melihat Ada Masalah Soal
Postingan Diatas, Silahkan Cek Sumber Berita - Atau Anda Dapat Menghubungi
Kami Di Halaman Contact - Mari Sama Sama Saling Cross Check
Sumber Berita : SUARA

Anda mungkin juga menyukai