Dokter Sutomo
Dokter Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli
1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya, atas
saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modem
pertama di Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai
Hari Kebangkitan Nasional. Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia,
dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische
Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh,
Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.
Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan
jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa
yang terhormat.Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU
diadakan di Yogyakarta 5 Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati
Karanganyar) sebagai ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua;
Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis;
Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala
Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo
(dokter di Demak) sebagai komisaris.
Sutomo setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan
akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda
daerah Magetan.
Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain,
ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat
membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya
pasien dibebaskan dari pembayaran.
ak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar Budi Utomo
bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.
Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang
merupakan wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah
tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama
menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang
pesat.
Sutomo atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo atau Pak Tom,beliau lahir
pada 30 Juli 1888 di Desa Ngepah,Kabupaten Nganjuk,Jawa Timur.Ia terlahir dengan
nama Soebroto.Soebroto adalah anak dari Raden Suwaji seorang bangsawan yang
menjabat sebagai wedana atau camat di Maospati,Madiun.
Sejak kecil Soebroto telah diasuh oleh kakek dan neneknya.Kakeknya yang
bernama Raden Ngabehi Singowijoyo sangat sayang kepadanya begitu pula dengan
neneknya.Meskipun begitu,Soebroto tidak terlalu memanjakan dirinya kepada kakek
dan neneknya.Saat usia kecil Soebroto memiliki sifat yang baik dan sopan kepada
masyarakat terutama kepada orang tuanya.Pada usia yang menginjak masa anak-anak
Soebroto dititipkan kepada pamannya yang bernama Arjodipuro di Bangil.Ditempat ini
Soebroto didaftarkan sekolah oleh pamannya di sekolah dasar Belanda,yaitu
Europeesche Lagere School (ELS).Namun pada saat itu Soebroto tidak diterima di
sekolah.Pada keesokan harinya pamannya kembali membawa Soebroto untuk
menemui kepala sekolah untuk menyampaikan keinginannya yaitu untuk memasukkan
keponakannya tersebut namun dengan nama Sutomo.Dengan nama tersebut Soebroto
berhasil diterima di Europeesche Lagere School (ELS).Sejak saat itu
pula(1896),Soebroto berganti nama menjadi Sutomo yang sekarang dikenal sebagai
pahlawan nasional.Sutomo dan orang tuanya pun tidak keberatan dengan nama
itu.Disekolah,Sutomo termasuk siswa yang pandai sehingga disegani oleh temannya
baik anak Indonesia maupun anak-anak Belanda.Bahkan guru-guru Belanda juga
sayang kepadanya.Selain pintar di pelajaran akademik,beliau juga gemar berolahraga.
Agama : Islam
Kehidupan
Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir
dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang
uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati.
Datuk Makhudum Sati datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh
diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien
merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
Lampagar.
Pada masa kecil Cut Nyak Dhien, Ia memperoleh pendidikan agama (yang dididik oleh
orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan
yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak
laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12
tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim
Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Namun pada tahun 1878 Teuku Ibrahim
Lamnga suami dari Cut Nyak Dhien tewas karena telah gugur dalam perang melawan
Belanda di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878.
Meninggalnya Ibrahim Lamnga membuat duka yang mendalam bagi Cut Nyak Dhien.
Tidak lama setelah kematian Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dipersunting oleh Teuku
Umar pada tahun 1880.
Teuku Umar adalah salah satu tokoh yang melawan Belanda. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan
perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880. Mereka
dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya
dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
2.2. Perang Aceh
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun
1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya
dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar
dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri"
kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau
membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar
Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan
kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya.
Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun,
Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk
mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin
orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut
cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim
bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini
disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku umar dan Chut Nyak Dhien terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan
mengganti jendral yang bertugas. Unit "Marchausse" lalu dikirim ke Aceh. Mereka
dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan
pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan
semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati
kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini
juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut
melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada
penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak Teuku Umar sebagai
informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak
peluru.
Setelah kematian Teuku Umar, Cut Nyak Dien memimpin pasukan perlawanan
melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan
mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya
pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah
Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua.
Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit
disana, sementara itu Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan
perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak
Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang
sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun
1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui
monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam
yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember
1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton
dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri
makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H.
Sanusi.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah
At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Informasi diatas saya dapatkan dari artikel di wikipedia dan juga dengan beberapa situs
yang membahas informasi yang sama. Itulah sedikit ulasan mengenai biografi cut nyak
dhien yang dapat saya sampaikan terima kasih.
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848, seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Cut
Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang
uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari
Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika
kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari
Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri
uleebalang Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan
rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari
yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien
dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orang tuanya
pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga
XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang
dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda
yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Khler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit.
Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah
pimpinan Khler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan
membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah
mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi
budak Belanda?"
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878.
Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak
Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur
dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan
Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat
perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien
dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun
1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya
dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar
dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri"
kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau
membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar
Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan
kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia
datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha
menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus
berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda,
sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia
kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar
melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin
menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini
disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang
mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-
besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan
kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.
Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar
keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan
mengganti jendral yang bertugas.
Unit "Marchausse" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit
ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan
orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari
hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden
membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral
selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa
mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan
sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada
tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut
Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh
ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang
sudah syahid
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini
terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda
sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah
semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga
jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini
membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di
Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang
terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki
penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh
Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan
yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak
Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik
perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian
mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas
tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut
Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu
Perbu". Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya
yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden
Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun
1964 pada tanggal 2 Mei 1964
Referensi :
- http://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien
Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783
meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), memiliki nama
asli Ahmad Lussy [1], di sejarah versi pemerintah ia dikenal dengan nama Thomas
Matulessy atau Thomas Matulessia, adalah seorang bangsawan dan ulama yang kelak
kemudian dikenal sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Kata-Kata
Ketika Ahmad Lussy "Pattimura" akan dihukum gantung oleh Belanda, ada sebuah
kata-kata yang ia ungkapkan kemudian tercatat dalam sejarah. Nunu oli
Nunu seli
Nunu karipatu
Patue karinunu
(Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap
beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula)
saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu
besar akan terguling tapi batu lain akan menggantinya).
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Kapitan Ahmad Lussy atau
dikenal dengan sebutan Pattimura, pahlawan dari Maluku. Saat itu, 16 Desember 1817,
tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa
Ahmad Lussy seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Ahmad Lussy
juga tampak optimis.
Diposting oleh Azzahra Nufaisa di 20.26
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
3.2. SEJARAH PATTIMURA
Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria,
Saparua, Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun
1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah
sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau
akhirnya tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung
padanya. Eksekusi yang dilakukan pada tanggal 16 Desember 1817 akhirnya
merenggut jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau
kompromi dengan Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau
bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk melepaskannya dari hukuman gantung
tidak pernah menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra
Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan
disesali rahim ibu yang melahirkannya.
Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun
1798, wilayah Maluku yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh
pasukan Inggris. Ketika pemerintahan Inggris berlangsung, Thomas Matulessy sempat
masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816,
Belanda kembali lagi berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat
Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai bentuk tekanan sering terjadi,
seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak
tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk
mengadakan perlawanan untuk membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di
Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya diseluruh Maluku.
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk
itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu
pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan
Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada
dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga
dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut
berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan
begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan
mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih
modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali
dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu
ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun
dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau
berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum
eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura
menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan
benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.
Ilustrasi
[tie_slideshow]
[tie_slide]
[/tie_slide]
[tie_slide]
[/tie_slide]
[tie_slide]
[/tie_slide]
[tie_slide]
Asal mula berdirinya Kerajaan Majapahit yakni adanya serangan dari Jayakatwang
(Adipati Kediri) yang berhasil membunuh Kertanegara (penguasa Kerajaan Singasari
terakhir) akibat menolak pembayaran upeti. Kemudian Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) berhasil melarikan diri ke Madura untuk meminta perlindungan kepada
Aryawiraraja. Raden Wijaya diberikan hutan Tarik oleh Aryawiraraja sebagai daerah
kekuasaanya kemudian dijadikan desa baru yang diberi nama Majapahit.
Majapahit endiri berasal dari kata buah maja dan rasa pahit. Kemudian terdapat
pasukan Mongolia pimpinan Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing tiba di Jawa dengan
tujuan menghukum Kertanegara akibat Kertanegara menolak membayar upeti kepada
penguasa Mongolia. Situasi ini dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk bekerjasama
dengan tentara Mongolia menyerang Jayakatwang. Kemudian pihak Mongolia menang
atas terbunuhnya Jayakatwang. Ketika tentara
Raja-raja Majapahit
5. Wikramawardhana (1389-1429)
6. Suhita
7. Kertawijaya
8. Rajasa Wardhana
9. Purwawisesa
10. Brawijaya V
Sekian uraian tentang Sejarah Kerajaan Majapahit dari awal berdirinya hingga
keruntuhannya, semoga bermanfaat.
Dalam sejarah Islam,Kesultanan mataram memiliki peran yang cukup penting dalam
perjalanan secara kerajaan-kerajaan islam di Nusantara (Indonesia). Hal ini terlihat dari
semangat raja-raja untuk memperluas daerah kekuasaan dan mengislamkan para penduduk
daerah kekuasaannya, keterlibatan para pemuka agama, hingga pengembangan kebudayaan
yang bercorak islam di Jawa.
Pada awalnya daerah mataram dikuasai kesultanan pajang sebagai balas jasa atas perjuangan
dalam mengalahkan Arya Penangsang. Sultan Hadiwijaya menghadiahkan daerah mataram
kepada Ki Ageng Pemanahan. Selanjutnya, oleh ki Ageng Pemanahan Mataram dibangun
sebagai tempat permukiman baru dan persawahan.
Akan tetapi, kehadirannya di daerah ini dan usaha pembangunannya mendapat berbagai jenis
tanggapan dari para penguasa setempat. Misalnya, Ki Ageng Giring yang berasal dari wangsa
Kajoran secara terang-terangan menentang kehadirannya. Begitu pula ki Ageng tembayat dan
Ki Ageng Mangir. Namun masih ada yang menerima kehadirannya, misalnya ki Ageng
Karanglo. Meskipun demikian, tanggapan dan sambutan yang beraneka itu tidak mengubah
pendirian Ki Ageng Pemanahan untuk melanjutkan pembangunan daerah itu. ia membangun
pusat kekuatan di plered dan menyiapkan strategi untuk menundukkan para penguasa yang
menentang kehadirannya.
Pada tahun 1575, Pemahanan meninggal dunia. Ia digantikan oleh putranya, Danang
Sutawijaya atau Pangeran Ngabehi Loring Pasar. Di samping bertekad melanjutkan mimpi
ayahandanya, ia pun bercita-cita membebaskan diri dari kekuasaan pajang. Sehingga,
hubungan antara mataram dengan pajang pun memburuk.Hubungan yang tegang antara
sutawijaya dan kesultanan Pajang akhirnya menimbulkan peperangan. Dalam peperangan ini,
kesultanan pajang mengalami kekalahan. Setelah penguasa pajak yakni hadiwijaya meninggal
dunia (1587), Sutawijaya mengangkat dirinya menjadi raja Mataram dengan gelar
penembahan Senopati Ing Alaga. Ia mulai membangun kerajaannya dan memindahkan
senopati pusat pemerintahan ke Kotagede. Untuk memperluas daerah kekuasaanya,
penembahan senopati melancarkan serangan-serangan ke daerah sekitar. Misalnya dengan
menaklukkan Ki Ageng Mangir dan Ki Ageng Giring.
daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam
Pada tahun 1590, penembahan senopati atau biasa disebut dengan senopati menguasai
madiun, yang waktu itu bersekutu dengan surabaya. Pada tahun 1591 ia mengalahkan kediri
dan jipang, lalu melanjutkannya dengan penaklukkan Pasuruan dan Tuban pada tahun 1598-
1599.
B. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan yang dianut Kerajaan mataram islam adalah sistem Dewa-Raja. Artinya
pusat kekuasaan tertinggi dan mutlak adaa pada diri sultan. Seorang sultan atau raja sering
digambarkan memiliki sifat keramat, yang kebijaksanaannya terpacar dari kejernihan air
muka dan kewibawannya yang tiada tara. Raja menampakkan diri pada rakyat sekali
seminggu di alun-alun istana.
Selain sultan, pejabat penting lainnya adalah kaum priayi yang merupakan penghubung
antara raja dan rakyat. Selain itu ada pula panglima perang yang bergelar Kusumadayu, serta
perwira rendahan atau Yudanegara. Pejabat lainnya adalah Sasranegara, pejabat administrasi.
Dengan sistem pemerintahan seperti itu, Panembahan senopati terus-menerus memperkuat
pengaruh mataram dalam berbagai bidang sampai ia meninggal pada tahun 1601. ia
digantikan oleh putranya, Mas Jolang atau Penembahan Sedaing Krapyak (1601 1613). Peran
mas Jolang tidak banyak yang menarik untuk dicatat. Setelah mas jolang meninggal, ia
digantikan oleh Mas Rangsang (1613 1645). Pada masa pemerintahannyalah Mataram
mearik kejayaan. Baik dalam bidang perluasan daerah kekuasaan, maupun agama dan
kebudayaan.
Pangeran Jatmiko atau Mas Rangsang Menjadi raja mataram ketiga. Ia mendapat nama gelar
Agung Hanyakrakusuma selama masa kekuasaan, Agung Hanyakrakusuma berhasil membawa
Mataram ke puncak kejayaan dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Gelar sultan yang
disandang oleh Sultan Agung menunjukkan bahwa ia mempunyai kelebihan dari raja-raja
sebelumnya, yaitu panembahan Senopati dan Panembahan Seda Ing Krapyak. Ia dinobatkan
sebagai raja pada tahun 1613 pada umur sekitar 20 tahun, dengan gelar Panembahan. Pada
tahun 1624, gelar Panembahan diganti menjadi Susuhunan atau Sunan. Pada tahun
1641, Agung Hanyakrakusuma menerima pengakuan dari Mekah sebagai sultan, kemudian
mengambil gelar selengkapnya Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Alaga
Ngabdurrahman.
Karena cita-cita Sultan Agung untuk memerintah seluruh pulau jawa, kerajaan Mataram pun
terlibat dalam perang yang berkepanjangan baik dengan penguasa-penguasa daerah, maupun
dengan kompeni VOC yang mengincar pulau Jawa.
Pada tahun 1614, sultan agung mempersatukan kediri, pasuruan, lumajang, dan malang. Pada
tahun 1615, kekuatan tentara mataram lebih difokuskan ke daerah wirasaba, tempat yang
sangat strategis untuk menghadapi jawa timur. Daerah ini pun berhasil ditaklukkan. pada
tahun 1616, terjadi pertempuran antara tentara mataram dan tentara surabaya, pasuruan,
Tuban, Jepara, wirasaba, Arosbaya dan Sumenep. Peperangan ini dapat dimenangi oleh
tentara mataram, dan merupakan kunci kemenangan untuk masa selanjutnya. Di tahun yang
sama Lasem menyerah. Tahun 1619, tuban dan Pasuruan dapat dipersatukan. Selanjutnya
mataram berhadapan langsung dengan Surabaya. Untuk menghadapi surabaya, mataram
melakukan strategi mengepung, yaitu lebih dahulu menggempur daerah-daerah pedalaman
seperti Sukadana (1622) dan Madura (1624). Akhirnya, Surabaya dapat dikuasai pada tahun
1625.
Dengan penaklukan-penaklukan tersebut, Mataram menjadi kerajaan yang sangat kuat secara
militer. Pada tahun, 1627, seluruh pulau jawa kecuali kesultanan Banten dan wilayah
kekuasaan kompeni VOC di Batavia ttelah berhasil dipersatukan di bawah mataram. Sukses
besar tersebut menumbuhkan kepercayaan diri sultan agung untuk menantang kompeni yang
masih bercongkol di Batavia. Maka, pada tahun 1628, Mataram mempersiapkan pasukan di
bawah pimpinan Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-agul, untuk mengempung
Batavia.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung
Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan
yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan
Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki
Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia,
Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga
menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan
mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Sayang sekali, karena kuatnya pertahanan Belanda, serangan ini gagal, bahkan tumenggung
Baureksa gugur. Kegagalan tersebut menyebabkan matara bersemangat menyusun kekuatan
yang lebih terlatih, dengan persiapan yang lebih matang. Maka pada pada 1629, pasukan
Sultan Agung kembali menyerbu Batavia. Kali ini, ki ageng Juminah, Ki Ageng Purbaya, ki
Ageng Puger adalah para pimpinannya. Penyerbuan dilancarkan terhadap benteng Hollandia,
Bommel, dan weesp. Akan tetapi serangan ini kembali dapat dipatahkan, hingga
menyebabkan pasukan mataram ditarik mundur pada tahun itu juga. Selanjutnya, serangan
mataram diarahkan ke blambangan yang dapat diintegrasikan pada tahun 1639.
Bagi Sultan Agung, Kerajaan Mataram adalah kerajaan islam yang mengemban amanat Tuhan
di tanah Jawa. Oleh sebab itu, struktur serta jabatan kepenghuluan dibangun dalam sistem
kekuasaan kerajaan. Tradisi kekuasaan seperti sholat jumat di masjid, grebeg ramadan, dan
upaya pengamanalan syariat islam merupakan bagian tak terpisahkan dari tatanan istana.
Sultan agung juga berprediksi sebagai pujangga. Karyanya yang terkenal yaitu kitab Serat
Sastra Gendhing. Adapun kitab serat Nitipraja digubahnya pada tahun 1641 M. Serat sastra
Gendhing berisi tetang budi pekerti luhur dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja berisi
tata aturan moral, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis. Selain
menulis, Sultan Agung juga memerintahkan para pujangga kraton untuk menulis sejarah
babad tanah Jawi.
Di antara semua karyanya , peran sultan agung yang lebih membawa pengaruh luas adalah
dalam penanggalan. Sultan agung memadukan tradisi pesantren islam dengan tradisi kejawen
dalam perhitungan tahun. Masyarakat pesantren biasa menggunakan tahun hijriah,
masyarakat kejawen menggunakan tahun Caka atau saka. Pada tahun 1633, Sultan Agung
berhasil menyusun dan mengumumkan berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi
seluruh mataram. Perhitungan itu hampir seluruhnya disesuaikan dengan tahun hijriah,
berdasarkan perhitungan bulan. Namun, awal perhitungan tahun jawa ini tetap sama dengan
tahun saka, yaitu 78 m. Kesatuan perhitungan tahun sangat penting bagi penulisan serat
babad. Perubahan perhitungan itu merupakan sumbangan yang sangat penting bagi
perkembangan proses pengislaman tradisi dan kebudayaan jawa yang sudah terjadi sejak
berdirinya kerajaan demak. Hingga saat ini, sistem penanggalan ala sultan Agung ini masih
banyak digunakan.
Sejak masa sebelum sultan Agung pembangunan non-militer memang telah dilakukan. Satu
yang layak disebut, panembahan Senopati menyempurnakan bentuk wayang dengan tatanan
gempuran. Setelah zaman senopati, mas jolang juga berjasa dalam kebudayaan, dengan
berusaha menyusun sejarah negeri demak, serta menulis beberapa kitap suluk. Misalnya Sulu
Wujil (1607 M) yang berisi wejangan Sunan bonang kepada abdi raja majapahit yang
bernama Wujil. Pangeran Karanggayam juga menggubah Serat Nitisruti (1612 m) pada masa
mas jolang.
Menjelang akhir hayatnya. Sultan Agung menerapkan peraturan yang bertujuan mencegah
perebutan tahta, antara keluarga raja dan putra mahkota. Di bawah kepemimpinan Sultan
Agung, Mataram tidak hanya menjadi pusat kekuasaan, tapi juga menjadi pusat penyebaran
islam.
Kemajuan yang dicapai meliputi kemajuan di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya,
yaitu :
a. Bidang Politik
Kemajuan politik yang dicapai Sultan Agung adalah menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa dan menyerang Belanda di Batavia.
Sultan Agung berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Usaha inidimulai dengan
menguasai Gresik, Jaratan, Pamekasan, Sumenep, Sampang,Pasuruhan, kemudian Surabaya.
Salah satu usahanya mempersatukan kerajaan Islamdi Pulau Jawa ini ada yang dilakukan
dengan ikatan perkawinan. Sultan Agung mengambil menantu Bupati Surabaya Pangeran
Pekik dijodohkan dengan putrinya yaitu Ratu Wandansari
Sultan Agung adalah raja yang sangat benci terhadap penjajah Belanda. Hal ini terbukti
dengan dua kali menyerang Belanda ke Batavia, yaitu yang pertama tahun 1628 dan yang
kedua tahun 1629. Kedua penyerangan ini mengalami kegagalan.Adapun penyebab
kegagalannya, antara lain:
- Jarak yang terlalu jauh berakibat mengurangi ketahanan prajurit mataram. Mereka harus
menempuh jalan kaki selama satu bulan dengan medan yang sangat sulit.
- Kekurangan dukungan logistik menyebabkan pertahanan prajurit Mataram di Batavia
menjadi lemah.
- Kalah dalam sistem persenjataan dengan senjataa yang dimiliki kompeni Belanda yang serba
modern.
- Banyak prajurit Mataram yang terjangkit penyakit dan meninggal, sehingga semakin
memperlemah kekuatan.
- Portugis bersedia membantu Mataram dengan menyerang Batavia lewat laut,sedangkan
Mataram lewat darat. Ternyata Portugis mengingkari. Akhirnya Mataram dalam menghadapai
Belanda tanpa bantuan Portugis.
- Kesalahan politik Sultan Agung yang tidak menadakan kerja sama dengan Banten dalam
menyerang Belanda. Waktu itu mereka saling bersaing.
- Sistem koordinasi yang kurang kompak antara angkatan laut dengan angkatan darat.
Ternyata angkatan laut mengadakan penyerangan lebih awal sehingga rencana penyerangan
Mataram ini diketahui Belanda.
- Akibat penghianatan oleh salah seorang pribumi, sehingga rencana penyerangan ini
diketahui Belanda sebelumnya.
b. Bidang Ekonomi
Kemajuan dalam bidang ekonomi meliputi hal-hal berikut ini:
3. Raden Mas Jolang ( Panembahan Hanyakrawati / Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati
Senapati-ing-Ngalaga Mataram )
- raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613
- putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas
Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati
- Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu
Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra,
kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah
Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu
Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik). Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta,
ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati
Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
- Pada tahun 1610 melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat
Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613
hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan
kota tersebut. Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan
Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan
pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di
Ambon.
- meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan
Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing
Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di
Krapyak"
4. Raden Mas Rangsang (Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma )( nama asli : Raden Mas
Jatmika )
- lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan
Mataram, 1645
- raja ketiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645
- Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan
Nusantara pada saat itu.( puncak kejayaan )
- Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal3 November
1975.
- putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati.( putri Pangeran
Benawa raja Pajang ( Dyah Banowati ))
- Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik.
- kemunduran kerajaan mataram Islam akibat kalah dalam perang merebut Batavia dengan
VOC
- menyerang Batavia sebanyak 2x.
serangan pertama ( 1628 ) terjadi di benteng Holandia, dipimpin oleh Tumenggung
Bahureksa, dan Pangeran Mandurareja sebanyak 10.000 pasukan akan tetapi gagal. Kegagalan
serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang
dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya. Serangan kedua ( 1629 )
dipimpin Adipati Ukur dan Adipati Juminah Total semua 14.000 orang prajurit. serangan
kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang
mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC
yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
d. Kalang Obong
Upacara tradisional kematian orang Kalang, upacara ini seperti Ngaben di Bali, tetapi upacara
Kalang Obong ini bukan mayatnya yg dibakar melainkan pakaian dan barang-barang
peninggalannya
e. KUE KIPO
Makanan tradisional ini sangat khas dan hanya ada di Kotagede, terbuat dari kelapa, tepung,
dan gula merah.
f. Pertapaan Kembang Lampir
Kembang Lampir merupakan petilasan Ki Ageng Pemanahan yang terletak di Desa Girisekar,
Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul. Tempat ini merupakan pertapaan Ki Ageng
Pemanahan ketika mencari wahyu karaton Mataram.
b. Puing - puing / candi- candi Siwa dan Budha di daerah aliran Sungai Opak dan Progo yang
bermuara di Laut Selatan
c. Batu Datar di Lipura yang tidak jauh di barat daya Yogyakarta
d. Baju keramat Kiai Gundil atau Kiai Antakusuma
e. Masjid Agung Negara
Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
j. Rumah Kalang
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat
di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII
berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan
Regerings Besluit Tahun 1876 yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan
sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen
Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda.
Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan
menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja
XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi.
Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat
raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu
diambil tiga keputusan sebagai berikut :
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun
lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga
dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang
pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si
Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil
dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan
Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba,
untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti
masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara
lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh
setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan
penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si
Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda.
Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta
Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut
dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan
menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi.
Inilah Makam Raja Sisingamangaraja XII (bagian tengah), di sisi kiri dan kanannya
adalah Makam dari Raja Patuan Anggi dan Raja Patuan Nagari, kedua putera Raja
Sisingamangaraja XII yang gugur bersama sang ayah di medan perang
*****
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si
Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih.
Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan
pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun
pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si
Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si
Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal.
Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na
Birong.
Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut
Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong
dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang.
Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII,
Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.
Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun
1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk
menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan.
Walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan
rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda.
Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak
dan suku Aceh.
Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari
Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama
Ransap Tinambunan dari Peabalane.
Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku
Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris.
Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha,
Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur,
Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu
Loting dan Liang Ramba di Simaninggir.
Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah.
Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat.
Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai
akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air
terjun didalam gua lebih dari 250 meter.
Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-
hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.
Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Setelah
melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh
serdadu Belanda.
Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi.
Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya
menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak.
Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih
baik mati daripada menyerah.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan
mengepung Raja Si Singamangaraja XII.
Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-
anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap
oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si
Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda
pimpinan Kapten Christoffel.
Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan
Anggi serta putrinya Lopian.
Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik
darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya
termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah.
Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung
membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak
perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si
Singamangaraja XII sendiri.
Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan
dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung.
Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi
dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun
oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
Daftar Pustaka
Ajisaka, Arya. 2010. Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang
melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang
ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama
sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang
memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat
nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-
1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Image courtesy of www.ridwanaz.com
4. Kebangsaan : Minangkabau
5. Agama : Islam
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad
Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang
alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun
1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku
nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan
Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih
suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu
Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai
sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah
satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3
tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama
Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan
dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro
menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa
Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil,
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan
Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro.
Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa
saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada
1830.
Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur
Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro,
Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke
Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-
pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada
saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai
penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama
Singlon yang artinya penyamaran.
Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli
sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di
pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah
Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam
Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi
berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di
wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.
Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat
mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah
rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu
sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.
Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk
mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya
untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5
tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam
semangat Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati; sejari kepala sejengkal
tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung
dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi
pemimpin spiritual pemberontakan. biografiku.com
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan
Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang
telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang
murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama
di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-
sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang
tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan
yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai
akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Image courtesy of www.profil.merdeka.com
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani
di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas
wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga
dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sudah berada di Padang waktu itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur
Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian
Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda
dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang
semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul
kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat
Minangkabau itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang
dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus
Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh
jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah
bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah
negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit.
Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian
lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding.
Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di
tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi
akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari
pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Sekilas tentang biografi Imam Bonjol, dengan nama asli dari Imam bonjol ini
ialah Imam Shahab. Semasa remaja, ia biasa di panggil dengan sebutan Peto Syarif.
Imam bonjol ini mendapat gelar Malim basa setelah menuntut ilmu tentang
keagamaannya di Aceh dari tahun 1800 hingga tahun 1802. Setelah gelar yang ia dapat
tersebut ia kemudian kembali ke Minang Kabau kemudian menuntut ilmu kepada
gurunya ang bernama Tuanku nan renceh yang menjadikan ia sebagai murid
kesayangannya tersebut.
Semasa berguru pada Tuanku Nan Renceh ini ia banyak mendapatkan
pengajaran tentang ilmu perang dari gurunya tersebut. Pada tahun 1807 beliau
mendirikan benteng yang terletak di kaki bukit Tajadi yang ia beri nama Imam Bonjol.
Nah dari situlah ia di kenal dengan nama Imam Bonjol.
Dengan nama barunya ini, yaitu Tuanku Imam Bonjol ia disebut sebagai
pahlawan dari tanah Minang Kabau Sumatera Selatan. Sebelum ia dikenal sebagai
pahlawan dari perang Padri, ia merupakan seorang alim ulama yang dterpandang oleh
masyarakat sekitar. Namun semenjak ia turu ke medan perang padri tersebut kemudian
ia menjadi sosok pahlawan yang tidak bisa di lupakan oleh masyarakatnya.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat dan simak biografi Imam Bonjol pahlawan
dari Minang Kabau tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. IMAM BONJOL
Pahlawan Nasional Dari Minangkabau - Nama tokoh yang satu ini mungkin tidak
asing lagi bagi kita semua, apalagi bagi kita yang berasal dari Sumatera Barat
(Minangkabau). Beliau merupakan salah satu dari pahlawan nasional Republik
Indonesia dari tanah Sumatra. Kita semua mengenalnya dengan nama Tuanku Imam
Bonjol. Sejatinya sosok Imam Bonjol merupakan seorang ulama. Namun karena pada
saat itu terjadi tindakan yang semena-mena dari Belanda membuat Tuanku Imam
Bonjol berontak kepada pihak Belanda hingga terjadi perang antara rakyat minang yang
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda. Pepeperangan ini kita kenal
dengan nama Perang Padri yang terjadi pada tahun 1803-1838.
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864),
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di
Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan pemimpin
masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin
dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi
kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
B. Riwayat perjuangan
Perang Padri
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam
Kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di
Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Muning Alamsyah terpaksa melarikan diri dari
ibukota kerajaan.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang
waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
"Perjanjian Masang" pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan
Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa
seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh
Belanda dengan menyerang Nagari Pandai Sikek.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-
pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung
penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan
kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat
Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah
(Al-Qur'an).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya "Adopun hukum
Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?" (Adapun banyak
hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?)
Penyerangan benteng kaum Paderi di Bonjol oleh Belanda dipimpin oleh jenderal
dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa
pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius,
Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terda[at nama-nama
Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di
Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130
tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu
Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis
yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di
tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Dalam peristiwa peristiwa yang melibatkan kaum adat dan kaum yang secara
langsung di pimpin oleh Imam Bonjol itu sendiri. kaum adat disini ialah masyarakat
Minang yang telah menyimpang dari ajaran ajaran agama Islam. Perbuatan yang
umumnya terjadi di sekitaran masyarakat kaum adat ini ialah minum-minuman keras,
berjudi, dan mejadikan hewan sebagai objek untuk perjudian seperti sabung ayam dan
sebagainya.
Sedangkan seperti yang sudah kita jelaskan di atas kaum Padri merupakan
kaum atau golongan yang mentaati ajara-ajaran agama Islam dan berusaha
memperbaiki akhlak dari kaum adat yaitu masyarakat Minang yang menyimpang
dengan ajaran agama Islam tersebut. Dengan kesadaran dari kedua belah pihak yang
telah di manfaatkan oleh pihak Belanda ini, maka timbullah perdamaiana dari kaum
adat dan kaum Padri ini untuk memperbaiki hubungan kesaudaraan yang telah pecah
selama 18 tahun berperang tersebut.
Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk mengusir
pasukan Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan Belnada pun
akhirnya berhasil di kalahkan oleh kaum Padri.
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya
seyogianya tidak mengandung hawa panas. Itu sebabnya dalam tradisi akademis,
kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Menciptakan mitos tokoh pahlawan yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana
historis pemersatu bangsa Mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya
menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya
Merangkul kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma
negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan
Tuanku Imam Bonjol dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini
dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan
beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan
menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan
Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi
keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat
saingan akibat kedatangan bangsa Eropa. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan
nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol transliterasinya oleh
Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), se-buah sumber pribumi yang penting tentang
Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini - mencatat, bagaimana
kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Dalam Memorie Tuanku Imam Bonjol, terefleksi rasa penyesalan Tuanku Imam
Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku
Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. Adapun
hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?
(Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran
kita?), tulis Tuanku Imam Bonjol dalam MemoireTuanku Imam Bonjol (hal 39).
Kini bangsa inilah yang harus menentukan, apakah Tuanku Imam Bonjol akan
tetap ditempatkan atau diturunkan dari tandu kepahlawanan nasional yang telah
diarak oleh generasi terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 - wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto Syarif,
Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah
seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang menunjuknya sebagai Imam
(pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku
Imam Bonjol
Perang Padri ini muncul dengan adanya gerakan Kaum Padri atau bisa di sebut
pula dengan Kaum Ulama yang menentang tentang perbuatan-perbuatan yang marak
terjadi di kalangan masyarakat pada saat itu yang sangat tidak mencerminkan
masyarakat yang beragama di dalam kawasan kerajaan Paguyuban yang merupakan
tempat Tuanku Imam Bonjol berasal. pihak kerajaan yang termasuk di dalamnya kaum
adat meminta bantuan kepada Belanda untuk mengirimkan pasukan militer untuk
membantu dalam peperangan antar saudara ini. Namun dengan bantuan yang di kirim
Belanda ini, kaum adat dan kerajaan pun harus menelan kenyataan bahwa imbas dari
bantuan yang di kirim Belanda tersebut adalah dengan menguasai sebagian wilayah
dari kaum adat tersebut.
Dengan kekuatan dan trik-trik yang di lancarkan oleh Kaum Padri yang di pimpin
oleh Imam Bonjol ini, maka pihak Belanda yang di pimpin oleh Kapten Goffinet dan
Kapten Dienema pun mengalami kekalahan. Selanjutnya pihak Belanda pun
menawarkan suatu perjanjian yang dikenal sebagai perjanjian Masang pada tahun 1824
yang di langgar sendiri oleh pihak Belanda tersebut.
Akhirnya Kedua kaum antara kaum adat dan kaum Padri pun bersatu untuk
mengusir pasukan Belanda yang sangat merugikan tersebut, sehingga pasukan
Belnada pun akhirnya berhasil di kalahkan oleh kaum Padri.
Daftar Pustaka
Radjab, M., (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838. Balai
Pustaka.
Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), Wajah dan
sejarah perjuangan pahlawan nasional, Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat
Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.
Aboe Nain, , (2004), Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang:
PPIM.
Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya,
Lentera, 1996
Hhtp://www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku (diakses pada 20
Desember 2013)
http://www.minahasa.net/en/history-imambonjol.html ( diakses 20 Desember
2013)
PEKANBARU (HPC)-Ribuan Generasi Muda di Riau, mulai dari Siswa/i SMP, SMA
sederajat bahkan sampai Mahasiswa/i yang ada di Beberapa Perguruan Tinggi baik
Negri maupun Swasta yang ada di Riau, ditambahkan lagi dengan para undangan
pejabat tinggi diriau juga turut hadir dalam mengikuti perkulihan umum yang di gelar di
Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif
kasim Riau di isi langsung oleh panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Dalam pantauan haluanpos.com di Gedung PKM UIN Suska Riau ada Ribuan peserta
yang banyak dari kalangan Generasi muda ini, sangat antusias ketika mendengar
pidato yang disampaikan oleh panglima TNI, dalam pidatonya panglima TNI Gatot
Nurmantyo mengangkat judul Memahami Ancaman Menyadari Jati Diri Modal
Mewujudkan Indonesia Menjadi Bangsa Pemenang.
Dalam kuliah umum Jenderal Gatot Nurmantyo, juga dihadiri KSAD Jenderal Mulyono.
Pangdam Mayjen Cucu Soemantri. Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman. Danrem
031 Wirabima Brigjen Abdul Karim. Rektor UIN Suska Riau Munzir Hitami dan
Koordinator Presidium KAHMI Yulisman.
Sosial media itu sangat berperan dalam mengambil keputusan, ini berdampak dalam
gaya hidup orang berdampak secara drastis. Kita bisa melihat dengan sosial media ini
disebuah keluarga semuanya main HP, mulai dari ayah, ibu kakak bahkan adiknya pun
asik amain HP, Karena kita tidak bisa lepas dengan main HP bahkan ada yang sampai
18 jam. Kata panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam Paparannya.
Lebihlanjut di paparkan oleh panglima TNI, itu dikota-kota besar indonesia ini
dipengaruhi oleh fashion, dirinya juga berharap agar generasi Muda Insonesia
Khususnya dapat mewaspadai dengan adanya pengaruh-pengaruh dari Fashion ini.
yang ketiga ini fashion/ pakain banyak di kota-kota besar ketika di Mall sudah banyak
berubah pakain-pakain nya, bahkan pernah terjadi perpisahan dengan tunangannya
karena si wanita melakukan pesta bikini. Tambah Gatot.
saya mau bilang adik-adik semuanya kedepan mau jadi apa cita-citanya ? . tanya
panglima. Panglima menambahkan kalau cita-cita hanya jadi pilot, dokter, pekerja kapal
atau apa, ya nggak usah sekolah. Tanamkan dalam diri kita cita-cita yang tinggi, oleh
akrena itu mulai sekarang kita harus merubah cita-cita kita saya bukan ingin jadi dokter
namun pemilik rumah sakit, saya mau memiliki pabrik pesawat, bukan pilot, kata
panglima Memberi Motivasi kepada Ribuan Generasi Muda Riau.
Orang Nomer satu di TNI Indoensia itu, juga memberikan trik untuk dapat mewujudkan
cita-cita yang di inginkan yakni melalui doa, yakin dan optimis serta harus belajar lebih
giat lagi kalau ingin cita-citanya terwujud.
ya bagaimana kita dapat mewujudkan cita-cita kita yakni dengan berdoa, lalu kita yakin
dan optimis agar mimpi kita menjadi kenyataan. Ketiga fokus, selanjutnya perbanyak
network, jadikan semua orang teman kita karena network penting, dan jangan lupa
belajar terus-menerus.tegas Gatot Memberi semangat.
Salah sorang peserta ketika ditanya terkait kuliah umum yang di isi langsung oleh
panglima TNI ini, menyampaikan rasa bahagia pasalnya materi-materi yang
disampaikan oleh Panglima sangat memberi motivasi untuk generasi muda saaat ini.
kami sangat bahagia dapat menghadiri kuliah umum ini, pasalnya dengan
mendengarkan paparan materi dari bapak panglima TNI Gatot Nurmantyo tadi memebri
semangat kepada kami, terutama diri saya untuk menjadi generasi yang lebih baik
kedepannya. Dengan cara berhati-hati dalam berpakain serta menjauhkan hal-hal yang
buruk seperti narkoba, serta saya juga harus mempuyai mimpi dan cita-cita dengan trik
yang di berkan oleh bapak panglima. Ujar siswi dari salah satu sekolah di pekanbaru
ini. (sar)
Para Ulama-Santri segenap para alim ulama para Kiai, hadirin undangan yang
bebahagia.
Tidak ada yang pantas kita ucapkan selain puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT
Karena hanya atas kuasa dan ridhonya kita dapat hadir dalam acara Peringatan 70
Tahun Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama di Tugu Proklamasi yang memiliki nilai stratagis.
Dalam kesempatan ini perlu saya jelaskan, mengapa begitu saya diundang saya hadir
di sini. Saya datang tidak sendirian, saya datang dengan dengan pasukan-pasukan
khusus. Ada Kopasus, ada Marinir, ada Paskas, ada Kostrad, ada Armed.
Ini untuk mengingatkan generasi muda, bahwa perjuangan bangsa sejak proklamasi
kemerdekaan tidak dilakukan oleh TNI, tetapi yang merebut kemerdekaan adalah
seluruh komponen bangsa, termasuk para ulama. Setelah merdeka baru TNI lahir. Jadi
yang memerdekaan bangsa Indonesai bukan TNI, tetapi bapak-ibu kandung TNI,
sehingga TNI adalah anak kandung raya.
Karena sejarah mencatat rangkaian peristiwa ini, bersentuhan langsung dengan
kedaulatan Republik Indonesia, Terdapat 4 peristiwa penting yang saling
mempengaruhi dan saling menguatkan yaitu: peristiwa tanggal 17 Agustus sebagai hari
kemerdekaan Republik Indonesia. 5 Oktober hari pembentukan TKR sekarang TNI. 22
Oktober sebagai hari dicetuskannya Resolusi Jihad NU. Dan 10 November pecahnya
perang di Surabaya yang kita kenal sebagai hari pahlawan hanya dalam hitungan
empat bulan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa hormat dan apresiasi yang tinggi
terhadap semangat dan motivasi yang ditunjukkan para santri sebagai generasi muda
bangsa yang terus memelihara dan meneguhkan komitmennya terhadap perjuangan
para pahlawan serta kecintaan pada tanah air, salah satunya diwujudkan pada gerak
jalan memperingati Resolusi Jihad yang menempuh jarak ratusan kilometer diawali dari
tugu pahlawan di Surabaya dan sampai di tugu proklamasi di Jakarta.
Setelah tujuh puluh tahun berlalu, hikmah dan pelajaran yang diperoleh dari peristiwa
Resolusi Jihad antara lain: bahwa perjuangan melawan penjajah saat itu, terkait erat
dengan Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh Ra'is akbar NU KH. Hasyim Asyari
pada tanggal 22 Oktober 1945.
Bangsa penjajah tidak rela negeri ini merdeka sehingga berusaha untuk menguasai
kembali tanah air kita. NICA membonceng sekutu untuk menguasai tanah air Indonesia,
namun hal itu diketahui oleh para pejuang kemerdekaan dan ditindaklanjuti dengan
merapatkan barisan untuk menolak kedatangan kolonialis.Untuk itu para santri
berkumpul di seluruh wilayah, Jawa, Madura, seluruh Jawa mereka mengatur langkah
strategi perjuangan sebagai kewajiban mempertahankan tanah air dan bangsanya.
Dan pada tanggal 17 September 1945, Presiden Soekarno, memohon fatwa hukum
mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam kepada KH. Hasyim Asyari, sehingga
KH. Hasyim Asyari mengeluarkan sebuah fatwa jihad yang berisikan jihad bahwa
perjuangan membela tanah air adalah merupakan jihad fi sabilillah.
Dan selanjutnya menilai situasi di sekitar Surabaya Jawa Timur, atas pemikiran Mayor
Jenderal TKR pada waktu itu, Mustopo, sebagai komandan sektor perlawaan Surabaya,
bersama Sungkono, Bung Tomo dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH. Hasyim
Asyari untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu dan
NICA yang dipimpin oleh Brigjend Mallaby untuk menunjukkan eksistensi adanya
perlawanan dan kedaulatan Republik Indonesia.
Maka lahirlah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yaitu berperang menolak dan melawan
penjajah itu fardhu ain yang dikerjakan oleh setiap orang Islam laki-laki, perempuan,
anak-anak bersenjata atau tidak.Bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari
tenpat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak
lingkaran tadi kewajiban itu menjadi fardhu kifayah yang cukup kalau dikerjakan
sebagian saja untuk membantu perjuangan di wilayahnya.
Tanpa Resolusi Jihad, maka tidak ada perlawanan heroik. Jika tidak ada perlawanan
heroik maka tidak ada hari pahlawan 10 November. Dan bisa mungkin mustahil bangsa
Indonesia ada seperti saat ini.
Saya ingin pula menceritakan bahwa sebenarnya, perlawanan secara heroik bukan
dilaksanakan tanggal 10, tetapi lebih awal. Jadi pada saat itu KH. Hasyim Asyari
menyampaikan,Kita tunda, kita menunggu singa Jawa Barat, yaitu Kiai Abbas bin
Abdul Jamil. Beliau adalah cicit dari MBah Muqoyyim, pendiri pesantren Buntet
Cirebon.
Dan KH. Hasyim Asyari memerintahkan setelah Kiai Abbas bin Abdul Jamil datang,
memerintahkan bahwa komando tertinggi Laskar Hizbullah diserahkan untuk memimpin
langsung penyerangan sekutu di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Pengaruh yang kuat membuat keputusan KH. Hasyim Asyari tersebut mengundurkan
waktu sangat tepat. Sehingga terjadilah pertempuran yang sangat heroik yang kita
kenal hari ini menjadi hari pahlawan. Hari ini mempunyai makna yang bisa kita petik
dari peristiwa tersebut, bahwa perjuangan dan kepentingan mempertahankan
kedaulatan negara berdimensi lintas etnis dan lintas wilayah. Siapapun dan di manapun
mempunyai kewajiban yang sama membela bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam kesempatan ini pula saya ingin mengingatkan, dan menggarisbawahi bahwa
perjuangan kemerdekaan Resolusi Jihad, hari pahlawan, dan TNI memiliki hubungan
historis yang erat dan menentukan. Kita tahu bahwa panglima TNI yang abadi, yang
pertama, yaitu Jendral Sudirman, adalah seorang guru agama, seorang santri.
Tim pengamanan paling depan melaporkan, Pak Dhe kita sudah dikepung.
Tenang, semuanya ganti pakaian, dan berdzikir bersama-sama saya. (Mereka)
melakukan tahlil Lailahaillah, Lailahaillah, Lailahaillah.
Belanda masuk, ditunjukkan anak buahnya Pak Dirman (yang pengkhianat itu), Ini
yang namanya Sudirman, yang Tuan cari-cari selama ini.
Belanda itu mencabut pistol. Kamu pembohong! Dan penghianat itu ditembak di
depan Pak Dirman.
Makna ini mengingatkan, jangan sekali-kali kita menjadi penghianat bangsa. Baru di
dunia saja sudah dihukum oleh Allah apalagi di akhirat nanti.
Kemudian, peristiwa demi peristiwa Pak Dirman dikawal oleh Pak Tjokropranolo, dan
Pak Suparjo Rustam. Beliau berdua Pak Tjokropranolo dan Pak Rustam, karena saking
penasarannya bertanya. Pak Dirman kadang-kadang dipanggil Pak Dhe kadang-
kadang dipanggil Pak Yai.
Pak Yai, saya pingin tahu, jimatnya Pak Yai itu apa? Kita dikepung, Pak Yai tenang
saja. Malah penghianat yang ditembak. Kita ditembaki, Pak Yai tenang-tenang saja.
Beliau menjawab, Kamu ingin tahu? Saya punya tiga jimat. Jimat yang pertama, saya
tidak pernah lepas dari bersuci. Jadi kalau batal wudhu kamu kan bawa kendi saya,
saya selalu berwudlu. Itu jimat yang pertama.
Jimat yang kedua saya tidak pernah shalat tidak tepat waktu. Selalu bersih, waktunya
shalat saya pasti salat, kamu tahu kan? Dan yang ketiga, jimat saya yang ketiga adalah
semua yang saya lakukan dengan tulus dan ikhlas untuk rakyat dan bangsa Indonesia.
Pidato tersebut di hadapan ribuan personel TNI, Polri, alim ulama, tokoh masyarakat,
sesepuh pondok pesantren, masyarakat, dan anak yatim piatu, bertempat di Lapangan
Brigif Raider 13 Galuh, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Rabu (21/6/2017), lalu.
Jenderal Gatot mengenakan seragam dinas dan mengenakan peci yang basah kuyup.
Foto yang diunggah Pusat Penerangan TNI lewat Twitter @Puspen_TNI diberi tulisan:
"Hujan yg mengguyur tdk pernah menyurutkan semangat Panglima TNI utk menjaga
keutuhan NKRI."
"Jika Allah mengizinkan beliau jadi pemimpin (Presiden/Wapres) negeri ini, semua
mungkin. Semoga baik utk negeri ini," tulis warganet.
"Mentes air mata ini min, salam hormat untuk beliau, salim," tulis netizen.
Ketika itu, Gatot pidato untuk mengingatkan kembali tentang perjuangan kemerdekaan
dijiwai nilai-nilai religius pemuka agama.
Gatot mengatakan pada dasarnya para pejuang berlatar belakang agama yang kuat.
Jenderal Besar Sudirman Panglima TNI pertama, katanya, juga seorang guru agama
yang taat beribadah. Anak buahnya sering memanggilan dengan sebutan kyai.
"Yang memperjuangkan bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang merdeka adalah
rakyat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, agama dan ras yang berjuang
mengorbankan harta benda, pertumpahan darah bahkan nyawa," ujar Gatot.
Gatot mengatakan bahwa pada perjuangan kemerdekaan tempo dulu, dimana para
ulama dan santri ikut serta dalam setiap pertempuran melawan penjajah sampai
akhirnya kemerdekaan Indonesia bisa direbut.
"Setelah itu, ulama dan para santri kembali ke pesantrennya dan sebagian lagi tetap
berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan membentuk Badan Keamanan
Rakyat. Itulah cikal bakal TNI," tuturnya.
Panglima selalu mengingatkan kepada prajurit TNI dimanapun bertugas, harus selalu
menjaga hubungan baik dengan para ulama dan pemuka agama lainnya untuk
mengamankan bangsa ini. "Kalau TNI mau sukses dalam menjalankan tugas pokoknya
maka harus selalu dekat dengan pemuka-pemuka agama. Itu kuncinya," ujar Gatot.
Panglima TNI juga memuji kemampuan syiar para ulama Indonesia dalam
menyebarkan agama Islam di luar negeri. Hal ini juga diakui oleh pimpinan Afrika
Selatan yang mengatakan bahwa, sangat beruntung penyebaran agama Islam di Afrika
Selatan disebarkan oleh ulama-ulama dari Indonesia, sehingga walaupun di Afrika
Selatan banyak agama non muslim, tetapi disanalah penyebaran Islam dapat berjalan
aman.
Lebih lanjut Gatot menyampaikan bahwa sampai saat ini dunia mengakui selama bulan
suci Ramadhan, selain di Mekah dan Madinah, Indonesia adalah tempat yang paling
aman untuk beribadah. "Indonesia yang berpenduduk mayoritas Islam terbesar di dunia
menjadi rujukan dan contoh tauladan untuk Islam yang Rahmatan Lil Alamin," kata dia.