Anda di halaman 1dari 4

BUDI UTOMO

Budi Utomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Soetomo dan para mahasiswa School
tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji
pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini digagas oleh Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini
bersifat sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi
awal pergerakan yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, walaupun pada
awalnya organisasi ini hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal
berdirinya Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Asal usul

Pada tahun 1907, Wahidin Sudirohusodo melakukan kunjungan ke STOVIA dan bertemu dengan
para mahasiswa yang masih bersekolah di sana. Lalu, ia menyerukan gagasan pada mereka untuk
membentuk organisasi yang dapat mengangkat derajat bangsa.[3] Selain itu, Sudirohusodo juga
ingin mendirikan sebuah organisasi di bidang pendidikan yang bisa membantu biaya orang-orang
pribumi yang berprestasi dan mempunyai keinginan untuk bersekolah, tetapi terhambat biaya.
Gagasan ini menarik bagi para mahasiswa di sana, terutama Soetomo, Gunawan
Mangunkusumo, dan Soeradji Tirtonegoro.[4] Selanjutnya, Soetomo bersama dengan M.
Soeradji mengadakan pertemuan dengan mahasiswa STOVIA yang lain untuk membicarakan
gagasan organisasi yang disampaikan oleh Sudirohusodo. Acara itu berlangsung tidak resmi di
Ruang Anatomi milik STOVIA saat tidak ada jam pelajaran. Pertemuan tersebut membentuk
sebuah organisasi yang diberi nama "Perkumpulan Budi Utomo" sehingga Budi Utomo pun
berdiri pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta.[5]

Budi Utomo pun menjadi awal sebuah era nasionalisme indonesia yang dikenal dengan nama
pergerakan nasional. Tokoh-tokoh yang tercatat sebagai pendiri Budi Utomo terdiri dari
sembilan orang, yaitu Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo,
Raden Angka Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, Raden Mas Goembrek dan M. Soewarno.[4]
Saat masih didirikan di STOVIA, organisasi tersebut telah memiliki susunan pengurus organisasi
yang tertulis di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi tersebut. Pada masa
itu, Soetomo menjadi Ketua dengan wakilnya, yaitu Soelaiman. Pengurus lainnya terdiri dari
Gondo Soewarno sebagai sekretaris I dan Goenawan sebagai sekretaris II serta bendahara yang
dijabat oleh Angka. Sisa pendiri lainnya menjabat sebagai komisaris. [6]

Seiring perkembangan waktu, Budi Utomo terus menambah anggota dan tokoh-tokoh penting
pergerakan Indonesia mulai bergabung, seperti Ki Hadjar Dewantara, Tjipto Mangoenkoesomo,
Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Ario Noto Dirodjo dan Raden Adipati Tirtokoesoemo.[4]

Berita berdirinya perkumpulan ini tersebar di surat kabar dan menimbulkan gerakan untuk
mendirikan cabang di berbagai kota. Kantor-kantor cabang pun didirikan di kota Magelang,
Probolinggo dan Yogyakarta. Namun, fenomena ini mengancam status para pendiri perkumpulan
tersebut, terutama Soetomo karena Soetomo dianggap sebagai pemimpin kelompok
pemberontakan terhadap Hindia Belanda bersama dengan teman-teman pelajarnya. Atas dasar
ini, Soetomo terancam dikeluarkan dari STOVIA. Sebagai bentuk solidaritas, teman-temannya
ikut berjanji untuk keluar dari sekolah tersebut, jika Soetomo dikeluarkan. Namun, Soetomo
tidak jadi dikeluarkan karena mendapatkan pembelaan dari Hermanus Frederik Roll yang
menyampaikan pembelaan bahwa umur Soetomo yang muda menjadi alasan sifat berapi-apinya
sama seperti orang yang menuduh Soetomo ketika mereka saat muda.[7] Pada bulan Juli 1908,
Budi Utomo telah mencapai anggota yang berjumlah 650 orang yang terdiri dari priayi
berpangkat rendah dan pelajar

Perkembangan

Pada saat itu, Ernest Douwes Dekker merupakan seorang Indo-Belanda yang sangat
memperjuangkan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata politik ke dalam
tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnya, pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin
lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah
Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya.
Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali.
Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar


Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang
Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda.
Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes
Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi
Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik dalam pergerakan orang-
orang pribumi.

Berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari


pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan
nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa
"nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan
demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatra, Jawa, Sulawesi maupun Maluku. Pendapat
tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya
mengenal nasionalisme Jawa, sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak
suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme,
tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun,
Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam
perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme Indonesia ada dan merupakan
unsur yang paling penting.

Masa-masa akhir

Masa-masa kepemimpinan Budi Utomo tanpa memasuki bidang politik berlangsung selama
periode 1908-1926, sebelum kepulangan Soetomo dari Belanda. Sepulangnya Soetomo, dia
mendirikan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang merupakan partai yang dia ketuai.
PBI merupakan organisasi yang dia dirikan pada tanggal 16 Oktober 1930 untuk menggantikan
Indonesische Studieclub (ISC) sebagai organisasi politik. ISC sendiri didirikan pada tanggal 1
Juli 1924 yang beranggotakan para cendekiawan untuk memberikan pengajaran membentuk
usaha bagi masyarakat seperti sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya.

Karena perkembangan organsasi ini hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura serta mulai
berkembangnya organisasi seperti Sarekat Islam yang mencakup keanggotaan tanpa ada batasan
wilayah, Budi Utomo pun mengalami kemunduran. Komisi Budi Utomo – PBI pun dibentuk
pada bulan Januari 1934 dan menghasilkan kesepakatan untuk meleburkan diri. Proses peleburan
terjadi pada Kongres Budi Utomo tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo. Akhirnya, Budi Utomo
bergabung dengan pergerakan lainnya dan membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra)

Anda mungkin juga menyukai