Anda di halaman 1dari 6

Kliping

Kelas 8
PPKN
Budi Utomo
Pada 1907, Wahidin mengunjungi sekolah lamanya STOVIA (School Tot Opleiding Van
Indische Artsen). Di depan para mahasiswa sekolah kedokteran itu, Wahidin menyerukan
agar mereka membuat organisasi untuk mengangkat derajat bangsa.Soetomo, salah seorang
mahasiswa yang mendengar ide tersebut tertarik untuk menjalankannya.
Alhasil, Soetomo dan sejumlah pemuda lain mendirikan Boedi Oetomo atau Budi Utomo di
Batavia. Budi Otomo berdiri pada 20 Mei 1908. Organisasi ini menjadi organisasi pemuda
pribumi pertama di Indonesia yang berjalan dengan baik.

Budi Utomo membentuk kepengurusan yang diganti secara periode, memiliki program
kegiatan, dan memiliki kongres yang terjadwal. Salah satu program utama Budi Utomo
adalah kemajuan yang harmonis bagi Nusa Jawa dan Madura.Budi Utomo langsung bergerak
cepat dan menggelar kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1909. Sejak saat itu
Budi Utomo rutin mengelar kongres. Organisasi ini berkembang dari yang hanya terbatas
pada orang Jawa, meluas menjadi orang Indonesia.

Berdirinya Budi Utomo memicu organisasi pergerakan lain muncul di Indonesia.


Muncul sejumlah organisasi lain seperti Syarikat Islam pada 1912, partai politik pertama di
Hindia Belanda yakni Indische Partij (Partai Hindia) juga pada 1912, dan organisasi ISDV
(Indische Sociaal Democratische Vereeniging) pada 1914. Muncul pula organisasi keagamaan
Muhammadiyah pada 1912 dan Persatuan Islam pada 1920-an.

Kelompok pemuda lain juga tak ingin tertinggal. Lahir pula Jong Soematra Bond, Jong Java,
Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, dan Jong Minahasa.Sejak
kehadiran Budi Utomo dan organisasi lain, perlawanan melawan penjajah lebih terorganisir
dengan mengedepankan nasionalisme Indonesia.Pergerakan Budi Utomo berakhir pada
1935 saat bergabung dengan Persatuan Bangsa Indonesia dan membentuk Partai Indonesia
Raya (Parindra).Pergerakan Budi Utomo menjadi tonggak baru kebangkitan Indonesia. Hari
lahirnya Budi Utomo pun ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati
setiap tahun.
Boedi Oetomo) adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Soetomo dan para mahasiswa
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo
dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini digagas oleh Wahidin Sudirohusodo.
Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak bersifat Politik. Berdirinya Budi
Utomo menjadi awal pergerakan yang bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia,
walaupun pada awalnya organisasi ini hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.
Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.[1]
Nama Budi Utomo diperkirakan diadaptasi dari kata bodhi yang memiliki makna keterbukaan
jiwa, pikiran, akal, atau pengadilan.[2]
Pada tahun 1907, Wahidin Sudirohusodo melakukan kunjungan ke STOVIA dan bertemu
dengan para mahasiswa yang masih bersekolah di sana. Lalu, ia menyerukan gagasan pada
mereka untuk membentuk organisasi yang dapat mengangkat derajat bangsa.[3] Selain itu,
Sudirohusodo juga ingin mendirikan sebuah organisasi di bidang pendidikan yang bisa
membantu biaya orang-orang pribumi yang berprestasi dan mempunyai keinginan untuk
bersekolah, tetapi terhambat biaya. Gagasan ini menarik bagi para mahasiswa di sana,
terutama Soetomo, Gunawan Mangunkusumo, dan Soeradji Tirtonegoro.[4] Selanjutnya,
Soetomo bersama dengan M. Soeradji mengadakan pertemuan dengan mahasiswa STOVIA
yang lain untuk membicarakan gagasan organisasi yang disampaikan oleh Sudirohusodo.
Acara itu berlangsung tidak resmi di Ruang Anatomi milik STOVIA saat tidak ada jam
pelajaran. Pertemuan tersebut membentuk sebuah organisasi yang diberi nama
“Perkumpulan Budi Utomo” sehingga Budi Utomo pun berdiri pada tanggal 20 Mei 1908 di
Jakarta.[5]

Budi utomo pun menjadi awal sebuah era nasionalisme indonesia yang dikenal dengan nama
pergerakan nasional. Tokoh-tokoh yang tercatat sebagai pendiri Budi Utomo terdiri dari
sembilan orang , yaitu Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan
Mangoenkoesoemo, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Mochammad Saleh, Raden Mas
Goembrek, M. Soewarno.[4] Saat masih didirikan di STOVIA, organisasi tersebut telah
memiliki susunan pengurus organisasi yang tertulis di dalam anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga organisasi tersebut. Pada masa itu, Sutomo menjadi Ketua dengan wakilnya,
yaitu Soelaiman. Pengurus lainnya terdiri dari Gondo Soewarno sebagai sekretaris I dan
Goenawan sebagai sekretaris II serta Bendahara yang dijabat oleh Angka. Sisa pendiri lainnya
menjabat sebagai komisaris. [6]

Seiring perkembangan waktu, Budi Utomo terus menambah anggota dan tokoh-tokoh
penting pergerakan Indonesia mulai bergabung, seperti Ki hadjar dewantara, Tjipto
Mangoenkoesomo, Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Ario Noto Dirodjo dan Raden Adipati
Tirtokoesoemo.[4]

Berita berdirinya perkumpulan ini tersebar di surat kabar dan menimbulkan gerakan untuk
mendirikan kota cabang di kota para pendengar. Kantor-kantor cabang pun didirikan di kota
Magelang, Probolinggo dan Yogyakarta. Akan tetapi fenomena ini mengancam status para
pendiri perkumpulan tersebut, terutama Soetomo karena Soetomo dianggap sebagai
pemimpin kelompok pemberontakan terhadap Hindia Belanda bersama dengan teman-
teman pelajarnya. Atas dasar ini, Soetomo terancam dikeluarkan dari STOVIA. Sebagai
bentuk solidaritas, teman-temannya ikut berjanji untuk keluar dari sekolah tersebut, jika
Soetomo dikeluarkan. Akan tetapi, Soetomo tidak jadi dikeluarkan karena mendapakan
pembelaan dari Hermanus Frederik Roll yang menyampaikan pembelaan bahwa umur
Soetomo yang muda menjadi alasan sifat berapi-apinya sama seperti orang yang menuduh
Soetomo ketika mereka saat muda.[7] Pada bulan Juli 1908, Budi Utomo telah mencapai
anggota yang berjumlah 650 orang yang terdiri dari priayi berpangkat rendah dan pelajar.[8]
Rencana pelaksanaan kongres melewati beragam persiapan. Sebagai biaya penyelenggaraan
kongres , para anggota menggunakan uang tunjangan hari raya dari STOVIA serta menjual
barang-barang kepemilikian tiap anggota, seperti jam tangan, kain panjang dan kain
pengikat kepala. Selain dana tersebut, Soetomo juga mendapatkan bantuan pinjaman uang
dari Roll. Tiap anggota pun diperintahkan untuk menghubungi para tokoh-tokoh dengan
surat undangan atau kunjungan. Saleh mengunjungi para saudari dari Raden Ajeng Kartini di
Jepara, Gunawan mengunjungi Raden Adipati Tirtokoesoemo yang saat itu menjabat Bupati
Karanganyar dan Sutomo mengunjungi Douwes Dekker di Jakarta. Tokoh-tokoh lain yang
turut dihubungi seperti Koesoemo oetoyo selaku Bupati Jepara, Achmad Djajadiningrat
selaku Bupati Serang, Pangeran Ario Kusumo Judo di Jatinegara, Raden Mas Sutomo yang
bersekolah di Sekolah Pamong Praja di Magelang serta Raden Mas Adipati Tjokro
Adikoesoemo yang menjabat sebagai Bupati Temanggung.[9]
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di
Kota Yogyakarta.[10] Salah satu agenda yang dibahas merupakan usulan dari Sudirohusodo
untuk mendirikan Badan Bantuan Pendidikan atau studiefonds, tapi usulan itu ditolak
dengan tiga poin penolakan:[11]

Keterbatasan gerakan Badan Bantuan Pelajar


Kesulitan saat pelaksanaan
Aktivitas membantu pelajar merupakan sebagian program pekerjaan Budi Utomo
Meskipun para pelajar STOVIA merupakan pendiri awal dari Budi Utomo, mereka
menyerahkan kepemimpinan kepada orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman
sebagai bentuk penghormatan dan beban studi di STOVIA yang masih harus diselesaikan,
terutama Sutomo yang masih harus menjalani pendidikan selama tiga tahun.[12] Akhirnya,
kongres tersebut menunjuk Tirtokoesoemo sebagai ketua umum dan Soedirohoesodo
sebagai wakil ketua. Kongres tersebut juga mencetuskan tujuan Budi Utomo, yaitu
menjamin kehidupan sebagai bangsa yang terhormat serta arah organisasi sebagai
organisasi yang berfokus pada pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan.[4] Para pelajar
Stovia ditunjuk sebagai Pengurus cabang Betawi dan Kantor Pusat ditetapkan berada di
Yogyakarta.[6] Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, Budi Utomo telah memiliki
tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta,
Surabaya, dan Ponorogo.[13] Sampai tahun 1909, anggota Budi Utomo mencapai 10.000
anggota. [14]
Masa kepemimpinan Tirtokoesomo berlangsung dari tahun 1908-1911. Selama masa
kepemimpinannya, organisasi Budi Utomo menciptakan beberapa gerakan seperti
penerbitan majalah guru desa serta perubahan kurikulum pengajaran Bahasa Belanda yang
semula diajarkan dari kelas tiga ke atas menjadi dimulai sejak kelas 1.[14] Hasil ini dinilai
lambat karena seharusnya dengan cabang-cabang Budi Utomo yang cukup banyak, gerakan
Budi Utomo dinilai lambat dan sangat hati-hati. Organisi ini juga tetap terus berjuang di
bidang sosial-buclaya tanpa menyentuh bidang politik, meskipun delat dengan Hubungan
dengan pemerintah karena sebagian besar anggota merupakan pegawai pemerintah.[15]

Salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya gerakan organisasi ini mungkin karena
organisasi menerapkan prinsip “Biar lambat asal selamat daripada hidup sebentar mati
tanpa bekas” yang menganut cara hidup pohon beringin yang tumbuhnya lambat, tetapi saat
tumbuh besar dapat menjadi tempat berteduh yang rindang dan kokoh.[16] Selain faktor
tersebut, gerakan lambat ini mungkin juga karena faktor anggota yang mayoritas merupakan
pangreh praja yang takut bertindak.[14]

Meskipun terkesan lambat, berita pendirian Budi Utomo mendapatkan reaksi yang cukup
besar dari Pemerintahan belanda, yaitu saat Belanda mengeluarkan Keputusan Pemerintah
14 September 1908 nomo 12 (Gouvernements Besluit 14 September 1908 No. 12) yang
mendirikan Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat)
yang nantinya akan menjadi Balai Pustaka yang diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu.[14]

Akibat gerakannya yang lambat ini beberapa anggota ke luar dari keanggotaan Budi Utomo,
seperti Cipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara. [15] Peristiwa keluarnya Cipto
terjadi saat ia menjabat sebagai Komisaris Dewan Perkumpulan. Pada rapat Pengurus Besar
tanggal 9 September 1909 di Yogyakarta, Cipto menyampaikan usul untuk memperluas
keanggotaan untuk mengikutsertakan Indiers atau orang indo yang lahir, tinggal dan akan
mati di Hindia Belanda. Usul ini mendapatkan penolakan oleh Radjiman Wedyodiningrat
sehingga menyebabkan perdebatan yang sengit di antara mereka. Pada akhirnya usul Cipto
ditolak sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan serta keanggotaanya.[17]

Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru Budi Utomo
yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota
muda yang memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada
awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil
di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan.
Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang
bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh
penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya
gerakan yang bersifat politik semacam itu menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke
belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan
Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin
dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya,
dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang
dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kepemimpinan Tirtokoesomo digantikan oleh Dirodjo pada tahun 1911 karena tidak sanggup
lagi mengikuti arus dalam gerakan Budi Utomo. Kepemimpinan Dirodjo dinilai terlihat telah
mengambil sikap dan progresif.[18] Pada masa kepemimpinannya, Budi Utomo berhasil
mendirikan tiga sekolah, yaitu 1 di Sala dan 2 di Yogyakarta. Pencapaian ini dapat diraih
berkat bantuan oleh Sultan Yogyakarta yang memberikan bantuan tanah sebesar 100.000
gulden belanda dan hibah sebesar 45.000 gulden Belanda. Sudirohusodo pun juga berhasil
mewujudukan gagasannya dengan mendirikan studiefonds yang bernama Darma Wara yang
mendapatkan bantuan dari pemerintah sebesar 50.000 gulden Belanda.[19]Saat itu, Douwes
Dekker merupakan seorang Indo-Belanda yang sangat memperjuangkan bangsa Indonesia,
dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat
pengaruhnya, pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima
dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncul lah Indische Partij yang sudah
lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik
dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara"
(Indonesia) adalah di atas segala-galanya. Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat
(yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik
Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu
sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan
dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera).
Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang
pribumi. Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo, Goenawan
Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi
menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut
Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme
Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian,
nasionalisme terdapat pada orang Sumatra maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi
Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa, Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang
Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal
pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa
menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera
tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme
Indonesia ada dan merupakan unsur yang paling penting.
Masa-masa kepemimpinan Budi Utomo tanpa memasuki bidang politik berlangsung selama
periode 1908-1926, sebelum kepulangan Sutomo dari Belanda.[20] Sepulangnya Sutomo, dia
mendirikan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang merupakan partai yang dia
ketuai. PBI merupakan organisasi yang dia dirikan pada tanggal 16 Oktober 1930 untuk
menggantikan Indonesische Studieclub (ISC) sebagai organisasi politik.[21] ISC sendiri
didirikan pada tanggal 1 Juli 1924 yang beranggotakan para cendekiawan untuk memberikan
pengajaran membentuk usaha bagi masyarakat seperti sekolah tenun, bank kredit, koperasi,
dan sebagainya.[22]

Karena perkembangan organsasi ini hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura serta mulai
berkembangnya organisasi seperti Sarekat Islam yang mencakup keanggotaan tanpa ada
batasan wilayah, Budi utomo pun mengalami kemunduran.[23] Komisi Budi Utomo – PBI pun
dibentuk pada bulan Januari 1934 dan menghasilkan kesepakatan untuk meleburkan diri.
[22] Proses peleburan terjadi pada Kongres Budi Utomo tanggal 24-26 Desember 1935 di
Solo.[20] Akhirnya, Budi Utomo bergabung dengan pergerakan lainnya dan membentuk
Partai Indonesia Raya (Parindra). [4]

Mjyoko kelas 8

Anda mungkin juga menyukai