Nama Budi Utomo diperkirakan diadaptasi dari kata bodhi yang memiliki makna keterbukaan
jiwa, pikiran, akal, atau pengadilan
Asal usul
Seiring perkembangan waktu, Budi Utomo terus menambah anggota dan tokoh-tokoh penting
pergerakan Indonesia mulai bergabung, seperti Ki hadjar dewantara, Tjipto
Mangoenkoesomo, Tirto Adhi Soerjo, Pangeran Ario Noto Dirodjo dan Raden Adipati
Tirtokoesoemo.
Berita berdirinya perkumpulan ini tersebar di surat kabar dan menimbulkan gerakan untuk
mendirikan kota cabang di kota para pendengar. Kantor-kantor cabang pun didirikan di
kota Magelang, Probolinggo dan Yogyakarta. Akan tetapi fenomena ini mengancam status para
pendiri perkumpulan tersebut, terutama Soetomo karena Soetomo dianggap sebagai pemimpin
kelompok pemberontakan terhadap Hindia Belanda bersama dengan teman-teman pelajarnya.
Atas dasar ini, Soetomo terancam dikeluarkan dari STOVIA. Sebagai bentuk solidaritas, teman-
temannya ikut berjanji untuk keluar dari sekolah tersebut, jika Soetomo dikeluarkan. Akan
tetapi, Soetomo tidak jadi dikeluarkan karena mendapakan pembelaan dari Hermanus Frederik
Roll yang menyampaikan pembelaan bahwa umur Soetomo yang muda menjadi alasan sifat
berapi-apinya sama seperti orang yang menuduh Soetomo ketika mereka saat muda. Pada bulan
Juli 1908, Budi Utomo telah mencapai anggota yang berjumlah 650 orang yang terdiri
dari priayi berpangkat rendah dan pelajar
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di
Kota Yogyakarta. Salah satu agenda yang dibahas merupakan usulan dari Sudirohusodo untuk
mendirikan Badan Bantuan Pendidikan atau studiefonds, tapi usulan itu ditolak dengan tiga poin
penolakan:
Meskipun para pelajar STOVIA merupakan pendiri awal dari Budi Utomo, mereka
menyerahkan kepemimpinan kepada orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman sebagai
bentuk penghormatan dan beban studi di STOVIA yang masih harus diselesaikan, terutama
Sutomo yang masih harus menjalani pendidikan selama tiga tahun. [ Akhirnya, kongres tersebut
menunjuk Tirtokoesoemo sebagai ketua umum dan Soedirohoesodo sebagai wakil ketua.
Kongres tersebut juga mencetuskan tujuan Budi Utomo, yaitu menjamin kehidupan sebagai
bangsa yang terhormat serta arah organisasi sebagai organisasi yang berfokus pada pendidikan,
pengajaran, dan kebudayaan. Para pelajar Stovia ditunjuk sebagai Pengurus cabang Betawi dan
Kantor Pusat ditetapkan berada di Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini,
Budi Utomo telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung,
Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo. Sampai tahun 1909, anggota Budi Utomo
mencapai 10.000 anggota.
Salah satu faktor yang menyebabkan lambatnya gerakan organisasi ini mungkin karena
organisasi menerapkan prinsip "Biar lambat asal selamat daripada hidup sebentar mati tanpa
bekas” yang menganut cara hidup pohon beringin yang tumbuhnya lambat, tetapi saat tumbuh
besar dapat menjadi tempat berteduh yang rindang dan kokoh. Selain faktor tersebut, gerakan
lambat ini mungkin juga karena faktor anggota yang mayoritas merupakan pangreh praja yang
takut bertindak.
Meskipun terkesan lambat, berita pendirian Budi Utomo mendapatkan reaksi yang cukup besar
dari Pemerintahan belanda, yaitu saat Belanda mengeluarkan Keputusan Pemerintah 14
September 1908 nomo 12 (Gouvernements Besluit 14 September 1908 No. 12) yang
mendirikan Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang
nantinya akan menjadi Balai Pustaka yang diketuai oleh Dr. G.A.J. Hazeu.
Akibat gerakannya yang lambat ini beberapa anggota ke luar dari keanggotaan Budi Utomo,
seperti Cipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara. Peristiwa keluarnya Cipto terjadi saat
ia menjabat sebagai Komisaris Dewan Perkumpulan. Pada rapat Pengurus Besar tanggal 9
September 1909 di Yogyakarta, Cipto menyampaikan usul untuk memperluas keanggotaan
untuk mengikutsertakan Indiers atau orang indo yang lahir, tinggal dan akan mati di Hindia
Belanda. Usul ini mendapatkan penolakan oleh Radjiman Wedyodiningrat sehingga
menyebabkan perdebatan yang sengit di antara mereka. Pada akhirnya usul Cipto ditolak
sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan serta keanggotaanya.
Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru Budi Utomo yang
bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang
memilih untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya
dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan
nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama,
nama itu diubah oleh, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk
mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti
keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik
semacam itu menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan
orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik
Budi Utomo memang belum berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan
tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang
memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun
kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada
pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi
sangat marah.
Kepemimpinan Tirtokoesomo digantikan oleh Dirodjo pada tahun 1911 karena tidak sanggup
lagi mengikuti arus dalam gerakan Budi Utomo. Kepemimpinan Dirodjo dinilai terlihat telah
mengambil sikap dan progresif. Pada masa kepemimpinannya, Budi Utomo berhasil mendirikan
tiga sekolah, yaitu 1 di Sala dan 2 di Yogyakarta. Pencapaian ini dapat diraih berkat bantuan
oleh Sultan Yogyakarta yang memberikan bantuan tanah sebesar 100.000 gulden belanda dan
hibah sebesar 45.000 gulden Belanda. Sudirohusodo pun juga berhasil mewujudukan
gagasannya dengan mendirikan studiefonds yang bernama Darma Wara yang mendapatkan
bantuan dari pemerintah sebesar 50.000 gulden Belanda.
Perkembangan
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo
hanya mengenal nasionalisme Jawa, Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan
menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal
pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa
menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera
tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam,
nasionalisme Indonesia ada dan merupakan unsur yang paling penting.
Masa-masa akhir
Masa-masa kepemimpinan Budi Utomo tanpa memasuki bidang politik berlangsung selama
periode 1908-1926, sebelum kepulangan Sutomo dari Belanda. Sepulangnya Sutomo, dia
mendirikan organisasi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang merupakan partai yang dia ketuai.
PBI merupakan organisasi yang dia dirikan pada tanggal 16 Oktober 1930 untuk menggantikan
Indonesische Studieclub (ISC) sebagai organisasi politik. ISC sendiri didirikan pada tanggal 1
Juli 1924 yang beranggotakan para cendekiawan untuk memberikan pengajaran membentuk
usaha bagi masyarakat seperti sekolah tenun, bank kredit, koperasi, dan sebagainya.
Karena perkembangan organsasi ini hanya terbatas di Pulau Jawa dan Madura serta mulai
berkembangnya organisasi seperti Sarekat Islam yang mencakup keanggotaan tanpa ada batasan
wilayah, Budi utomo pun mengalami kemunduran. Komisi Budi Utomo – PBI pun dibentuk
pada bulan Januari 1934 dan menghasilkan kesepakatan untuk meleburkan diri. Proses peleburan
terjadi pada Kongres Budi Utomo tanggal 24-26 Desember 1935 di Solo. Akhirnya, Budi Utomo
bergabung dengan pergerakan lainnya dan membentuk Partai Indonesia Raya (Parindra).